Minggu, 01 April 2018

SENI BAHASA

Ketika seorang ahli linguistik bertanya "What makes a verbal massage a work of art?" maka inilah salah satu memahami peneguhan posisi puisi dalam bahasa. Memang ihwal puitika sebagai salah satu Fungsi Emotif, fungsi konatif, fungsi fatis dan fungsi metalingual. Akan tetapi, saya kira - teori struktural - fungsional ini tak gampang diabaikan sebagai cara yang "ampuh" untuk menemukan ciri-ciri utama, pun struktur "tak biasa" dalam seni bahasa (verbal art), yang bentuk vepresentasinya adalah puisi.

Struktur yang rumit dan kompleks dalam puisi kerap membuat pembaca puisi awam, ini jadi problem klasik. Mulai dari tingkat pendidikan dasar di sekolah sampai paling tinggi di bangku kuliah. Puisi kerap marjinal daripada memilih puisi sebagai objek kajian sebuah peneletian, lebih baik memilih genre prosa. Maka, tak banyak kita baca, puisi dikaji dalam skripsi-tesis-desertasi, dibanding prosa. Si penulis tak tahu, entah karena memang puisi dianggap sebagai karya sastra yang tidak menarik untuk dikaji.

Puisi, dengan bahasa simbolik yang multi-dimensional itu, ketika dihadap-hadapkan dengan bahasa sehari-hari yang referensial, yang mono-dimensial, memang tampak seperti saling memunggung sehingga banyak orang merasa "asing" dengan puisi. Seolah puisi itu bukan bagian dan terpisahkan dari "bahasa". Akan tetapi lewat teori puitika linguistik (dalam Linguistics and Poetic, 1960 - Roman Jakobson) keduanya saling terkait secara integral. Bahkan, melalui berbagai kajian tentang seni-bahasa, ia meyimpulkan puitika adalah hakikat bahasa "Poetics may be regar ded asan integral part of linguistics". Memang, dia tidak sedang mengatakan "Puitika" itu adalah "Puisi" tetapi, melalui teori puitika (dengan difinisi yang luas) inilah struktur puisi (yang kompleks itu) dapat ditelanjangi.



Meski banyak orang kemudian, para penganut post-struktural terutama, tidak puas dengan Jakobson. Tafsir tekstual ala strukturalisme, semacam ini baru mengupas kulit belum isi sebagaimana juga 

"penolakan" terhadap teori penanda (siginifer) dan tetanda (signified) milik saussure, bahwa tak selamanya antara bentuk dan makna itu bersifat linier lurus, jelas puisi, yang multi-interpretable itu tak bisa selesai dan berhenti hanya pada pembongkaran tanda lapis pertama (the first-order sign system). Tanpa mengungkai lebih lanjut tanda pada lapis kedua (the second-order sign system), puisi masih diselimuti oleh teka-teki. Jika berhenti pada makna-makna denotatif yang ditemukan pada tanda lapis pertama, justru akan membuat puisi miskin makna.

Bagi saya, keduanya penting sama-sama berupaya nenyingkap yang tersembunyi dalam puisi, dalam seni-bahasa. Bahkan, arah kajian puisi kita yang belakangan lebih banyak memakai teori resepsi, dan seolah abai pada struktural, membuat kerumitan struktur bahasa dalam puisi kerap tak terurai dengan tuntas. Semua orang, boleh menjadi penafsir puisi dengan bekal apresiasi dan pengalamannya masing-masing orang-orang, bahkan cenderung semata megejar apa "makna" dalam sebuah puisi menjadi tak sekadar jadi corong pesan. Sampai-sampai kadang, sebagai penyair pun, demikian mengagungkan pesan dan tak secara gigih menemukan struktur "bahasa" puisi yang kokoh.

Maka, kiranya warisan tori Jakobson yang cukup menarik bagi kita; para pecinta puisi, para pembaca puisi, para penikmat puisi, para pekerja seni-bahasa, dsb adalah The principle of equitvalence (prinsip keseimbangan). Sebuah prinsip, yang dapat membuat struktur sebuah puisi menjadi salah satu tiang penyangga bagi kokoknya "kualitas bahasa" atau literainess selain kekuatan makna. Metafora-metafora yang tersembunyi dalam puisi dengan keseimbangan struktur itu akan dikemas dalam sintaksis, sematis, dan fonologis, yang penuh pertimbangan. Dan di situlah seni bahasa bekerja. (*)yts-

"The souind must seem an echo to the sense" Kenapa orang harus sembunyi-sembunyi dalam berkomunikasi?





(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar