Senin, 31 Maret 2014

HARTA DALAM HATI

Mengapakah setiap kali jika kita membayangkan kehidupan yang senang dan bahagia, kita selalu memikirkan segepok uang tunai dan harta yang berlimpah? Apakah memang, jika kita memiliki materi segudang, maka kita pasti akan merasa senang dan bahagia? Apakah memang demikian? Tetapi mengapa kita pernah mengenal orang-orang yang mempunyai harta yang berlimpah dengan masalah yang segudang pula? Dan kita pun mengenal orang-orang yang tidak memiliki banyak harta tetapi senyum kegembiraan selalu terbayang di wajahnya? Jadi, dimanakah letak perasaan senang dan bahagia itu?

Kekayaan memang tidak menjamin kebahagiaan seseorang, tetapi tanpa kekayaan kita mungkin tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi apakah kemampuan berbuat apa saja yang kita kehendaki lalu menjamin bahwa kita akan bahagia? Tidak, tidak begitu. Kekayaan yang terbesar sesungguhnya telah kita miliki. Harta dalam hati. Hati yang gembira dan bahagia merupakan satu-satunya harta yang peling bernilai yang mampu dimiliki oleh manusia. Tak peduli berapa banyak atau bahkan tak ada sama sekali sesuatu barang berharga yang kita miliki, selama kita sanggup untuk tersenyum dan tertawa gembira, kita telah memiliki hidup ini. Kitalah pemilik kehidupan.

Terkadang, kita merasakan betapa segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Sebagaimana yang kita dambakan. Kita merasa mampu, tetapi tidak punya kesanggupan untuk meraih apa yang kita ingin capai. Mengapa? Apakah rencana Sang Pencipta bagi kita? Mengapa segala sesuatu nampak kacau dan tak mampu tertata dengan baik dalam hidup ini? Apa yang diharapkan-NYA bagi kita? Apakah keberadaan kita hanya suatu kesia-siaan? Dan kehadiran kita hanya suatu kesalahan? Mengapa kita tak penah merasa bahagia? Mengapa kita selalu merasa gagal dan gagal? Mengapa kita selalu merasa kecewa dan dikecewakan? Mengapa kita tak lagi mampu untuk berbuat sesuatu? Mengapa?

Tetapi, bahkan saat kita tak punya sesuatu pun yang dapat kita banggakan, kita tetap memiliki satu harta yang tak mungkin lenyap, tak mungkin dicuri dari kita. Harta dalam hati. Kita memiliki kemampuan untuk merasakan, memikirkan dan menikmati hidup ini. Sesederhana dan seminim apa pun yang kita miliki. Kita memiliki hidup yang berharga untuk dijalani. Untuk dinikmati. Untuk ditempuh. Setiap saat kita bisa tersenyum, setiap saat kita mampu tertawa riang, saat itu pun dunia akan tertawa bahagia bersama kita. Apa yang perlu kita sadari hanyalah bahwa, kita memang tak harus berhasil menggapai segala keinginan, hasrat dan ambisi kita. Tak harus. Tetapi pikiran kita, hati kita, bisa tetap riang jika kita mensyukuri keberadaan kita di dunia ini. Mensyukuri hidup kita sendiri.

Maka segala kekayaan duniawi, segala ambisi dan hasrat manusiawi, hanya menjadi semangat pendorong untuk mencapai harapan kita. Sebagai pendorong, tetapi bukan sebagai satu-satunya hal yang harus kita miliki agar kita bisa bahagia. Tidak. Hidup hanya sederhana. Sadarilah harta terbesar dan satu-satunya yang kita punyai. Kebahagiaan tidak terletak pada apa yang telah kita miliki, tidak pada pada apa yang telah berhasil kita raih, tetapi kebahagiaan kita ada pada kesadaran bahwa kitalah pemilik kehidupan ini, pemilik yang mampu menguasai kebahagiaan kita sendiri. Jika tak memiliki apa-apa dan tak mampu berbuat apa-apa, setidaknya kita tetap memiliki hidup ini. Jika kita merasa kecewa dan tak bisa meraih segala impian kita, bagaimana pun kita masih punya waktu. Kehidupan ini, ada dalam jiwa kita. Ada dalam perasaan kita. Ada dalam cara bagaimana kita memikirkan apa yang kita sedang alami. Hidup bukan untuk dikeluhkan, tetapi untuk dinikmati. Harta yang paling utama ada dalam hati kita: kemampuan untuk menyadari bahwa kita adalah pemilik kehidupan kita sendiri.

