Senin, 31 Agustus 2015

::. CUMBU MALAM .::

Malam larut dalam pelukan
Suasana hening dalam cumbu malam
Tak ada lagi bunyi-bunyian
Yang ada hanyalah surga malam

Malam yang begitu sunyi
Hanya binatang malam yang setia menemani
Hati riuh, gemuruh tak terkendali
Tak ada suara yang ada hanyalah bisikan hati

       Suara berbisik merdu di telinga
       Senyuman manis menghias rasa
       Mulut hanya diam tak berbahasa
       Bahasa cinta yang mampu berkata

       Malam larut dalam pelukan
       Suasana hening dalam cumbu malam
       Tak ada lagi bunyi-bunyian
       Yang ada hanyalah surga malam

       Malam yang begitu sunyi
       Hanya binatang malam yang setia menemani
       Hati riuh tak terkendali
       Tak ada suara yang ada hanyalah bisikan hati

Suara berbisik merdu di telinga
Senyuman manis menghias rasa
Mulut hanya diam tak berbahasa
Bahasa cinta yang mampu berkata

“Selamat malam cinta…..”




(Yustinus Setyanta)

Minggu, 30 Agustus 2015

ANTENA TELEVISI

     

     Jika kita pergi kedaerah pedesaan, maka akan tampak bambu-bambu yang menjulang tinggi untuk menaikan antena televisi agar menangkap siaran dengan baik. Kita yang hidup di kota tidak perlu memasang antena TV terlalu tinggi sudah bisa menangkap siaran TV dengan baik.

     Mestinya aku pun bisa menangkap sabda Tuhan dengan baik tanpa harus menaikan 'antena' terlalu tinggi, selama aku mau men-cocog-kan sabda-Nya dengan hidupku sehari-hari.







(Yustinus Setyanta)

Jumat, 28 Agustus 2015


MENEROBOS GELAP

Gelap adalah tidak ada cahaya; tidak terang benar (malam): atau belum jelas. Gelap juga merupakam bahasa istilah dalam hidup. Arti sederhana istilah 'gelap' adalah kenyataan dimana tidak tahu kemana arah yang baik dan benar. Karena yang baik itu tak selalu benar. Itulah istilah kagelapan dengan pemahaman yang sederhana, suasana yang sangat berbeda dengan terang, meski sedikit remang-remang, tetapi setidaknya suasana itu sudah berubah. Ada kepastian, ada arah yang bisa di  lihat, ada keberanian untuk melangkah yang mulai timbul. Memang tidak mudah semudah membalikan talapak tangan untuk mulai melangkah menuju kapada terang yang ada di kejauhan sana. Dalam kegelapan harus hati-hati, bahkan merangkak. Tak jarang tersandung, terpeleset bahkan bisa jatuh ke dalam lobang yang lebih gelap. Dalam kegelapan, jarak pandang pun demikian terbatas dan ada banyak hal yang mungkin mempengaruhi hati dan pikiran sehingga tanpa disadari kadang justru mengikuti kemauan dari sendiri sehingga terjerumus ke dalam lubang tersebut yang pada kenyataan hidup lebih menyenagkan, lebih nyaman. Namun Dia adalah mercusuar yang senantiasa memancarkan terang dan bisa di lihat dari kejauhan. Keteguhan hati dan kesetiaan untuk mengarahkan pandangan dan tanpa henti berjalan kearah-Nya yang membawa pada keselamatan. Di sisi lain pun menyadari  akan keterbatasan sehingga aku membutuhkan pertolongan-Nya. Menyadari keterbatasan dan kekurangan adalah sikap tobat yang merupakan pintu bagi hadirnya pertolongan dan bimbingan Roh Kudus.

Sungguh aku menyadari bahwa kuasa kegelapan itu menggodaku dan malah membuat aku nyaman namun aku pun berusaha untuk melawannya. Demikian keras aku berusaha menentang dan melawannya, namun ia tak pernah berhenti mempengaruhu, menggangu, menggoda bahkan akan menjerumuskan aku. Sampai kemudian aku merasa lelah dan tak berdaya. Kekuatanku untuk melawan dan mengghindar habis sudah. Tangan-tangan dari kuasa kegelapan itu terasa demikian kuat mencengkram dan menarikku untuk kembali menjauh dari Allah. Ketika semua itu aku perhatikan satu persatu. Ketika semua itu aku renungkan kembali. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri dengan kekuatanku untuk melawan kuasa kegelapan. Bahkan aku merasa, melawan dengan sekuat tenaga adalah tindakan yang keliru. Ketika aku melangkah menuju terang ke arah terang maka dengan sendirinya aku tidak lagi mengalami kegelapan. Demikian sebaliknya jika aku menjauhi terang maka dengan serndirinya aku memasuki kegelapan. Inilah bahasa sederhana yang aku pahami, bahwa untuk mencapai keselamatan aku harus bergerak mendatangi terang dan bukan menjauhinya, Dia adalah Terang itu, Dia adalah Terang yang sesungguhnya. Maka bagaimana aku mengarahkan hidupku senantiasa kepada-Nya, itulah yang harus aku lakukan.

Aku hanya duduk dan diam........kubiarkan kesadaran akan relasiku dengan Allah sebagai penolong, penuntun, pembimbing yang senantiasa menjagaku muncul. Kesadaran itu terus kuperhatikan dan kubiarkan tumbuh subur. Ketika ada keinginan lain muncul, aku hanya menyadarinya. Ya.....aku hanya memperhatikan dan menyadarinya, bukan mengikutinya. Perlahan keinginan dan pikiran yang menyimpangkan aku dari Allah itu tersingkir. Ketika ia kembali datang, kembali pula aku memperhatikan dan menyadarinya, bukan mengikuti dan menganalisanya. Kembali pula mereka lenyap.....Dalam keheningan itulah, aku mengingat satu ayat yang pernah Dia sabdakan. Ayat itu kusadari, dan terus kusadari. Setiap kata terus kuhayati dan kurasakan suasana yang dibangun oleh sebuah kalimat yang pernah Dia sabdakan. Dalam,keheningan itulah, aku melihat apa yang kurang dari diriku dan apa yang mesti kuperbuat sesuai dengan apa yang Dia kehendaki untuk kulakukan.

