Senin, 30 Juni 2014

SIMBOK

Garek pirang dino meneh (tinggal beberapa hari lagi) pilihan Pak Persiden dan wakilnya. Bagi simbok pribadi bukan hal yang sulit untuk menentukan pilihan. Mengapa? Lha yo to Le, Nduk, karena siapapun yang terpilih nanti tidak ada pengaruhnya bagi simbok. Selama ini simbok yo mung begini kok Le, Nduk. Siapapun persidennya simbok yo mung tetep simbok, yo tetep seperti ini, yo tetep jauh dari keributan dan keramaian, simbok wis tuo, urip yo mung karek dewe (hidup juga sudah sendiri) butoh yo sing penting cukup untuk makan dan makan sekali sehari itu pun sudah cukup. Tidak perlu neko-neko (aneh-aneh), pakaian juga tidak perlu mengikuti model-model baru, tren busana masa kini, sak lawase yo pakaian simbok modelnya seperti ini, wes arep mikir apa lagi?. Itu kalau simbok hanya mikir diri simbok sendiri dan mbuh ra weruh (entah tidak tahu) pada kehidupan berbangsa di negeri ini.

Ora mergo (bukan) soal siapa yang dipilih nanti yang menjadai pikiran simbok. Bukan soal siapa yang harus jadi Pak Persiden yang membuat simbok sumelang, tetapi khanan yang mugkin akan terjadi. Akankah situasi aman-aman wae, damai dan semua berakhir dengan baik ataukah justru sebaliknya? Oleh karena itu simbok mung mengajak panjenengan (anda) semua untuk ngrumagsani bahwa kita ki sekeng, lemah, penuh keterbatasan dan bukan apa-apa. Awake dhewe (kita) tidak bisa menjadi kekuatan yang mempengaruhi keputusan penting bagi bangsa ini. Mulo (maka) yang bisa kita lakukan adalah berdoa. Awake dhewe ndedongo bareng-bareng nyuwun kepada Gusti Allah agar kehidupan di negeri ini dijauhkan dari mara bahaya, kerusuhan.

Memang kadang kolo simbok nggrantes, ngelus dodo nek melihat khanan saat ini. Ibarat rumah, saka guru yang menjadi penyangga utama, yaitu Pancasila sudah tidak dipedulikan lagi. Wes ora dianggep meneh (sudah tidak dianggap lagi). Simbok menggambarkan bahwa pancasila itu jiwa sejatinya bangsa ini. Hal paling utama bagi bangsa ini. Naging (tetepi) kok yang sejati ini seperti ambruk tinggal tunggak'e saja. Nasionalisme seperti bayang-bayang semu, Bendera Merah Putih nglumpruk semampir di atas tunggak tersebut. Banyak partai yang sekalipun ngondol, mengusung kata 'Nasionalisme' bagi rakyat. La kok mereka bekerja mung yo (cuma) kalau mau pemilu. Hal itu kok menunjukkan bahwa partai-partai nasionalis ini hanya memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya sendiri, hemmmm.......

Sesungguhnya bukan wewenag dan kewajiban simbok untuk ngompyank (ngoceh) seperti ini, tapi lha piye meneh (gimana lagi). Simbok sungguh prihatin dengan keadaan sekarang ini. Ning prihatin ora kepanjangan dari Perih Atine, hehehee.... (tapi prihatin bukan kepanjangan dari Perih Hatinya). Rasa-rasanya kok seperti tidak ada yang bisa dijagakke (diharapkan) untuk bisa mengibarkan kembali Merah-Putih dengan menempatkan kembali pancasila sebagai jatining bangsa.

Mulo kuwi (maka dari itu), selain ndedongo (berdoa) dan kita lak yo wis ndedongo (sudah berdoa) bareng-bareng to di gereja, di lingkungan, kita yo di konkon (di suru) sama-sama untuk gumregah nyaut Merah-Putih yang nglumpruk dan mengibarkannya kembali. Mbok menowo hanya kita yang melakukan, ning yo wis ben. Biarlah meskipun hanya kita, namun kita berani untuk mengankat dan mengibarkan nasionalisme itu kembali. Gusti Allah ora sare (tidak tidur), apa yang baik yang bisa kita lakukan, pasti Gusti Allah akan mendengarkan. Semoga meski perbuatan kita sangatttt kecil, hanya milih satu diantara dua, hanya nyoblos mak bluussssss....njur rampung (lalu selesai), namun bisa memberi arti bagi bangsa ini.

Berkah Dalem.


(Simbok = Ibu (panggilan untuk seorang ibu umumnya untuk ibu yang sudah sepuh/tua/nenek)




Yustinus Setyanta

Minggu, 29 Juni 2014

Melitasi Matahari

Menapaki hari...
Melintasi matahari...
Silih berganti..
Jejak-jejak kabur..
Membujur melitasi serpihan umur..
Batas senja yang kabur...

Perjalanan terus melaju...
Langit selalu bertabur warna..
Rahasia kepompok yang berubah menjadi kupu-kupu...
Hingga dapat menerka segala cuaca...

Sebuah taman dengan bunga warna-warni...
Jejak-jejak yang melilit terlewati...
Memeluk masa depan cerah ceria...
Mendekap cinta yang tak pernah fana..

Setiap detak nafas mengiringi tekkad 'tuk jadi bermakna...
Langkah diayunkan setapak demi setapak mengejar asa...
Tangan mengepal melenggang pasti ke puncak dunia...
Tubuh pun bergerak mengikuti akal budi, menghasilkan mahakarya...







(Yustinus Setyanta)



Dalam Bingkai Fana

Geliat hari yang lelap..
Merebah angan melalang..
Menyusup diantara lesap..
Kabut samar menghilang..

Ku rengkuh sejuk..
Yang tereduh..
Dari semilir angin..
Terkesiap dan terjaga..
Pagiku menjelang..

Dalam bingkai fana..
Kumemulai langkah..
Mengapai asa yang tertunda..
Dengan binar cerhnya wajah...

Di ufuk timur bias rona menyembul jingga..
Bias mewarnai buana..
Memanjakan netra..
Pagi merekah..
Suatu berkah..
ku masih bisa menikmatinya..
Terima kasih untuk-NYA..



Yustinus Setyanta


+ Di Sana +

Di Sana..
Terpuruk aku berlutut di hadapan-Mu..
Lebur hati menangis tersedu..
Tak kuasa menahan perih menderu..
Oh, adakah obat pelipur kalbu...

Di Sana..
Tersenyum aku menatap wajah-Mu..
Berseri hati mengharu biru..
Mengenang hari ini yang telah berlalu..
Dengan sejuta kebahagian yang ada padaku..

Di Sana..
Di depan tabernakel gerejaku..
Ku lalui sore demi sore bersama-Mu..
O, tak ada yang lebih indah dari pada itu..
Selain berbincang-bincang dengan-Mu..
YESUS

Yustinus Setyanta


YYESUS
Yustin

Sabtu, 28 Juni 2014

KETIDAKSEMPURNAAN

Hari Raya Santo Petrus dan Paulus. Begitu menarik merenungkan hari raya ini. Berbeda dengan orang kudus lainnya yang mempunyai hari pesta masing-masing; kedua rasul utama Gereja ini dirayakan secara bersamaan. Barangkali alasannya adalah bahwa mereka punya hubungan dengan jemaat di Roma dan menurut tradisi, keduanya dimartirkan di sana pula, walau dengan cara yang berbeda.

Keduanya adalah rasul Yesus Kristus yang istimewa. Petrus adalah pemimpin duabelas rasul; sementara Paulus adalah misionaris agung yang tanpa kenal lelah mewartakan Kabar Gembira sampai ke ujung dunia. Tetapi tetap perlu disadari bahwa kedua saka guru ini juga mempunyai pengalaman negatif yang mencolok. Petrus pernah secara terang-terangan menyangkal Yesus sampai tiga kali (Mat 26,69-75; Mrk 14,66-72; Luk 22,56-62; Yoh18,15-18.25-27). Paulus lebih lagi. Ia adalah seorang mantan penganiaya jemaat (Fil 3;6). Tuhan ternyata berani mengambil risiko dengan memanggil orang yang tidak sempurna. Dan tidak sempurna ternyata menjadi kudus dalam ketidaksempurnaan mereka.

Lalu? Kita? Di satu pihak, kita juga adalah orang yang dipanggil Tuhan dalam ketidaksepurnaan kita untuk menjalankan perutusan kita di manapun kita berada. Tuhan sudah mempercayai kita. Di lain pihak, apakah kita juga bisa mempercayai orang lain dalam ketidaksempurnaan mereka?

Semoga saja kita juga bisa mempercayai orang lain dalam ketidaksempurnaan mereka. Karena tiada orang yang sempurna, dan dalam ketidaksempurnaan masing-masing dari kita menjadi kudus. Amin.



Yustinus Setyanta

Kamis, 26 Juni 2014

macam-macam salib


HATI BIJAKSANA

Dalam kampanye, calon penguasa kampung dan wakilnya terlihat kompak. Janji muluk-muluk diobral murah. Kampung itu tidak akan bising dan kacau lagi, tidak tergenangi air berlebihan, jalan lumpur akan menjadi mulus. Maka, orang tersentak ketika sang wakil penguasa memilih untuk mundur. Banyak masalah masih tetap ada. Ketika didesak, penduduk kampung diminta bersabar.

Salomo sungguh sadar bahwa tanpa adanya hati yang bijaksana, tidaklah mungkin baginya menjadi seorang raja yang baik. Kekayaan dan kehormatan menjadi tidak berarti bila tidak ada kebijaksanaan (1Raj 3:4-13). Dalam hati Salomo selalu ada seruan permohonan, "Ajarkanlah ketetapan-Mu kepadaku, ya Tuhan." Secara praktis, raja harus bisa membedakan apa yang memang baik dari apa yang memang jahat. Untuk itu, syaratnya jelas. Dengan itu otak dan hati ikut dibentuk. (Mzm : 119).

Para murid Yesus merasa lelah setelah kembali dari tugas berkeliling. Demi pemulihan tenaga, mereka pun menyingkir. Tanpa diharapkan, orang banyak tetap datang. Yesus punya pilihan, menolak atau menerima. Di saat seperti itulah otak dan hati harus bicara. Para murid butuh istirahat, tetapi orang banyak itu butuh pengajaran. Yesus dan para murid pun menunda saat istirahat (Mrk 6: 30-34).