Memang, hidup senantiasa ada dibawah bayang-bayang hasrat, ambisi, keinginan dan nafsu kita pada kekuasaan-kekuatan-kekayaan. Tetapi hidup bukanlah kekuasaan-kekuatan-kekayaan secara materi duniawi. Hidup kita ada dalam hati kita. Ada dalam cara kita berpikir mengenai makna keberadaan kita pada kenyataan duniawi. Sebab itu, semuanya itu semestinya dapat kita sesuaikan dengan kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup yang sedang kita jalani ini. Maka harta kita yang terutama, bukan pada apa yang kita miliki tetapi pada apa yang kita pikirkan, pada apa yang mau kita rasakan. Penderitaan, kekecewaan dan sakit hati terjadi karena kita sendiri yang mau merasakan, dan bukan sebab dia harus ada. Carilah harta dalam hatimu, dan pergunakanlah dengan semangat kegembiraan yang tulus. Tanpa mengharapkan imbal jasa. Tanpa menghasratkan balasan yang sesuai dengan keinginan kita. Harta kita ada dalam hati kita sendiri...

Yustinus Setyanta

KITA

Kita adalah butiran kecil air yang jatuh dari langit. Kita kini menggenangi bumi dalam alun laut yang menggelombang. Dan jika saatnya tiba, kita kembali akan terbang melayang menuju langit. Kita adalah perputaran waktu yang terus berlalu dan terus kembali. Kita bergerak dalam samudera kehidupan yang maha luas. Kita, butiran kecil yang berkumpul menjadi satu dalam kolam sejarah. Maka apa gunanya merisaukan segala peristiwa? Kita semua adalah pelakon kehidupan. Kita semua adalah mangsa, sekaligus pemangsa.

Hidup memang demikian. Dalam tawa dan tangis. Dalam suka dan duka. Maka setiap kita mengenang satu peristiwa di masa silam, sadarlah kita betapa sianya mengharapkan keabadian. Tonggak-tonggak kehidupan yang kini kita susun bersama, suatu saat akan tumbang dan berguguran menjadi puing-puing yang tak dikenali lagi. Kita toh, selalu memimpikan suatu menara babel yang baru. Tetapi apakah makna menara babel itu jika kita hanya hidup sekejap dalam jangka waktu yang panjang ini? Demi apakah kita berjuang untuk mewujudkan menara itu? Demi ambisi pribadi kita? Demi mengabadikan nama kita? Demi hal-hal yang tak mampu kita ucapkan saat ini? Seorang anak kecil berlarian di padang rumput. Celana pendeknya yang berwarna putih berkibaran kebesaran. Tiba-tiba dia melemparkan dirinya, berguliran di atas rumput yang hijau. Lalu dia melenting kembali, berdiri dengan tegak, sambil mengusapkan tangannya ke celananya. Warna putih yang tadi demikian cerah kini dinodai bercak-bercak coklat lumpur. Tetapi dia tidak peduli.

Dia kembali berlari sembil bersenandung kecil. Kotor? Apakah artinya itu bagi si bocah? Tidakkah pada akhirnya harus kita akui bahwa nilai suatu kegembiraan tidak ditentukan oleh apakah sesuatu itu harus putih bersih tetapi lebih ditentukan oleh kebebasan kita untuk menikmati hidup secara bersahaja? Maka belajarlah dari anak-anak itu seperti telah difirmankan oleh Yesus sendiri. Kita adalah butiran kecil air.

Kita adalah pelaku hidup. Kita adalah saksi. Kita adalah terdakwa. Kita adalah segala hal yang kita anggap. Tetapi lebih dari itu, kita harus menjadi anak-anak yang bebas untuk menikmati kegembiraan tanpa perlu membebani diri dengan segala ambisi dan hasrat. Maka maju menuju masa depan berarti maju menuju Dia yang telah menciptakan kita. Matahari. Bulan. Bintang. Alam. Bunga. Pepohonan. Rimba. Gunung. Bukankah mereka menyimpan keindahan yang tak tergantikan? Lantas, mengapakah kita ingin menggantikan segala ciptaan itu dengan akal dan perasaan kita? Toh, kita cuma setetes air yang hidup dan pada saatnya nanti kita akan menguap kembali kepadaNya.