Setelah itu aku bangun, dan beranjak dari keheninganku. Aku bergerak tidak lagi diam, sebab aku harus melakukan apa yang harus aku lakukan. Dalam keterbatasanku dan kekuranganku, keserahkan diriku kepada-Nya. Tanpa harus menunggu, ternyata Dia memungkinkan semua itu terjadi. Dia mengirimkan orang lain untuk berarti dalam kehidupanku,nketika aku berbuat hal yang berarti bagi kehidupan ini. Allah senantiasa membimbing dan menuntunku melalui peran orang lain dalam kehidupanku. Ketika aku kembali duduk dalam keheningan, maka meski perlahan meluncurlah dari dalam hati melalui bibirku, "Terima kasih Tuhan.....atas penyertaan-Mu".



















(Yustinus Setyanta)

Kamis, 27 Agustus 2015

KENYATAAN

Jika sebuah kenyataan berusaha untuk dihindari, maka ia akan mengejar dan terus mengejar sampai kita mau menerima dan mengakuinya. Jika kenyataan hendak kita bunuh, maka ia akan menjadi hantu yang senantiasa menakuti kita. Tetapi jika kenyataan itu kita terima dengan apa adanya, ia akan tersenyum gembira dan membawa saudara-saudaranya yang lain untuk dapat kita akui pula.

Hanya karena kenyataan itu buruk rupa kadang kita menolaknya. 
Hanya karena kenyataan itu telanjang bulat lalu kita malu dan sibuk mencarikan pakaian untuknya. 
Hanya karena kenyataan itu kadang menyakitkan, kita lalu ketakutan. 
Hanya karena kenyataan itu menyebalkan, lalu kita berusaha mengacuhkan.

Kita hanya mau menerima kenyataan yang indah, yang elok, yang mengasikkan bahkan menyenangkan. Sementara kenyataan itu salalu datang kepada kita sebagai apa adanya.
Kadang berpikir bahwa kenyataan itu telah direkayasa. Padahal yang demikian sudah bukan lagi kenyataan, melainkan kepalsuan.
Demikian pula kadang kita berpikir untuk menampilkan kenyataan supaya lebih baik dilihat orang dan lebih menarik perhatian, padahal ketika kita melakukannya sebenarnya kita sedang mengemas harapan dan bukan sebuah kenyataan.

Kenyataan tidak bisa diubah oleh siapapun, sebab setiap perubahan yang terjadi pada dirinya tidak lagi bernama kenyataan. Maka menerima kenyataan dan mengajaknya berdendang dan menari. Mendendangkan lagu kasih dan menarikan tarian kehendak-Nya. Biarkanlah ia tetap menjadi kenyataan, toh.....ia tidak akan menghancurkan diri kita, tetapi justru akan membangun, menguatkan kita.









{Yustinus Setyanta}

Rabu, 26 Agustus 2015

::. LIRIK DUA BARIS .::

Mustinya kumasuki teduh rumahmu 
Sebelum malam menutup semua pintu

Dada penuh amuk ombak 
Tak juga kutulis selarik sajak

Aku mematung merenungimu, membiarkan 
Runcing rintik gerimis menembus badan

Kata-kata berebut lidah meminta diucapkan 
Tak juga sebaris lagu kunyanyikan
 (Yustinus Setyanta)

::. SEBUAH SAJAK MENYAPAMU .::











Aku tak mengantamu ke tempat-tempat yang kautuju 
Aku mengantarmu ke setiap titik dari mimpimu 
Kuturuni jalanan, tak peduli halus atau kasar 
Kupahami riuh jantungmu yang berdebar

Jangan takut pada jalan berkelok 
Aku pun mengerti untuk tak jatuh rongsok 
Jangan menangis berkepanjan 
Bukankah bagimu semua telah kuseimbangkan

Jangan tinggalkan aku terlalu lama 
Aku rindu dan kucatat semua saat-saat bersama 
Sebab kaulindungi diriku dari bebal dan abai 
Kulindingi pula dirimu dari hujan dan badai

Biarlah kutampung di punggungk terik mentari 
Setiap hari, ia membuatku lebih berarti 
Kuhayati setiap gerak dan laju 
Diam dan termangu bukan tadirku 
Bergegaslah ke pangkuanku 
Bersama kita tembus ruang dan waktu.


(Yustinus Setyanta)

TULUS DI BALAS DENGAN BULUS


::. SEPERTI KAKTUS .::













Seperti kaktus
dan semua yang tumbuh di padang tandus 
Tak pernah aku mengeluh 
atas semua yang luruh

Aku mengambang di atas gelombang panas bumi 
Membesar di bawah terik mentari 
Kutembus tanah dan batu, kuingin mata airku 
Kudepak sedih dan pilu, kuingin derai tawaku

Tegak berdiri di gurun sunyi 
Tak sembumyi aku dari apapun yang melukai 
Sebab bahkan seribu badai tak berhak menghalangiku 
Mendengar sayup di malam hari 
Bintang-bintang bercakap menyebut nama panjangku


{Yustinus Setyanta}







::. RUMAHKU .::

Rumahku bermula di masa lalu 
Berujung di titik waktu 
Yang tak kutahu

Rumahku semesta keberadaanku 
Bermula di masa lalu 
Berujung di titik waktu 
Sewaktu-waktu.
Rumahku seluas kehendak 
Tetapi aku membatasinya hanya sepetak
Sebab tahu apa yang kubawa kelak 
Ketika semua yang utuh juga akhirnya retak

Jika kau bertemu, kau tak memasuki pintu rumahku 
Kau memasuki pintu angan dan mimpiku 
Sebab rumah adalah bahasa, kau boleh pahami aku 
Dengan rumahku, tapi juga pahami aku 
Pada apa yang ingin kubangun dengan rumahku

Aku takmembangun rumah untuk sekedar berteduh 
Sebab talah kubebaskan diriku dari semua keluh 
Aku tak membangun rumah untuk ringkih tubuhku 
Tapi lebih untuk liar jiwaku

Ia memberiku alasan istirah 
Ketika diluar udara penuh amis darah 
Ia memberiku arti jinak 
Untuk tetap bertahan pada apa yang hak

Rumahku berdiri di atas tanah pelaminan 
Tempat harapan dan kerja keras dikawinkan 
dan dirayakan: Rumah megah. Rumah mewah 
Kerena dibangun dengan cinta-kasih dan jerih-payah



(Puisi - Yustinus Setyanta)

MELANGKAH DENGAN KE-YAKIN-AN

Ketika aku berusaha untuk mempercayakan diriku kepada-Nya, berusaha untuk menyerahkan hidupku kepada-Nya, dunia mentertawakan diriku. Ada yang menyebut bahwa sikapku adalah sikap fatalistic. Ada yang mengatakan bahwa aku tidak punya semangat juang, melempem tidak percaya diri. Sampai sempat pula aku meragukan sikapku untuk mempercayakan diriku kepada-Nya. Benarkah jika sikapku berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia? Bagaimana mempercayakan diri dengan benar kepada-Nya? Atau, apakah aku dilahirkan di jaman yang salah?

