Kamis, 30 Januari 2014

IMLEK

Tautan waktu terus berjalan
Iring langkah kita pada kebersamaan
Bagai dua sejoli sedang berpeluk
Diibaratkan makan sepiring semangkok

Wangi khas musim hujan menyertai
Bertaut tangan menyalami
Menunduk saling menhormati dan menghargai
Kehangatannya terasa dan terhayati

Muncul lampion dan lilin merah
Begitu meriah dan menyala cerah
Semarak dan bersorak sorai
Gong Xi Fat Chai

Di tahun baru imlek ini
Di tengah kesibukan dan hiruk pikuk
Ku sempatkan diri menulis puisi
Sebagai ungkapan tulus, ku ucapkan selama tahun baru imlek

Yustinus Setyanta


Rabu, 29 Januari 2014

MENJADI MANUSIA

Hidup ini bukan hanya prosa. Tetapi juga puisi. Tidak pula seragam. Tetapi beragam. Sebab itu, mengetahui tidaklah cukup. Perlu pula memahami. Menjadi manusia, kita semua tidak hanya dikaruniai akal tetapi juga perasaan. Sama seperti ada siang dan ada malam, kita membutuhkan kesenyapan, bukan hanya keriuhan. Bersamanya, kita bertindak dan juga merenungi setiap tindakan itu. Demikianlah, hidup berlangsung tidak pernah hitam putih namun berwarna-warni. Justru karena itulah, kita menerima hidup dengan penuh rasa syukur sebagai suatu anugerah yang sangat indah dari Sang Pencipta.

Maka siapapun yang berpikir bahwa dia memiliki kebenaran dengan "K" besar, sesungguhnya telah gagal memaknai hidup ini. Gagal memahami keindahan perbedaan. Bahkan gagal untuk mengerti diri sendiri. Sebab, siapakah kita yang hanya melintas sesaat di perjalanan waktu yang tak terbatas ini? Siapakah kita yang bersikap demikian pasti menghadapi pikiran manusia lain, sementara kita sendiri tak bisa memastikan pikiran kita? Dapatkah kita berkata dengan jujur bahwa kita tak pernah sesekali merasa ragu akan akal kita? Dapatkah kita dengan jujur memastikan pengetahuan yang kita terima saat ini adalah sebuah kebenaran mutlak?

Menjadi manusia sesungguhnya adalah sebuah proses untuk belajar tanpa akhir "Long Life Education". Dan mencoba untuk memahami bahwa pembelajaran itu takkan pernah sempurna. Sebab, bahkan dengan gelar secanggih apapun yang kita miliki, hanya terbatas pada secarik kertas dan tambahan di belakang nama, yang tak pernah berarti bahwa kita telah memiliki kebenaran dengan K besar sehingga saat itu kita dapat berhenti untuk memahami serta mulai memaksakan pengetahuan kita kepada dunia luas. Tidak. Hidup adalah proses untuk mendidik diri sendiri, mengolah kehendak kita dan berupaya untuk mengerti setiap tindakan yang kita lakukan beserta dampaknya terhadap semesta. Sang Pencipta tidak hanya memiliki diri kita, tidak hanya berada dalam pemahaman kita, dan anugerah-Nya tidak hanya dibagikan untuk kita saja. Kita bukanlah manusia yang istimewa, walau setiap pribadi bisa menganggap dirinya demikian.

Hidup bukan hanya prosa, tetapi juga puisi. Dan tidak seperti prosa yang penuh dengan penjelasan yang dapat disatu-artikan, puisi mengandung banyak makna yang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Karena itu, setiap hidup sesungguhnya dijalani secara berbeda, walau di dalam situasi yang serupa. Kita tak pernah sama, walau terkadang bisa mirip. Apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita ketahui, hanya berarti suatu kebenaran bagi kita, bukan bagi sesama. Sedekat apapun kita dengan dirinya. Pada akhirnya, kita semua hanya debu yang akan lenyap tertiup angin. Pada akhirnya, kita akan menyerah dan lenyap dari kehidupan ini. Pada saat itu, haruslah kita bertanya, dimanakah kegarangan kita? Dimanakah keangkuhan kita? Dimanakah kekuatan-kekuasaan-kekayaan kita yang pernah demikian jaya kita punyai ? Dimanakah kita? Dapatkah kita memastikan bahwa apa yang kita anggap kebenaran akan memiliki kita selamanya? Dapatkah?

Sesungguhnya, jika Yang Maha Kuasa ingin menciptakan kita seragam, tidaklah mungkin IA menciptakan kita beragam. Jika IA ingin membuat kita sama, tidaklah mungkin IA menciptakan kita berbeda. Tidak! Keberagaman adalah suatu keindahan, bukannya suatu dosa atau kesalahan yang harus dilenyapkan. Keberagaman adalah suatu anugerah yang harus disyukuri karena DIA, bukannya disalahkan dan harus dilenyapkan. Bukan kita, tetapi DIA-lah Sang Pencipta. Kita hanya manusia, karena itu kita harus belajar menjadi manusia. Bukan menjadi Sang Pencipta. Hidup itu indah, jika kita mampu memahaminya. Hidup itu puisi, bukan hanya prosa. Hidup itu dijalani dengan kebenaran-kebenaran kecil yang kita miliki tanpa perlu memaksakan kebenaran kita kepada dunia. Hidup itu adalah ketidak-sempurnaan di mata masing-masing orang, walau masing-masing juga bisa menganggap dirinya sempurna. Sebab yang sempurna hanya satu. Hanya satu.


Yustinus Setyanta

Di Saat Terlanjur Jatuh Hati











Mega putih berkelebat di sore ceria
Bersenandung kata bernada terbawa pesona
Menari angin di balik sela ranting kita
Elok suara merdu bak perindu bercerita

Udara yang terdiam memencar suasana
Menghadirkan sesimpul senyum seng surya
Bias sinar menyurut berubah jingga
Hati merindu teringat dia tercinta


(begitulah kira-kira bila sendang jatuh cinta pada seseorang hehehhe.....)

Yustinus Setyanta

SISI LAIN DARI XINCIA (IMLEK)

Peringatan tahun baru cina alias xincia atau yang biasa di kenal secara umum dengan Imlek, banyak cerita menarik di dalamnya. Masyarakat Indonesia sudah sejak dahulu kala mengenal berbagai tradisi bangsa china yang banyak bermukim dan beranak pinak melebur diri menjadi satu dengan masyarakat setempat.



imlek = hujan

Tembarucin ( sebutan lain imlek) sering di identikan dengan hujan lebat. Imlek tanpa adanya hujan berarti tidak turun nya rejeki /berkah yang berlimpah. Mengapa? Sebab sebagian masyarakat, ada mitos yang mengatakan bahwa setiap kali datang perayaan imlek maka bisa di pastikan hujan akan datang atau pas musim hijan. Seperti halnya yang terjadi pada beberapa hari ini, banyak yang mengaitkan turun nya hujan adalah karena akan datang imlek.

Ada mitos bahwa Dewa hujan pasti akan turun ke bumi menjelang perayaan tahun baru cina. dan cerita atau mitos tersebut sampai sekarang tetap di amini oleh masyarakat. Entah beneran atau cuma mitos belaka, meneketehekkkk, namun bila di pikir nie, perayaan imlek memang selalu datang pada musim penghujan tiba di antara bulan januari - februari, so.....??

barongsai, kue keranjang dan ang pau

Bagi kami yang paling di tunggu setiap kali datang nya imlek adalah atraksi barongsai yang mulai beberapa tahun silam ( sejak pemerintahan gus dur) di adakan secara terbuka bebas di muka umum, tak terelakan di jogja juga semarak. Atraksi akrobat dari pemain-pemain akrobat dengan boneka ular naga nya yang merah beserta musik yang bergerincing tetabuhan menjadi tontonan gratis yang menarik. Apalagi bila para pemain barongsai mulai melompat mengambil angpau yang di gantung di pintu atau tiang. Seperti melihat naga yang meliuk-liuk menari dengan goyang pinggulnya yang wooaaa.....boleh di bilang dengan indahnya.

Di beberapa toko kelontong atau swalayan tersedia kue yang bernama kue keranjang. Tetapi lebih berasa enak bila di bagikan atau pemberian dari warga keturunan tionghoa. Tahun kemarin saya di kasih beberapa kue keranjang yang legit dan manis. Weeee......Jadi teringat masa kecil bila di kasih kue keranjang sama tetangga yang orang keturunan, lalu kue ranjang -biasa kami menyebutnya dulu ( belakangan baru tahu kalau nama aslinya kue keranjang hehehe....hahahha...... ) di goreng dengan baluran telur yang di kocok-kocok, maknyussssss.......

Dan tak lupa yang paling di nanti oleh anak-anak adalah pembagian angpau . saya dulu pernah lho dapat isinya seribu rupiah hehehe......... bahkan uangnya masih baru aliasgress, masih bau bank.

Tradisi cina memang unik dan menarik. Sedangkan kalau banjir dan hujan lebat yang sekarang mengguyur sebagian besar wilayah Indonesia terutama Jakarta di kaitkan dengan imlek, waduh sungguh bukan hal yang logis tah. wahhhhh........ nanti bisa-bisa ada ucapannya, bukannya ”Gong shi Fa cai , melainkan NgungSi yuk coy …hehehe........ *just kidding




Selamat Hari Raya Imlek 2565,
Gong Xi Fa Cai !
恭 喜 发 财 !


                                                  



Yustinus Setyanta


.

Selasa, 28 Januari 2014

SEMESTA KITA

Kadang kala tak terasa betapa cepatnya waktu berlalu. Malam pergi pagi tiba. Dan pagi pun segera menghilang menuju malam kembali. Perayaan natal, tahun baru, imlek, paskah, lebaran seakan berlarian tanpa terkejar dalam ingatan. Demikian seterusnya. Dan kita, sadar atau tidak, terlena dalam perubahan yang tak terpikirkan sehingga sering merasa terkejut saat tahun akan segera berganti. Dan kalender akan segera ditukar. Begitulah kehidupan ini berlangsung. Senang, susah, tawa, tangis, apakah semua itu ada artinya dalam perjalanan hidup yang singkat ini?

Pikiran dan perasaan kita ternyata dapat menipu. Pikiran dan perasaan kita ternyata sering tak sadar akan perjalanan waktu yang telah membawa perubahan. Banyak perubahan telah terjadi dalam kehidupan nyata seiring jalannya waktu. Sementara kita masih berpikir bahwa segala sesuatu tetap. Masih beranggapan bahwa segala sesuatu masih seperti seperti apa yang kita pikirkan. Tetapi kita cenderung menafikan perubahan itu. Mungkin karena kita telah merasa nyaman dan aman dengan kondisi kita. Mungkin pula karena kita khawatir bahwa perubahan itu akan membawa kita menjadi sosok yang berbeda. Tetapi sesungguhnya kita melupakan bahwa yang dulu telah menjadi sejarah. Dan hari esok sesuatu yang mungkin akan menjadi lain sama sekali dari harapan kita. Sesungguhnya itulah tantangan bagi pikiran dan perasaan kita sekarang. Saat ini.

Siapakah kita ini? Sadarkah kita pada kenyataan yang ada di sekeliling kita sekarang? Kita, yang perlahan aus dimakan waktu, menua dengan cepat, menuju akhir yang pasti, dapatkah kita untuk berkeras menahan lajunya sang waktu? Dan haruskah itu? Bukankah kita ini hanya setitik debu di tengah lautan semesta yang tak bertepi? Bagaimana dapat kita membuat diri kita menjadi semesta itu sendiri tanpa mau menyadari betapa kecilnya kita ternyata? Betapa kecilnya. Betapa tak berdayanya. Betapa rapuhnya. Dalam perjalanan waktu, kita semua sama. Kita semua serupa. 

Maka di tengah samudera kehidupan ini, dengan gelombang yang kadang mengamuk dalam badai menakutkan tetapi kadang hening menenangkan pula, kau-aku-kita-mereka, sungguh hanyalah riak-riak kecil yang tak berarti di antara alun gelombang yang tak bertepi. Walau kita adalah bagian dari pergerakan itu, kita hanya mampu untuk beralun bersama. Mungkin berbeda dalam ujud tetapi mirip dalam nasib. Keberadaan kita sungguh amat sederhana. Hidup dan menghidupi untuk menuju akhir yang pasti. Dan sesudah itu? Kita akan mendapatkan jawabannya hanya setelah kita mengalaminya. Sendiri. Masing-masing. Sebelum itu, kita bukanlah sang penentu kebenaran. Kita tidak mungkin dapat memastikan apa yang akan kita temui nanti.