Maka marilah kita memandang hidup ini dengan suatu keceriaan. Marilah kita meyakini bahwa bukan dengan segala macam ambisi dan hasrat kita tetapi hanya dengan mengikuti teladan dan cara Kristuslah hidup kita akan bermakna. Sebab kita semua hanya ciptaan. Kita semua dibentuk untuk memuliakan namaNya semata. Bukan demi nama kita. Semoga jika saatnya tiba, kita akan melayang kepadaNya sambil menyanyikan lagu pujian baru untuk Dia. Satu paduan suara dari sekian banyak insan ciptaan yang serasi, indah menawan dan menetap di hatiNya. Kita.

Yustinus Setyanta

Ampuni Kami

Tuhan hidupku hati ini...
Tak lebih baik dari hari yang lalu...
Sungguh nista jiwaku ini...
Tak tahu diuntung tak tahu malu...

Berjuta kali kuberdosa pada-Mu...
Menyakiti hati dan mengkhianati-Mu...
Tak pantas lagi kumenyebut-Mu, Bapa...
Mataku buta telingaku tuli rasaku hampa...

Syukur Tuhan Engkau Allah yang rahim...
Bagi-Mu tiada hari ini, esok atau kemarin...
Kasih-Mu janjikan kerahiman abadi...
Ampunilah kami Tuhan, ampuni kami...


Yustinus Setyanta 

Jogja

Jumat, 28 Maret 2014

"SELFIE" MAKIN UNIK, MAKIN MENARIK

Memotret diri sendiri atau selfie akhir-akhir ini kian marak dan digandrungi banyak kalangan. Berbagai ekspresi selfie kini semakin ramai mengiasi sosial media. Sebut saja Istragram, facebook, Twitter hingg Path.
Maraknya tren selfie yang kian meramaikan berbagai situs jejaring sosial tak terlepas dari penampilan seseorang. Semakin menarik penampilan maka akan semakin selfie, berbagai ekspresi atau gaya berfoto juga semakin populer, apalagi teknologi fotografi yang ditawarkan gadget kian beragam. Para warga 'sosmed' pun selalu membubuhkan tanda pagar (tegar) #selfie pada setiap foto selfi yang diungguhnya. Foto-foto itu diungguhnya ke situs jejaring sosial atau untuk gambar profil di aplikasi pesan. Ada yang melakukan selfie pada saat moment-moment tertentu untuk mengabadikan moment yang ditemuinya.

Kata selfie baru saja terpilih menjadi word of the year atau kata paling penting pada 2013 oleh kamus Oxford. Meski sebenarnya, aktivitas mengabdikan potret diri itu sudah ada sebelum era fotografi digital. Perkembangan teknologi membuat selfie tumbuh pesat. Pilihan ini tentu saja diperdebatkan seluruh dunia. Para kritikus bahasa mengatakan selfie adalah fenomena budaya modern yang sebenarnya memalukan. Ada pun Guardian menulis, selfie adalah fenomena budaya yang sebenarnya sudah dimulai beribu tahun lalu. Saat julius caesar meletakan wajahnya di atas kain kuno. Keinginan caesar yang punya sifat narsistik itu yakni agar wajahnya bisa dilihat sesering mungkin oleh warganya. Well, tanpa disadari, tujuan membuat selfie termyata juga seperti itu, bukan?

Kini seiring perkembangan teknologi tersebut, ukuran kamera semakin menyusut dan semakin mudah digunakan. Ditambah dengan mewabahnya media sosial mewabah makin bayak pula aksi foto sendiri yang kemudian biasanya diungguh ke situs-situs jejaring sosial. Sejak saat itu pula istilah selfie mulai muncul. Istilah selfie mulai marak digunakan ketika media sosial (mesos) muncul. Pada awal 2000 seiring tenarnya situs MySpace, banyak penggunanya memasang foto diri (self portrait). Fenomena 'self portrait' makin berkembang kira-kira 2005 ketika facebook mulai menjadi situs jejaring sosial terpopuler, akhirnya untuk menyingkat penyebutannya muncullah istilah "selfie".