Sekiranya aku melihat kehadiranku sebagai kesalahan, maka aku hanya akan melihat rentetan kesalahan-kesalahan lain. Tidak. Ini bukan kerena kesalahan, tetapi merupakan kenyataan yang harus aku hadapi dengan tetap setia kepada-Nya. Mestinya ini semua menyadarkan diriku bahwa tidak mungkin aku akan mampu tanpa mengandalkan diri-Nya. Maka aku tidaklah diam, pasrahku bukan pasrah yang diam, tetapi sikap yang aktif melakukan namun dengan landasan kesadaran akan peran-Nya dalam hidupku.

Aku masih terus melangkah, dengan keyakinan dan kesetiaan. Aku terus berbuat dengan niat untuk mengungkapkan kasih-Nya, dan bukan semata-mata mengungkapkan kinginanku sendiri atau berjuang untuk mendapatkankan bagi diriku sendiri dan sisa hidupku berisikan cahaya-Mu. Penyerahan hidupku berarti, akumembuka diri terhadap penyertaan-Nya sehingga Dia dan kasih-Nya lah yang akan terlibat dari setiap sikap dan perbuatanku.

Maka dengan menyerahkan diriku kepada-Nya akumenjadi milik-Nya. Dengan mejadi milik-Nya, maka rahmat dari-Nya terus mengalir kepadaku. Rahmat perlidungan, rahmat pengampunan, rahmat kedamaian, rahmat kesejahteraan, rahmat kesehatan, dll, tidak akan berhenti dan terus tercurah atas diriku. Amin






(Yustinus Setyanta)


Selasa, 25 Agustus 2015

YANG BERTIUP

     Suatu ketika mendung hitam menggantung di sisi utara kota Jogja, dalam hitungan beberapa menit mendung itu sudah berpindah ke selatan. Saya membayangkan betapa cepatnya angin di atas bertiup, dan saya merasa miris bila membayangkan angin yang bertiup dengan kecepatan tinggi itu bertiup di bawah, sebab akan menimbulkan bencana.

     Harapan saya, yang bertiup di bawah adalah rahmat Allah, sebab sekalipun kencang rahmat itu sangat menyegarkan.

















{Yustinus Setyanta}

HANYA SEBAGAI SARANA

Tak mungkin aku mungkiri bahwa selama aku hidup di dunia fana ini, aku membutuhkan sarana untuk mempertahankan hidupku. Tak mungkin pula aku mungkiri kenyataan bahwa hampir seluruh kebutuhan hidup hanya dapat dipenuhi dengan adanya uang atau harta dunia, tetapi bukan berarti seluruh kehidupanku kuabadikan untuk uang.

Ada saat dimana hidupku di dunia ini berakhir. Ketika hidup ini berakhir melalui kematian, aku yakin bahwa kehidupanku tidaklah berhenti. Ada saat dimana uang tidak lagi mampu menopang kehidupanku setelah hidup di dunia ini berakhir. Jika saja selama hidup aku lebih terikat pada harta duniawi, maka ketika hidup di dunia ini berakhir aku tidak akan mempunyai apapun untuk menopang kehidupanku selanjutnya. Tetapi jika aku lebih terikat pada harta sorgawi, saat hidup jasmaniku harus berhenti, aku masih mempunyai sarana untuk menopang kehidupanku. Sarana itu adalah kesadaran akan Allah, yang membuat aku tetap bisa melihat terang kasih-Nya manakala mataku terpejam. Maka kesadaran akan Allah merupakan harta yang harus aku jaga dan pelihara dengan kesetiaan dan ketaatan.

Maka dari itu aku menggunakan harta dunia sebagai salah satu sarana untuk bisa merasakan kasih-Nya. Aku juga menggunakan harta dunia sebagai salah satu sarana dalam mengungkapkan kasih-Nya. Untuk bisa melakukannya, tidak ada cara lain kecuali melepas keterikatan pada dunia dan mengarahkan keterikatan kepada Allah. Hanya dengan cara demikian, maka aku akan mangalami hidup dipenuhi oleh rasa syukur. Aku tidak akan larut dalam perburuan harta dunia yang membuatku terbelenggu dan sepenuhnya berada dalam kekuasaan dunia.

(Refleksi Mat 6 : 19-23)





{Yustinus Setyanta}

Mat 6 : 19-23

Rabu, 19 Agustus 2015

HATI YANG TERBUKA

Diam dalam kesendirian dan keheningan, saat seperti itulah yang aku butuhkan untuk merefleksikan diriku sendiri. Muncul sebuah kesadaran akan kenyataan diri, bahwa aku hidup, bahwa selama ini hidupku ada yang menghidupi. Ada banyak faktor yang selama ini menunjang dan mendukung aku masih tetap hidup. Ada peran tersembunyi, yang mendorong orang lain untuk berhubungan denganku.

Dalam kesedirian dan keheningan inilah aku dapat melihat bahwa selama ini banyak sikap dan perbuatan yang ujungnya terikat pada kepentingan diri, dan kehendak diri. Meski kadang tersembunyi, namun aku bisa melihatnya dengan sangat jelas bahwa muara dari sikap dan perbuatanku adalah pada diriku sendiri. Dalam kesedirian dan keheningan aku berlatih memutuskan tali pengikat setiap sikap dan perbuatanku agar tidak lagi terikat pada diriku sendiri. Aku berlatih untuk melakukan, sebab hanya dengan cara seperti itu aku akan merasa lebih tenang.

Ada daya yang tersembunyi yang kadang menempatkan aku dalam situasi yang menguntungkan, yang memudahkan dan membuatku mendapat banyak kesempatan. Mungkin selama ini aku menyebutnya sebagai kebetulan, tetapi aku untuk mengesampingkan kata kebetulan itu. Aku tidak lagi mengurung refleksi dengan tembok kebetulan. Ketika satu tembok kebetulan aku singkirkan, maka aku dapat melihat bahwa ada peran Allah di sana. Saat melihat peran Allah di dalam satu peristiwa,muncul rasa syukur yang tulus dari dalam hatiku.