Sungguh, hati bijaksana menjadi penuntun untuk menangkap kehendak Tuhan dalam pengalaman yang terjadi di luar rencana yang matang.

Yustinus Setyanta

HATI KUDUS YESUS

Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus. Perayaan liturgi pada tingkat hari raya (sollemmitas) adalah tingkat tertinggi dalam liturgi Gereja Katolik. Dengan kata lain, penghormatan pada Hati Yesus yang Mahakudus mendapat tempat istimewa dalam tradisi Gereja Katolik. Mau dikenangkan dalam pesta ini, Hati Yesus yang Mahakudus yang bisa menunjuk pada hati Yesus yang teluka karena tertusuk tombak, tetapi bisa juga menujuk kepada cinta Yesus kepada umat manusia.

Di dalam Alkitab, baik PL maupun PB, memang kata "hati" dipakai sekurang-kurangnya dalam dua arti, yaitu arti harafiah (organ tubuh manusia) dan arti kiasan (menunjuk pada pribadi manusia, pusat emosi, perasaan, kehendak, dsb). Penghormatan terhadap Hati Kudus Yesus dimaksudkan sebagai silih untuk dosa-dosa kita terutama karena dosa tidak tahu terima kasih di hadapan cinta Yesus yang tidak habis-habisnya sebagaimana terungkap dalam fiman-Nya, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih.....(Mat 11,28-29). Ini adalah salah satu teks Alkitab yang paling indah dan menyentuh.

Relasi cinta adalah relasi timbal balik. Orang tidak akan bisa membalas cinta, kalau ia sendiri tidak pernah merasakan cinta itu. Apakah kita memang pernah merasakan cinta Yesus itu?


Yustinus Setyanta

PUISI YANG BAIK ITU SEPERTI APA?

Puisi yang baik itu seperti apa?
Hmm..Pertanyaan "Puisi yang baik itu seperti apa?". siapa pun akan susah menjawabnya. Sekelas sastrawan sekalipun pasti akan menilai dengan penilaian yang berbeda. Mungkin, hehe. Namun semenjak Chairil Anwar mengenalkan puisi tanpa berima ABAB atau AAAA atau sejensinya, maka puisi kemudian menjadi sesuatu yang bebas. Bebas dalam arti seuai dengan tata aturan pembuatan puisi. Menairknya lagi, pembaca terkadang dibuat pusing, dan bahkan tidak paham puisi yang dibuat oleh penyairnya. Namun itulah kehebatan puisi.

Puisi itu pastinya menyampaikan pesan. Jika tidak maka bukan puisi. Penyair pastilah berpikir berulang-ulang dalam pembuatan puisi. Mensinkronkan kata demi kata, bait demi bait, dan sampai pada tujuan yang ingin disampaikan. Puisi acap kali susah dimengerti. Ya. Itu benar adanya. Mungkin si pembuatnya yang bisa menafsirkan secara benar akan puisi yang dibuatnya.

Namun menurut penyair dan sastrawan Indonesia yaitu Sapardi Djoko Damono, kalau membuat puisi itu jangan digamblangkan. Kalau digamblangkan maka bukan puisi. Begitu juga penyair dari jawa barat. Puisi yang menarik dan bagus itu adalah puisi yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Nah ini menariknya. Saya sendiri ketika membaca puisi yang menarik maka seolah seluruh tubuh ikut menikmati puisi tersebut.

Namun puisi tetaplah puisi. Dan akan menjadi puisi jika pembuatnya mengerti apa itu puisi. Dunia indah karena ada puisi. Manusia terlena karena puisi. Penyair hebat karena membuat puisi. Mungkin puisi menjadi faktor penting di dunia. Benar bukan?
Semoga tulisan tentang "Puisi yang baik itu seperti apa?" Bisa menjadi acuan bacaan bagi anda yang ingin menulis puisi. 



Yustinus Setyanta


Selasa, 24 Juni 2014

Cakrawala Pagi

Pagi ini cerah teramat nian
Geliat pancaran senyum mentari
Yang coba mengusir embun keresahan
Ciptakan ceria sebuah hari

Pagi ini amatlah bergairah
Rona wajah sang mentari tak lagi gundah
Riang menyapa ceruk sanubari
Membawa satu pesan dari sang puteri

Lukisan pagi cakrawala membiru
Berkanvas awan dan goresan angin
Semilir beranjak sontak meronta,
Bersama awan ia turut mengembara
Pancaran cahaya mengggapai cakrawala
Meraih awan yang berterbangan
Seakan enggan awan lari tergoda
Tersipu malu ia pun merah merona

Duh sang mentari,
Antarakan titipan salam ku ini padanya
Salam dari sesosok jiwa
Yang senantiasa memikirkannya
Untuk bisa mengerti segala harapannya
Sampai ia sendiri mampu lagi mengenali dirinya

Perjalanan mentari mengukir pengabdian,
Jiwa pun resah kebingungan
Tuhan, terangi langkah perjalanan hati,
hari demi hari
sampai semua berakhir.



Yustinus Setyanta



X

Pagi ini demikian dingin. Hujan turun dan terang belum juga tiba. Jalanan masih sepi. Dan aku nikmati keheningan sebelum fajar tiba, sebelum lalulalang kendaraan mengurainya. Suara rintik hujan dan hembusan angin, terasa ada sesuatu yang terasa lembut menyapa hati. Sesuatu yang demikian samar sehingga kadang hanya sayup-sayup menyentuh perasaan. Keheningan memang selalu menimbulkan suatu yang intim saat kita berada bersamanya.

Hidup selalu memiliki faktor X dalam kesadaran kita saat kita berada dalam suasana hening. Dimana tak ada sesuatu yang mengusik renungan kita. Dan selama kita berani untuk menghadapi diri kita, berani untuk meninjau segala sikap dan perbuatan kita, maka kita akan menemukan kejujuran dalam nurani kita sendiri. Apa yang salah, apa yang benar dan bahkan apa yang kita ragukan, akan membuat kita berpikir betapa terbatasnya kemampuan kita. Betapa keinginan kita sering tak sejalan dengan kenyataan yang kita jalani. Tetapi memang begitulah adanya.

Kita semua memiliki kesadaran dan sebab itu, tidaklah layak kita hanya meyakini sesuatu karena sesuatu itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi orang banyak. Sebab kita tidak tahu, atau mungkin tidak sadar, betapa pun banyaknya manusia di dunia ini, masing-masing pasti memiliki pemikiran sendiri yang tak dapat dan tak mungkin dapat kita kenali secara utuh. Demikianlah diri ini hanya setitik noktah dalam alam kehidupan yang maha tetapi titik itu sesungguhnya adalah pusat dari kehidupan itu sendiri. Sebab tanpa kita, tanpa kesadaran yang kita miliki, sesungguhnya alam kehidupan hanya sesuatu yang hampa dan kosong.

Maka di pagi yang dingin ini, kala hujan turun mengusir kabut dini hari, aku menemukan diriku dalam keheningan yang demikian tenang. Dan damai. Segala pengalaman hidup, segala kenyataan yang ada, terasa hanya sayup-sayup dan makin menjauh dalam waktu yang lewat. Dan walau hidup ini terasa demikian meletihkan, ketika langkah-langkah yang kulalui setiap hari terasa demikian terseot-seot, ada sesuatu yang tetap menjadikan kita semua tetap ingin dan harus menjalaninya: Semangat. Hidup memang selalu memiliki faktor X yang tak mungkin kita tolak atau abaikan. Jadi hiduplah bersama kenyataan yang ada.



Yustinus Setyanta





Senin, 23 Juni 2014

humor


idut berjoget

DUA KISAH PENCIPTAAN.

Mengapa dunia diciptakan dua kali, kej 1:1-2a dan Kej 2:4b-25? Mengapa kedua kisah itu tidak harmonis?
Pertama, sebenarnya alam semesta diciptakan satu kali, tetapi dalam Kitab Kejadian, kita memiliki dua kisah penciptaan yang berbeda. Menurut para ahli Kitab Suci, Kej 2 lebih tua, berasal dari abad X Sebelum Masehi (SM), pada masa kejayaan Raja Salomon. Sedangkan Kej berasal dari abad VI SM, pada masa pembuangan.

Kedua, Kej ditulis oleh aliran Yahwist, sebab mereka menyebut Allah itu Yahweh. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi, bisa dikatakan bahwa kisah penciptaan itu di ambil dari kisah penciptaan dari budaya kuno Assyria, Babilon dan Mesir. Alam semesta dipandang terdiri dari tiga bagian, yaitu Langit dengan air di atas, bumi dengan manusia dan bintang, dan laut dengan ikan dan kedalaman bumi. Gambaran Allah lebih bersifat antropomorfis, sangat dekat dengan manusia. Manusia diciptakan sebagai pusat dari ciptaan lain, yaitu sebagai pemelihara ciptaan lain. Ia membuat manusia dari tanah liat, dan wanita dari tulang rusuk manusia pertama. Alam semesta lebih bersifat daratan. Kisah ini ditulis dengan tujuan utama menyampaikan pesan-pesan rohani.

Ketiga, Kej 1 berasal dari kelompok para Imam yang menyebut Allah sebagai Elohim. Di gambarkan, Allah bekerja secara teratur dan terencana. Fakta ini mau menunjukkan bahwa jika Israel sedang mengalami kemalangan, maka harus dikatakan bahwa pasti Allah sudah melihat nasib Israel dan mempunyai rencana indah bagi Israel. Allah digambarkan lebih sebagai Allah yang transenden, jauh, mahakuasa yang menciptakan dengan kuasa Sabda-Nya. Penciptaan dilakukan satu persatu dan alam semesta lebih bersifat lautan. Manusia diciptakan pada akhir, sebagai puncak ciptaan, atau mahkota ciptaan atau penguasa ciptaan.