Sah Saja Kok, Asal....
Foto selfie dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Dampaknya bisa positif, bisa negatif. Selfie dikakukan seseorang cenderung memahami sudut pengambilan foto dan ekspresi seperti apa yang akan membuatnya lebih menarik. Dengan mengambil sendiri foto diri, hasil yang didapat dirasakan lebih baik dibanding bila foto itu diambil org lain. Lantaran tak melibatkan orang lain untuk melakukan foto diri, pelaku selfie jadi merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk berpose. Tak ada lagi kata malu atau sungkan.

Menurut psikologi klinis; Meski memiliki keunggulan, selfie yang dilakukan secara berlebihan artinya tanpa komitmen pengendalian diri tentu bakal berdampak negatif, misalnya ketika dilakukan untuk mencari perhatian di media sosial secara berlebihan demgan mengungguh selfie saat tengah mengalami gejolak emosi. Bila aspek emosi dan motivasi melakukan selfie tidak sehat, maka selfie menjadi kurang tepat dikakukan. Apalagi ketika itu menjadi kebiasaan. Misalnya karena sedang galau kemudian menguplod foto selfie sedang sedih atau menangis. Dampak lainnya juga bisa terjadi pada kehidupan relasi dengan orang terdekat. Pada beberapa kasus, orang yang tenggelam dalam tren itu mengalami gangguan keharmonisan dengan orang terdekat. Pasalnya selfie yang diungguh ke media sosial dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Lantas, bagaimana agar selfie tetap dalam koridor aman? Salah satu tekniknya adalah dengan menghindari melampiaskan emosi dengan cara kurang tepat. Untuk melampiaskan emosi dengan mencurahkan isi hati kepada orang terdekat atau orang yang dapat dipercaya. Atau juga bisa menerapkan menajemen stress untuk mengatasi emosi negatif sehingga tak melampiaskannya dengan merekam sendiri ekspresi dan menyebarkannya di media sosial. Pertimbangkan matang-matang keuntungan dam kerugian mengungguh dan berbagi foto self sebelum membagikannya ke sosial media.

Tak ada salahnya memanfaatkan selfie sebagai hobi yang produktif dan bermanfaat sesuai passion. Namun, terlalu sering selfie dan sering memposting foto selfie di sosial media juga bisa membuat orang lain terganggu, atau memgalami gangguan piskologis.


Yustinus Setyanta
Jogja

"MAWAS DIRI"

Dalam layar televisi banyak hal bisa kita lihat dan dari layar tabung kaca itu adalah mewakili sebagian kecil keadaan dunia ini.

Prosentasi yang tertayang di layar televisi sebagaian besar adalah hiburan, karena televisi mempunyai tujuan untuk kebaikan ekonomi bagi sebagian kecil orang.

Namun pada kenyataannya tantangan hidup atau gelombang kehidupan sudah nyata di depan kita dan apabila kita tidak segera sadar pada permasalahan yang nyata maka kita akan tergilas menjadi korbannya.

Allah menyelamatkan manusia juga dengan model solidaritas.
Marilah kita melihat alam yang nyata yang membutuhkan solidaritas diri kita.


Yustinus Setyanta


MENGUMPULKAN EMBUN

Bagi yang tinggal di atas pegunungan atau bukit dimana air sulit didapatkan, ada cara sederhana untuk mendapatkan air. Pernah pula suatu ketika didaerah kabupaten gunung kidul - jogja. Dengan menggumpulkan plastic: yang dibentangkan pada malam hari. Di tengah plastic tersebut bagaian tengah diberi lobang dan di bawah lobang itu diletakkan ember untuk menampung. Plastic yang dibentangkan akao menagkap embun dan embun akan mengalir masuk ke ember melalui lobang kecil di tengah. Tidak banyak memang aiq yang akan didapa. Tapi itulah cara sederhana mendapatkan air memanfaatkan kelembaban udara di tempat kita yang datarannya cukup tinggi.

Sesungguhnya ada cara sederhana untuk mendapatkan Air Hidup, yakni dengan membentangkan hidup kita di hadapan Tuhan. Tanpa ada lipatan, tanpa ada yang disembunyikan. Percayalah udara kasih-Nya akan membentuk embun yang bisa menyegarkan hidup kita.