Aku mengawali doaku dengan syukur, lalu tenggelam dalam rasa syukur, sampai akhirnya kututup pula doaku dengan ucapan syukur. Tak ada permohonan kecuali rahmat untuk terus bersyukur. Tak ada lagi permintaan kecuali hati yang terbuka hingga senantiasa mampu bersyukur.






(Yustinus Setyanta)

Selasa, 18 Agustus 2015

SEPENGGAL PENGALAMAN

Hanya sepenggal pengalaman mungkin tidak berarti bila dibandingkan dengan seluruh perjalanan hidup ini. Sepenggal pengalaman yang akan terkenang selalu ialah pengalaman yang menyedihkan, yang membahagiakan, pendek kata yang menyentuh perasaan (hati). Demikian pula tanggapan setiap orang menggenai sepenggal pengalaman itu pun berbeda-beda pula.

Jika Tuhan selalu berbicara kepada kita melalui pengalaman hidup, maka betapa banyak sabda-Nya yang kemudian berlalu atau lewat begitu saja dan tidak dapat dirasakan. Menumbuhkan kepekaan akan membantu untuk bisa melihat dan dan mendengar apa yang Tuhan katakan. Dengan demikian tidak ada pengalaman yang kemudian tidak berarti meski hanya sepenggal.

















(Yustinus Setyanta)

PUISI HARI KEMERDEKAAN RI KE 70

Sang saka merah putih berkibar bebas
Karena pehlawan-pahlawan yang ikhlas 
Memperjuangkan Indonesia agar terlepas 
Dari penjajah yang sadis dan pemeras

Kini kita dapat tertawa puas 
Menggapai mimpi dengan bebas 
Asal rajin dan tak malas 
Melanjutkan kemerdekaan dengan tegas

Agar keutuhan Indonesia yang luas 
Tetap bersatu dan tak terpecah lepas 
Oleh pencuri-pencuri berhati panas

Selamat Menyambut Kemerdekaan RI ke 70
Semoga nyaman tentram dan damai



(Yustinus Setyanta)

TAK LAGI RAPUH, TAK MUDAH PATAH

     Keluh, seringkali muncul karena merasa teraniaya, karena derita batin yang tak tertahankan. Kemarahan dan kebencian dengan mudahnya tumbuh manakala merasa direndahkan ditindas. Dalam kesendirian seperti ranting atau dedaunan kering yang mudah sekali untuk terbakar. Ketika kehidupan demikian panas dan terik, maka segera saja panas itu membakar dan menghanguskan diri dalam kemarahan, sakit hati, kebencian. Akhirnya hanya diam dirundung penyesalan, tak ada keberanian untuk melangkah guna mempertanggungjawabkan.

     Dia adalah air kehidupan. Di dalam Dia, aku akan senantiasa basah oleh kasih-Nya dan tidak akan mudah tersulut oleh api kemarahan, kebencian, dendam bahkan keputusasan. Di dalam Dia..., aku tidak lagi rapuh tetapi menjadi lentur menghadapi terpaan angin, sehingga tidak mudah patah. Maka ketika Dia menawarkan diri, "Tinggalah di dalam Aku..." Meski merangkak, aku senantiasa untuk berada di dalam diri-Nya.























{Yustinus Setyanta}

Senin, 17 Agustus 2015

MERDEKA ITU........................

     Merdeka itu terlepas dari penjajahan. Pekik merdeka! itu mengungkapkan perasaan gembira ria karena sudah terlepas daribelenggu penjajahan. Tetapi merdeka itu juga menjadi diri sendiri yang berdiri di atas kaki sendiri. Merdeka atau belum, kita sendirilah yang bisa merasakan. Adakah kita sekarang benar-benar merdeka ataukah semakin terkurung, tergantung, terkekang, dan semakin lekat-terikat kecenderungan duniawi? 

     Tuhan telah memerdekakan kita. Jika kita kembali menjadi tidak merdeka dengan lebih mengikuti dunia daripada mengikuti-Nya, Dia tetap setia menanti kedatangan kita untuk membebaskan kita kembali.









{Yustinus Setyanta}

Jumat, 14 Agustus 2015

POHON

Dari ketinggian, ia bisa melihat sebuah tanaman luas yang rindang. Daun-daunnya yang menghijau. Hujan, badai, panas terik tak menghalanginya untuk memberi kesan sejuk nan teduh bagi yang melihatnya.

- Kesal.

Pagi, siang, sore,ia bisa menikmatinya, tepatnya dari tempat tidur yang menghadap ke taman luas itu. Baginya yang tanggal di hunian vertilal, maka pemandangan itu mengingatkan pada halaman luas di depan rumah di masa kecil dulu. Kalau hati sedang galau, memandangi taman yang asri itu saja, ia seperti sedang menelan obat penenang. Apa lagi kalau cuaca sedang berbaik hati, matahari sore menjadi .latar belakang yang mencolok, membuat pemandangan di taman itu seperti lukisan yang menawan sekaligus menakjubkan. Belakangan, pemandangan ke taman yang rimbun itu seperti sebuah pelipur lara. Bahkan menjadi semacam pembuka mata. Ketika hujan turun dengan derasnya, angin yang menerpa begitu kencangnya, ia bisa menyaksikan pepohonan itu meliuk mengikuti terpaan angin kencang dan hujan yang deras.

Ketika matahari menyengat pohon-pohon besar itu berdiri kokoh. Pada suatu pagi dihari libur, ketika,cuaca setengah panas dan setengah mendung, ia memandangi taman itu. Di tengah acara leyeh-leyeh di tempat tidur, ia berpikir untuk menjalani hidup seperti pepohonan itu. Belakangan ini perjalanan hidup yang ia rasakan terlalu drastis naik dan turunnya. Macam menaiki roller ceaster. Ia dipenuhi dengan kekesalan, ketidakmenentuan, ketidakadilan hidup yang entah kenapa mejadi begitu terasa, problem datang bertubi-tubi, mudah tersinggung, nasihat yang diberikan beberapa orang pada kenyataan hanya seperti pepesan kosong. Ia berusaha dengan baik dan benar, ia mengikuti aturan main dengan benar, tetapi semua berjalan berantakan. Sehingga rencana tak kunjung terlaksana dan malah amburadul. Maka benarlah kata ungkapan "it take two to tango".