Keempat, selama empat abad, Kej 2 adalah satu-satunya kisah penciptaan yang ada. Pada 587 SM, Ketika Raja Nebukadnezer dari Babilon mengalahkan Israel dan menguasai Yerusalem, bangsa Israel ditawan dan dibawa ke pembuangan. Di kota Babilon, mereka terheran-heran melihat ibukota yang indah, dengan gedung-gedung besar, istana-istana yang indah dan menara anggun, saluran air, kebun tergantung, tembok kota yang kuat dan kuil-kuil mewah. Kebanggan Israel akan Yerusalem dan keperkasaan Yahweh runtuh. Raja Israel yang diurapi Allah kalah kuat daripada raja Babilon, dewa-dewa Babilon dipandang lebih perkasa dan berkuasa daripada Yahweh.

Di pembuangan inilah, sekelompok imam yang memprihatinkan keadaan iman israel merasa perlu untuk memberikan peneguhan kepada umat yang goncang imannya dan beralih ke dewa-dewa Babilon serta mulai meninggalkan praktik Sabat.

Kelompok imam ini merasa, kisah penciptaan yang ada (Kej 2) sudah tidak mampu lagi meneguhkan iman uman. Karena itu, para imam ini melukiskan Allah Israel sebagai yang mahakuat dan mahakuasa, yang mahatinggi mengatasi segala ciptaan (transenden). Allah bekerja menurut rencana yang teratur dan menciptakan masing-masing ciptaan melalui Sabda-Nya, mulai dengan tanaman, bintang, air, daratan, bintang-bintang di langit. Mereka semua itu adalah ciptaan yang harus melayani manusia (Kej 1:17-18).

Untuk melawan gagasan Allah baik dan Allah jahat menurut agama Babilon, para imam terus menerus menkankan bahwa Allah menciptakan "semuanya dalam keadaan baik". Dengan kata lain, hendak ditegaskan tidak ada Allah jahat atau pencipta yang jahat. Tidak ada bagian dari ciptaan ini, termasuk manusia, pada awalnya dikuasai kejahatan. Ditegaskan pula, Allah menciptakan selama emam hari, dan istirahat pada hari ketujuh. Hal ini memberikan pendasaran pada pelaksanaan hari sabat.

Perbedaan asal usul, waktu penulisan, tujuan penulisan, inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan antara kedua kisah penciptaan tersebut. Masing-masing digunakan Allah mewahyukan pesan rohani yang berbeda, tetapi saling melengkapi.


( Daftar isi : Tafsir Perjanjian Lama, Lembaga Biblika Indonesia, Kanisius dan Buku
Youcat Indonesia)









Yustinus Setyanta

HARI SABAT

Untuk orang kristiani, apakah hari Sabat itu hari sabtu atau hari Minggu? Jika dirayakan hari hari Minggu, apakah tidak bertentangan dengan Kel 31:16? Kapan Gereja merayakan hari Sabat pada hari Minggu?
   Pertama, kita harus mengerti bahwa hari sabat tidak sama dengan hari Sabtu. Kemiripan bunyi antara Sabat dan Sabtu seringkali membuat orang menyamakan keduanya. Kata "Shabbat" dalam bahasa Ibrani berarti berhenti atau istirahat.

    Kedua, perintah "kuduskanlah hari Sabat" (Kel 20:8) mempunyai latar belakang karya penciptaan, yaitu setelah bekerja selama enam hari, Allah beristirahat pada hari ketujuh (Kej 2:2). Hari ketujuh ini dinyatakan sebagai kudus, milik Allah. Apa yang dilakukan Allah itu menjadi teladan bagi manusia, artinya manusia haruslah beristirahat dari kerja dan menguduskan hari itu bagi Tuhan. Inilah pengertian umat Israel tentang hari Sabat (Kel 20:8-11; Kel 31:16), yang dilaksanakan pada hari ketujuh, yaitu hari sabtu.

Sebenarnya, istirahat Allah mempunyai makna yang lebih mendalam daripada sekedar "tidak bekerja". Pada kenyataannya, tindakan kreatif Allah terus mendasari dunia secara tak kunjung henti. Allah selalu berkarya, seperti dikatakan Yesus sendiri dalam membicarakan perintah Sabat: "Bapa-Ku masih bekerja dan Aku sedang bekerja" (Yoh:5-17). Istirahat Allah ini tidak menunjuk sekedar pada Allah yang tidak aktif, tetapi lebih menekankan Allah yang seakan-akan berlama-lama menikmati hasil ciptaan-Nya yang "sungguh amat baik" (Kej 1:31). Allah melayangkan pandangan kontemplatif penuh kesukaan yang menggembirakan atas keindahan ciptaan yang telah dicapai, secara istiwewa atas manusia, mahkota penciptaan. Pandangan Allah ini menyingkapkan hubungan "pernikahan" (suami-istri) antara Allah dengan manusia, yang diciptakan menurut citra keserupaan-Nya (bdk Dies Domini, no. 11). Jadi, istirahat Allah di sini berarti Allah menikmati karya-Nya yang begitu indah.

     Ketiga, tema mengenang karya Allah sebagai motivasi hari Sabat nampak jelas dalam Ul 5:12-15, yaitu mengenang karya penyelamatan Allah: "pembebasan dari perbudakkan Mesir". Allah yang beristirahat pada hari ketujuh itu adalah Allah yang sama yang membebaskan Israel dari penindasan Firaun. Pada karya penciptaan dan karya pembebasan itu, Allah menampilkan diri sebagai mempelai pria menghadapi mempelai wanita (bdk Hos 2:16-24; Yer 2:2; Yes 54:4-8) (Dies Domini no 12).

     Keempat, dengan latar belakang "mengenang karya Allah" untuk hari sabat, kita bisa dengan mudah mengerti mengapa Gereja Para Rasul dengan cepat memindahkan istirahat kudus dari hari ketujuh (sabtu) ke hari pertama (Minggu), karena Kristus bangkit pada hari Minggu. Kebangkitan Kristus menandai pembebasan umat manusia dari kuasa dosa dan maut. Inilah pembebasan sempurna yang dilakukan oleh Kristus melalui sengsara dan kebangkitan-Nya. Inilah juga penciptaan baru (2 Kor 5:17), sesudah ciptaan lama dirusak oleh dosa. Misteri Penciptaan Allah mencapai kepenuhannya dalam Misteri Paskah, yaitu Wafat dan Kebangkitan Kristus, yang sekaligus merupakan antisipasi kepenuhan definitif pada akhir zaman bila Kristus akan datang dalam kemuliaan (bdk Kis 1:11; 1Tes 4:13-17) serta segala sesuatu akan dibarui (bdk. Why 21:5).

     Kelima, kebiasaan merayakan hari Minggu sudah dikakukan sejak zaman Gereja Para Rasul: "Pada hari pertama dalam Minggu ini, ketika kami berkumpul untuk memecahkan roti". (Kis 20:7). Mereka juga menyebut hari Minggu itu sebagai hari Tuhan (Why 1:10). Memang pada awal mula umat masih terus menghadiri ibadat bait Allah pada hari Sabtu, tetapi pada hari Minggu mereka berhimpu untuk memecahkan roti (Kis 2:42, 46). Tetapi kemudian terbentuklah kesadaran untuk menguduskan hari Minggu sebagai kenangan hari Kebangkitan Tuhan dengan merayakan Ekaristi dalam kegembiraan dan persaudaraan kistiani. Dengan demikian, kita beralih dari hari "Sabat" ke "hari pertama sesudah Sabat," dari ketujuh ke hari pertama, dari Dies Domini (Hari Tuhan) ke Dies Christi (Hari Kristus).



Yustinus Setyanta
Jogja

MENEMUKAN DUNIA

Memang, acapkali hidup terasa menjemukan. Baik saat dipenuhi kegiatan, terlebih saat lowong dan tak tahu apa yang harus di buat, walaupun itu mempunyai penghasilan untuk menghidupi diri. Perasaan jemu dan hampa membuat bingung, bimbang dan bahkan membuat emosi hati, sulit untuk dapat mendengarkan orang lain. "Apa gunanya hidup ini"... "kenapa segala apa yang dikerjakan terasa tanpa arti dan samasekali tak berguna?"..."Apa yang dibuat seakan tak punya arti." Kehilangan makna, tak tahu apa yang dicari, apa yang diinginkan dan apa yang dihadapi. Gagal memahami situasi karena hanya ingin dipahami dan ingin mencapai semuanya yang di kehendaki tanpa menyadari bahwa, salin diri sendiri, ada banyak keterkaitan satu sama lain dengan sesama dan dunia seputar diri. Berpikir hanya diri sendirilah yang mengalami, dunia hanya milik diri sendiri, padahal, bukankah ada sedemikian banyak kehidupan nyata di luar sana yang bergerak dan berdenyut setiap saat di seputar kita. Bukankah kita yang adalah manusia hanya setetes air dalam samudera kehidupan ini? Kehidupan yang nampak demikian raksasa dan menakjubkan, namun juga sedemikian rapuh dan kecil, pernahkah menyadari hal itu.

Memang, acapkali hidup terasa menjemukan. Lalu ingin melarikan diri dari gejolak kekosongan tersebut, ingin menyembunyikan kenyataan yang mendera, larut dalam mimpi-mimpi semu bersama dunia gegap gempita yang dapat membuat melupakan perasaan jemu itu. Tetapi ternyata, yang di temukan hanya impian sesaat. Ketika semuanya usai, dan masuk kembali dalam kenyataan, semua kembali seperti semula. Berputar bagai gasing, mengulang kembali proses pelupaan diri itu sambil, secara sadar dan tak sadar, melukai hidup sendiri.

Bukankah hidup ini adalah suatu proses yang bergerak terus menerus. Berjalan menempuh waktu yang tak bisa di tolak, dan tak mungkin balik langkah. Dan ada ujung yang demikian pastinya, suatu titik dimana berawal dan kelak akan berakhir. Dalam garis perjalan itulah, kita ada, dan menikmati keberadaan. Jadi, jika memiliki titik awal dan titik akhir masing-masing, yang bisa di lakukan hanya menikmati kegembiraan keberadaan kita di dunia ini. Sesungguhnya, ada banyak hal yang bisa kita rengkuh, kita kerjakan dengan senang hati, namun acapkali luput dari pandangan. Hal-hal sederhana, sesuatu yang indah dan urni, namun karena sempitnya pemikiran, sesaknya hati, sibuk dengan suasana hatinya sendiri sering di lupakan dan bahkan malah tak pernah memperhatikannya sama sekali.