Yustinus Setyanta
Jogja



AKU TAK SENDIRI

Saat aku sendiri, ku terdiam...
Dalam dingin angin malam...
Ku termenung menatap rembulan...
Yang tersembunyi dibalik awan...

Tak ada satu pun yang menemani...
Kurasakan sejuta resah di hati...
Tak ada satu pun yang mau peduli...
Tak terasa air mata basahi pipi...

Ku tak tau apa arti diri...
Ku tak tahu apa arti hidup ini...

Dalam kerinduan di hati...
Ku rasakan sentuhan kasih Ilahi...
Menghapus airmata duka hati...

BAPA, puji syukur dan terimakasih...
Kini ku tak sendiri lagi...
Engkau berikan aku sebuah kasih...
Yang terindah dalam hidupku ini...

Kini ku tak sendiri lagi...
Tak ada lagi air mata luka di hati...
Engkau ajarkan aku sebuah kasih suci...
Bagai air yang mengalir tiada henti...


Yustinus Setyanta           ---------           Puisi
Jogja



Selasa, 25 Maret 2014

KERAHIMAN ILAHI

Dalam bahasa indonesia sedikit kata benda yang diberi imbuhan ke-an. Kebanyakan ke-an dipakaikan pada kata sifat atau kata kerja. Biasanya kata benda yang diberi imbuhan ke-an karena lebih ditekankan pada sifat dari benda tersebut, misalnya kecanduan "ke-candu-an". Maka rahim yang mendapat imbuhan ke-an pun penekanannya pada sifat dari rahim. Tetapi banyak orang memaknai kerahiman dengan istilah yang lebih mudah, yakni pengampunan yang tanpa batas. Coba saja untuk menyelami sifct dari kata 'rahim' maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih kaya akan Kerahiman Ilahi.


Yustinus Setyanta
Jogja

- CINTA ABADI -

Bimbinglah hati ini ya Tuhan...
'tuk menemukan cinta sejati...
Tunjukkan jalan kami ya Tuhan...
Agar menemukan kasih suci...

Ku coba mengetuk pintu hati...
Tawarkan sebuah rasa cinta ini...
Walau harapan tak pernah ada...
Namun ku 'kan tetap setia...

Kuingin, ku mau cinta yang nyata...
Saling percaya dan setia...
Abadi sepanjang masa...
Seperti cinta Tuhan kepada umatNya...
Tak akan pernah padam selamanya...
Karena Tuhan sumber segala cinta...

Yustinus Setyanta                 -------------      Puisi
Jogja










HIDUP BUKANLAH DONGENG

“Pada suatu waktu....”, demikianlah awal sebuah dongeng dimulai. Dongeng tentang kehidupan yang seringkali berakhir dengan “..........mereka hidup bahagia selamanya”. Tetapi dalam kenyataan, hidup bukanlah dongeng. Dan kita tahu itu. Seringkali kita menemukan hidup yang berat, suram dan bahkan mengecewakan dan membuat kita ingin segera melarikan diri darinya. Beban hidup, keputusan-keputusan sulit, masalah tanpa solusi, pertanyaan tak terjawab hingga penderitaan dan kepahitan seringkali mengusik perasaan dan pemikiran kita. Terlebih jika kita membandingkan keadaan kita dengan kenyataan pada apa yang nampak pada mereka yang seakan selalu tersenyum bahagia dan tanpa kesulitan sama sekali dalam hidupnya.

Hidup bukanlah dongeng, memang. Setiap kisah indah yang kita baca, dapat membuai kita dalam lautan mimpi sehingga kita seakan-akan merasa larut dalamnya tetapi sering pula membuat kita membandingkan dengan apa yang kita alami dan rasakan sekarang. Saat ini. Tetapi sama seperti kesadaran kita terhadap pengalaman hidup ini, setiap manusia juga memiliki kesadaran yang sama dengan apa yang dia alami sendiri. Dan sama seperti kita mampu mengembangkan senyum dengan hati yang pedih, mereka pun dapat berbuat hal yang sama. Sebab, apakah yang membuat kita berbeda selain dari bagaimana cara kita berpikir dan memandang kehidupan yang kita alami sendiri? Dan ketika kita berbuat sesuatu, sadarkah kita bahwa perbuatan itu dapat membuat pengaruh juga kepada sesama kita?