Kekesalan, kekecewaan, tujuan dan target yang belum juga kunjung, percintaan, mempertahankan hubungan, pembunuhan karakter dan pembunuhan lainnya, hanya karena beberapa pihak tidak menyepakati melakukan dengan sepenuh hati. Persis seperti orang berkendaraan di jalan umum. Ada manusia yang mengendarai kendaraan dengan baik dan benar, tetapi tahukah di jalan raya itu, tak semua manusia memiliki niat mengendarai dengan prinsip yang sama. Maka kecelakaan terjadi, atau mulut kemudian mengumpat karena ada saja yang nyaris membuat kecelakaan terjadi.

- Bijak.

Ada manusia yang mau naik dan ada yang mau turun. Ketika yang mau naik bertemu dengan yang mau turun, hasilnya manjadi amburadul. Yang naik bertemu dengan yang naik atau yang turun bertemu dengan yang mau turun, maka hidup menjadi lebih baik. Ada yang mau di depan seperti boneka, ada yang mau di belakang mangendalikan yang di depan. Ada yang berani berteriak dangan lantang, ada yang memporakporandakan dalam diam. Tetapi masalahnya tak ada yang tahu apakah manusia akan setia mau naik atau turun, kapan ia mau menjadi dalang, kapan ia mau menjadi boneka, atau kapan ia mau menjadi keduanya. Kapan ia mau berteriak secara nyata dan kapan ia memporakporandakan dalam diam.

Maka melihat kembali ke pepohonan di taman luas itu, huh......ia seperti melihat rahasia hidup ayem tentrem. Ada matahari dan terik yang menyengat, pepohanan itu tetap berdiri kokoh. Ia mungkin melakoninya dengan berpikir bahwa adanya matahari membantunya bertumbuh lebat dan mejadi rindang. Ada hujan badai dan angin kencang, yaaaaa..... meliuk saja bersama hujan dan angin. Beberapa rantingnya yang sudah rapuh patah dan terbuang, itu tidak mengecewakan, karena terbuang itu sebuah pembersihan, akan diganti dengan yang baru dan lebih kokoh. Namun ia tak tahu persis apakah pohon-pohon itu bisa berbicara bahwa dia juga kesal dalam melakoni hidupnya setiap hari. Tak bisa protes akan panas terik yang menyengat dan hujan deras yang menguyurnya. Tetapi entah kesal atau tidak, pohon-pohon itu sudah meneduhkan mata, ketika gegap gempita hidup ini menyilaukan mata.

Dia telah memberi tumpangan berteduh, dan daun-daunnya yang rimbun telah memayungi mereka dan kami yang beristirahat di bawahnya. Dia menjadi "obat penenang"ketika kegalauan menyerang hari-hari. Di telah menjadi paru-paru untuk sebuah kota. Maka mesti berlatih untuk bisa meneduhkan orang lain ketika diri sendiri sedang kesal. Barangkali harus bisa nembiarkan dan tidak kecewa karena beberapa ranting dalam hidup ini harus di buang.

Mungkin ranting yang harus dibuang itu adalah perasaan iri hati, perasaan takut, perasaan terancam, keinginan mengadu domba, menjadi dalang yang culas, mau menjadi boneka, dan sejuta ranting busuk yang membuat pohon kehidupan tak bisa tumbuh kokoh serta rimbun, dan yang terutama tak mampu meneduhkan. Bisa saja pohon-pohon itu sedang mencoba memberi cara baru yang out of the box, untuk melahirkan kebijakan dari sebuah kekesalan hidup.







{Yustinus Setyanta}

KEBETULAN

Kebetulan, kata sederhana yang sering menjadi batu sandungan dalam kehidupan iman. Ketika melihat sebuah peristiwa sebagai kebetulan belaka, maka tidak melihat bahwa Allah terlibat dalam peristiwa tersebut.

Ketika aku melihat berbagai kebetulan di dalam hidupku, maka semakin tertutup pula hatiku pada penyertaan Tuhan. "Ah.....itu kan kebetulan", lalu berhenti. Rencana Tuhan tak bisa aku pahami manakala aku mensikapi segala sesuatu hanya sebatas kebetulan belaka.

Bukanlah kebetulan jika Dia memasuki daerah Tirus dan Sidon. Bukanlah kebetulan pula jika perempuan dari Kanaan itu anaknya sakit. Bukan juga sebuah kebetulan jika datang dan memohon kepada-Nya. Demikian pula bukan sebuah kebetulan jika aku mengalami ini dan itu. Bukan kebetulan jika aku lahir di jaman sekarang dan bukan di jaman dulu. Aku membiasakan diri untuk melihat semua yang aku jalani dan semua peristiwa yang aku alami bukan sebagai sebuah kebetulan. Aku mencoba untuk bisa melihat semua itu dalam bingkai rencana-Nya.

Akhirnya seluruh perjalanan hidupku dengan aneka peristiwa yang telah aku alami dan akan aku alami, menjadi sebuah perjalanan syukur yang setiap saat bisa aku ingat sebagai peneguh imanku.








{Yustinus Setyanta}


Kamis, 13 Agustus 2015

PASRAHNYA PAK UNTUNG

Apa yang kurang? Seharusnya tidak ada lagi. Rumah sudah ada. Kendaraan secukupnya sudah ada. Penghasilan dan tabungan jiga ada. Hubungan dengan keluarga besar juga baik. Peran di masyarakat juga harmonis. Keluarga yang dibangun pun semakin hangat dan menyenangkan. Banyak orang yang melihat hidup Pak Untung memang sungguh beruntung, tapi bagi Pak Untung hidupnya bukanlah suatu keberuntungan semua karena berasal dari Sang Pemberi Hidup. Praktis hampir semua yang dibutuhkan untuk kebutuhan sebagai sarana untuk hidup tercukupi. Yang biasanya dicita-citakan juga terpenuhi. Tak heran. Banyak yang memandangnya dengan kagum, tetapi ada juga yang merasa iri. Beberapa orang malah ada yang memandangnya 'rakus', 'kurang bersyukur', 'ambisius'. Bagaimana tidak mereka melihat Pak Untung masih tetap bekerja keras. Pak Untung masih aktif di berbagai kegiatan masyaraka. Pak Untung masih mengembangkan berbagai kegiatan.