Ada keindahan alam semesta. Ada keindahan dan keharuman bunga-bunga yang mekar mewangi, dedaun yang menguning lalu gugur dari tangkai pepohonan yang ada depan kita. Ada suara angin yang lirih berhembus dan menggerakan daun di pepohonan. Ada keceriaan anak-anak yang berlari-larian seakan tak ada beban yang tanggung. Ada suara percikan air dari keran yang mulai dibuka untuk mengisi bak mandi. Ada suara desis api dari kompor yang dinyalakan untuk memanaskan dan memasak masakan. Ada kokok ayam jantan di saat fajar mulai menyingsing. Ada banyak hal positif yang dapat diperhatikan dan justru bisa menginpirasi hidup ini. Saat itu, ya saat itulah, kehidupan mulai berjalan dengan pasti. Apa yang ada di depan mata kita adalah suatu kenyataan hidup, suatu proses dari keberadaan kita itu. Tetapi, kok sering terperangkap dalam pikiran sendiri, perasaan keterkurungan, menolak kegembiraan dunia saat merasa didera sakit hati, dicemoohkan serta disudutkan seorang diri. Apakah alam dan Tuhan merasa bosan dengan rutinitas itu? Tidak! Tidak kan. Mau menikmati proses itu, apa yang setiap hari di alami? Detail kecil dari hidup ini. Mosaik kecil dari manusia. Rasa, rasakan dan nikmati betapa hidup ini berjalan dengan teratur dan rapi setiap hari, setiap saat, tanpa pernah merasa jemu dengannya. Hanya kitalah yang adalah manusia yang dapat merasakan kejemuan, alam tidak, Tuhan tidak.

Memang, tak dipungkiri acapkali hidup terasa menjemukan. Dan menyesakkan jiwa. Namun apabila mau memandang, melihat detail-detail kecil dari prosesnya kehidupan. Kita, insan yang rapuh dalam raga, tetapi kuatlah dalam jiwa, sebab kita ada, bukan untuk ditaklukkan terutama ditaklukan oleh diri kita sendiri. Kita ada untuk menaklukkan dan menguasai keberadaan diri kita sendiri. Menaklukan segala hasrat dan keinginan diri kita sendiri. Cari dan temukan diri kita, maka kita akan menemukan dunia.
Menemukan dunia.

 "......carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33)



Yustinus Setyanta





MEWARTA DALAM DIAM

Meski lebih senior, Santo Barnabas tidak mempermasalahkan ketika Paulu memimpin pewartaan mereka. Barnabas mewarta dalam diam. Ia tidak kecewa nama besarnya diungguli nama besar Paulus.
Barnabas adalah seorang pewarta tangguh keturunan Yahudi suku Lewi di Siprus. Meskipun tidak termasuk 12 rasul, tetapi keberanian dan kesetiaannya dalam mengabarkan Injil Tuhan, membuatnya mendapat gelar Rasul dan Pendiri Gereja. Riwayat hidupnya tertulis dalam Kisah Para Rasul Bab 4,9,11,13 dan 15.

Nama aslinya Yusuf, namun para rasul menyebutnya Barnabas, yang arti Putra Pengibur. Ia dikenal sangat dermawan. Setelah bertobat dan mengikuti ajaran Yesus, ladang dan miliknya dijual, lantas uangnya diletakkan di kaki para rasul.

Saat para murid di Yerusalem masih sangat takut pada Paulus dan meragukan pertobatannya, Barnabas-lah orang pertama yang bersedia menerima Paulus. Ia mengantar Paulus kepada para rasul untuk menceritakan kebenaran tentang penampakan Yesus yang menyebabkan Paulus buta. Barnabas meyakikan para rasul tentang pertobatan, cara hidup baru, dan keberanian mengajar yang dikakukan Paulus selama di Damasyik.

Bernabas diutus ke Antiokhia untuk menasehati umat agar tetap setia kepada Tuhan. Ia ke tarsus untuk mengajak Paulus mewartakan di Antiokhia. Pewartaan Barnabas erat hubungannya dengan Paulus, sebab mereka menjadi teman seperjalanan selama bertahun-tahun. Di Antiokhia, tempat mereka melayani bersama selama satu tahun, untuk pertama kalinya murid-murid Yesus disebut Kristen.

Nabi Agabus dari Yerusalem bertandang ke Antiokhia dan bernubuat tentang ancaman kelaparan. Lalu, Barnabas menggerakkan jemaat mengumpulkan sumbangan umat Yudea. Bantuan itu dikirim ke Yesusalem melalui dirinya dan Paulus yang sangat dipercaya jemaat. Di Yerusalem, Barnabas mengajak Yohanes, sepupunya, yang disebut Markus, murid Petrus yang menulis Injil, untuk mewarta bersamanya.

Barnabas adalah rasul pilihan Tuhan. Saat jemaat Antikohida beribadah Roh Kudus berkata, "Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka". Pewartaan dilanjutkan ke Seleukia dan Pulau Siprus.

Di siprus, pewartaan dilakukan dari Salmis hingga Pafos. Gubernur Sergius Paulus yang sebelumnya berkawan dengan tukang sihir jahat baryesus pun dipertobatkan. Di Perga, Pamfilia, Markus meninggalkan pelayanan dan kembali ke Yesusalem. Kedua rasul pun pergi ke Antiokhia di pisidia. Di sana banyak orang Yahudi mengikuti ajaran Kristus, tetapi ada pula yang tidak suka dan mengusir mereka. Saat ke ikonikum, orang-orang Yahudi yang tidak suka akan melempari batu, maka mereka menyingkir ke Listra dan Derbe. Di sana banyak orang menjadi murid Yesus.

Barnabas mengajar tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan contoh cara hidup saleh. Setelah menjelajahi Pisidia, Pamifilia, Perga dan Atalia, kedua rasul kembali ke Antaokhia. Umat Antaokhia bingung dengan pernyataan yang menharuskan sunat, maka Barnabas dan Paulus diutus ke konsili Yerusalem untuk membicarakannya.

Perjalanan melewati Fensisia dan Samaria digunakan untuk mewarta. Keduanya membela kepentingan para pengikut Kristus non-Yahudi. Petrus dan Yakobus sepakat untuk tidak menimbulkan kesulitan bagi bangsa lain yang berbalik pada Allah. Saat kembali ke Antiokhia, Barnabas dan Paulus disertai Yudas Barsabas dan Silas.

Barnabas akan mengajak Markus lagi, tetapi ditentang Paulus karena Markus pernah meninggalkan mereka di Pamifilia. Perselisihan tajam pun terjadi. Mereka sepakat untuk berpisahdalam mewarta. Barnabas mengajak Markus ke Siprus, sedangkan Paulus membawa Silas ke Siria dan Kilikia.

Menurut tradisi, Rasul Barnabas wafat di Salamis, Siprus, setelah dirajam orang-orang Yahudi pada tahun 61. Pesta namanya diperingati setiap 11 juni. Kemungkinan besar, Barnabas-lah yang menulis surat yang kini dikenal dengan "Surat Paulus kepada umat Ibrani".

Seorang Kristen yang murtada pada abad ke-14 memalsukan karyanya sebagai Injil Barnabas, mengingat bagaimana ketangguhan dan kesetiaan Barnabas dalam mewartakan hingga wafat sebagai martir dengan segala sifat-sifat utama yang ia miliki.

Banabas dan Paulus di Lystra, karya Nicolaes Berchem (1622-1683)


Yustinus Setyanta

ASKETISME POLITIK

Korupsi membiak di Indonesia dan sejumlah negara Asia. Ironis dan miris melihat realitas itu. Betapa tidak, tanah Asia terkenal sebagai rahim subur yang melahirkan peradabam dan kebudayaan besar. Benih islamisme, Kristianisme, Budhisme, Hinduisme, Teoisme, Konfuisme, dan sebagainya, ditabur, bersemi, dan dituai di benua terbesar ini. Namun mengapa yang bernama "korupsi" dan segala narasi keserakahan kekuasaan politis begitu cepat bercokol di benua ini?

Di ranah teologis, Aloysius Pieris (1988) telah wewacanakan gagasan bahwa refleksi dan praksis teologi Asia harus bergerak di antara sifat ke-Dunia ketiga-an (Third-Worldliness) dan ke-Asia-an) (Asianess). Sifat ke-Dunia ketiga-an ditandai dengan kemiskinan. Sedangkan kekhasan warga Asia adalah hidup dalam keragaman agama, budaya dan tradisi. Refleksi dan praksis teologi pun harus memperhitungkan, memadukan, serta menggerakkan kedua kondisi dasariah tersebut.

Narasi teologi yang diharapkan adalah narasi yang bukan saja mengatasi masalah seperti Teologi Pembebasan di Amerika Latin, tetapi juga yang menyapa, mengigat, dan menginspirasi tradisi-tradisi agama di asia untuk menjawab kegelisahan kemanusiaan warga Asia. Narasi yang ditawarkan Pieris adalah mewartakan Yang Mahatinggi yang bertindak bagi dunia ibarat 'seorang' Rahib Miskin (Poor Monk). Konsekunsinya, siapa pun yang percaya kepada Yang Mahatinggi hendaknya berjuang meneladani Sang Rahib Miskin hingga menjadi 'rahib miskin' dengan huruf kecil.

Gambaran Yang Mahatinggi sebagai Rahib Miskin tentu mudah diterima di tanah asia. Rahib Miskin adalah pribadi yang memilih secara sukarela menjadi miskin untuk dapat 'memperkaya' sesama dan diri sendiri dengan aneka bentuk kebijakan. Jalan menjadi Rahib Miskin ditempuh dengan disiplin dan tradisi kereligiusan yang dikenal dengan asketisme. Asketisme adalah penolakan (pembatasan) sukarela terhadap segala kenikmatan duniawi untuk meraih keintiman dengan Yang Mahatinggi dan kesempatan yang lebih untuk melayani sesama.