Hidup bukanlah dongeng. Namun kita sering hidup bagaikan dalam dongeng yang kita miliki sendiri. Kita hidup dengan dan bersama perasaan dan keinginan kita sendiri. Sambil terkadang berbuat seakan-akan kita dapat menyenangkan dan membahagiakan dunia ini. Padahal, senyatanya kita hidup terkungkung dalam kepentingan diri sendiri. Kita melihat kegembiraan orang lain dengan perasaan iri dan berpikir betapa minimnya kebahagiaan kita sendiri. Kita menyaksikan kesusahan orang lain dengan tak peduli, karena kita berpikir bahwa kita pun memiliki kesulitan yang sama atau bahkan lebih berat. Sebab siapakah kita selain dari apa yang kita pikirkan? Pernahkah kita mencoba untuk memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, bukan hanya terhadap diri kita tetapi juga dan terutama terhadap diri mereka sendiri? Pernahkah?

Hidup bukanlah dongeng. Dan betapa seringnya semua berakhir tanpa kebahagiaan sama sekali. Tetapi yakinlah, bahwa kita tidak sendirian mengalami hal yang sama. Yakinlah bahwa semua insan di dunia ini memiliki kesenangan dan kepahitannya sendiri-sendiri. Hidup memang bukan dongeng yang indah. Setiap hari, setiap saat kita harus berjuang melawan perasaan dan pemikiran kita yang terasa sebagai beban tak tertahankan. Namun, kita tak memiliki keistimewaan sehingga dapat berpikir bahwa hanya kita yang mengalami penderitaan hidup. Sebab ada banyak, ya bahkan semua manusia yang hidup berada di dunia dengan rasa yang sama dengan apa yang kita alami ini. Kita tidaklah istimewa sehingga dapat mengatakan bahwa kita dan hanya kita pemilik kenyataan di dunia ini. Sebab kita tahu bahwa, hidup bukanlah dongeng yang indah. Bukan. Bahkan, bukankah terkadang ada juga dongeng yang berakhir tragis dan menyedihkan?
Sebab, kita dilahirkan dalam keadaan telanjang dan tanpa memiliki sesuatu pun kecuali tubuh kita. Namun, jauh di dalam hidup yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta, ada daya yang unik dan khas yang telah tertanam sebagai satu kemampuan untuk bertahan agar dapat tetap melanjutkan hidup. Hingga akhir. Kemampuan yang harus kita temukan sendiri. Justru dalam kesulitan, kehampaan dan halangan itulah baru dapat kita manfaatkan segala daya, sadar atau tidak, yang kita miliki.

“Pada suatu waktu....”, kita pun hadir di dunia ini. Lalu mengalami, memikirkan serta merasakan segala sesuatu yang ada. Kita masing-masing istimewa dengan pemikiran dan perasaan yang unik dan khas. Namun kita bukan satu-satunya yang hidup dan hadir di dunia ini. Kita bukan hanya satu-satunya yang memiliki pikiran, perasaan dan pengalaman terhadap dunia ini. Maka kita harus menyadari bahwa keberadaan kita sendiri bukan suatu hal yang istimewa. Dan sebab itulah, hidup manusia seringkali memang tidak seindah dongeng. Sebab dongeng toh terkadang tidak berakhir dengan “.....lalu mereka hidup bahagia selamanya”. Yang dapat kita lakukan hanya mengalami dan menikmati pengalaman itu. Sambil memikirkan apa makna keberadaan kita di dunia yang tak terbatas ini dengan keterbatasan kita sendiri. Sekarang. Saat ini.

Maka menghadapi kenyataan sehari-hari yang penuh dengan rintangan, gejolak dan bahkan ketidak-adilan ini, mari kita tetap berjuang. Tetap berlaku adil. Dan tegas dalam menerima apapun yang harus kita jalani dan kita perjuangkan. Terimalah tantangan dari hidupmu, dan pergunakanlah kemampuan yang ada pada dirimu. Percayalah, semuanya akan berakhir baik. Gagal atau sukses, pahit atau manis, semuanya tetap akan indah di ujung perjalanan hidup ini jika kita telah membaktikan segala kemampuan kita dalam menghadapinya. Hidup memang bukan dongeng. Tetapi dongeng seringkali menjadi nyata jika kita semua berbuat sesuai apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Kita semua. Sekarang. Saat ini.