Tak mengherankan, banyak orang yang tidak senang dan heran. Ada yang menilai Pak Untung itu sombong. Ada yang menilai Pak Untung itu angkuh. Ada juga yang menilai Pak Untung itu tidak peka pada kehidupan masyarakat. Itu semua terjadi ketika ada sarasehan. Dalam sarasehan itu, Pak Untung, dengan sederhana menekankan bahwa ia menjalankan hidupnya dengan penuh kepasrahan kepada Sang Pemberi Hidup. Pasrah? Kok masih berbuat ini dan itu? Kok masih aktif begini dan begitu? Padahal kan sudah tercukupi semuanya.

Pak Untung memang orang yang saleh, kesalehan tidak cuma kesalehan ritual-ritual kerohanian belaka tetapi kesalehan sosial. Praktis, tidak hanya kegiatan keagamaan yang bersifat ritul saja, terlebih kegiatan sosial masyarakat sedapat mungkin diikutinya. Ia bersyukur bahwa masih dapat mengikuti kegiatan sosial itu membantunya untuk menyadari kehadiran Sang Pemberi Hidup dalam hidupnya. Ia merasa banyak diingatkan pada kasih dari Sang Pemberi Hidup. Dan ia pun sangat percaya dan meyakini, Sang Pemberi Hidup mengasihinya, bahkan menganugerahkan rahmat kasih kepadanya. Ia mau menerima kasih dari Sang Pemberi Hidup. Lalu ia pun mau mengasihi. Ia pun dapat mengasihi. Mau dikasihi dan lalu mengasihi itulah yang dipahaminya sebagai pasrah kepada Sang Pemberi Hidup.

Pak Untung menerima keluarganya, tetengganya, teman-temannya dengan apa adanya sebagai anugerah dari Sang Pemberi Hidup. Anugerah yang terkadang berat dan menyakitkan ini dengan saling menolong, salingmendukung, saling berbagi bukan hanya dengan ucapan kata-kata. Ia pun berusaha terus menerus, belajar terus menerus untuk membangun hidup bersama yang rukun, dan damai, yang semua dapat merasa lebih nyaman bahkan dalam kesesakan hidup bersama. Berbagi watak, sifat dan kebiasaan yangada disekitarnya; cocok atau tidak cocok, mengenakan atau tidak mengenakan dalam berpikir, berkata-kata, bertingkah laku; usaha untuk saling menyesuaikan; semua itu pemberian dari Sang Pemberi Hidup untuk diterima dengan lapang dada.

Hari-hari demi hari. Bulan demi bulan, tahun demi tahun ia menghadapi mereka semua, Ia belajar hidup dengan mereka semua, belajar bersyukur atas mereka semua, belajar menghadapi beraneka macam watak, sifat, dan karakter yang berbeda-beda dengan kasih. senyuman hangat. Itulah kepasrahannya atas anugerah dan kehendak Sang Pemberi Hidup. Dan syukurlah, ia semakin menyadari kasih Sang Pemberi Hidup, ia semakin yakini akan kehadiran dan penyertaan Sang Pemberi Hidup.

Banyak kegiatannya, damai dan cerah wajahnya. Pak Untung bersyukur karena dengan pasrahnya itu ia sudah melakukan kehendak Sang Pemberi Hidup. Dengan melakukan kehendak Sang Pemberi Hidup, ia pun semakin tersedia untuk dikasihi olehNya, dan terus bersemangat, berusaha untuk mengasihi bersama Dia.








(Yustinus Setyanta)

::. LAIN DUNIA .::

S'lalu warnai tempat kita menapaki 
Lewati jalan yang bawa cerita tersebunyi 
Mungkinkah kamu menyadari 
Serasa ganjil bila kau tak disini

Tenangkah kamu disana 
Rasakan lelah 
Istirahatlah, tersenyumlah 
Meski bukan aku yang disana

Aku bertanya pada hatimu 
Dalam malam-malam sendirimu 
Haruskah aku ada di hatimu 
Bila itu yang membawa lara padamu

Ah, aku rasa, kuterlena dikilaunya nuansa 
Yang kau lukis dalam pesona diri 
Sisi batinmu, sisi batinku terbenam di alurnya 
Tak ada temu dalam beda sisi

Selalu ada cara untuk cinta/bersama 
Tapi adakalanya tak pada alur yang sama 
Arah yang.di tuju pun berbeda 
Serta alur yang berbeda pula

Aku berjalan membelakangimu 
Demikian kamu pun begitu 
Tak haruskah kamu ikuti jalanku? 
Atau tak patutkah aku yang ikuti jejakmu

Madia dunia, bentangkan lain dunia
Terurai nada-nada rasa 
Terpendam dalam jiwa 
Masing-masing dari kita

Lain dunia seakan memaksa kita tak sejalan 
Meski demikian kita tetap dalam ikatan, persaudaraan 
Lain dunia bukanlah suatu alasan
Untuk kita seiring-bergandeng tangan




(Yustinus Setyanta)

ESEM

Pak Arif mendapat julukan Arif  Esem. Julukan yang pantas disematkan pada dirinya. Sebab hidupnya tak lepas dari senyum. Kata "esem" yang berasal dari bahasa jawa itu artinya "senyum". Julukan ini didapatnya sudah sejak masa muda dulu, ketika masih lajang. Dan ternyata, julukan ini pulalah yang membuat Painem sang kembang desa itu luruh hatinya, sehingga bersedia menjadi pendamping hidupnya. Lebih dari lima belas tahun menjadi Bu Arif  Esem, Painem pun semakin setuju pada julukan suaminya itu.

Sebagai anak yang dilahirkan dari orangtua yang kuat tradisi Jawanya, Arif  Esem selalu melaksanakan puasa dan matiraga dihari pasaran kelahirannya ('weton'). Matiraganya pun memilih yang yang cukup berat dan memang cukup nampak juga bagaimana dampak matiraga itu bagi kegiatan sehari-harinya. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, apalagi jumpa dengan sesama, dengan Painem atau dengan anak-anaknya. Ketika Painem bertanya, dengan sederhana Arif Esem menjelaskan. "Gusti Sang Pemberi Hidup tersenyum menyaksikan aku bermatiraga dengan penuh syukur. Kalau Gustiku tersenyum, masa aku harus merengut kecut."