Semua tradisi agama-agama asia memiliki, mengajarkan dan menjunjung tinggi gagasan dan praktik penolakan atau pembatasan sukarela terhadap kenikmatan sesaat duniawi yang berlebihan. Maka, secara teologis (praktis), ditemukan bahwa jalan ideal menjawab kodisi sekarat kemiskinan dan kemjemukan adalah dengan menggemakan semangat asketisme untuk melahirkan generasi-generasi berpola hidup sebagai 'rahib miskin'.

Tentu saja, kemiskinan dan kemajemukan bukan hanya konteks berteologi asia, tetapi juga locus refleksi dan praksis berpolitik di asia. Maka di ranah politik, asketisme politik menjadi jalan yang sangat penting untuk ditempuh dalam rangka menjawab kemiskinan tanpa mengacaukan kemajemukan dalam masyarakat.

Karena itu, dalam perspektif peradaban asia, politisi sejati adalah seorang asketis sejati. Ia yang berniat menjadi bagian dari pembuatan kebijakan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah dia yang telah dengan sukarela dan penuh komitmen menolak serta membatasi hasratnya pada materi dan aneka kenikmatan duniawi.

Seorang politisi sejatinya ibarat seorang rahib miskin. Di matanya, aktivis politik adalah jalan untuk memuluskan langkah menggapai Yang Mahatinggi dan sesama. Kekuasaan dan kewenangan politisi adalah media terbaik mewartakan keluhuran hati dan kecemarlangan gagasan demi kesejahteraan bersama.

Mungkinkah kita mendapatkan 'rahib miskin' untuk menahkodai indonesia? Mungkin dan sangat mungkin! Karena kita lahir dari rahim peradaban yang mengenal disiplin religiositas yang bernama asketisme. Keutamaan asketis itu masih dan selalu ada karena menjadi bagian dari dimensi transendental kita. Ia brtahta di hati siapa pun yang bernama umat beriman, beragama, dan berkepercayaan.



Yust Setyanta




BERSEDIA MENJADI "ROTI DAN MINUMAN" BAGI ORANG LAIN

Manusia mempunyai kecenderungan untuk mengeluh. Bila panas terik, manusia bisa menyalahkan matahari karena udara yang gerah. Bila hawa dingin menyergap, manusia pun tetap mengeluh karena dingin yang menusuk-nusuk tubuh. Nampaknya, kok apa saja selalu menjadi sumber keluhan. Manusia sepertinya tidak pernah merasa puas memenuhi nafsu duniawinya. Manusia selalu ingin meminta dan menuntut lebih. Lantas kapan toh manusia belajar, berlatih bersyukur atas semua anugerah dari Tuhan?.

Konon bangsa israel pun sering mengeluh dan bersungut-sungut karena makanan. Diberi roti manna oleh Allah, mereka mengeluh. Sepertinya tidak ada makanan yang membuat mereka terpuaskan. Roti yang diberikan oleh Yesus tidak sama dengan roti yang diberikan Musa kepada israel dalam perjalanan hidup mereka di padang gurun (Ul 8:2-3. 14-16).

Roti atau "manna" itu hanya sementara, tetapi roti yang diberikan Yesus adalah diri-Nya: "Akulah roti yang turun dari surga". Injil Yoh 6:51-59 ini mengingatkan kepada kita tentang makanan yang akan membuat diri kita kenyang selamanya yakni tubuh dan darah Kristus sendiri. Dalam rupa roti dan anggur yang kita terima setiap minggu (bahkan mungkin setiap hari), Yesus ingin menegaskan bahwa Dia lah roti hidup. "Barangsiapa makan daripadanya, ia tidak akan mati" begitulah sabda-Nya. Memang benar bahwa roti itu memang untuk keperluas fisik, namun kedatangan Yesus bukan untuk mengilangkan kelaparan fisik semata melainkan kelaparan badi. Roti yang dibawa Yesus yakni roti yang adalah Yesus sendiri adalah roti dari surga yang akan mengilangkan kelaparan dan dahaga kehidupan kita. Masihkan kita mengeluh dan tetap bersungut-sungut bila Tuhan Yesus sendiri sudah memberikan segalanya untuk kita? Masihkah kita tetap kurang percaya?

Menerima Ekaristi adalah menerima Kristus, Tubuh dan Darah-Nya, yang membagikan diri-Nya. Maka kita yang menerima-Nya harus bersedia pula membagikan diri kepada sesama. Atau dengan bahasa Yesus "kita harus bersedia pula menjadi roti dan minuman untuk orang lain".

Selamat berbagi pengharapan, kasih dan cinta kepada sesama.


Yustinus Setyanta

Sabtu, 14 Juni 2014

hehehehee....


TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Ketika menulis judul di atas, awalnya saya menulis demikian, 'Tri Tunggal Maha Kudus', segera saya menyadari kesalahan tersebut. Mungkin secara tata bahasa kesalah itu tidaklah begitu penting untuk dipersoalkan, tetapi ketika kita hendak menangkap maksud sebenarnya dari dogma Trinitas, kesalahan itu menjadi bukup fatal. Tri Tunggal, yang ditulis secara terpisah berarti tiga satu kalau ditulis dengan angka menjadi 3 1. Kedua angka tersebut tidak menunjukkan relasi apapun baik dengan angka maupun dengan kata (huruf). Padahal relasi yang erat Bapa-Putera-Roh Kudus adalah alasan pengakuan kita akan Allah yang Esa, yang satu dan bukan tiga. Seperti banyak yang menyangka umat kristiani menyembah tiga Tuhan, itu hanyalah kurangnya memahami tata bahasa.

Kasih dan relasi yang erat, itulah yang mestinya menojol dalam pemahaman akan Trinitas. Allah adalah misteri, maka konsep apapun yang berusaha menjelaskan akan Allah tidaklah mampu memadahi seluruh pengertian akan Allah. Maka sebagaimana Allah itu misteri, demikian pula Dia dalam kesatuan dengan Putera dan Roh Kudus. Lantas bagaimana kita bisa memahami semua itu? Yang bisa kita lakukan hanyalah meraba, menghayati dari sifat dan nuansa-Nya. Salah satu sifat-Nya yang bisa kita rasakan adalah KASIH. Allah itu Sumber Kasih. Kasih itu hanya akan menjadi kasih manakala terdorong keluar, terungkap. Maka ada ungkapan kasih itu lahir.

Dalam satu kesatuan pengertian akan Kasih inilah kita memahami Trinitas. Pantaslah bila kita menyebut Putera, karena sebagai Totalitas Ungkapan Kasih Allah Dia sungguh lahir dari Allah sendiri. Relasi antara Bapa dan Putera hanya dimungkinkan melalui Roh Kudus. Dalam hal ini, tidak mungkin kita melihat ketiganya secara terpisah, Bapa-Putera-Roh Kudus bukan lagi tiga tetapi satu.

Terkadang ketika kita berhadapan dengan orang yang berkeyakinan lain, kita ragu dan merasa tidak pasti untuk bisa menjelaskan mengenai misteri Trinitas yang mereka pertanyakan. Tetapi jika kita berangkat dari satu pengertian bahwa Allah adalah Kasih, maka apapun keyakinannya mereka akan setuju dan tidak membantah realitas tersebut. Maka logika sederhana yang mengalir berlandaskan kasih inilah, kita akan mampu menjelaskan sebagaian dari misteri Trinitas.

Dalam kehidupan kita, sebagai anak-anak Allah, kita pun dipanggil untuk mengungkapkan kasih-Nya. Untuk bisa mengungkapkan kasih, kita terlebih dahulu harus mampu merasakan kasih-Nya. Untuk itu kita membutuhkan peran Roh Kudus, karena melalui bimbingan Roh Kudus kita dimampukan untuk merasakan kasih Allah dan didorong untuk mengungkapkan kasih Allah. Iman yang mendalam adalah iman yang semakin tenggelam dalam kasih-Nya.






Yustinus Setyanta

INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN

    Butir-butir iklan program 100 hari Depdiknas merupakan janji yang mengikat. Akan dicatat seberapa besar bisa dilaksanakan. Berbeda dengan departemen teknis lain, tingkat dan tolok ukur keberhasilan praksis pendidikan relatif lebih sulit. Yang ditangani bukan benda mati, tetapi manusia dengan keunikan, keluhuran, dan kekerdilannya. Kegiatan diselenggarakan tidak dalam sebuah ruang kosong nol, tetapi dalam keadaan sudah dan sedang jalan.
    Memilih terjaminnya gedung sekolah merupakan janji konkret. Gampang dipenuhi. Dengan prioritas anggaran pembangunan gedung diberi skala prioritas pertama, dengan menjaga sekecil mungkin terjadinya kebocoran, janji itu terpenuhi. Jeritan ”sekolah kandang ayam” Prof Winarno Surakhmad, sampai usia Republik Indonesia lebih dari 60 tahun masih ada gedung sekolah roboh, terjawab.
    Infrastruktur hanyalah salah satu faktor dalam praksis pendidikan. Janji keberhasilan fisik perlu dilengkapi janji keberhasilan nonfisik. Apa saja? Bereskan segera masalah proyek sertifikasi guru. Perbaiki sistem ujian nasional, misalnya dengan adanya kesempatan siswa gagal di ujian nasional masih ada kesempatan mengulang dengan standar yang sama (Kompas, 13/11)—kebijakan yang kita nilai bijak. Bereskan soal buku teks dengan kebijakan tegas.
    Lengkapkan sarana dan pengenalan perangkat teknologi informasi mutakhir. Berikan kepastian bahwa tanpa mengesampingkan faktor kesesuaian praksis pendidikan dengan lapangan kerja, bahwa pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karakter dan national and character building bangsa yang plural di segala hal ini.