Yustinus Setyanta

MENJADI APAUN

Sebenarnya Musik tersusun atas nada yang terbatas. Namun karena kombinasi dari nada-nada yang ada dan dinamikanya, maka terdengar suara musik yang indah. Ribuahan bahkan jutaan lagu tercipta dari nada-nada yang sederhana itu.

Sebeneranya kita dihadapkan pada pilihan, menjadi penikmat musik itu, menjadi perangkai nada, menjadi alat musik yang menghasilkan nada, ataukah kita menjadi nada itu sendiri. Apapun pilihan kita, mestinya terangkai dalam sebuah harmoni yang mengisahkan indahnya kasih Allah, dan justru bukan berdiri di pihak yang menghambat alunan keindahan itu.

Yustinus Setyanta
Jogja



KAU DATANG

Tuhan Kau datang dan membuka hatiku...
Biarlah Roh-Mu menguasai seluruh jiwaku...
Tuhan pandanglah aku yang mohon pada-Mu..
Rahmat dari-Mu yang membebaskan...
Belenggu jiwa dan beban...

Tuhan, Kau satu-satunya tempat hidupku bersandar...

Takkan hatiku berpaling dari-mu...
Kar'na kekal kasih-Mu...
Beri aku selalu kekuatan...
Untuk setia pada-Mu...
Agar hidupku menjadi pujian bagi mulia nama-Mu...


Yustinus Setyanta         ------------         Puisi
Jogja





Jumat, 21 Maret 2014

SUMBER AIR SEGAR

Bagi seluruh makhluk hidup, air merupakan kebutuhan yang penting bahkan sangat penting. Tanda-tanda adanya kehidupan ditengarai berdasarkan adanya air. Darah yang mengalir di dalam tubuh kita 90% lebih berupa air. Maka bisa dibayangkan tanpa adanya air. Tidak ada air, tidak ada kehidupan. Tanah pun akan tandus, kering kerontang tanpa adanya air.

Jika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Sumber Air Hidup, maka bisa kita bayangkan bahwa dari dalam diri-Nya air kehidupan memancar dan terus memancar, mengalir dan terus mengalih. Tidak ada alasan bagi kita untuk membuat bendungan supaya air-Nya hanya untuk kita nikmati atau khusus untuk kelompok kita saja. Seberapa pun besar bendungan yang kita buat tidak akan bisa menampung seluruh air kehidupan yang DIA pancarkan. Tidak ada alasan pula bagi kita untuk mempersalahkan orang lain yang ikut menikmati karena tidaj minta ijin dari kita yang mengaku sebagai kelompok pengikut Yesus. Justru melalui kitalah air kehidupan itu mestinya mengalir semakin jauh dan berarti bagi semakin banyak orang.

Tidak ada alasan pula bagi kita untuk khwatir bahwa air kehidupan yang berasal dari-Nya akan habis, akan kering dan berhenti memancar. Tidak ada alasan untuk takut suatu saat kita akan kehausan karena sumber air itu menjadi kering. Jika hidup kita menjadi kering, jika kita merasa haus atau dahaga dan tidak mengalami kesegaran, maka yang perlu kita pertanyakan adakah dimana kita sekarang berada. Adakah kita berada di dekat Yesus sang Sumber Air Hidup, ataukah kita berada jauh dari-Nya? Adakah relasi kita dengan-Nya cukup baik ataukah mungkin ada retak bahkan terputus sama sekali?

Kita telah dilahirkan kembali di dalam Roh. Di dalam diri kita ada roh yang menjadi pintu yang selalu terbuka bagi rahmat-Nya. Maka biarkan pintu itu senantiasa terbuka, dan jangan sekalipun kesombongan kita menjadi penghalang bagi terbukanya pintu rahmat. Jangan sekalipun kepentingan diri menjadi tabir yang menghalangi rahmat kasih-Nya. Dan....jangan sekali kita merasa bahwa kita telah penuh sehingga menolak aliran rahmat yang datang dan selalu datang.

Roh Kudus adalah pintu yang terbuka dimana rahmat Allah mengalir masuk dan juga mengalir keluar melalui kita. Kesegarannya akan selalu kita rasakan, keindahannya akan selalu mewarnai hidup kita. Gemericik aliran rahmat itu akan selalu menghidupkan kita. Jika Yesus adalah Sumber Air Hidup maka kita pun akan menjadi terminal-terminal kecil yang mengalirkan Air Hidup bagi orang lain. Bersama DIA dan di dalam DIA, kita akan menjadi sumber air kehidupan yang tak akan pernah kering di sepanjang jaman.