Kita adalah manusia yang rapuh. Mudah retak lalu lenyap terhembus angin masa. Di tengah segara kehidupan, di antara lautan alam semesta, kita hanyalah noktah kecil, sangat kecil, yang setiap saat mengarungi nasib kita masing-masing. Seperti saat menulis satu kata, kita dapat mengubahnya kembali, memperbaharuinya, tetapi waktu yang telah lewat tak mungkin lagi dapat kita rengkuh kembali. Demikianlah, bersama waktu, kita tak berdaya sama sekali selain dari menerima dan menghadapi apa saja yang saat ini sedang kita alami. Dan kita harus meluruskan segala pemikiran kita yang sering tak sadar diri pada kemampuan dan kekuatan kita dalam hidup. Hari kemarin telah lewat dan takkan kembali. Hari esok akan tiba tetapi sering diluar jangkauan kita. Sekarang dan hanya saat ini saja kita hidup dan menghidupi diri. Dengan harapan. Dengan semangat. Dengan menjalani dan berupaya untuk menyadari betapa waktu tak mungkin kita kejar, seberapa pun hasrat kita untuk itu.

Pagi datang dan malam menyusul tiba. Hari berganti dan setiap saat kita harus menghadapi kenyataan yang ada dengan satu kepastian. Bahwa di ujungnya kelak, kita akan segera usai. Kita dan waktu akan segera berpisah. Tetapi kitalah yang akan meninggalkan sang waktu sementara dia tetap berlanjut seakan tak berujung. Dan walau kita sering melupakannya, dia tetap berjalan dengan tetap dan kelak akan melepaskan kita dalam kenangan hingga ke titik semuanya berakhir dan kita pun terlupakan. Tetapi, sementara kita ada dan masih ada, disini dan sekarang, kita, aku-kau-mereka, selalu dapat memperjuangkan hidup. Bukan dengan menghancurkannya. Bukan dengan menghilangkannya. Bukan pula dengan mengubahnya sesuai keinginan dan hasrat kita semata. Tetapi memperjuangkan keberlangsungannya dengan kesadaran bahwa, apa yang ada sekarang akan menjadi semakin baik kelak. Sepeninggal kita.

Betapa cepatnya waktu berlalu. Betapa tak terasakannya usia menelan kita. Dan semakin ke depan, semakin singkat pula waktu yang akan kita miliki. Kesadaran itulah yang perlu kita renungkan. Dengan demikian, kita dapat menikmati hari-hari kita. Dapat memperbaharui diri kita. Dan dapat menerima perubahan yang terjadi tanpa rasa pedih atau pun putus asa. Sebab waktu tak pernah berhenti. Sebab waktu selalu melaju. Ke depan. Dan jika kita tak mampu menerimanya, kita akan ditinggalkan. Kita akan dilupakan sebelum waktu kita bersamanya usai. Dan siapa yang berhenti di titik dimana dia masih ada dalam waktu, sesungguhnya telah gagal untuk menemukan makna keberadaannya sendiri di hidup ini. Baginya, dunia hanyalah mimpi yang mungkin indah tetapi tidak nyata. Sama sekali tidak nyata.

Mari kita menjalani hidup ini dengan menerimanya. Dan jika perlu, menerima sambil dengan rela mengubah pikiran dan perasaan kita. Mengubahnya menjadi lebih baik tanpa keinginan untuk menghancurkan. Tanpa ambisi untuk menguasai. Tanpa hasrat untuk menjadikannya sama dengan pikiran kita. Sebab kita hanyalah noktah yang kecil, sangat kecil, di antara kehidupan yang demikian luas. Sangat singkat di antara panjangnya sejarah yang telah, sedang dan akan terus berjalan. Dan jika esok tiba, dan kita segera akan berpisah dengannya, kita akan menemukan segala jawaban yang demikian mengusik kita sepanjang perjalanan kita. Karena hanya dengan meninggalkan waktu saja kita justru dapat mengenal dia dengan pasti. Sama seperti keindahan sebuah panorama hanya dapat kita nikmati dari kejuahan. Sama seperti kecantikan dan ketampanan seseorang selalu akan jelas jika kita punya jarak dengan dia. Bersamanya, kita mungkin terkejut akan kenyataan yang sesungguhnya. Demikianlah pula kita yang jika di dalam menjalani hidup ini memperjuangkan kebenaran kita di luar sang waktu, kelak mungkin akan terkejut mendapati kebenaran sesungguhnya. Kenyataan yang bisa sangat berbeda dengan apa yang akan kita hadapi. Percayalah. Dan sadarlah. Memang demikianlah adanya.

Yustinus Setyanta







Senin, 27 Januari 2014

PENJUAL KORAN

Waktu berlalu, hari demi hari. Dan sepanjang usia, kita tinggalkan jejak yang takkan balik kembali. Kita melintas hanya sejenak dalam perjalanan sang kala yang seakan tak berujung. Hanya, betapa seringnya, kita, yang ada dan hidup sekarang, saat ini, merasa betapa waktu seakan beku. Hanya, seakan-akan begini-begini saja. Kita mandek, terhenti dan tak mampu kemana-mana. Kita hanya berdiam diri, terpaku di sudut kesendirian kita, merasa sepi dan terkucil. Sedemikian tak berdaya dan hampa. Sia-sia dan tak berguna. Hidup kadang kala menjadi sesuatu yang mesti ditangisi. Bukan untuk dinikmati. Apalagi disyukuri.

Langit mulai terang. Ku berdiri di depan Hotel menunggu seorang temen yang sedang mandi ketika ku datang di depan hotel sambil menikmati kesegaran udara pagi. Jalan masih lengang dan tak nampak sebuah pun kendaraan yang melintas, hanya beberapa orang yang melewati jalan. Di depanku, seorang lelaki setengah baya sedang sibuk menawarkan daganganya "koran-koran mas, kompas, KR,....bagus lho gaji PNS naik tapi nunggu korupsi hahahhaaa..." begitu kata seorang lelaki setegah baya penjual koran  yang menawarkan koran sambil tersenyum riang dan wajahnya pun nampak ceria sambil menyiulkan sebuah lagu yang terasa asing bagiku. Suara siulannya terdengar jernih di udara yang sejuk pagi. Sementara pada kedua tangannya, tergenggam koran, sejenak kami ngobrol dan bersendau gurau, setelah ku beli korannya pak setengah baya itu pamit mau melanjutkan berjualan koran, tiba-tiba gerakan ketika berjalan meninggalkanku nampak bagaikan menari. Menarikan sebuah tarian pagi yang indah, bersama iringan siulannya yang  merdu. Menakjubkan. Dan matahari mulai menghamburkan sinar kuning keemasan, sinarnya pun perlahan-lahan menerobos di semua penjuru jagat raya. 

Ah, mendadak ku teringat pada mereka yang merasa terpaksa harus bangun dini karena diwajibkan. Mereka yang merasa seakan dunia telah runtuh karena harus mengingkari kenikmatan tidurnya yang lelap. Mereka yang hidup namun tak menyadari kehidupannya. Mereka yang hadir seakan hanya untuk diri sendiri. Dan tak pernah menyadari keindahan dunia sekelilingnya. Menjelang pagi ini, saat sang surya mulai menampakkan dirinya, ku merenungkan, betapa seringnya kita terpaku hanya pada apa yang kita rasakan tetapi gagal untuk menyadari keindahan lingkungan hidup kita yang terbentang luas di depan kita. Di depan kita semua....

Dengan tangan kanan yang menggengama koran, lelaki tua itu menlangkah pergi, sambil tak henti menyiulkan lagu yang terasa asing bagiku. Namun indah. Sungguh indah. Riang sangat. Adakah rasa sesal terhadap dirinya saat itu? Adakah rasa putus asa karena harus hidup setiap hari dalam rutinitas yang sama? Bangun saat dini, saat orang masih sibuk menikmati mimpi mereka, dan memulai tugasnya tanpa seorang yang menyaksikan dan menghargai apa yang dikerjakannya? Untuk menjual daganganya. Suatu tugas yang mulia. Tetapi berapakah yang diterimanya sebagai imbal jasa untuk semua karyanya itu? Cukupkah bagi kehidupannya sekeluarga? Adakah anak-anaknya mendapatkan penghidupan yang baik? Pendidikan yang layak? Ah, lelaki tua itu bergerak seakan menari dalam tugasnya, diiringi suara siulannya yang indah. Wajahnya nampak ceria. Betapa kuatnya dia. Begitu riangnya dia dan ramah membagikan senyuman...

Sambil menunggu temen ku menikmati hidupku. Apa yang ku miliki, apa yang ku nikmati, pahit atau manis, duka atau suka, tak pantaslah kukeluhkan jika ku bisa terinpirasi pada lelaki tsetengah baya penjual koran itu. Udara yang bersih, langit yang biru, pohonan yang rindang, alam yang mempesona. Siapakah kita sehingga harus mengeluh dan terus merajuk hanya karena sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita terjadi? Siapakah kita sehingga ingin dengan buas melahap apa saja hanya demi keinginan diri sendiri? Bukankah kita hanya berasal dari debu yang kelak akan kembali menjadi debu? Pantaskah kita keluhkan kesenangan yang gagal kita raih? Pantaskah?

Waktu berlalu dan kita pun berlalu bersamanya. Sesungguhnya hidup ini berjalan sederhana saja. Sesederhana tugas yang dijalani oleh lelaki penjual koran. Sebab dalam tugasnya yang mungkin terasa membosankan itu, dia melaksanakannya bagaikan dalam tarian hidup yang demikian indah. Sambil menyiulkan satu irama asing, dia memberikan berkat bagi dirinya, sekaligus berkat bagi dunia. Pagi tiba. Dan rasakanlah, betapa hangatnya pancaran sang surya yang perlahan membelai wajah kita di tengah kebersihan lingkungan yang telah dikerjakan oleh mereka-mereka yang sama sekali tak kita kenal. Mereka yang sering tak kita hargai. Dan bahkan kita lupakan sama sekali. Bukankah merekalah sesungguhnya sang pemilik kehidupan ini?


Yusinus Setyanta
Jogja

Sabtu, 25 Januari 2014

DI Pantai





SENANDUNG EMBUN PAGI HARI

Suatu ketika aku berasyik-masyuk dengan embun dan kutapaki jalan, sensasi lembut di telapak kakiku saat menginjak tebaran embun di atas hamparan rumput sepanjang jalan setapak pematang sawah. Tebaran bening bak mutiara itu tak lama kemudian membasahi kaki. Beberapa helai rumput kering ikut tersapu dan menempel sampai di pergelangan kaki.

Ketika aku menoleh ke belakang ada bekas jejak-jejak langkahku yang tergambar. Warnanya hijau gelap di sela-sela taburan putih kemilau. Saat melewati semak tanaman perdu, butiran-butiran bening itu menggelayut seperti anting-anting permata mungil di ujung setiap daun-daunnya. Di dalamnya terbungkus gambaran pemandangan dunia di seberang sana yang tiba-tiba tampak begitu indah. Terbalik, tetapi justru menayangkan kontras yang menakjubkan.

Lagi-lagi embun pagi adalah romantika manakala muncul kebosanan atas musim penghujan. Itulah romantika alam yang menampakkan keindahan pada saatnya. Keindahan itu akan selalu terkenang seraya menyertakan ingatan-ingatan tentang pagi hari. Kilauan embun yang bening memantulkan cahaya adalah aksen lukisan pagi. Kelembutannya menyimpan sejuta kisah dan lagu tentang harapan-harapan di awal hari. Itulah episode kelembutan alam yang menyongsong geliat setiap makhluk menapaki titian sejarahnya.

Nikmatilah pagi sebelum embun pergi!
Belajarlah darinya tentang bagaimana menjembatani dunia bulan dan bintang menuju dunia cahaya mentari yang penuh semarak. Bukankah ia datang dengan hamparan permadani di waktu fajar untuk menyambut setiap makhluk ke sebuah perayaan hari baru yang menyegarkan?

Belajarlah darinya tentang kelembutan karena ia turun tanpa hentakan dan membuai lembut setiap permukaan. Belajarlah darinya tentang ketulusan karena ia datang untuk kehidupan: mengajak debu berbaring di pangkuan pertiwi, menyegarkan bumi dengan kesejukan, mempercantik wajah dedaunan yang sebentar lagi berjumpa mentari, meresapi seluruh relung sampai ke ujung akar, dan sisanya terbang ke angkasa menyatu dengan angin manakala sang mentari bersinar memimpin semesta.

Oh, permata pagi… semoga aku dapat menyambutmu esok hari...


Yustinus Setyanta
Jogja

MATAHARI

Wahai....Matahari....

Cahyamu melukiskan jutaan harapan
Menjadi awal semua kehidupan
Menyambut fajar merekahkan kerinduan
Pagi hari yang riang nan dingin kau hangatkan

Di kala terik teteskan peluhku
Mengingatkan diri akan jalan hidupku
Dan lembutnya senja melegakan desahku
Tenggelam merayu mengiringi langkahku

Wahai....Matahari...