    Kita hentikan trauma ”ganti menteri ganti kurikulum dan ganti kebijakan”. Tidak mungkin kebijakan dan praksis pendidikan masa lalu dibuang semua. Ketika perbaikan sarana fisik dilakukan, pada saat yang sama perlu dikenali betul kondisi riil. Ketika sejumlah persoalan belum terselesaikan, sisa persoalan jangan dibiarkan tertimbun, yang bisa menciptakan persoalan baru.
    Mengenali kondisi riil dengan hati jernih dan semangat pedagogis, segera menyaksikan sejumlah soal. Masalah ujian nasional yang relatif mulai diterima dengan menyadari bahwa harus ada standardisasi minimum ukuran keberhasilan. Masalah guru dengan program sertifikasi yang belum selesai. Maksud memperbaiki kesejahteraan guru dengan program sertifikasi jangan terhenti sebagai gincu dan bedak, tetapi kepastian-kepastian.
     Kritik pedas bahkan nyaris kecaman dari masyarakat merupakan bagian rasa memiliki, hakikat praksis pendidikan yang melibatkan semua penghuni negeri ini tanpa kecuali. Dengan tetap menempatkan pluralitas Indonesia dalam segala hal, sebaiknya masukan, kritik, bahkan kecaman bisa disambut dengan sikap positif, dan niscaya itu produktif. Dan hentikan sikap ”pokoknya” jalan terus!


Yustinus Setyanta




TANGAN KANAN

    Tangan kanan bisa diartikan sebagai orang kepercayaan, atau orang yang dipercaya penuh. Untuk bisa menjadi orang kepercayaan maka dibutuhkan kesetiaan serta kejujuran. Jika kita percaya kepada Yesus, bukan berarti Yesus lah yang menjadi orang kepercayaan kita atau Yesus menjadi tangan kanan kita.

    Percaya kepada Yesus berarti bersedia untuk menjadi orang yang dipercaya oleh-Nya, dan itu membutuhkan kesetiaan serta kejujuran. Kita lah yang kemudian menjadi tangan kanan-Nya, karena bersama dan melalui kita, Dia akan melanjutkan karya-Nya di dunia.













Yustinus Setyanta

Puisi : Calon Cerpen

aku huruf-huruf airmata di awal alinea...
untuk sebuah tubuh cerita...
di antara tanda baca...
senantiasa dialog luka

morfem-morfem berlepasan...
seperti patahan sematik tak terjamahkan...
tak percernah tercipta kata...
yang bisa dipercaya untuk mengusung makna...
seperti alur yang gila...
pada sebuah aliran sastra...
di tubuh cerita hanya kisah-kisah hampa...
yang melelakan mata pembaca...

Yustinus Setyanta


Jumat, 13 Juni 2014

ROH KUDUS MELEPASKAN RASA TAKUT DALAM DIRI KITA

    Kita masih ingat dalam bacaan-bacan Injil banyak murid-murid berada dalam keadaan sedih dan takut karena saat Yesus wafat, mereka tidak mempunyai pengharapan lagi. Mereka seperti sekumpulan domba yang kehilangan gembalanya. Dalam pikiran mereka, Tuhan yang mereka andalkan malah mati secara tragis di kayu salib. Selanjutnya dalam Injil dikisahkan bagaimana para murid bersuka cita ketika Yesus hadir di tengah-tengah mereka. Rasa takut berganti menjadi suka cita luar biasa. Kehadiran Yesus mengubah segalanya. Bila kita sungguh merasakan kehadiran Tuhan dalam hati kita, maka buah yang akan kita petik adalah suka cita. Itu yang pertama.

     Yang kedua; sesuai dengan janji Yesus sendiri, Dia akan pergi kepada Bapa dan memberikan kepada kita seorang Penolong yang lain yaitu Roh Kudus. Hari ini kita merayakan hari Pentakosta. Istilah "Pentakosa" berasal dari bahasa Yunani, yaitu "pentekoste" yang artinya hari yang kelima puluh. Karena itu pelaksanaan hari raya Pentakosta yang dirayakan gereja-gereja pada masa sekarang adalah dihitung 50 hari sejak hari raya Paskah. Hari Pentakosta menurtut Perjanjian Baru bermakna hari dicurahkan Roh Kudus. Hari Raya Petakosta mengingatkan kita akan turunnya Roh Kudus yang dijanjikan Yesus atas gereja yang masih muda, yaitu kepada sekelompok murid Yesus bersama Bunda Maria, yang dengan tekun, sehati dalam doa bersama di satu ruangan di Yerusalema.

   Tuhan menganugerahkan dan mencurahkan Roh Kudus agar kita semua makin diteguhkan, dikuatkan dan dibimbing oleh Roh Kudus di tengah-tengah Kristus dalam kehidupan kita sehari-hari sebagaimana sabda Yesus, "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku Mengutus kamu," Sebagaimana dalam kisah Injil, karya Roh Kudus mampu melenyapkan rasa takut, menyingkirkan rasa khawatir dan menjadikan kita semakin berani untuk menjadi saksi-saksi Kristus. Roh Kudus yang menyengati para murid juga akan menyemangati kita semua untuk menjadi utusan-utusan-Nya. Roh Kudus akan senantiasa memberikan keberanian kepada kita. Roh Kudus juga akan menyemangati, menghibur dan menyertai kita semua sekarang dan selama-lamanya.

    Di dalam Ekaristi Pentakosta, kita rasakan hembusan karunia Roh Kudus yang di curahkan Tuhan kepada kita dan dengarkanlah bisikan Tuhan "Terimalah Roh Kudus"

    Kuasa Tritunggal Mahakudus berhembus menguatkan, menyempurnakan, kita untuk hidup di dalam seluruh kebenaran Allah dan semoga kebenaran dan keberadaan kita sebagai bait-Nya Allah dapat membawa dan membaharui hidup dalam habitus baru: "dari kasih Allah, dalam kasih Allah, untuk Allah, karena pada hakekatnya, "Allah adalah Kasih"

Kasih itu ; (1Kor 13:4-8)

Yustinus Setyanta

Kamis, 12 Juni 2014

HUKUM

Ketika yang bersalah dapat bersembunyi di balik rasa keengganan sebuah institusi untuk menyibak boroknya, maka hukum bukan hanya menjadi tumpul tetapi telah mati. Ketika sebuah institusi, demi kepentingannya sendiri, menyembunyikan kebobrokan yang terjadi karena oknum-nya sendiri, maka secara nyata, institusi itu telah membunuh kebenaran dengan berlaku tidak adil dan tidak jujur kepada masyarakat. Maka keteladanan pun hilang. Dan setiap orang dapat menganggap dirinya berdiri di atas bangkai hukum itu sambil menyuarakan kepentingannya yang tidak lain hanya penghindaran dari rasa malu dan enggan mengakui kesalahan. Sekaligus enggan untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan yang telah merobek dirinya sendiri.

Sadar atau tidak akan kerusakan yang sedang dan akan terjadi saat kita dengan kukuh bertahan pada nama baik semata. Pahamkah tentang makna keadilan dan kejujuran yang setiap saat kita dengungkan sementara kita melakukan hal yang sebaliknya. Ataukah pandangan kita sudah tertutup hanya karena kita tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya ada borok yang sedang kita tanggung dan mungkin kelak akan menghancurkan diri kita semua. Bagaimanakah kita dapat dengan penuh rasa yakin dan percaya diri menyatakan kebenaran jika kita sendiri enggan mengakui kebenaran itu. Dan apakah maknanya sebuah kebenaran jika itu hanya dilihat dari sudut pandang dan kepentingan pribadi kita.

Maka ketika hukum dapat dijual belikan, ketika fakta dapat digelapkan, ketika ayat-ayat hanya menjadi ajang perdebatan sesuai dengan sudut pandang setiap orang – tanpa kepastian – percayalah bahwa pada akhirnya setiap orang pun dapat berpendapat bahwa mereka pun memiliki hukumnya masing-masing. Dan jika itu terjadi dan memang kita inginkan, kita semua patut menyadari akan resiko ketidak-adilan bagi semua orang. Karena keadilan menurut sudut pandang diri sendiri, sadar atau tidak, berarti kita membangun ketidak-adilan dalam masyarakat. Hukum menjadi tidak pasti saat semua dapat berdebat tentangnya. Hukum menjadi layang-layang yang putus yang akan dikejar-kejar dengan kekuatan-kekuasaan-kekayaan dan bukan dengan kejujuran-kebenaran-keadilan.

Tetapi entah mengapa, kita demikian tidak peduli lagi terhadap masyarakat. Kita hanya peduli kepada diri dan kepentingan kita sendiri. Selama kepentingan kita tidak diganggu, selama itu pula kita seakan-akan kelihatan dapat berbuat baik dan jujur, namun sekali kepentingan kita diusik, tiba-tiba kita menjelma menjadi mahluk yang menakutkan dan menafikan semua kejujuran serta fakta yang ada. Bahkan jika perlu dengan melakukan perlawanan secara kasar dan keras. Bahkan jika perlu dengan mengurbankan orang lain. Kita tidak merasa terusik oleh ketidak-adilan yang kita lakukan bahkan memberikan ribuan alasan yang seakan-akan benar tetapi......

Setiap pagi, saat kita duduk menikmati secangkir kopi atau kopi sambil membaca koran pagi maupun berita di televisi, kita mungkin mengutuk ketidak-adilan, kekerasan dan ketidak-jujuran yang diberitakan. Kita bahkan mungkin merasa sangat marah dan menyesalinya. Tetapi itu karena kita sama sekali tidak terkait dengan peristiwa yang sedang kita baca itu. Seandainya peristiwa itu menyangkut nama baik kita, menyangkut kepentingan kita, menyangkut integritas institusi kita, masihkah kita merasa dan berpikir sama? Entahlah. Jika saja kita mau jujur kepada hati nurani kita sendiri. Jika saja kita tidak enggan untuk merasa malu dan mau mengakui kesalahan kita. Jika saja...... Tetapi seberapa banyakkah yang mau mengakui kealpaannya sendiri.

Pada akhirnya, setiap kesalahan selalu mempunyai dalih dan alasannya masing-masing. Dan setiap ayat-ayat dalam buku hukum selalu dapat diperdebatkan sesuai dengan kepentingan kita melulu. Saat itu, sesungguhnya kita telah memulai proses penghancuran terhadap kebenaran. Atas nama dalih dan alasan yang kadang dibuat setelah sebuah peristiwa terjadi, sesungguhnya kita telah melarikan diri dari dunia yang nyata dan membentuk opini seakan-akan yang satu saat dapat menjadi kebenaran yang semu. Dan saat itu terjadi, hukum pun lumpuh. Hukum pun tak berdaya dan akan mati lemas. Siapkah kita menghadapinya.


Yustinus Setyanta

Kancing

Kancing...

