Rabu, 24 Februari 2016

BARISAN NURANI

Meski kau diterjang kebohongan 
Bekerjalah dengan nurani 
Tak perlu takut bergerak dengan kaki 
Yang sekuat baja, atau kau sang pemberani

Sebeb kau adalah penakluk 
Kau tak mungkin tunduk 
Hatimu yang teguh tak mungkin mengeluh 
Ucapkan doa dalam langkah paling utuh

Kemudian kau berpikir jangan 
Latas tak kau lakukan 
Damaikan suasana dunia, semerbak mewangi 
Bersih suci murni barisan nurani

Dalam barisan kehidupan 
Hingga kau mafhum bahwa kebaikan 
Datang mata yang tak hanya, 
Sekedar merasa tapi mencinta

Ini waktu terbaik melawan 
Ketika kata-kata tertutup tanpa kesadaran 
Di saat itu kau perlu merajut kebebasan 
Tanpa keterpaksaan dan kepalsuan



(: Yustinus Setyanta)




Senin, 15 Februari 2016

KERTAS TISUE

Kertas tisue sengaja dibuat tipis, kenapa? Bayangkan bagaimana kalau kertas tisue itu tebal setebal kertas karton, maka akan susah menggunakannya. Kertastisue itu sengaja dibuat lembut, kenapa? Bayangkan kalau kertas tisue itu kasar, misal seperti amplas kayu atau amplas besi, tentu akan menyakitkan kalau digunakan. Kertas itu sengaja dibuat harga murah, kenapa? Kalau mahal harganya, maka akan di pakai berkali-kali lalu disimpan. Segala hal mengenai kertas tisue dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu, dan itu baik adanya.

Biarpun tipis, lembut, murah, dan sering kali bersentuhan dengan hal yang kotor dan menjijikan, namun semua sifat itu tetap berguna dan berarti.

Manusia pun demikian halnya. Manusia ada yang begitu lembut, ada yang begitu lemah, ada yang rendah day hina di mata orang lain. Mereka semua tetap berarti bagi kehidupan ini. Nah, jika semua manusia keras semua, maka yang ada hanyalah kekacauan. Jika semua manusia kuat, maka yang terjadi hanyalah pertarungan hingga peperangan melulu. Jika semua manusia berada di ketinggian, maka yang ada hanyalah pederitaan. Maka dari itu, cerdas menggunakan maupun menghadapi watak dan sifat.








(Yustinus Setyanta)

("_")


Beriman Dalam Tindakan,
Bertindak Dalam Iman

VD


Rabu, 10 Februari 2016

SIAPA (APAKAH) LANSIA

Sutau ketika saya membaca tempat duduk di sebuah gedung serbaguna yang berbunyi "khusus buat lansia" Siapakah lanjut usia itu? Apakah Lansia itu? Dari urutan katanya, kita bisa menerka bahwa lanjut usia ialah usia. Artinya frasa itu menggunakan urutan menerangkan-diterangkan (MD). Kita bisa paham mengapa urutan itu yang dipilih, bukan urutan yang lebih umum di dalam bahasa Indonesia: diterangkan-menerangkan (DM). Kalau ditulis dengan menggunakan kaidah DM, frasa tersebut menjadi "usia lanjut". Singkatannya jelas kurang enak: "sialan". Namun, jika benar begitu, berarti ruangan tersebut menyediakan tempat duduk prioritas buat usia. Padahal, bukan begitu maksudnya, bukan?.

Lansia bukanlah orang atau manusia, melainkan usia. Acuan frasa lanjut usia bukanlah orang, malainkan satu fase di dalam kehidupan manusia. Padahal, tempat duduk prioritas jelas buat manusia. Semua golongan lain yang bisa mengunakan tempat duduk prioritas manusia: ibu hamil, perempuan yang membawa anak balita, dan penyandang cacat secara fisik. Kata lansia jelas tidak bisa digunakan untuk menunjuk golongan orang tertentu. Apakah lanjut usia berarti orang berusia lanjut? Kalau begitu logika bahasanya, orang berumah besar akan cukup di labeli 'besar rumah' dan orang berjabatan tinggi sebut saja tinggi jabatan, tanpa kata orang atau manusia di dapannya. Padahal, jika itu dilakukan, berarti inti frasa yang merupakan elemen pokok di dalam kelompok kata tersebut malah sama sekali tak hadir dan tak definitif.

Kekeliruan logika di dalam penggunaan kata lansia untuk menunjuk satu golongan mirip dengan kurang tepatnya pada penggunaan kata "balita". Lupa bahwa balita bukanlah manusia, melainkan sebuah fase usia pada manusia. Jika "anak balita" baru manusia

Sebetulnya panggunaan kata lansia sedikit mengherankan karena selama ini mengenal kata lain yang lebih tepat: "Manula". Akronim manula akan lebih pas jika diletakkan di dalam satu kelompok bersama ibu hamil, ibu dengan anak balita, dan penyandang cacat secara fisik. Jadi, menyediakan tempat duduk untuk manula akan terasa lebih logis jika dibandingkan dengan menyediakannya untuk lansia. Penulis pernah menemukan sebuah tulisan di internet yang menyatakan istilah manula terasa merendahkan. Lantas, apakah itu pangkal tidak digunakannya kata manula? Jika iya, sangat disayangkan. Persoalan tidak enak ialah masalah rasa bahasa yang dipicu konotasi belaka. Lagi pula, manula dan lansia menghadirkan konotasi yang tidak jauh berbeda. Kalau konotasinya sama-sama tak terasa enak, mengapa tak memilih yang benar?