Kau biarkan selimut malam padamkan pelitamu
Padanya kau ajarkan rahasia keindahan
Tentang bintang dan bulan yang menuntun dalam kegelapan
Memberi keteduhan setiap jiwa terundung malang
Menjadikan aku sang penikmat malam yang hening
Hingga lembaran baru datang menjelang


Yustinus Setyanta
Jogja

Dengan Puisi Kita Bercumbu

Kutemukan puisi yang hanya bisa mematung
Terdiam membisu tenggelam dalam bingung
Puisi ini telah membuat hidupku terpasung
Dengan janjinya yang membuatku terkurung

Aku benci baitnya yang hampa tanpa makna
Mengaliri setiap jengkal raga tanpa cita rasa
Mak pandai ia merangkai indah kalimat cinta
Membuat kuterluka dalam setiap rengkuhnya

Kini kutemukan puisi yang terus mainkan melodi
Basuh luka hangatkan jiwa dengan nada harmoni
Sentuh kalbu penuh rindu jalin rapi temali batin
Seolah janjikan indah syair di kehidupan yang lain

Betapa ingin kunikmati geliat rima bait puisi
Kuhayati setiap lariknya dalam hasrat menggebu
Kureguk manis aksara kembali merahkan nadi
Hingga tandas terkuras dalam binal cumbu rayu

Dalam jalinan kata indah naluri kuat menyatu
Menguntai keinginan yang tak kan terhentikan
Setiap ungkapan hasrat penuh makna padu
Membuncah gelegak rindu raga terpadukan

Saling rengkuh satu dalam pagut kata mesra
Memeluk kehangatan ungkap sejatinya cinta
Lupakan semua goresan kata lama tanpa makna
Nikmati keindahan sanjung tulus penuh pesona

Gairah senantiasa mengalir dalam bait kerinduan
Harapku puisi ini hadirkan asmara di peraduan
Aku dan engkau mempelaiku dalam erat pelukan
Tak ingin lepaskan jalinan syair indah kehidupan

Puisi ini telah satukan dua hati yang berbeda
Tuk bercumbu saling mengisi kekosongan rasa
Asa dan cinta telah abaikan segala rintangan
Sadari tak ada yang salah kita ingin kebahagiaan


Yustinus Setyanta
Jogja

HANYA DEBU

“Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” (Roma 9:21)

Pada akhirnya kita hanya debu. Kita hanyalah debu yang tak berarti. Saat angin berhembus, kita pun melayang terbang. Sebagai debu, kita bisa dibentuk menjadi bejana yang indah. Bejana yang indah untuk dipajang sebagai penghias ruang. Namun betapa rapuhnya kita. Betapa rapuhnya. Walau kadang kita menganggap diri kita memiliki kekuatan yang tak terbatas untuk mengejar semua hasrat, ambisi dan keinginan kita. Tetapi ah, kita hanyalah debu. Debu yang ternyata tak punya apa-apa selain dari pikiran, hasrat dan perasaan semata.

Hidup. Hidup memiliki banyak warna. Variasi tak terhitung oleh daya pikir kita. Namun betapa terbatasnya daya ungkap kita dalam melihat dan merasakan aneka peristiwa di muka bumi ini. Aneka kemungkinan dan ketak-terbatasan yang sering jauh dari daya jangkau perasaan kita. Dapatkah kita memastikan suatu hal sebagai suatu kebenaran mutlak? Bukankah dapat terjadi, saat kita dengan penuh puas hati merasa bangga atas diri sendiri, angin berhembus lalu kita dibawa pergi? Pergi, melayang jauh dan terlupakan dalam waktu.

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun. Tahun ke Abad. Waktu lewat dan dimanakah kita kelak? Kita, yang saat ini sedang merasa puas ataupun pilu atas apa yang sedang kita alami, hanya sekedar tanah liat yang dibentuk menjadi bejana – indah atau tidak – hanya dan untuk sekejap waktu. Tetapi toh, dalam waktu yang sesingkat itu Sang Pemilik ingin menikmati kegunaan ciptaan-Nya. Jadi, bukan semata kekhawatiran serta kebanggaan yang terus memenuhi ambisi dan hasrat kita, tetapi apa dan bagaimana kita dapat dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Sebab memang, kita diciptakan dari debu demi untuk suatu tujuan yang sering tak terpikirkan oleh kita. Sebab tak terpikirkan, maka kita harus belajar untuk mencari dan terus mencari. Bukan dengan melambungkan perasaan kebanggaan dan kepentingan kita semata, tetapi terutama dalam berjuang untuk kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang rapuh tetapi tetap sangat punya makna. Demi untuk mengenal dan mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi tujuan keberadaan kita di dunia ini. Keberadaan kita saat ini. Kita punya warna. Satu warna dari aneka warna yang tak terbatas. Kita punya waktu. Satu jangka waktu singkat dari sebuah masa yang sangat teramat panjang.

Pada akhirnya kita memang hanya debu. Kita hanya debu. Tetapi debu yang berguna karena dibentuk dan membentuk diri kita untuk menjadi sesuatu yang dibutuhkan dunia ini. Mulia atau tidak, kita semua telah ada dan hidup. Sekarang. Maka bukan pada apa peristiwa yang saat ini sedang kita alami, tetapi pada apa hal apa yang akan dan sedang kita lakukan saat inilah tergantung kemungkinan kebenaran keberadaan kita. Kadang, kita memang membutuhkan pegangan. Kadang, kita mengharapkan topangan. Tetapi lebih dari itu, untuk hidup yang punya arti, kita harus berbuat agar dibutuhkan. Untuk membuktikan keberadaan kita. Untuk kelegaan kita. Untuk Sang Pencipta yang telah membuat diri kita hadir di sini. Karena untuk itulah, kita ada dan dilimpahi kekuatan sebagai harta yang tak berkesudahan.

"Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami". (II Korintus 4:7)


Yustinus Setyanta
Jogja

08 Mei 2007

Dingin menusuk kulitku. Fajar akan segera tiba. Gerimis turun menyejukkan jiwaku. Dan tanah yang basah menyegarkan hatiku. Dua puluh tujuh tahun. Perjalanan waktu di atas bumi ini seakan melintas tanpa terasa. Seakan aku ada kini secara ajaib. Ya, "Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu" (Wahyu 15:3)  Segala suka dan duka hanya sekedar jejak-jejak di atas gurun pasir kehidupan yang tak berujung. Haruskah aku bersedih? Ataukah bersukaria? Tetapi mengapa semua melintas lewat tanpa terasa? Hidup hanya lewat seperti angin yang berhembus. Hidup bagaikan setetes embun pagi yang jatuh ke bumi. Tiba dari entah dimana, dan pergi ke entah kemana. Kini, dan saat ini, aku hanya dapat menikmati hidupku dengan penuh rasa syukur. Apa adanya.

Fajar dan gerimis mengawali hari ini. Dan ku menemukan rintik-rintik riwayat dalam suatu ketakpedulian masa. Ada nyanyian tentang cinta. Nyanyian tentang hidup. Nyanyian yang menyayat hati.Nyanyian tentang pilu. Nyanyian yang memberi semangat. Nyanyian tentang apa saja. Namun ku tahu bahwa, suatu saat kelak, segala nyanyian itu akan usai. Dan tenggelam dalam ujung masa, ada nyanyian yang sama sekali asing bagiku. Sama sekali tak kukenal namun terasa dekat. Aku dan sang waktu, hanya sebatas ada dalam suatu perjalanan menembus masa.

Angin berdesir. Datang, lewat dan pergi. Perlahanku langkahkan kaki menapaki  jalan setapak yang  nampak sepi dan udara sejuk pagi membias. Jalan setapak yang kulalui berdebu namun tak terhambur oleh tiupan angin karena  tetes-tetes gerimis tipis yang membasahi tanah. Lamat-lamat, dari kejauhan, terdengar suara lonceng gereja teng...teng...teng...... Siapakah yang dipanggilnya? Apakah aku? Kamu? Mereka? Kita? Gerimis tipis, fajar, desir angin, suara yang memanggil-manggil kerinduan hatiku untuk bersujud kepada-Nya dalam doa, mengapakah jiwaku harus resah? Bergunakah semua keresahanku ini? Sebab pada akhirnya kelak, semua itu hanya akan bergelut dalam lautan waktu dan daging yang fana ini. Sebab pada akhirnya kelak, aku akan lelap dalam akhir yang tak terelakkan.

Namun tak ada kepastian. Tak ada kata-kata. Aku hanya bisa berharap pada pengharapan yang mungkin. Selalu berharap pada-Nya. Dan itu yang tertinggal dalam jejak-jejak yang telah kutanamkan sepanjang perjalanan hidupku selama ini. Itu pula yang akan tertancap dalam patok-patok kenangan yang menandai keberadaanku di bumi ini. Aku ada. Akan pernah ada. Lalu takkan ada lagi. Ayo, bertuturlah. Nyanyikanlah sebuah lagu untukku. Lagu apa saja. Sebab esok hari, siapa yang dapat menduga akan apa yang akan terjadi? Engkau tidak. Aku tidak. Dan langit tetap akan tersenyum. Padamu. Padaku. Pada kita semua.

08 mei 2007. Hari baru. Harapan baru. Yang kemarin telah silam. Yang besok baru kemungkinan-kemungkinan. Tinggallah hari ini. Dengan segala harapan dan kesegaran baru. Dengan gerimis dan nyanyian hidup. Dengan Nyanyian alam. Aku ada. Telah ada. Dan inilah kepastian yang tak bisa kupungkiri. Segala apa yang telah terjadi takkan bisa disirnakan. Dan apa yang akan segera terjadi takkan bisa dipungkiri. Hidup adalah harapan saat ini. Sekarang. Dan itu sudah cukup sebagai kebenaran yang pasti bagiku, sebagai insan yang masih mampu bernafas. Sebagai insan yang selalu berpegang pada-NYA. Masih sanggup tertawa dan tersenyum. Harapan, ah betapa indahnya ENGKAU.



Yustinus Setyanta.
Kalasan - Jogja 08 Mei 2007

SENANDUNG ANGIN

Ku dengarkan alunan simfoni hari
Tembang cinta lembut menghiasi
Tiada perlu aku membeli

Yang ada hanya aku nikmati

Angin mengawali biolanya
Menggunakan kayu cendana s'bagai gendewa
Melela lagu mesra sepenuh jiwa
Dan terbawa lembut di seputar dahannya

Angin sepoi tenang datang
Dawai yang besar menyeruak masuk
Alunan kuat meningkat kencang
Dan ku dengarkan melodi merasuk

Hembusan angin di rumput bermain lembut
Sebuah senandung merengek tenang
Berputar alunan nada tinggi bersambut
Dalam tempo dendang melayang

Tiupan kuat membadai
Dalam gairah simfoni yang mendalam
Laksana aku sedang mendengarkan nafas dewi gemulai
Untuk sempurnakan karya alam

Petir menyambar, guntur bergulir
Simbal beradu dan bertalu bunyi gendang
Dalam sebuah irama merdu mengalir
Alam raya lahirkan musik berimbang

Ketika awan terbersihkan dan angin telah terhenti
Semangatku menggelora, membara
Aku tetap tenang dan senang bersyukur hati
Pada hasrat cipta dan cinta dalam rangkulan-NYA



Yustinus Setyanta
Sendang Sono -- Jogja

Rinai Hujan

Masih samar gambaran jiwa kita di netra hati...
Namun rindu ini selalu senandungkan nyanyian hati...
Hembusan bayu sampaikan aroma tubuh wangi...
Dan nadi kita hanya alirkan bayang wajah asri...

Masih terlalu muda usia kuncup pertemuan kita...
Namun pintu hati telah terbuka dengan sendirinya...
Tumbuhkan hasrat pagutkan raga dalam sekar cinta...
Indahkan sisa masa pelangikan langkah kembara...

Terasa hangat pesona asmara membebat diri...
Tak ingin sedetikpun gejolak rasa berlalu hampa...
Tembang cinta melela iringi tarian naluri purba...
Kian melenakan kita dalam belaian gairah insani...

Dingin sepi malam tengarai hadirnya hasrat kita...
Saling mendekap bayang lamunan nan membiru...
Mengalir kerinduan kita melalui batin berpadu...
Tak ingin sedetik pun berlalu tanpa desah manja...

Semakin rekat jalinan ingin kita untuk menyatu...
Abaikan semua kata hati yang pernah meragu...
Bisikan mesra keindahan cinta semakin merindu...
Ditingkah alunan simponi paduan irama mendayu.


Betapa berharap hidup kita kan penuh warna...
Dihiasi kuntum bunga dan harum pucuk cemara...
Biarkan rinai hujan sempurnakan indah cinta kita...
Percikkan bahagia tanpa dunia menyadarinya....