Dari satu kancing yang kurindu...
Kau beri seribu...

Dari seribu...
Tetap kupilih Satu...














: Yustinus Setyanta

Selasa, 10 Juni 2014

MELAYANG-LAYANG

       Di sebuah hutan, selembar daun melayang-layang dan akhirnya jatuh ke tanah. Hari demi hari, bulan berganti bulan selembar daun itu tergeletak dan mulai membusuk sampai akhirnya menjadi tanah dan menyatu sebagai penyubur alami. Memang alam mempunyai mekanisme tersendiri untuk menjaga kelestariannya. Mestinya manusia pun mempunyai mepunyai mekanisme alami untuk menjaga kenanusiaannya.

       Namun ketika dasar kehidupan itu tertutup aspal yang keras, atau susunan batu yang rapat, maka manusia kehilangan menkanisme alamiah tersebut. Kemanusiaan tidak lagi tumbuh subur, hidup pun semakin kering. Pada situasi demikian, Roh Kudus lah yang akan memberikan kesegaran dan mengembalikan mekanisme alami tersebut. Sayang....acapkali kita tidak rela ketika lapisan yang keras menutupi kemanusiaan kita itu hendak dibongkar oleh-Nya.


Yustinus Setyanta





Tinta Penaku

Perlahan langkah ku tulis dengan rapi
Dalam lembar kertas putih suci
Menggoreskan apa yang ada di dalam hati
Tuk menggapai harapan dan mimpi

Dalam asa yang tinggi
Melewati cakrawala bumi
Ku langkahkan kaki
Hingga ku raih dan ku capai

Semangat juang penuh arti
Mewarnai kehidupan ini
Kan ku lalui dengan pasti
Rintangan demi rintangan yang menghalangi
K'rena Tuhan 'kan selalu menjaga dan menyertai


Yustinus Setyanta


LAYANG-LAYANG

     Sebuah layang-layang yang baru saja selesai dibuat. Pemiliknya membawa ia ke lapangan terbuka. Secara perlahan-lahan layang-layang itu menemukan dirinya terbang semakin lama semakin tinggi. Ketika ia mengangkat wajahnya menengadah ke langit, ia berteriak gembira; 'Wuaahhh, langit yang biru. Aku akan terbang tinggi sampai ke ujung sana.

     Namun tiba-tiba ia merasa bahwa perjanannya kini agak tersendat dan menjadi berat. Ia tidak bisa bergerak lebih tinggi dan tak mampu maju lebih jauh lagi. Ketika ia menundukkan kepalanya, barulah ia tahu kalau pemiliknya memegang kuat ujung benang. Benang itulah yang membuatnya tak bisa terbang tinggi.

Layang-layang itu menjadi amat marah. "Mengapa ia tidak melepaskan aku?? Bila aku dilepaskan secara bebas, aku pasti akan terbang lebih tinggi menembusi awan-awan yang ada jauh di atas sana." Demikian layang-layang itu berontak.

Tiba-tiba tali benang itu terputus. Dan Ternyata bukan kenikmatanlah yang dia peroleh. Sebaliknya, ia kini jungkir balik terbang tak teratur dibawa angin. Angin kencang datang menghembus, dan ia jatuh tersangkut di atas sebatang pohon. Rangka-rangkanya patah. Kertas-kertasnya sobek. Ia kini menjadi seonggok sampah yang tak berbentuk. Ohhh, Nasib!!!
Sungguh suatu mimpi buruk.

-) Pada saat seseorang merasa dirinya dan berkata bahwa ia paling hebat dan kuat, saat itu merupakan awal kehancurannya.

-) Tak ada manusia yang tidak rapuh

-) Pesan Yesus terngiang jelas di telingaku: "Barangsiapa meninggikan dirinya, ia akan direndahkan. Dan barangsiapa merendakan dirinya, ia akan ditinggikan." (Luk 14:11)


Yustinus Setayanta

Puisi : Rumah

Walau bukan istana megah...
Berkilau bagai emas dan permata...
Hanyalah sebuah rumah...
Yang memberi arti sebuah keluarga...

Tak pernah jemu 'tuk melangkah...
Karena tahu kemanakah.... 
'kan pulang tuk bersinggah...
Menuju rumah sederhana...
Rumah yang menemani setiap tawa...
Bahagia dan duka...

Hidup dalam senyuman...
Selalu penuh kehangatan...
Dengan dinding kokoh...
Menjaga kasih sayang sebuah
keluarga...


Namun rumah idealnya memang bukan semata "tempat untuk mengonggokkan dan menampung tubuh-tubuh atau tempat berkumpulnya keluarga" lebih dari itu, rumah adalah tempat manusia-manusia berjiwa berteduh, disemaikan, dibekali, ditempa dan dipersiapkan untuk mengarungi medan atau lautan kehidupan.







Yustinus Setyanta



RUMAH KOSONG

         Selama liburan tetangga pulang kampung. Rumahnya kosong dan tampak serem di malam hari, karena gelap dan penghuninya tak ada. Sungguh berbeda ketika ada dinamikam di rumah itu, ketika seluruh keluarga berkumpul. Memang kadang ada teriakan marah, ada tangisan anak-anak, namun sering juga terdengar ada tawa kegembiraan dan obrolan hangat.

         Rumah itu kelihatan hidup ketika dihidupi, namum beku dan kelam ketika kehidupan meningglkannya sendiri. Begitupula dengan bangunan gereja, kita menjadi anggotanya yang bisa mengidupinya.













Yustinus Setyanta

SEPOTONG LILIN

          Ada aneka macam lilin, dari lilin doa sampai lilin aroma therapy. Tetapi kesemuanya itu tentu digunakan dengan cara dibakar sumbunya. Sumbu yang dibakar itu ankan menggunakan tubuh lilin sebagai sumber hahan bakarnya sehingga tubuh lilin itu habis terbakar. Setelah tubuh lilin habis, sudah barang tentu sumbunya pun akan terbakar habis.

         
          Di banyak tempat peziarahan, sisa tubuh lilin itu dikumpulkan dan didaur ulang lagi sehingga kembali menjadi lilin yang baru dan sumbu yang baru. Perakara yang mungkin sangat sepele, tetapi setidaknya hal itu mengigatkan kita, sekiranya kita mau berkorban maka daur ulang itupun akan terjadi pada kehidupan kita.



Yustinus Setyanta

KARENA PATAH

      Standar sepedaku patah karena memang sudah tua dan berkarat. Aku belum sempat menggatinya dengan yang baru. Akibatnya sepeda itu tidak bisa tegak berdiri sendiri ketika tidak digunakan. Ia harus disandarkan di tembok, atau digeletakkan begitu saja ketika aku berhenti menggunakanya.

      Begitu banyak orang yang harus mencari tempat untuk bersandar ketika diam. Begitu banyak orang yang tergeletak begitu saja manakala diam. Untuk bisa berdiri ketika diam, mereka bergantung pada sandaran..... 

TUHAN lah sandaran hidupku....






Yustinus Setyanta

MUSIM GUGUR

     Indonesia memang negeri dengan dua musim. Tidak ada musim gugur sebagaimana di wilayah eropa. Namun ketika angin berhembus kencang, daun-daun mulai berguguran dan mengotori halaman. Sudah menjadi pekerjaan rutin para koster untuk membersihkan daun-daun tersebut agar halaman gereja tetap bersih dan nyaman.

     Terkadang ketika Roh yang berarti juga angin itu bertiup, maka ada beberapa lembar kenyamanan barus gugur. Pada saat itulah Roh Kudus mengajarkan kita akan kesabaran dan bukan belajar untuk mengungkapkan keluhan.


Yustinus Setyanta



MEMILIH ROH

        Membedakan siang dan malam, hitam dan putih mungkin akan begitu mudah. Namun dalam kehidupan ini terkadang perbedaan itu tidak demikian nyata. Ada senja yang tidak begitu terang namun juga belum begitu gelap. Ada pagi yang tidak begitu panas namun juga tidak begitu dingin. Ada abu-abu yang hitam pun tidak namun putih pun tidak. Di wilayah inilah kadang kita kebingungan dalam bersikap.


       Roh Kudus adalah satu-satunya harapan kita ketika berhadapan dengan situasi demikian. Dia akan membantu kita ketika berhadapan dengan situasi demikian. Dia akan membantu kita dalam menentukan pilihan, menentukan sikap dengan benar. Mungkin saja Roh Kudus hanya akan membuat situasi dihadapan kita menjadi jernih dan tenang. Terang akan terpisah dari kegelapan, hitam akan terpisah dari yang putih, kebenaran akan terpisah dari kesalahan. Pada akhirnya kita bisa memilih dengan bijak tanpa keraguan.




Yustinus Setyanta

GEREJA LIDI ATAU SAPU LIDI

Saya teringat suatu kali dalam acara lokakarya seorang uskup menerangkan istilah lidi dan sapu lidi yang digunakan untuk menerangkan sebuah analogi tentang persatuan dan kesatuan. Mustahil jika hanya menggunakan satu lidi saja untuk membersihkan sampah di halam rumah. Tentu perlu banyak lidi—yang dibuat menjadi sapu lidi—untuk menyingkirkan sampah-sampah dari halaman rumah. Analogi inilah yang ingin saya gunakan untuk menggambarkan kondisi gereja dewasa ini.

Gereja sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Allah sebagai wakil-Nya di dunia ini harus sedapat mungkin melakukan tugasnya untuk menggembalakan jemaat Tuhan. Di samping itu gereja juga mesti peka melihat kondisi lingkungan sekitarnya (termasuk kondisi bangsa dan negara dengan segala permasalahnnya). Namun dalam perjalanannya, gereja mengalami penyempitan makna dari satu kesatuan jemaat Allah, menjadi gereja dengan aliran-aliran baru (denominasi) yang muncul seiring dengan perbedaan paham antar pemimpin gereja.
Aliran-aliran baru tersebut menjadikan gereja terkotak-kotak menurut paham yang diikutinya. Akhirnya gereja hanya dianggap sebagai gedung, tata ibadah, dan aliran semata. Kondisi ini semakin didukung oleh pemimpin gereja yang kebanyakan hanya menonjolkan aliran atau pahamnya saja. Gereja yang memiliki aliran berbeda, dianggap tidak sejalan. Bahkan tidak jarang hal itu menimbulkan perselisihan dan pertentangan antar gereja. Alhasil saling mengejek dan merendahkan, sebuah pemandangan yang biasa.