Mudah-mudahan kata lansia di di ruangan atau gerbon-gerbong kereta api maupun di tempat umum lainnya bukan dipicu ketaktahuan dan ketidaksadaran kita bahwa lansia bukanlah manusia.

.






(Yustinus Setyanta)

PANTUN XIN CIA













Ada papan ada triplek
Kue kranjang khas imlek
Ada bakpao isi kelapa
Angpao jangan lupa















Ada Nasi ada Bubur
Imlek tanggal merah kita Libur
Ada botak ada yg Subur
Semoga kita semua semakin makmur.






















Orang jelek jangan di ledek 
Mata melek liat geledek
Hari imlek jangan merengek
Baju jelek yang penting hati ngga' bengek

Isi kelapa dalam bakpao
Isi Coklat dalam mantao
Hari imlek makan bakpao
Kasih bakpao dapat angpao

Mαƙαŋ bakpao pakein sambel
Ngga' kasih angpao bikin sebel.............












(Yustinus Setyanta)

Rabu, 03 Februari 2016

DOMINAN OTAK

Mengapa ia berperasaan halus? Mengapa ia cuek bebek dan tak punya unggah-ungguh? Mengapa di dunia ini ada orang yang peka, yang cuek, yang kreatif, yang bossy, yang tukang mimpi, yang trouble maker? Mengapa ada pula orang yang mencapai keberhasilan atau sukses tapi juga ada yang bisa-bisa saja?

Bila di tinjau dari sisi psikologi, hal tersebut tergantung pada bagian otak mana yang digunakan.

Mungkin hanya 10% saja yang berhasil menggunakan kedua belah otak secara sempurna atau merata. Orang-orang yang bisa bergaul dengan semua orang; yang punya kreativitas tinggi. Bisanya kita hanya mengembangkan satu belahan otak saja, yaitu yang mengendalikan hal-hal yang kita sukai. Belahan otak yang mengendalikan hal-hal yang tidak kita sukai, menjadi mubazir, tidak terpakai.

Setiap orang punya peta otak yang berbeda. Bisanya peta otak digunakan untuk mengetahui pekerjaan yang cocok, dan lain sebagainya.

Berikut bagian-bagian belahan otak: 
- Kiri depan (left frontal). 
- Kiri Belakang (left basal).
- Kanan Belakang (right basal)
- Kanan Depan (right frontal). 

Masing-masing menunjukkan kekuatan dan bidang minat seseorang juga menujukkan karakter individu, walau bukan suatu sifat atau karakter yang mutlak. 

Ada pun dengan bagian-bagian belahan otak di atas dapat pula dibagi dalam empat kuadran. 
1. Kuadran A (kiri atas) 
2. Kuadran B (kiri bawah) 
3. Kuadran C (kanan bawah) 
4. Kuadran D (kanan atas).




Berikut ini contoh-contoh pelaku-pelaku yang dominan dalam kehidupan sehari-hari: 
Peneliti cenderung di kuadran "Kiri Atas". 
Organisatoris kuat di kuadran "Kiri Bawah".
 Perawat kuat di kuadran "Kanan Bawah". 
Dan artis di kuadran "Kanan Atas".

Bagianmana dengan hasil tes Anda?. Tapi, coba Anda pilih apa yang Anda sukai di bawah ini: 
1. Membangun persahabatan, 
2. Menganalisis kerja suatu alat 
3. Mencoba sesuatu yang belom dikenal 
4. Membuat persiapan dan perencanaan.

Jika Anda pilih yang pertama (1), maka Anda kemungkinan besar memiliki otak dengan kuadran kanan bawah yang dominan. 
Jika pilih yang kedua (2), maka kuadran otak kiri atas yang dominan. 
Jika yang ketiga (3) yang Anda pilih, maka otak Anda didominasi kuadran kanan atas. 
Akhirnya jika Anda memilih yang keempat (4), maka kuadran kiri bawah yang mendominasi otak Anda. 
Tetapi, setiap orang bisa saja memiliki lebih dari satu kuadran yang dominan.











(Yustinus Setyanta)

Senin, 01 Februari 2016

LISAN DAN TULISAN

Bahasa memang berevolusi dari lisan ke tulisan, budaya bergerak dari orality ke literacy. Dengan percetakan, teks menjadi makin utama. Kini radio, televisi, dan internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan tidak akan ada tanpa lisan, tetapi bahasa tulisan bukan sekadar bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.

Baik dunia oral maupun literer kaya makna, tetapi ciri dan dampaknya pada proses pikiran manusia, dan sebagai kekuatan pengarah evolusi sosial, sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dst, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah tulisan. Tulisan adalah cikal-bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan tanggal.

Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan, menyimpan, memproses, dan memperkembangkan gagasan, sampai yang serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan, biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketakberdayaan.

Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa ciri oralitas* yang berkontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, dalam dunia lisan kosakata sedikit, tata bahasa sederhana, kata dan konsep diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair misalnya sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.

Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan yang penting data. Dalam tulisan yang utama olah-data. Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang. Tulisan itu dinamis menatap masa depan.

Dunia oralitas, juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif seperti adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan seperti itu bisa dipecah dan dianalisis sehingga timbul kompleksitas yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir. Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai bagian dari proses berpikir canggih.

Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir adalah penulis.