"Salam Hangat Penuh Cinta"



Yustinus Setyanta
Rintik Hujan Suatu Malam Di Malioboro - Jogja

PERCIK PESONA

Senja nan redup, dingin angin membelai
Kurasakan sentuh hangatmu
Lewat sapa mesramu yang temani
kita nikmati tembang cinta mendayu

Dalam alunan denting piano romantis
Genggaman jemarimu nan manis lentik
Kurasakan hangat asa mengalir manis
Mengiring kagumku tuk hatimu cantik

Rinai hujan basahi buram jendela kaca
Tapi bening matamu, sapaku mesra
Jernih ketulusanmu percikan pesona

Membasuh risau hati yang merana

Kian pasti kulabuhkan cinta padamu
Dari penat pencarian kelu masa lalu
Hatiku dan hatimu saling bersambut
Merenda kasih kita berpagut lembut

Senandung asmara membelai anggun
Warnai paduan hasrat kita menuntun
Saling mendekap gairah kian terarah
Pada kelembutan cita melebur indah


Yustinus Setyanta            --------------           Puisi
Jogja

Jumat, 24 Januari 2014

DUA SEJOLI

Barangkali ada yang pernah menyaksikan panorama ini: Saat langit diliputi awan tebal dan gelap, matahari muncul dari sela-selanya sambil menyinarkan cahayanya yang demikian mempesonanya dan luar biasa menakjubkan. Dengan langit dipenuhi warna kelabu dan jingga keemasan, keduanya nampak bagaikan dua sejoli yang demikian akrab, saling isi mengisi dan tak terpisahkan. Dan sesekali, awan bergerak menutupinya, tetapi sejenak kemudian ia muncul kembali dengan sinar yang sama tetapi dengan warna putih cemerlang menusuk mata seakan hanya berkedip pada bumi yang merindukannya.

Dan jika menikmati ini: Saat malam lewat dan fajar tiba, berdiri merasakan kehangatan cahayanya sambil menghirup kesegaran udara yang belum dipenuhi asap knalpot kendaraan dan polusi dari industri yang masih tertidur lelap. Betapa kehangatannya masuk ke dalam tubuh, menyusup ke dalam rasa dan mengalir ke seluruh raga seakan sebuah aliran yang membuat semangat bangkit dan menikmati indahnya hidup ini.

Demikianlah, setiap saat hidup selalu punya momen yang demikian menakjubkan sepahit atau sekeras apapun hidup ini. Saat setiap pagi, terbangun, lalu membaca koran pagi dimana dunia nampak demikian suram dan tak punya harapan, dimana kekerasan, ketidak-adilan, kemiskinan, kelaparan, penderitaan, pemerkosaan, pembunuhan, bencana, perkelahian, peperangan dan segala macam berita buruk lainnya memenuhi halaman berita pagi itu, dan hati kita diliputi keprihatian mendalam, alam semesta tetap membagikan semangatnya kepada dunia ini. Kepada kita yang adalah manusia.

Dunia tak pernah bosan kepada kita, sama seperti Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Tetapi jika kita merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan kita, jangan salahkan DIA. Manusia mengubah dunia ini sesuai dengan kehendaknya sendiri, semua dibuatnya kacau, bahkan sering atas nama-Nya. Padahal yang sesungguhnya adalah demi untuk kepentingan dirinya sendiri. Tuhan tak pernah meninggalkan kita, tetapi justru kitalah yang meninggalkan-Nya, tetapi anehnya atau malah lucunya, kita merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan kita. Sungguh ironi.

Kebaikan dan kejahatan. Sungguh semua itu tidak tergantung pada Tuhan tetapi justru pada manusia itu sendiri. Yang diberikan-Nya setiap hari adalah kesempatan untuk hidup, kesempatan untuk berbuat baik, kesempatan untuk saling membagikan berkat dan karunia yang kita miliki, bukannya saling memaksakan kehendak, bukannya untuk saling menghancurkan agar ada yang menjadi pemenang, bukannya untuk saling meniadakan satu sama lain. Tidak. Kebaikan dan kejahatan, dua sejoli yang berjalan seiring bagaikan awan mendung dan cahaya matahari dengan pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Sepenuhnya ada di tangan kita. Tuhan telah memberikan kita kesempatan untuk memilih maka pilihan itulah yang akan menentukan hidup kita kelak. Tuhan menyayangi manusia, sayang manusia tidak saling menyayangi satu sama lain, dan karena itu pun tidak menyayangi Tuhan yang menciptakannya. Sayang sekali bila demikian.



Yustinus Setyanta
Jogja

KU BILANG SAYANG

Hembusan angin dingin yang menusuk-nusuk
Badanku yang semakin merauk-rauk
Hanya satu yang selalu ku pikirkan dalam hiruk pikuk
Dirimu yang semakin hari tanpa ada di peluk

Pertama kita berjumpa di suatu sudut ruang
Sabar sayang kita hanya terhalang jarak pandang
Aku akan s'lalu tetap cinta & sayang
Pada dirimu dara, ketika tersenyum manis riang

Cinta kejadian luar biasa di batas akal manusia
Hanya sebuah hati yang dapat menguraikan sebuah makna
Tanpa kita duga
Kita dapat  berjumpa, itulah cinta



Yustinus Setyanta          --------------------              Puisi
Jogja

KAU PUNYAKU

Saat hari mulai muncul di pelupuk mataku
Kulihat dirimu masih berada disampingku
Sebagai tanda kau adalah punyaku

Dari lubuk hatiku terucap doa
Kiranya kau 'kan tetap punyaku hingga akhir hidup kita
Bertautan hati kita berdua di padang kehidupan
Seraya berucap kau tetap punyaku
Dan akan selalu seperti itu

Duhai penyejuk hatiku
Yang menjadi bagian dalam hidupku
Kiranya kau mencurahkan semua isi hatimu selayaknya
Aku pun mencurahkan isi hatiku padamu jua




Yustinus Setyanta              --------------                  Puisi
Jogja

UNTUKMU

Sudah waktunya rasa ini harus ku tambatkan
Pada sebuah hati yang menawan
Berselimut jingga kehagatan
Ku t'lah penat dengan semua bayang berlari dalam temaram
Yang kian menghilang dan memburam
Ku harus enyahkan setiap resah dan geram

Cinta itu ada di dirimu
Rasa itu kan membawaku ke sudut rindu
Bagai ku menggenggam awan di langit biru
Dan terayun dalam buaian lagu nan syahdu
Diriku kian terpaku pada hatimu

Sejuta ragu kini berlari tinggalkan diri
Tinggallah seribu asa dalam relung nurani
Yang di suatu hari kita kan berdiri di altar suci
Tuk ucapkan janji setia hingga akhir nanti
Lalu bersama sematkan cincin permata tanda kasih sejati


Yustinus Setyanta            -----------------         Puisi
Jogja

POLITIIK NARSIS PUN BORJUIS

Deretan baliho dan poster bergambar wajah yang sumringah dan penuh janji politik hampir setiap saat dapat kita jumpai di tepi jalan kota-kota besar hingga di pedalaman sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang sedang berlomba mendulang dukungan dalam politik seolah-olah politik adalah sebuah kontestasi untuk mendapatkan kekuasaan. Fenomena yang kita kenal sebagai kampanye politik tersebut bukanlah hal baru bagi Indonesia, semenjak Indonesia memilih mekanisme politik pemilihan langsung maka seketika itu metode kampanye dengan baliho dan poster paling diminati untuk mencari dukungan politik meskipun pada zaman pemerintahan Orde Baru proses kontestasi politik tersebut sangatlah kaku dengan tiga partai peserta pemilu yang selalu dimenangkan oleh Golkar.

Setiap kontestan politik berlomba-lomba memasang foto dengan gaya terbaik lengkap slogan dan janji-janji muluk kampanye mereka ketika sudah mendapatkan posisi politik tersebut. Masyarakat kita mungkin sudah kenyang bahkan sangat kenyang dengan paparan janji politik yang setia saat disebar dan disuntikkan dalam ingatan kita. Kita kemudian terkurung dalam ruang sosial yang dipenuhi oleh kampanye dan sosialisasi politik yang ironisnya tidak semua orang akan dan mau mengerti atau mengikuti kehendak tersebut. Sebagian orang akan melihatnya sebagai sebuah kekuatan politik tapi tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai polusi pandangan sepanjang jalan. Melihat para calon kontestan politik memakai pakaian terbaik dan pose paling keren.

Di beberapa tempat, saya pernah menemui baliho berukuran jumbo malah super jumbo yang memajang wajah calon legislatif sedang merangkul petani dan rakyat miskin, ada patakan yang terpaku di pohon dengan selogan indah, atau ada juga calon kontestan politik dengan jubah agamisnya seolah-olah kita sedang berada di tanah suci dan meyerukan segala kebaikan agama, sangat agamis. Dari segala jenis reklame muali dari poster, baliho, pataka hingga billboard semuanya pada musim kampanye politik menyajikan visualisasi politik dan janji kemajuannya. Setiap kontesntan politik berlomba menampilan ide cemerlangnya, tidak heran jika seorang konstestan-kontestan politik harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bisa menampilkan kampaye politik yang menarik perhatian masyarakat. hmmmm.........

Kita mungkin akan sepakat bahwa bentuk kampanye politik tersebut secara lazim kita mengenalnya sebagai politik citra atau politik narsis atau segala bentuk labeliasasi politik tampilan diri yang tersusun dari segala upaya untuk membangun wajah politik yang ideal berdasarkna selera pemilih, pada tulisan ini, penulis lebih memilih diksi yang sedikit berbeda, semoga kita sepakat bahwa ini adalah semacam Politik Narsis. Politik Narsis adalah langkah awal perjuangan dalam pertarungan politik yang terkonstruksi dari ide menuju satu sikap pilihan politik secara luas. Idealnya kondisi tersebut harus berbading lurus pula dengan pengetahuan masyarakat luas akan konsekuensi pilihannya dan mengetahui segala seluk-beluk peredaran wacana politik via kampanye ini.

Konstruksi Pengetahuan via Politik Narsis

Politik Narsis secara teknis dapat kita pahami sebagai upaya untuk membangun tampilan sosok ideal sebagai muara segala kebaikan, dengan segala biaya yang tinggi dan kekuatan mesin politik yang bekerja keras hanya untuk memunculkan sosok yang ideal dan layak pilih. Politik citra ini berusaha untuk mengkonstruksi ide dalam kehidupan sosial masyarakat tentang pilihan politik yang harus kita ambil hingga pada titik radikal sekalipun berupa tidak adanya lagi pilihan yang rasional dalam kesadaran politik akibat konstruksi ide tersebut karena terkadang pilihan politik adalah pilihan emosional tanpa ideolgis. Maka tidak mengherankan jika ada kubu pendukung kontestan politik yang rela mati demi tokohnya, saling sindir sekilas di media massa atau di ruang publik maka mesin politiknya akan bekerja menetralisir dengan segala cara. Akan tetapi tulisan ini tidak sedang berusaha melihat sisi internal kontestan politik dan mesin politiknya akan tetapi lebih kepada upaya pembongkaran fenomena Politik Narsis dalam Perspektif Sosial Kritis.

Tujuan dasar dari Politik Narsis tersebut ialah untuk menstimulus dan membangun pengetahuan di benak masyarakat tentang segala kebaikan politik. Kebaikan politik yang hanya bisa didapat melalui mereka sebagai orang yang tau dan paling sholeh untuk masalah politik meskipun pada kenyataannya kondisi ini sangat jarang memberikan ruang dialektika politik sehingga cita-cita mendasar tentang pendidikan politik adalah mimpi yang tidak pernah usai. Segala wacana yang dibangun via tampilan politik narsis kemudian merepresi kesadaran kita dan mulai membentuk pengetahuan baru tentang politik tersebut, dari kesadaran palsu melalui rekayasa pengetahuan menuju pemebntukan gerbong politik via kampanye. Bisa pula kondisinya ialah anggapan bahwa masyarakat awam adalah masyarakat yang apolitis dan tidak mengenal segala bentuk kebijakan maka diperlukan sebuah upaya untuk mengenalkannya melalui kampanye politik, keduanya punya alasan yang jelas.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan terlebih dahulu ialah kenapa politik citra begitu penting dan kuat sehingga mampu membentuk masyarakat dengan kesadaran politik yang labil. Secara sederhana, kontestasi ini penting untuk memenangkan pertarungan politik dengan mengkonstruksi pengetahuan awam sebagai sarana sebagai sumber suara meraih kekuasaan. Nantinya kekuasaan ini pulalah yang akan terus mereproduksi wacana untuk mempertahankan kekuasaan, selayaknya lingkaran pengetahuan dan kuasa tiada henti. Pengetahuan terlembaga melalui institusi politik menjadi otoritas kekuasaan yang menentukan ini yang benar dan itu yang salah. Kondisi ini memainkan perannya dengan menjadi bagian internalisasi nilai dan pengetahuan kepada masyarakat sehinggga menjadi kemudi otomatis gerak langkah individu. Singkatnya pengetahuan yang ditampilakn oleh narsisme politik menjadi penuntun langakh politik kita, sadar atau tidak sadar.