Gereja dalam konteks banyak denominasi seharusnya tetap memegang teguh prinsip Tubuh Kristus, dimana Kristus adalah kepala. Artinya walau terdiri dari banyak denominasi, tetapi tetap satu tubuh yang saling membangun. Namun, tanpa disadari prinsip itu disamarkan menjadi hanya jemaat dalam satu aliran gereja, artinya satu gereja adalah satu tubuh dan anggota-anggotanya ialah jemaat di gereja, sementara gereja lain adalah tubuh yang lain. Akibatnya peranan gereja menjadi sangat kecil dan terpecah belah. Bahkan hanyut di tengah derasnya kebobrokan lingkungan sekitar, seperti halnya satu lidi tadi, yang akan patah jika membersihkan banyaknya sampah.
Jika demikian gereja tidak mampu lagi ambil bagian dalam tugasnya untuk memperbaiki kerusakan khususnya moral di dunia ini. Aliran-aliran gereja tampak hanya berfokus kepada aktifitas berdasarkan program gerejawi semata. Hal ini diperparah dengan keegoisan gereja yang hanya memperhatikan kehidupan jemaatnya saja. Hukum kasih kepada seluruh manusia, dibatasi dengan hanya sesama jemaat satu gereja saja.

Kita memang memiliki lembaga-lembaga persatuan gereja, namun tidak cukup menjawab untuk memecahkan masalah bersama sebagai umat Tuhan di dunia ini. Lembaga-lembaga persatuan gereja itu kurang menunjukkan kegerakannya untuk memperhatikan masalah-masalah seperti kemiskinan, ketidakadilan, pembodohan, dan sebagainya, sehingga masalah-masalah semakin lama menggerogoti kehidupan umat Tuhan. Tentu ini bukan tanpa sebab, karena akar permasalahan sebenarnya terletak pada gereja itu sendiri. Sementara lembaga-lembaga persatuan gereja hanya berurusan dengan aktivitas administratif yang memastikan bahwa gereja berada pada kelembagaan resmi negara.
Peranan pemimpin gereja sangat penting untuk membawa aliran gereja yang di pimpinnya, pada pengertian bahwa walau berada pada aliran yang berbeda, jemaat Tuhan adalah satu kesatuan tubuh yang jika diberdayakan akan berdampak besar bagi perubahan baik, layaknya sapu lidi yang mampu membersihkan sampah sebanyak apa pun.

Pemimpin gereja sebaiknya terus menyuarakan masalah-masalah sosial yang kerap kali terjadi pada kehidupan sehari-hari, yang juga terjadi pada kehidupan jemaaat mereka. Tetapi pada kenyataannya, banyak pemimpin gereja yang menutup mata dengan masalah-masalah sosial seperti yang saat ini terjadi, yang selalu menjadi pembahasan adalah hal-hal yang hanya bersifat rohaniah belaka. Masalah sosial, ekonomi, politik dianggap bukan ranah gereja. Ketikapun ada gereja yang menyoroti masalah-masalah demikian, jumlahnya sangat terbatas, kegerakannya pun menjadi kecil, bahkan tidak terasa. Disinilah seharusnya gereja menyadari tanggungjawabnya.

Menjalin komunikasi antar gereja adalah hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Mengadakan aktifitas bersama dapat mendorong pemahaman yang sama atas masalah-masalah di sekitar umat Tuhan (termasuk masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dsb). Sehingga kegerakan perubahan itu dilakukan dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Kegiatan gereja juga sepatutnya tidak hanya seputar program-progam pembinaan rohani semata, jika pun itu dilakukan, ada baiknya dilakukan bersama-sama antar denominasi gereja, sehingga menyatukan visi gereja sebagai lembaga kepunyaan Allah.

Persekutuan pemuda-pemudi antar denominasi gereja juga tidak kalah penting untuk dilakukan, karena generasi pemuda merupakan aset gereja untuk meneruskan visi gereja kedepan, dan mempersiapkan pemuda untuk menjadi penggerak perjuangan gereja membersihkan segala kekotoran yang ada di sekitar gereja. Dan perjuangan gereja masa depan akan dilakukan dengan kekuatan yang luar biasa karena ada persatuan gereja-gereja Tuhan.

Saya setuju kita memilih menjadi gereja sapu lidi, yang siap membersihkan segala kekotoran yang terjadi didunia ini, demi rencana agung-Nya mengembalikan dunia kepada kemuliaan Allah.


Yustinus Setyanta

APAKAH HIDUP KITA SUDAH DITAKDIRKAN TUHAN?

Tuhan telah mengetahui segala sesuatu sejak awal mula dunia, akan apa yang akan hendak kita alami dalam hidup kita masing-masing. Sebab, Tuhan tidak dibatasi oleh waktu, jadi bagi Tuhan tidak ada waktu dulu dan yang akan datang, semua hadir di hadapan-Nya sebagai 'saat ini' Tuhan mengetahui segala sesuatu karena semua itu terjadi atas izin Tuhan. Tuhan mendukung segala sesuatu memberi hidup dan keberadaan kepada setiap orang. Jadi, Tuhan yang Mahakuasa dan Mahatahu mengetahui segala sesuatu yang akan kita putuskan sesuai dengan kehendak bebas kita; namun ini tidak berarti bahwa Dia menakdirkan kita akan segala sesuatu sehingga kita seperti boneka/wayang saja.

Pengetahuan-Nya akan keputusan kehendak bebas kita bukan berarti Tuhan mengharuskan kita melakukan sesuatu yang sudah digariskan. Ibaratnya, seperti kita pun dapat melihat bagaimana orang lain memutuskan sesuatu, namun tidak memaksa mereka untuk melakukan hal tertentu; demikian pula Tuhan kepada kita.
Kita adalah manusia yang bebas, sebab kita punya akal budi dan keinginan bebas. Akal budi kita dapat meneliti banyak pilihan dan kita bebas untuk memilih apa yang kita pikir terbaik pada saat tertentu. Tuhan telah mengetahui sejak awal mula siapa yang menjadi pasangan kita, apa yang menjadi pekerjaan kita, dan sebagainya.

Tetapi, Dia tidak mengharuskan kita memilih/berbuat demikian. Kita bebes memilih pasangan hidup kita dan pekerjaan kita, dll. Namun tentu kita harus berdoa agar dapat mengetahui apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kita dalam hal-hal tersebut. Maka, sebelum membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup, kita dapat mengikuti retret, seperti yang dianjurkan St. Ignasius dari Loyola.

Rencana Tuhan yang abadi bagi kita adalah agar kita menjadi kudus. Rencana ini berbeda dan tentu saja lebih kaya dari pada rencana kita sebagai manusia; sebab rencana ini melibatkan kehendak bebas kita, apakah kita mau bekerja sama dengan menerima rahmat-Nya, ataukah kita menolak rahmat tersebut, yang ditawarkan kepada kita berkali-kali di dalam hidup kita. Jadi pada setiap saat, ada rencana Tuhan yang baik yang ditawarkan kepada kita.

Meskipun demikian, kita dapat terus menolak rencana Tuhan itu, dengan menolak untuk bekerja sama dengan rahmat-Nya tetapi, kabar baiknya adalah: meskipun pada suatu saat kita pernah menolak rencana-Nya, misalnya menolak panggilan hidup sebagai biarawan/biarawati, ini tidak berarti kita menghancurkan seluruh rencana Tuhan; sebab rencana-Nya juga melibatkan pengalamaman keseluruhan/kegagalan pada masa silam untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, asal kemudian kita bekerja sama dengan Dia. Karena itu, kita berdoa agar dapat mengetahui rencana-Nya sehingga kita dapat mengganpainya dengan lebih baik.

Apakah Tuhan Mencobai Manusia?Pada satu sisi kita percaya bahwa Tuhan tidak mencobai kita (Yak 1:13), namun pada sisi lainya kita dpat melihat bahwa Tuhan memang menguji kita (seperti pada kasus Abraham dan Musa). Namun, Tuhan tidak pernah mencobai atau lebih tepatnya menguji kita agar kita terjatuh (seperti setan mencobai manusia), tetapi hanya untuk memberikan kepada kita sesuatu yang lebih baik, untuk membuat kita lebih kudus melalui kesetiaan kita dalam menghadapi ujian tersebut.. Dalam hal ini kita melihat bahwa seluruh hidup kita terdiri dari atas banyak ujian dan jika kita setia dalam iman, maka kita beroleh hidup yang kejal seperti yang dijanjikan-Nya.

Jadi, Tuhan memperbolehkan cobaan terjadi dalam hidup kita untuk alasan yang lebih baik: untuk pertobatan dan pengudusan. Sebaliknya, setan mencobai kita sehingga kita berdosa. Kecenderungan kita berbuat dosa (concupiscence) dan nafsu yang tidak terarah juga mencobai kita, sebagai akibat dari dosa asal, yang mendorong kita mencari kesenangan semu dan berlebihan dari pada yang seharusnya. Kesombongan kita mencobai kita untuk mencari kemuliaan sendiri dari pada kemulian Tuhan.

Jadi, di sini kita melihat bahwa Tuhan tidak mencobai kita dengan cara yang sama seperti setan. Namun, ada kalanya Tuhan mengizinkan cobaan terjadi di dalam hidup kita untuk mendatangkan sesuatu yang lebih baik dan memberi kesempatan kepada kita untuk menunjukkan kasih kita kepada-Nya lewat kesetiaan iman kita dalam menghadapi coban tersebut.

Rom 8:28 menyatakan, "kita tahu sekaran, bahwa Allah turut bekerja di dalam segalah sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia." "Segala sesuatu" di sini termasuk pekerjaan, pasangan hidup, tetapi juga kegagalan, pencobaan, dan sebagainya. Pertanyaanny, apakah kita sudah mengasih Dia? Sebab, jita mengasihi Dia kita, maka ayat ini adalah janji Tuhan yang pasti akan dipenuhi-Nya.


Yustinus Setyanta