Dua orang teman Arif  Esem pernah datang ke rumah. Entah apa yang dibicarakan, suasana panas dan tegang. Dari kejauhan Painem melihat dua orang tamu itu begitu marah. Wajah mereka tampak garang. Sepintas kata-kata mereka pun menjadi keras. Ketika melihat wajah suaminya, Painem pun terheran-heran. Suaminya masih menghadapi mereka dengan senyum tipis. Dilain kesempatan, Painem menanyakan hal ini kepada suaminya. Tetap dengan cara sederhana sang suami menjawab: "Saat itu Gusti tersenyum. Ketika aku ikut tersenyum, Gusti menerangi akal budiku untuk melihat duduk masalahnya dengan baik dan benar. Kalau aku ikut marah-marah, jangan-jangan malah semakin tidak menemukan silusi yang ditawarkan oleh Gusti (Tuhan)".

Suatu ketika anak sulung mereka yangsedang mengawali masa remaja melakukan kenakalan. Painem merasa sudah sepantasnya menghajar anaknya itu, biar kapok. Tetapi sang suami mencegahnya dan siap menangani si anak. Sepintas lalu, Painem melihat bagaimana sang suami mengajak anak mereka berbicara dari hati ke hati.

Entah apa yang dibicarakan. Pada awalnya si anak kelihatan tegang. Beberapa kali nampak berbicara ngotot. Saat itu Painem merasa anaknya itu perlu dihajar. Emosinya meledak. Tapi dari kejauhan ia melihat bagaimana sang suami tetap menghadapi anak itu dengan senyum. Kadang senyum tipis, kadang senyum lebar.Dan tak dinyana. Anaknya menangis. Kemudian dipeluk oleh Pak Arif Esem. Dan paling sedikit sudah tiga tahun ini, anak itu tidak lagi melakukan kenakalan yang sama. Ketikap Painem bertanya, Pak Arif Esem menjawab dengan santai: "Bune anakitu butuh senyuman kita, bahwa ia juga sadar bahwa Gusti Penciptanya pun selalu mau tersenyum padanya, dan menghendaki supaya semua tingkahlakunya membuat Gusti Sang Pencipta dapat tersenyum gembira".

Tentu tidakhanya senyum manis. Sesekali Painem pun menjumpai sang suami tersenyum kecut bahkan tersenyum pait. Paitnya pun seperti buah pohon mahoni. Ketika sakit gigi, ketika kehabisan uang, ketika bermasalah dangan tetangga yang memang berwatak pembuat onar, juga.....Ketika Painem marah besar atau ngambek seabrek dan sengaja memancing pertengkaran dengan suaminya.

Toh setiap terjaga dinihari, ketika memandangi suami terlelap dalam semyum tipisnya. Painem ikut tersenyum lega. Ketika bangun kembali pada dipagi hari Painem pun merasa kesegaran, dan sambil tersenyum berseru: "Terima kasih, Gusti Sang Maha Kasih".



(Yustinus Setyanta)

MEMULIAKAN DALAM KEMANUSIAAN

  • Ketika hidup kuhayati sebagai panggilan, kadang aku dihadapkan pada persimpangan. Di persimpangan terebut aku bebas untuk memilih, apakah aku akan mengikuti keinginanku ataukah aku akan mengikuti kehendak-Nya. Dunia memanggilku untuk menjadi lebih terikat padanya, sementara kasih Allah mengundangku untuk datang dan tinggal di dalamnya Dunia mengajakku untuk hanya peduli pada diriku sendiri, sementara Allah menghendaki agar aku mencurahkan perhatianku pada sesama. Dunia menggandengku untuk sampai pada puncak-puncak keberhasilan dan kebaggan, sementara Allah menghendaki aku untuktulus dalam melayani orang lain dan menjadi rendah hati. Di persimpangan itu aku bebas untuk menentukan pilihan, apakah aku akan memiliakan diriku sendiri, ataukah aku akan memuliakan Allah?

    Jika saja aku membiarkan diriku larut dalam pemenuhan keinginan diri dan seluruh daya upaya aku gunakan untuk melaksanakan kehendakku sendiri, maka aku memuliakan diriku sendiri. Sebaliknya jika seluruh pikiranku, seluruh tanagaku aku curahkan untuk melaksanakan kehendak Allah, maka aku memuliakan Dia. Kenapa aku harus harus melihat kedua jalan tersebut sebagai sebuah perlawanan? Tidak bisakah kehendak Allah menyesuaikan dengan keinginanku? Jika sampai pada pemikiran tersebut, timbullah pemakluman-pemakluman. Ah, Tuhan pun menghendaki supaya aku sukses, supaya aku menjadi penguasa dan bisa mensejahterakan orang banyak. Lantas, apa salahnya mengikuti kehendak sendiri? Bukankah pada akhirnya nanti, aku bisa memuliakan Dia dengan lebih baik lagi?
  • Demikian mudah aku membungkus keinginan dan kehendakku sebagai hal yang dikehendaki oleh Allah. Aku mengamati diriku sendiri, ketika aku dengan demikian mudah tergoda untuk tidak menyadari kehadiran Allah. Aku tercengang ketika aku memandang Dia yang memanggul salib menuju puncak Kalvari, muncul pertanyaan; mengapa Dia tidak meletakkan salib-Nya dan memilih mengangkat pedang dan menjadi raja? Mengapa Ia tidak melawan dan membuat semua orang tercengang dengan mukjizat -mukjizat yang penuh kuasa? Mengapa Dia harus mengalami semua itu? Kembali aku berpaling pada diriku sendiri, mengapa aku tidak mengikuti Dia dan memanggul salibku?. Tenggelam dalam permenunganku Dia berkata "Mari datanglah kepada-Ku, belajarlah kepada-Ku..........." Oh.....sungguh aku harus belajar banyak. Belajar dari apa yang Dia lakukan, bahwa melaksanakan kehendak Allah adalah hal yang paling utama dalam hidupku. Menjadikan seluruh sikap dan perbuatanku sebagai ungkapan kasih-Nya adalah tujuanku. Maka apapun yang aku lakukan, aku perlu membuka diri, agar Dia hadir dan berbuat, Dia bersama dan melalui kemanusiaanku perduli dan memperhatikan orang lain. Aku berlatih untuk tidak membungkus keinginanku dengan kehendak-Nya tetapi melarutkan kehendak-Nya di dalam hidupku. Aku berlatih memuliakan-Nya dalam kemanusiaanku.





  • {Yustinus Setyanta}

Rabu, 12 Agustus 2015

.:: SANG ROTI HIDUP ::.