Dalam ranah Perspektif Sosial Kritis, Ide Michael Foucault ( 1926-1984) yang banyak menulis tentang relasi kekuasaan, pengetahuan dan diskursus sosial yang terbangun menjadi salah satu refensi kuat untuk bisa menganalisi dan membongkar segala bentuk metode dan relasi yang terbangun dari awal hingga pencapaian kekuasaan. Selain itu beberapa tokoh Kritis lainnya yang banyak terpengeruh dari perspektif sturkturalis memiliki basis analisis yang jelas dalam melihat fenoemana tersebut semisal Andrew Linklater, Richard Ashley (1902-1974), Richard Wyn Jones serta Robert Cox (1926).

Perspektif Sosial Kritis berusaha memahami hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, sehingga memiliki kecenderungan mengakui sifat politik klaim pengetahuan. Pada pandangan ini, Teori atau pengetahuan yang dikosntruksi secara politis hanya mungkin ada dengan syarat bahwa subjek bertanya dapat menarik dari dunia yang dipelajarinya (dan di mana itu ada) dan membebaskan dirinya dari semua hal yang bias sehingga mampu memberikan analisis terhadap dorongan pengetahuan baru serta formasi sosial yang tidak pernah bebas nilai.

Robert Cox menunjukan pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa “theory is always for someone and for some purpose”. Disisi lain pula, Teori kritis bertujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk dominasi serta mendorong kebebasan dan keadilan. Teori kritis menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan. Sebuah pengetahuan secara luas dipahami sebagai sebuah bentuk konstruski sosial, budaya dan ideologi, dan salah satu tugas utama dari Perspektif Sosial Kritis adalah untuk mengungkapkan pengaruh konstruksi dan dialektika didalamnya. Sebagaimana Richard Ashley tegaskan bahwa “knowledge is always constituted in reflection of interests”.

Coen Husain Pontoh pada jurnal Indoprogress sebelumnya pernah menulis terkait politik citra yang menurutnya merupakan bentuk nilai yang ditanamkan sebagai kemudi otomatis dari kekuasaan. Secara sederhana kaum Perspektif Sosial Kritis ingin menunjukkan bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh tampilan politik narsis yang kita komsumsi setiap saat, bukan hanya saat menjelang pemilu atau pemilukada akan tetapi sepanjang hidup politik Indonesia tidak lain bertujuan untuk membentuk pola pikir dan ide yang bermain dikepala yang mengarahkan kita untuk sepakat bahwa hak politik kita telah terwakilkan oleh mereka akan tetapi tugas masyarakat pada dasarnya baru dimulai, ialah bagaimana kekuatan ide yang tterkonstruksi sebelumnya harus disadarkan untuk bisa membongkar kondisi kemapanan pengetahuan yang terus direproduksi oleh kekuasaan. Rebut kembali atau merasa tewakilkan adalah pilihan sikap lanjutan.

Kontestasi Politik Tiada Akhir

Lantas pertanyaan selanjutnya, apa yang salah dengan politik narsisme dan kondisi seperti apa saja politik narsisme itu mati. Kita mungkin akan sepakat jika pada dasarnya sikap politik yang ditampilakna adalah habitus asli kontestan tersebut maka politik narsisme ini bukanlah masalah akan tetapi jika ternyata yang ditampilkan ialah klaim habitus dan menjadikannya tameng untuk terlihat baik maka serangan terhadapnya harus jelas. Tidak ada jalan lain dalam menjalankan kekuasaan kecuali dengan merebut kekuasaan tersebut akan tetapi jika cara dan kekuatan merebutnya terbangun atas kebohongan dan habitus palsu maka yang terjadi ialah kekuasaan palsu pula dan lambat laun kekuasaan akan menjadi barang hina ditangan penjahat kekuasaan.

Politik dan perebutan kekuasaan adalah kontestasi tiada akhir, maka memastikan politik dijalankan oleh kekuatan yang terbagun dari basis pikir masyarakat ialah salah satu jalan dan menjadi jalan kekuasaan terkuat. Membangun budaya kritis akan pengetahuan dan konstruksi ide yang terus terjadi adalah tugas politik sesungguhnya bukan menunggangi politik dengan kepalsuan dan klaim pribadi yang menjadi penghambat transformasi. Tampilan alim ulama ketika kampanye dan korup ketika menjabat adalah musuh transformasi masyarakat politik yang maju mulai dari tingkat negara hingga kecamatan terpencil sekalipun


Yustinus Setyanta
Jogja

Kamis, 23 Januari 2014

LURUS

“Di jaman ini, mereka yang hidup lurus akan berjalan di lorong sunyi. Nyaris tanpa teman...” Demikian kata seorang bapak kepadaku suatu ketika.”Entah kita meninggalkan atau malah kita ditinggalkan, kita menjadi orang aneh yang mengasingkan diri dari hiruk pikuk materi belaka. Dan tak jarang membuat kita bertanya dalam hati, apa diri ini salah? Ataukan situasi dan kondisi kita yang salah urus?”

Saat merenungkan kalimat-kalimat itu, tiba-tiba ku tersadar akan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Paling tidak, jika dilihat sepintas. Kemajuan tehnologi telah menciptakan begitu banyak perubahan dalam diri kita (manusia). Benda yang bertaburan setiap saat dapat kita baca lewat iklan, dapat kita saksikan di layar kaca atau monitor, sungguh sangat menggoda hasrat kita, keinginan kita. Sementara apa yang kita terima tidak dapat membeli segala yang tersaji di depan mata, maka kita mempergunakan segala cara, halal atau tidak, hanya demi dapat memiliki dan menguasai benda tersebut. Seperti kata temen saya suatu ketika saat kami ngobrol bareng dengan nada tertawa dan bercanda berkata, H3 nie : halal haram hantam, waaaawkwkwkwkkkkk............

Demikian pula, percakapan dalam setiap pertemuan sering dibumbui dengan benda-benda yang ada di tangan kita, HP lah, kekek bengeklah wisss....jelasnya benda yang kita miliki dan kita pakai walau mungkin tidak sepenuhnya kita pahami bahkan tak sesuai dengan pemakain, kebutuhan kita. Maka mereka yang tidak mampu, tidak memiliki dan tidak tahu akan benda tersebut pada akhirnya akan tersisih. Seperti terasingkan gitu. Mereka akan melalui lorong sepi dalam hidup yang jauh dari jalan raya yang bertaburan cahaya kemajuan. Tersisih dari pergaulan, tersudut dan hanya sekedar menjadi penonton dengan perasaan yang pahit. Tetapi juga rumit. Namun jarinya jangan terjepit pintu lho ya tar sakit.

Tetapi haruskah hidup ini kita jalani dengan meninggalkan kesadaran hati nurani kita hanya demi agar dapat memasuki jalan raya yang demikian berkelimpahan cahaya gemerlap tetapi sesungguhnya belum sanggup kita pahami? Belum sanggup kita nikmati? Haruskah kita hanya sekedar dapat menjadi pembeli dan pemakai saja, dan tidak menjadi penjual dan bila perlu, bahkan pencipta yang jauh lebih memahami apa yang dapat kita peroleh? Mengapa kita lebih suka menjadi pengikut dunia dari pada menjadi perintis kemajuan?

Sungguh benar, mereka yang hidup lurus akan berjalan di lorong sunyi. Sebab hanya mereka yang berjalan dalam keheningan dapat menjadi pencipta yang kreatip, menjadi penemu karena perenungan yang dalam, menjadi pelopor kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dan bukankah aneka macam penemuan, hasil-hasil karya yang bermanfaat bagi banyak orang pun karena keheningan perenungan yang dalam. Sebab sesungguhnya, kemajuan jaman ini tidak di tentukan di jalan raya yang gemerlap dengan pasar jual-beli yang hiruk pikuk tetapi justru di ruang-ruang terpencil- hening yang memunculkan segala ide dan pemikiran untuk membuat manusia lebih nyman dengan dirinya. Atau paling tidak, membuat sang penemu dalam diri lebih nyaman menjalani hidupnya apa adanya.

Maka bagi yang hanya dipenuhi hasrat untuk memiliki dan menguasai, sesungguhnya tidak akan mampu untuk menciptakan kebutuhannya sendiri. Tidak akan bisa memikirkan kemungkinan lain yang dapat dilakukannya dengan kemampuan yang dimilikinya. Maka hanya membeli keinginannya sendiri, bukan menciptakan apa yang diinginkannya. Maka tak terelakan kadang kala merasa kurang puas dengan apa yang di perolehnya. Sebab hanya mencintai keramaian pasar, hiruk pikuk jalan, cahaya iklan yang gemerlapan. Begitu enggan untuk menyepi memikirkan apa yang dapat menjadikan hidup lebih bermanfaat dan berarti, segan untuk menaklukkan keinginannya yang membara. Karena tidak menyukai jalan yang berliku, penuh kesulitan dan rumit. Dan malas untuk terus menerus belajar memperbaharui dirinya.

Begitulah, kemajuan telah menciptakan suatu kontradiksi yang aneh pada kita. Sebab seharusnya, dalam pemikiran, hidup lurus selayaknya jauh lebih mudah untuk ditelusuri. Jauh lebih nyaman dan aman untuk dilewati. Hanya perlu usaha dan kerja nyata, belajar dan berpikir, mempergunakan semua kemampuan yang telah kita miliki. Tetapi ternyata kita jauh lebih menyukai sikap menerima. Tanpa berpikir dalam. Berharap semua hal datang sendiri. Bagaikan memegang pengatur jarak-jauh atau remote control. Serba instan. Serba ringkas. Serba praktis. Maka kita mempergunakan segala macam cara selain dari bekerja secara jujur dan keras. Jika harus korup maka korup-lah. Hidup cuma sekali mari kita korupsi aaiiii....Jika harus menendang sesama maka tendang-lah. Yang penting kita dapat membeli dan membayar apa yang kita inginkan. Jika harus bekerja dan berpikir? Jangan......Jangan!!!........Jangan gitu ya!!!  Sebab hidup bukan untuk dipikirkan tetapi dinikmati dengan rasa syukur.. Ahhhhh...ah..ah..ah.......aahhhhh.....nikmatnya.



Yustinus Setyanta
Jogja

GELAR

Suatu ketika, kami berempat sedang berbincang-bincang di angkringan sembari menikmati es teh dan gorengan lantas ada seorang yang bercerita kepada kami, dengan nada bangga, tentang betapa hebatnya seorang teman yang dikenalnya. Teman yang juga punya deretan gelar di belakang namanya sehingga rasa-rasanya malah lebih panjang dari namanya sendiri. Dan dia, dengan penuh semangat memuji-muji sang sahabat sebagai seseorang yang wah lah, bahkan seakan-akan sempurna sebagai seorang manusia. Karena gelarnya. Karena kekayaannya. Mungkin karena sang sahabat telah memberikan sumbangan dana yang sangat besar untuk kegiatan pembangunan rumah ibadat yang sedang dilaksanakannya.Seorang temen pun memandang ku sambil tersenyum saya pun tersenyum juga mendengar penuturan itu.

Gelar & Kekayaan. Tiba-tiba ku merasa betapa dua hal tersebut jarang saling terkait. Atau bahkan tidak seharusnya saling terkait. Tetapi di negeri dimana gelar dapat diperoleh dengan menghapal, atau bahkan mungkin hanya dengan membeli tanpa perlu belajar, apa artinya sebuah gelar? Pendidikan kita lebih mengutamakan penghapalan dari pada pemahaman, lebih mementingkan isi dompet dari pada isi kepala, sehingga walau kita sebenarnya belum atau tidak paham tentang ilmu yang kita dalami, tetap dapat memperoleh secarik kertas yang bernama ijazah karena kita mampu untuk menghapal semuanya. Atau jika tidakpun, kita bisa membelinya.

Maka nampaknya, pada umumnya pujian dan kebanggaan seseorang lebih tertuju pada materi dari pada pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal, bukan sesuatu yang mesti dipahami. Dan selama kita mampu menghapal baris demi baris apa yang ada di buku teks yang dijual kepada kita, selama kita mampu membayar sebesar harga yang ditawarkan kepada kita, dengan mudah kita dapat memperolehnya. Sebab itulah, tidak jarang kita bersua dengan mereka yang punya gelar sangat panjang dan boleh di bilang panjang seperti kereta api, tetapi ternyata hanya memiliki pola pikir yang sederhana dan opini yang hitam putih melulu.