Tuan Rumah yang dermawan
Aku pengemis kelaparan
Mohon sejumput iba dan belas cinta
Demi kenyang atas lapar jiwa

Hanya sebutir remah roti 
Yang kupandangi sedari tadi 
Dalam getir lapar dahagaku 
Menahan rasa ingin batinku

Remah roti yang terjatuh 
Dari meja perjamuanMu 
Membuatku tunduk patuh 
Kala kupandang penuh rindu

Sri baginda Sang Roti Hidup penuh keagungan 
Tak Berani aku memohon 
Lebih dari sebutir remah roti 
Bagi mulut hati yang kecil ini

Remah roti kehidupan 
Sebutir yang penuh kekuatan
Daya pikat Ilahi yang terpancarkan 
Dalam sebuah kesederhanaan

Tuan Rumah yang dermawan 
Kau malah melangkah ke pintu depan 
Menyambutku seorang tawanan 
Masuk menjadi kawanan

Sang Roti Hidup sejati 
Mampukanlah kami 
Menjadi roti yang terpecah 
Anggur yang tercurah



(Yustinus Setyanta)

Selasa, 11 Agustus 2015

DAYA HIDUP

Ketika aku melihat tanaman tumbuh dan hidup, aku yakini bahwa didalam tersebut ada daya hidup. Ketika aku melihat binatang yang hidup akupun bahwa di dalam dirinya ada daya hidup. Demikian pula ketika aku melihat ke dalam diriku sendiri, ada daya hidup yang memungkinkan aku tetap hidup. Jika merenungkan apa yang membedakan aku dengan tanaman dan binatang. Sebagai manusia, aku mampu menyadari maka aku disebut makhluk yang berkesadaran. Ketika kesadaran itu menyentuh daya hidupkun maka aku melihat roh ada di dalam diriku. Yangada dalam di dalam tubuhku adalah roh dan bukan sekedar daya hidup.

Percaya bahwa setiap makhluk hidup memungkinkan mengalami hidup karena adanya daya hidup. Daya hidup tersebut diyakini berasal dari Allah Sang Sumber Hudup, Sang Pemelihara hidup. Ketika daya hidup tersebut disadari, maka kita menyebut kesadaran akan daya hidup tersebut sebagai roh.

Demikianlah, ketika tanaman mati, maka daya hidupnya pun habis. Ketika binatang mati, maka daya hidupnya pun habis.

Tetapi ketika aku mati, daya hidup yang aku sadari sebagai roh itu tidak akan habis karena telah terhubung dengan Allah Sang Sumber Hdup abadi. Ketika tubuh diam, dikubur, lalu hancur, kesadarn akan aku yang hidup tetap ada dan menggu tiba saatnya Dia memberikan aku tubuh yang baru lalu menggalami hidup baru bersama-Nya. Semua itu mungkin terjadi karena Allah telah datang menyelamatkan kesadaranku dan aku mempercayainya.





(Yustinus Setyanta)

PEMULIHAN

Pertandingan belum selesai. Masih harus terus dimainkan. Untunglah, tim medis sudah siap dengan semprotan mujarab. Semprot sana, semprot sini, otot paha segera pulih. Pemain itu pun bisa segera berlari kembali. Setelah pertandingan selesai, barulah ia merasakan betapa otot pahanya sakit sekali. Pemulihan sekejab lewat semprotan ajaib terbukti hanya bertahan sementara.

Saat manusia tak berdaya dan seolah terjerembab jatuh karena dosa,Tuhan tidak tinggal diam. Tidak diragukan lagi, sejak dahulu kala, Dia bisa turun tangan dengan kuasa luar biasa. Elia bahkan bisa mengunci langit karena kuasaTuhan ada dipihaknya. Ini dilakukan oleh Tuhan dengan satu tujuan penting, yakni agar hati bapa sungguh dipulihkan dan bisa berbalik kepada anak-anaknya. (bdk Sir 48:1-4,9-11) Hal ini sangat menentukan bagaimana perjalanan generasi-generasi berikutnya. Pemulihan hati menjadi kuncinya.

Memang sungguh menyedihkan. Orang-orang yang sebenarnya membutuhkan pemulihan rupanya justru berjalan semakin jauh. Mereka memperlakukan Yohanes Pembaptis seturut kehendak mereka sendiri. (bdk Mat 17:10-13). Hanya merekayang sungguh sadar bahwa dirinya perlu dipulihkan akan menyediakan hatinya untuk kembali disentuh Tuhan sendiri. Tuhan sungguh turun tangan. Dari kita diharapkan sebuah seruan jujur sepenuh hati. "Ya Allah, pulihkanlah kami. Buatlah wajah-Mu bersinar, maka selamatlah kami." (Mzm :80)







(Yustinus Setyanta)

Senin, 10 Agustus 2015

PENCERAHAN

Pola penyerangan di lapangan rupanya sudah terbaca oleh musuh. Wilayah tengah lapangan semakin terlihat rapuh. Demikian pula barisan pertahanan di depan gawang. Sesuatu harus segera diputuskan dan dilakukan. Pelatih yang mengenal pemain-pemainnya akan segera bisa menangkap gelagat itu. Maka pola permainan pun diubah. Pencerahan yang dialami oleh pelatih membawa hasil positif bagi timnya.

Titik yang menentukan terletak dalam memahami situasi yang ada. Manusia acapkali terjebak dalam pikirannya sendiri. Begitu yakinnya ia, jalan Tuhan pun bisa tidak digubris. (bdk Yes 48:17-19). Lebih parah lagi jalan Tuhan dianggap tidak bisa diandalkan.

Hanya jika manusia memperhatikan perintah Tuhan, ia akan mengalami damai sejahtera yang terus mengalir bagai sungai yang tak kunjung kering. (bdk Mzm 1).

Pencerahan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia akan menjadi terang penuntun. Kita belajar untuk berkata dengan penuh keyakinan, "Barangsiapa mengikuti Engkau, ya Tuhan, akan mempunyai terang hidup". Tanpa pencerahan, penilaian manusia selalu keliru dan berbahaya. Yohanes dianggap sebagai orang gila, dan Yesus dianggap tukang pesta. (bdk Mat 11:16-19).

Tanda pencerahan apapun tidak akan ditangkap ketika hati manusia memang telah tertutup dan pikiran manusia keras kepala.







(Yustinus Setyanta)