Padahal, pengetahuan haruslah dipahami. Demikian pula kehidupan ini, haruslah dimengerti. Dunia pengetahuan adalah sebuah dunia yang dinamis. Dinamis dari kata dinamika ini muncul kata “dinamis”. Sederhananya Hidup = dinamis, (Pastur. N. Drijakara S.J. - Filsafat Manusia, 2011, 51 dst.), penuh perubahan, dan kita harus menciptakan perubahan itu tanpa terkungkung dalam teori yang mandek, hampa dan bisu. Sungguh, pemahaman jauh lebih penting dari pada penghapalan. Sebuah gelar yang diperoleh hanya dengan menghapal, apalagi cuma dengan sekedar membayar, tidak punya nilai untuk dapat dibanggakan. Sama sekali nihil nilai.

Jangan heran jika sesekali kita merasa takjub mendengar pendapat seseorang yang tanpa gelar dalam percakapan sehari-hari jika dibandingkan dengan pendapat mereka yang punya gelar panjang dan ditulis sebagai berita utama di koran-koran. Kebijaksanaan yang berbeda, kadang sangat jauh antara langit dan bumi, tetapi siapakah dia yang tanpa gelar sama sekali untuk dapat diambil opininya sebagai berita utama? Maka bagiku, gelar tidak punya arti apa-apa. Yang menentukan adalah bagaimana seseorang dapat memahami hidup ini. Bagaimana seseorang mampu mengerti apa yang sedang dihadapinya. Bukan secara teori saja tetapi berdasarkan praktik secara langsung. Secara nyata.

Gelar. Kekayaan. Jika keduanya saling kait mengait, maka yang dapat kita peroleh hanyalah sebuah rangkaian kata di belakang nama tanpa arti sama sekali. Sebab itu, janganlah terkejut bila suatu saat kita mendengar atau membaca atau menonton berita betapa seseorang yang memiliki gelar panjang, sangat panjang, terlibat dalam kegiatan yang tidak halal. Korupsi. Fanatisme, kurang toleransi. Kekerasan. Karena gelar hanyalah sesuatu yang dapat diperoleh dengan menghapal dan membeli. Bukan dengan memahami. Bukan dengan mengerti. Dan gelar sepanjang apapun ternyata gagal menciptakan kemajuan dan perubahan. Nihil nilai.




Yustinus Setyanta

Jogja

CINTA SEJATI

Bagai bintang di gelapnya malam
Dan embun pagi membasahi bumi
Cinta ... hanyalah satu kata
Namun mempunyai sejuta makna dan rasa

Saat cinta datang
Hati bagaikan terbang melayang
Mentari pun tersenyum menyambut pagi
Kicauan burung bernyanyi mengisi hari

Saat cinta pergi dan berlalu
Bunga pun gugur satu persatu
Tak terdengar lagi kidung cinta
Hanya ada tetes airmata dan hati terluka

Alangkah indahnya dunia
Bila semua manusia mempunyai cinta
Cinta sejati adalah ungkapan rasa
Bukan untuk dilihat dengan mata

Cinta sejati ada
Menghapus setiap tetes airmata dan duka
Mengobati hati yang terluka

Karena cinta sejati membawa bahagia 


Yustinus Setyanta
Jogja

KEHIDUPAN, SUATU PAGI

Pagi ini matahari bersinar terang, seperti biasa tak ada tanda-tanda akan turun hujan atau pun terlihat gumpalan awan mendung yang bersusun-susun di iringi sinar kilat (halilintar) atau petir yang menyambar-nyambar yang memecah kesunyian.

Sungguh cerah pagi ini. Tiada kabut. Matahari bersinar dengan ceria. Langit biru nyaris tanpa awan. Dan beberapa penjual sayur dan makanan melintas di depan rumah tempat tinggalku. Segala sesuatu berjalan seperti biasanya. Berjalan seperti hari-hari lalu. Biarpun kusadari bahwa saat ini pasti ada yang mengalami kesedihan, pasti ada yang mengalami kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan ketakutan. Tentu bahwa ada pula yang sedang bergembira, merasa puas dan berbahagia. Hidup selalu dipenuhi hal-hal demikian. Karena dia bergerak dinamis. Dia tidak statis. Bukankah kehidupan yang berjalan tanpa golakan pemikiran dan perasaan adalah kehidupan yang beku dan hampa? Jika demikian, untuk apa kita hidup?

Ku menatap pada langit biru. Ku menatap pada kumpulan ibu-ibu dan beberapa bapak-bapak  yang sedang mengelilingi seorang penjual sayur. Suara-suara mereka ramai dan memenuhi udara. Tawar menawar. Saling mengusik lalu tertawa lepas. Barangkali ada yang merasa sedikit tersinggung tetapi lalu tersenyum, karena sadar bahwa tak ada yang mesti dikeluhkan. Proses tawar menawar menjadi ajang kesenangan dan pelepas tekanan yang mungkin saat ini sedang mendera hidup mereka. Segala sesuatu berjalan semestinya dan tak ada yang perlu disesali. Kita semua, adalah manusia-manusia yang saling membutuhkan, walau kita hidup dengan diri kita sendiri saja. Pagi yang sungguh indah untuk dinikmati.

Tiba-tiba dua pasang ayam berlarian. Mereka berada tepat di sisi kumpulan ibu-ibu dan bapak-bapak serta penjual sayur itu. Ke dua ayam itu nampak bertengkar tetapi setelah itu lalu bercinta. Dan tak ada yang peduli. Waktu bergerak terus. Matahari kian terik menerpa bumi. Langit kian membiru cerah. Udara kian dipenuhi suara riuh yang samar-samar datang dari jalan raya. Kehidupan mulai bergerak kian cepat. Waktu untuk memulai hari. Waktu untuk mengais harapan. Waktu untuk bangun dari istirahat semalam.Waktu................ Dan kita tak tahu apa yang akan kita temukan, apa yang akan kita alami, apa yang akan kita capai hari ini, tetapi hidup bergerak dan akan bergerak, "Apapun yang akan terjadi. Terjadilah. Terjadilah menurut rencana-Nya. Hidup harus dijalani dengan sepenuh hati"



Yustinus Setyanta
Jogja

SUBUH

Tahukah bahwa kondisi paling kelam terjadi sesaat sebelum fajar tiba? Ketika sang surya belum lagi terbit tetapi cahaya bintang-bintang perlahan mulai memudar. Dan udara paling dingin pun dirasakan di saat yang sama. Ketika matahari belum tiba untuk memberikan kehangatannya sementara bumi telah kehilangan kehangatan di hari kemarin. Ya, subuh adalah saat-saat terkelam dan terdingin yang membuat udara mengembun menjadi tetesan air yang melekat di udara terbuka. Pada dedaunan, pada rerumputan, pada kelopak bunga dan benda apa saja yang ada di hamparan terbuka....

Hidup pun demikian juga. Kesedihan, kepahitan, kekecewaan, keterpurukan yang terburuk sekalipun selalu berada di saat dimana begitu banyak persoalan yang seakan-akan tak punya penyelesaian, yang seakan kita tak ada harapan lagi, begitu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab yang sedemikian mengusik pikiran dan perasaan, pun tak terjawab, begitu banyak hal yang demikian membuat kita terpuruk bahkan sampai ke titik perasaan putus asa demikian mengguncangkan hati. Di saat-saat demikian, percayalah bahwa, memang banyak pertanyaan yang tak punya jawaban, banyak masalah yang tak diselesaikan, banyak hal yang tak bisa dihindari. Yang dapat kita lakukan hanyalah dengan tabah menerimanya, sabar melewatinya dan setelah itu, harapan baru pun tiba. Fajar baru pun hadir. Sang surya pun terbit. Dan kita pun dapat tersenyum bersamanya. Sebuah semangat baru....

Maka siapa pun kita, bagaimana pun kondisi dan situasi yang telah dan sedang kita alami, segelap apapun, sepahit apapun hidup, percayalah bahwa di saat-saat demikian, itu berarti bahwa hanya sejenak lagi, ya hanya sesaat lagi, sebuah harapan baru akan segera hadir, segera akan muncul. Cahaya baru akan terbit. Kita hanya perlu melewatinya dengan sabar, tabah. Kita harus sabar. Dengan tabah. Dengan teguh. Jangan tergesa menyerah dalam keputus-asaan. Tetapi berjuang dengan waktu. Dengan sabar. Dengan percaya bahwa di titik dimana ketidak-mungkinan kita untuk mampu menyelesaikan semua masalah yang sedang kita alami, sejenak kemudian kita akan segera melihat sebuah kemungkinan lain yang tak pernah kita duga. Tak pernah kita bayangkan. Sebelumnya.

Sebab, sesaat sebelum Yesus menyerahkan nyawa-Nya, sesaat sebelum Dia berseru dengan nyaring : “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” kegelapan memenuhi langit dan beberapa orang yang sedang menjaganya malah datang memberi minum anggur asam dengan bunga karang yang dicucukkan pada sebatang buluh dan beberapa lainnya malah berkata: “baiklah kita lihat, apakah Elia datang menyelamatkan Dia...”. Dan kita tahu bahwa, ternyata tidak ada yang datang untuk menyelamatkan-Nya. Keajaiban tidak hadir. Dan Yesus pun menyerahkan nyawanya. Namun di saat itulah, seorang kepala pasukan dan para prajurit berseru: “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah”. Setelah penderitaan. Setelah seolah-olah semua harapan sirna. Setelah semua pertanyaan seolah-olah tidak terjawab. Setelah Dia ditinggalkan sendirian menghadapi hidup-Nya. Dan Allah hanya bungkam.

Tetapi apakah harapan sungguh telah mati? Apakah yang ada hanya kegelapan dan penderitaan saja yang harus dihadapi? Apakah masalah yang sedang dihadapi tidak dapat terselesaikan? Ya. Dan tidak. Ya, masalah-masalah mungkin tidak punya penyelesaian. Pertanyaan-pertanyaan mungkin tak bisa dijawab. Tetapi tidak, karena harapan tidak pernah mati. Dan kita tidak tahu, ya kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi sejenak kemudian. Setelah waktu berlalu. Setelah tiga hari lewat. Yesus pun bangkit. Dan kebangkitan-Nya membawa satu jawaban tunggal : Manusia bisa dikalahkan tetapi tak dapat ditaklukkan. Persoalan mungkin gagal kita selesaikan tetapi pasti mampu kita lewati. Dan saat itu, setelah semuanya berlalu, kita akan sadar betapa sia-sianya semua perasaan putus asa. Betapa sia-sianya kekecewaan. Kita bahkan mampu untuk tersenyum. Bahkan tertawa riang....

Maka jika ada banyak persoalan yang sedang melilit hidup ini, ada banyak peristiwa yang sedang menimpa, ada banyak pertanyaan yang seakan tak mampu terjawab, tanggunglah semua itu dengan sabar. Dengan tabah. Karena hanya sesaat lagi kita akan melihat fajar terang menyingsing. Hanya sesaat lagi maka sang surya akan muncul. Bahkan, lebih dari semuanya, nikmatilah kedinginan, kesejukan dan kegelapan itu dengan satu pengharapan: hari sudah subuh. Sebentar lagi sang surya akan terbit. Dan cahaya dan kehangatan baru akan membuat hidup bersinar kembali. Bersyukur karena dapat hidup untuk mengalami semua itu. Bersyukur karena dapat melewati semua musim hidup. Alam ciptaan-Nya ini indah. Sungguh indah....



Yustinus Styanta
Jogja

Sabtu, 18 Januari 2014

TUHAN MENGUBAH HIDUPKU

Kenangan abadi, perjamuan suci
Saat Kau berkati, secawan anggur dan roti
Sungguh tak terperi, kasih cinta dihati
Walaupun Kalvari, telah menanti

Kini kami datang, kepadaMu ya Tuhan
Cemas dan gelisah, akan beben kehidupan
Namun diri Yesus menjadi teladan
Bakti pada Bapa, jadi tujuan

Lupakan cemas dan kegelisaanmu
Lupakan duka derita dihatimu
Sambutlah Kristus dengan hati murni
Dia akan masuk ke hati

Percaya padaNya, setulus hatimu
Berpegang padaNya, sepanjang hidupmu
Tuhanlah batu karang kuat teguh
Landasan yang tak kan runtuh
Tubuh darah suci, jadi berkat abadi
Kusambut komuni, dengan kerinduan hati
Bersihkan hatiku, masuk kehadiratMu
Siapkan jiwamu, masuk rumahMu

Dalam kegelapan, Kau terangi jalanku
Lewat jurang curam, Tuhanlah penunjuk jalan
Disaat ku jatuh, Tuhan meneuntunku
Pulang ke rumahMu, yang penuh kasih

Bimbinglah kami menurut teladanMu
Teguh setia dalam cobaan
Walau badai hidup kuat menerjang
Bidukku tak kan tenggelam

Segala mata dan hati kan terbuka
Segala cemas dan gelisah kan sirna
Bila kau percaya akan janjiNya
Tuhan mengubah hidupku

Tuhan mengubah hudupku




----------------------------
  Yustinus Setyanta
----------------------------

Kamis, 16 Januari 2014

MUNGKIN

Saat ini kita hidup di dunia yang seakan-akan tanpa batas tetapi sekaligus menjadi dunia yang demikian sempit dan terbatas. Bayangkan, dengan daya tehnologi, kita dapat menjelajah ke sudut-sudut semesta yang jauh, teramat jauh, sementara kita duduk menyendiri di kamar kecil kita dan sering tanpa sadar bahwa sesuatu terjadi di luar kamar ini. Sebuah ironi dimana kita seakan-akan dapat mengetahui dan mengenal semua peristiwa yang sedang terjadi sementara kita bahkan sama sekali tidak tahu apa yang sedang berlangsung di sebelah kita.

Demikianlah, kita semakin mengetahui semakin tidak mengenal dan memahami. Bahwa lintasan waktu yang sedang kita jalani bergerak kian menjauh dari kenyataan hidup yang sungguh kita jalani ini. Dalam banyak hal, kita terpojok di sudut yang kita tidak sadari walau mungkin kita merasakannya. Mungkin. Begitulah sebagian dari antara kita menjalani hidup sehari-hari ini, terfokus pada apa yang terjadi jauh di luar diri kita dan melupakan apa yang sedang terjadi di lingkungan kita sendiri. Keterasingan diri membuat hidup menjadi nyaman karena kita hanya dapat mengetahui tetapi tidak mengenal dan karena itu tidak perlu untuk peduli sehingga tidak perlu merasa bertanggung-jawab untuk mengubah diri, untuk memahami situasi dan kondisi kita sendiri.

Namun, walau kita sering alpa untuk mengubah diri kita sendiri, alpa dalam memahami keseharian hidup kita, kita sering bersikap seakan-akan memahami dunia di luar kita. Kita bersikap seakan-akan tahu dan karena itu merasa mampu untuk mengupayakan perubahan dunia. Padahal sadarkah kita, betapa dalam satu lintasan waktu yang sama, jam dan detik yang sama, seberapa banyakkah peristiwa yang terjadi tetapi luput dari pengetahuan kita? Seberapa banyakkah dapat kita ketahui tentang kejadian-kejadian sederhana yang tak muncul di penglihatan dan pemahaman kita? Tidakkah hidup mengandung kemungkinan yang tak terkira dan tak dapat kita rengkuh semua? Maka dalam kegagalan untuk memahami diri kita sendiri serta juga ketidak-mungkinan untuk mengenal seluruh isi dunia ini, kita tidak patut untuk mempertanyakan apalagi berkeinginan untuk mengubahnya sejalan dengan pemikiran kita yang amat sangat terbatas ini.

Memang, saat ini kita hidup dalam dunia yang dengan perkembangan tehnologi seakan-akan dapat kita rengkuh dengan sekali klik. Tetapi mengetahui dan mengalami sendiri sangatlah berbeda. Bahkan tak mungkin dijembatani selain dialami sendiri. Selain itu, kemampuan kita tehnologi secanggih apapun takkan mampu untuk mencapai sudut hati kita sendiri juga tak mungkin mencapai sudut-sudut terjauh di bumi ini. Maka hidup memang penuh dengan segala kemungkinan dan tak dapat kita pastikan hanya dengan sebuah pemikiran bahwa segalanya dapat kita ubah sesuai dengan keinginan kita.

Tiba-tiba aku merasa betapa sangat terasingnya kita sendiri kala dunia terbuka lebih luas akibat perkembangan kemajuan tehnologi ini. Betapa semakin banyak kita tahu semakin banyak pula kita kehilangan pemahaman. Betapa semakin banyak peristiwa yang kita tahu semakin tak kita sadari kehadiran diri kita sendiri. Dan ketika tiba pada satu titik ketika kita jenuh dengan segala pengetahuan itu, kita lalu kehilangan kepekaan atau malah menjadi sangat bersemangat untuk mengubahnya. Kita lupakan segala kemungkinan yang membuat hidup ini indah. Ya, hidup ini menyenangkan dan dapat kita nikmati karena dia penuh kemungkinan yang tak terduga. Tak teramalkan. Tak terencanakan. Dunia ini bukanlah mesin di saat kita merasa bahwa kita mengenal dia lewat mesin-mesin ini. Dan karena itu tak mungkin kita kenali dengan pasti. Bahkan sedetik ke depan pun tak mungkin kita pastikan apa yang dapat terjadi. Nikmatilah kemungkinan itu sebagai sebuah kehidupan yang pantas kita ada di dalamnya. Bersamanya. Tidak untuk mengubahnya. Bukan dengan memaksanya berubah. Dan jika harus berubah, bukan dunia tetapi kita sendirilah yang harus mengubah diri. Kita sendiri.


Yustinus Setyanta
Jogja

Rabu, 15 Januari 2014

CERPEN (Jalan Berliku Untuk Cinta Siska)

Siska berlari-lari di ruang tengah sembari memain-mainkan boneka panda kesayangannya. Bi inah sedang memasak di dapur, sementara papa dan mamanya di kantor. Bocah dara cilik berusia lima tahun itu terlihat lucu dengan kedua kucir di kepalanya. saat berlari itulah, tiba-tiba bonekanya terlepas, jatuh berguling-guling di lantai dan berhenti tepat di kaki kursi goyang yang sedang terayun-ayun. Siska berupaya mengambil boneka itu. Tapi, tiba-tiba kaki kursi roda menjepit tangannya, membuat siska menangis meronta-ronta "sakit....sakit....aduhhhh....!!!!!" tangis siska melolong-lolong, mengejutkan bi inah, yang kemudian menyerbu dalam wajah kecemasan. "sssttt.....cup....cup......sayang. mana yang sakit" Masih dalam tangis, siska menunjukkan ujung jarinya yang memerah, lalau menunjuk kaki kursi roda. Bi inah meniup-niup ujung jari itu dengan mulutnya.

Ia sempet menengok ke arah kursi goyang. Di situ duduk nenek dengan wajah dingin. Boneka panda di bawahnya. Buru-buru bi ina membopong siska untuk diajak pergi dari ruang itu. Namun belum sempet berdiri. Nenek menghardik, "salah sendiri main tak tak tahu aturan!" Bi inah tak mau ribut-ribut, dan buru-buru ia merogoh boneka itu dari bawah kursi goyang, lalu mengendong siska untuk di bawa pergi. "kau juga pembantu tak bisa di untung! selalu bela-bela anak salah!"
"maaf...maaf...eyang,,,,,stttt....ayo, siska ke kamar saja ya sama bi inah," sahut bi inah tergopoh-gopoh. Bi inah memang takut dengan eyang. Bagi dia, sehari-hari perempuan tua itu seperti monster yang selalu menampakan wajah murka. Apalagi jika berhadapan dengan siska, cucunya sendiri, jangankan eyang mau membelainya. Berbagi seulas senyum pun terlihat sungkan. Sudah sekitar empat tahun bi inah menjadi pembantu di keluarga itu, mengapa sinar kebencian bisa terpancar dari seorang nenek kepada cucunya?

****

Namaku Maria Magdalena Sunarti. Aku perempuan bahagia setelah mengikat janji dengan mas Frans, lengkapnya Fransicus Bramono. Saat itu, di depan altar gereja tangan kami bertangkup di atas Kitab Suci. Di hadapan pastor dan para saksi, kami berikrar untuk setia dalam suka duka, sehat maupun sakit, untung dan malang. Sejak itu, bersama mas frans aku mengarungi lautan kehidupan dengan biduk cinta. Aku berharap mampu memberikan buah cintaku kepada mas frans, Dan mampu mendidiknya dengan penuh cinta pula. Namun baru aku sadari, jalan cinta, harapan, dan kesetiaan ternyata tidak selamanya mulus. Melainkan penuh kelok dan bertebaran kerikil-kerikil maupun duri di sana sini. Salah satu yang menjadi ujian cinta bagiku adalah buah cinta itu sendiri.

Hampir lima tahun berlalu belum juga tumbuh benih cinta di rahimku. Aku nyaris saja putus asa ketika berbagai cara tak membuahkan hasil. Untung mas frans tetap memberi dukungan, peghiburan. Ia selalu mengigatkan untuk memengang ikrar cinta yang pernah mereka ucapkan di depan altar. "cinta semata-mata bukan soal raga," begitu yang sering diucapkan mas frans kepadaku, dan selalu mengiang di telingaku.
Lamunanku buyar kemana-mana. Tanpa seorang bayi, rumah besar ini memang terasa sepi. Tapi, mengusir sepi bukan perkara sulit bagiku. Aku bisa menyibukan diri dengan berbagai aktivitas selepas jam kerja. Banyak hal positif yang dapat ku kerjakan, mulai dari menyulam, menulis, merawat tanaman ataupun kegiatan lain. Namun, yang membuat aku galau adalah ibu. Di usia yang makin senja, beliau mendambakan buah cinta dari aku dan mas fras. "lalu kepada siapa lagi ibu akan berharap, nar?" ujar ibu berulang kali. Namun selalu dan selalu belum cukup sampai di situ. Biasanya ibu akan melanjutkan dengan kata-kata yang bagiku serasa duri, serasa sembilu mengiris-iris hingga begitu pedihnya ulu hati ini. "ingat nar, kau adalah anak tunggal keluarga ini. Kau paham maksud ibu kan?" Kalimat itu selalu diiringi tatapan yang serasa menghujam ulu hatiku.

Aku sangat paham yang diinginkan ibu adalah seorang anak. Anak dari rahimku sendiri. Namun, ibu tak sekedar pemahaman. Ia butuh buah cinta itu mewujudkan dalam diri seorang bayi, untuk meneruskan trah di keluarga besarnya. Namun cintaku pada mas frans belum mampu menyediakan jawaban atas keinginan ibu. Hidup ini fana. Tidak melulu hitam dan putih, tidak melulu siapa benar atau salah namun sering berwarna kelabu dan sulit mempersalahkan atau dipersalahkan. Apa yang terjadi sering merupakan akibat dari keinginan sendiri tanpa memperhitungkan resiko apa yang akan dihadapi oleh orang lain. Lingkungan yang sulit atau bahkan tak mungkin untuk ditidak-pedulikan begitu saja, tanpa rasa sakit, hina dan tersudut bahkan kesepian yang demikian menggigit jiwa.

Sampai kemudian hadirlah seorang bayi kecil di tengah-tengah keluarga kami yang kami beri nama Fransika sekaligus menjadi nama permandianya. Itulah bayi yang aku adopsi atas dukungan mas frans. Bayi itu kami ambil dari panti asuhan milik salah asatu kongergasi suster. Bayi malang dari seorang ayah dan ibu yang mati muda karena kecelakaan lalu lintas. Semula aku merasa masalahnya selesai dengan hadirnya bayi itu. Aku dan mas frans mencoba memberikan cinta pada siska, layaknya buah hati kami sendiri, dan kami pun ingin menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Kami mencoba untuk tidak egois dan berbagi cinta kepada sesama. Salah satunya lewat siska. Begitulah yang kami pahami dari makna sebuah cinta yang dikuduskan didepan altar. Tapi ternyata, dugaanku salah. Kehadiran siska nyatanya tidak mampu mengobati kerinduan ibu. Lalu, apa yang dipahami ibu soal cinta? sering aku bertanya dalam hati, mengapa ibu yang dulu mendidiku dengan ajaran Kristus justru tak mampu untuk menjalankan ajarannya sendiri untuk menapaki jalan salib-Nya?. Aku sadar ibu tinggal sendiri sejak kepergian Ayah lima tahun yang lalu. tapi, semudah itukah kepergian ayah dijadikan dalih hilangnya sebuah cinta, bahkan untuk seorang anak kecil yang sangat membutuhkannya?

****

Aku dan mas frans sudah tak kurang-kurangnya mengetuk hati ibu demi siska. Namun, belum juga membuagkan hasil. Laporan bi inah dari hari ke hari akan sikap ibu terhadap siska sungguh menyedihkan. Kepada siapakah aku harus bersandar. Sejak itu, aku dan mas frans makin sering berdoa hanya dengan satu permohonan, yakni terbukanya hati ibu untuk cinta siska, cucunya. Dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga terbilang tahun, permohonan kami belum terkabul. Namun, kami mencoba untuk setia pada pilihan yang kami yakini benar dan tetap berdoa sampai saatnya nati hati ibu terbuka untuk cinta siska, cucunya.

Hingga pada suatu ketika kesehatan ibu memburuk. Apalagi, usianya sudah 80 tahun. Usia yang sangat akrab dengan penyakit ketuaan. Ibu tak bisa kemana-mana lagi selain hanya berbaring di ranjang. Semua kebutuan di layani bi ina. Keadaan masih belum berubah sampai pada suatu ketika, saat senja hari. Ku dengar suara memenggil-manggil nama siska. arahnya dari kamar ibu. Tapi benarkah pendengaranku ini? Rasanya sejak siska masih bayi hingga lima tahun belakangan belum pernah ku dengar ibu memanggil siska. Aku beranjak menengok ibu.
"Nar....mana siska, mana?" suara ibu terdengar lemah di atas nafas yang tersengal-sengal. Pertahananku pun runtuh. Tanpa terasa kedua pipiku basah. Tahu-tahu mas frans dan siska sudah dibelakangku. Kutarik tangan siska mendekat. Sembari berbaring, ibu menarik siska ke dalam pelukannya dan tumpahlah tangisku, sementara di luar rumah gerimis jatuh merintik. gerimis jatuh merintik..... Aku dan mas frans saling berpandangan, mengucap syukur atas terbukanya hati ibu untuk siska. Tercurahnya cinta ibu untuk siska.
SEKIAN


Oleh : Yustinus Setyanta












Selasa, 14 Januari 2014

CERPEN (Senja Di Malioboro)

Di langit matahari mulai merayap dibalik ufuk barat. Saatnya ia melepas lelah dan tugasnya digantikan oleh sahabatnya, rembulan. Sementara itu di bumi kesibukan telah terjadi, anak-anak mulai berlarian menuju rumah masing-masing untuk segera mandi dan berganti baju yang dilanjutkan kegiatan belajar. Sedangkan para ibu sibuk memasak sambil mengomeli anak-anak mereka yang terlambat pulang. Sementara itu para ayah hanya bisa mendengarkan sambil sesekali menimpali omelan para ibu. Terlepas dari semua itu, sore hari tetaplah hal yang menyenangkan khususnya untukku. Aku bisa duduk berlama-lama di balkon kamarku yang menghadap tepat ke arah barat sambil menunggu detik-detik pergantian siang menjadi malam. Saat itu ingatanku kembali ke masa lalu yang belum dapat hilang sepenuhnya dari otakku.
“sayang, kamu udah mandi kah?”. Tanya mama membuyarkan lamunanku.
“belum ma, Fransiska masih males!”. Jawabku sambil tersenyum dan menghampiri mama yang berdiri disamping pintu kamarku. Mama menyambutku dan memeluk tubuhku. Iya, inilah yang aku paling kagumi dari sosok mama yang aku sayangi ini. Mama selalu tahu apa yang aku inginkan seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
“sebentar lagi Papa pulang! Kamu cepetan mandi habis itu kita berdoa dan makan malam bareng. Mama juga udah masak makanan favoritmu”. Kata mama sambil mendorong tubuhku pelan menuju kamar mandi. Dan aku hanya bisa menuruti perintah mama dengan senyuman.

Setelah selesai mandi, aku langsung turun dan segera menuju ruang makan. Disana sudah ada Mama dan Papa yang menungguku. Lantas kami pun berdoa bareng.
“apa kegiatanmu hari ini sayang?”. Papa mulai membuka percakapan di meja makan. Ini adalah kebiasaan dalam keluarga kami. Menjalin komunikasi sambil makan malam seusai doa bersama seperti ini dapat meningkatkan keharmonisan rumah tangga kami.
“seperti biasa Pa, hunting foto-foto unik!”. Jawabku bersemangat. Hobiku adalah fotografi. Sudah ratusan foto yang aku hasilkan dan sudah puluhan foto yang berhasil dimuat di majalah.
“hemm, baguslah dan ngomong-ngomong kapan orang tuanya Matius kesini?”. Lanjut Papa sambil menatapku. Seketika itu juga kegiatan makanku terhenti sejenak. Mama yang melihat ekspresiku langsung mengalihkan topik pembicaraan sekaligus mengalihkan perhatian Papa dengan memperlihatkan surat yang dikirim oleh rekan bisnis Papa. Aku berterima kasih dengan mama melalui tatapan mata. Sekali lagi Mama dapat membaca pikiranku.

***

Pagi pun datang. Matahari mulai sibuk dengan tugasnya menyinari bumi. Aku masih belum beranjak dari tempat tidurku. Semalaman aku tidak dapat tidur karena pertanyaan Papa kemarin saat makan.
Matius adalah pacarku, dia baik dan sangat perhatian kepadaku. Usianya 2 tahun lebih tua dariku. Dia adalah sosok laki-laki yang ideal dan aku sangat beruntung dan bersyukur memiliki seseorang seperti dia. Kami sudah berhubungan hampir 2 tahun dan dia juga telah berencana melamarku untuk menjadi istrinya. Entah kenapa sampai sekarang aku belum siap untuk menghadapi semua itu. Bagiku pernikahan adalah komitmen sehidup semati untuk selalu jujur kepada pasangan kita. Dan aku belum dapat jujur sepenuhnya dengan Matius tentang masa laluku. Bukan karena aku tidak sayang, justru aku sangat sayang kepadanya dan aku takut kehilangan dia.
Tok tok tok!!! Bunyi pintu diketuk dari luar dan terdengar suara Mama yang memanggilku. “sayang! Kamu belum bangun? Udah jam 10 lho…! Ada Matius juga dibawah nungguin kamu!”. Seru mama. Aku terkesiap. Astagaaaaaa! Aku lupa kalau hari ini aku ada janji dengan Matius. Aku meminta dia untuk menemaniku hunting foto di Malioboro.

Aku buru-buru ke kamar mandi dan langsung berganti baju tanpa harus memoles wajahku dengan bedak dan lipstick. Aku beruntung karena aku terlahir dengan kulit lumayan putih, wajah yang tidak terlalu jelek serta tubuh yang bisa dibilang ideal untuk usia 27 tahun sepertiku. Bahkan dengan hanya menggunakan celana jeans dan kaos lengan pendek seperti ini saja, aku sudah sangat menarik. Apalagi ditambah dengan wedgesku yang tingginya 5cm ini, semakin menambah idealnya tinggiku yang sudah mencapai 170cm. tidak lupa aku mengalungkan kamera DSLR dileherku.
“maaf telat bangun Yank!”. Sapaku kepada Matius yang sedang duduk di ruang tamu bersama Mama. “ gak pa2 kok yank, lagian juga ada Mama yang nemenin”. Jawab Matius dengan senyumanya yang membuatku jatuh hati kepadanya. Setelah berbasa-basi dengan Mama, kamipun segera pamit untuk pergi. Dan kami langsung meluncur ke Malioboro menggunakan mobil SUV milik Matius.

Sesampainya di Malioboro kami berkeliling sepanjang jalan untuk mencari objek foto yang unik dan diselingi dengan candaan-candaan khas kami. Matius juga mempunyai hobi yang sama sepertiku dan karena kesamaan hobi inilah kami dipertemukan. Namun mestibegtu Matius juga punya kehobian dalam menulis novel. Tak terasa senja pun mulai menyapa. Aku segera mencari tempat duduk kosong yang tersedia di sepanjang pinggir jalan Malioboro sambil menatap ke arah lampu lalu lintas dan memperhatikan kesibukan yang terjadi seperti aktivitas para pengamen jalanan. Matius tahu kebiasaanku tersebut. Dia akan duduk disebelahku dan membiarkanku asyik dengan duniaku itu. Setelah aku puas menikmati senja hari, aku akan menoleh ke arah samping dan mendapati dirinya sedang takjub melihat ekspresi kepuasan dalam wajahku. Seperti biasa, dia akan menanyakan mengapa aku sangat menyukai senja hari khususnya di Malioboro dan seperti biasa pula aku akan menjawab kalau itu sebuah rahasia pribadi.

***

“kamu udah bilang ke Matius, sayang?”. Tanya mama di suatu pagi saat kami sedang berada di ruang keluarga.
“menurut Mama, Fransiska harus bilang sekarang kah?”. Tanyaku balik ke Mama.
“menurut Mama, iya!. Matius udah sangat serius ingin melamarmu. Kemarin dia bilang sendiri ke Mama. Dia belum berani datang kesini bersama orang tuanya karena kamu belum memberikan ijin”. Sahut mama sambil melihatku yang masih sibuk melihat-lihat hasil jepretan kameraku kemarin.
“Fransiska belum siap ,Ma!”. Jawabku seperti biasa.
“Papamu juga udah nanya terus ke Mama. Kalau kamu belum siap terus, lalu kapan kamu siapnya, sayang? Hidup itu pilihan. dan apa pun jalan yang Tuhan berikan pada kita tetap kita syukuri. Dan apapun resikonya kita harus terima”. Kata Mama menasehatiku. Mama selalu seperti ini. Tidak pernah memanggil namaku dan selalu memanggilku dengan sebutan “sayang”.
“Fransiska belum siap untuk kehilangan Matius nantinya, Ma! Fransiska masih butuh Matius, Fransiska sangat sayang sama Matius". Sahutku dengan ekspresi kegalauan. Dan aku selalu seperti ini kalau Mama sudah menanyakan tentang kejujuran, Matius dan masa laluku. Mama menghampiriku, sambil menggenggam tanganku mama bertanya: “kenapa kamu bisa yakin kalau kamu mengatakan hal tersebut maka Matius akan meninggalkanmu? Udah berapa lama kamu kenal Matius? Apakah dia tipe orang seperti itu? Mama rasa tidak! Kamu yang lebih mengenal Matius sayang! Percaya sama Mama”. Aku hanya bisa menangis dipelukan mama. Iya Mama benar! Aku yang lebih tahu siapa Matius. Dan aku tahu Matius sangat menyayangiku, dia sangat mengerti aku dalam hal apapun. Itulah yang membuatku sangat takut kehilangannya. Tapi biar bagaimanapun Mama benar. Cepat atau lambat Matius harus tahu siapa diriku sebenarnya. Baik atau buruknya nanti, itu sudah takdir Tuhan buat hubungan kami.

***

Keesokan harinya aku mengajak Matius ke Malioboro. Bukan untuk hunting foto seperti biasa tapi untuk memperjelas hubunganku dengannya. Tadi malam sudah aku pikirkan matang-matang hal ini. Dan aku putuskan untuk mengatakan semuanya nanti. Aku tidak boleh membiarkan Matius menunggu terlalu lama. Biar bagaimanapun Matius harus segera tahu yang sebenarnya.

Matius menjemputku dirumah seperti biasa. Kami berangkat sekitar pukul 3 sore. Sesampainya di malioboro kami berjalan-jalan sebentar sekedar untuk membeli beberapa barang yang kami butuhkan. Tak lama senja pun tiba, dan seperti biasa aku melakukan kebiasaanku. Namun kali ini aku tidak boleh asyik sendiri dengan duniaku. Ada tugas yang harus aku selesaikan. Yaitu mengungkapkan kejujuran kepada Matius.

Dengan menatap ke arah lampu lalu lintas, aku mulai mengatakan semuanya kepada Matius yang duduk disebelahku. “aku dulu seperti itu”. Kataku sambil menunjuk beberapa anak kecil yang mengamen disana. “Jauh sebelum aku kenal kamu, jauh sebelum aku menjadi fotografer dan jauh sebelum aku punya Papa dan Mama”. Lanjutku sambil menatap wajahnya. Aku ingin segera mengetahui reaksinya setelah mendengar kebenaran bahwa dulu aku hanyalah seorang yatim piatu yang di titipkan di pati asuhan yang di kelola oleh kongergasi susteran dan di ambil serta di angkat anak dan dibesarkan oleh Papa dan Mama sampai akhirnya aku bisa seperti ini sekarang. Seperti biasa, Matius hanya membalas tatapanku dengan senyuman. Setelah menunggu beberapa detik, ia pun berkata: “ kita akan menikah! Besok keluargaku akan datang untuk melamarmu”. Ucapnya dengan pasti sambil menggenggam tanganku. Aku mencari kebohongan dimatanya namun aku tidak mendapatkanya. Yang aku dapatkan hanyalah keseriusan dan ketulusan.

Dan lagi, Senja di Malioboro sangatlah berarti untuk hidupku. Dua kali aku mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Pertama saat aku diangkat anak oleh Papa dan Mama menjadi anak kandungnya, karena papa dan mama kandung ku tak ada sewaktu aku kecil. Dan yang kedua aku telah meyelesaikan kuliah ku di "Institut Seni Indonesia" di jogja ini dan bekerja menjadi fotografer di sebuah media masa di jogja. Ke tiga saat aku diminta menjadi istri oleh pacarku sendiri. Matius pun menerimaku apa adanya. Hidupku sekarang sangatlah indah. Seindah langit di sore hari, seindah siang berganti malam dan seindah senja yang terjadi di Malioboro. Seindah rencana-Mu, Tuhan.
Sekian ;)


Oleh : Yustinus Setyanta