Yustinus Setyanta
Jogja

Rabu, 19 Maret 2014

HUBUNGAN BAIK, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Apakah pekerjaan Anda lebih banyak menuntut Anda bekerja tim atau bekerja sendirian? Bila kita memiliki profesi yang lebih "soliter", katakanlah artis, pelukis, proggramer komputer, betulkah kita tidak membutuhkan orang lain untuk mengembangkan karier kita? Mari kita berpikir, apa pun pekerjaan kita, mungkinkah kita bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain?

Bisa kita lihat betapa tidak ada pekerjaan yang membuat kita tidak butuh orang lain. Hakikat kita sebagai manusia adalah bahwa kita makhluk sosial. Kita akan lebih efektif bisa berada dan bekerja sama dengan orang lain, berkeluarga, berkelompok, berkomunitas, berorganisasi, ataupun berbisnis bersama. Betapa ruginya bila kita tidak mengasah dan memprioritaskan untuk bisa berhubungan baik dengan orang lain. Berhubungan dengan orang lain sering tampak mudah, tetapi sebetulnya hubungan interpersonal serimg menyebabkan kegagalan. Berapa banyak kita mendengar anak buah atau bawahan mengeluh mengenai atasannya, begitu juga sebaliknya para atasan mengeluh tentang bawahannya. Bukankah kita banyak menyaksikan orang yang sebenarnya cemerlang, tetapi tidak bisa menyesuaikan diri dengan organisasi sehingga terus menerus gagal. Bukankah pemimpin juga selalu dipersoalkan hubungannya dengan anak buah, atasan, dan teman sejawatnya? Sebelum kita menuding orang lain yang bermasalah dalam membangun hubungan baik, kita jelas harus ingat bahwa sebagai orang dewasa kita harus bertanggung jawab terhadap hubungan yang kita bina. Semakin bertanggung jawab, semakin dewasalah kita, dan semakin terlatihlah kita untuk dealing dengan individu lain.

Setiap Manusia Unik
           
         Bertanggung jawab dalam berhubungan bisa juga kita artikan dalam tanggung jawab berkomunikasi. Kita, yang sadar akan perlunya hubungan dengan orang lain, perlu selalu menanamkan keyakinan bahwa kitalah yang berkewajiban membuka dan menutup komunikasi. Atasan atau rekan kerja kita tidak bisa dilihat semata dari jabatan, status ataupun fungsi. Mereka semua manusia unik yang punya gaya kerja, gaya komunikasi yang khas. Setelah kita memahami kekhasan gaya interpersonal kita, kita memang perlu juga mempelajari kekhasan mitra kerja kita dan menyesuaikan sehingga channel komunikasi jadi terbuka dan lancar. Jadi, rahasia untuk menjadi efektif adalah tetap mengingat bahwa manusia unik dan berusaha keras memahami setiap individu. 'Self knowledge, yang kita tahu penting, jelas kita butuhkan untuk kita memahami bagaimana gaya dan kekuatan kita dalam berhubungan dengan orang lain. Kita pun perlu, harus mengenal cara kita bekerja dan bekerja sama dengan orang lain. Apakah kita lebih sengan berfungsi sebagai penasehat atau justru meng-enjoy pengambilan keputusan berisiko? Apakah kita dalam mengambil keputusan terbiasa mandiri atau harus bertanya kepada beberapa pihak terlebih dahulu? Ini adalah gaya kita berhubungan, di mana kita bisa memanfaatkan hubungan dengan orang lain untuk menjalankan pekerjaan kita.

Mempraktikkan "Caring Manner"

        Organisasi, tidak ada lagi yang dibangun dengan kekerasan, seperti zaman perbudakan. Organisasi masa modern dibangun atas dasar: trust, rasa percaya. Selanjutnya, rasa percaya itu perlu dikembangkan, tidak statis. Orang yang percaya pada orang lain tidak selalu suka satu sama lain, apalagi memahami satu sama lain. Sekarang ini, orang berorganisasi secara multifungsi. Begitu banyak profesi dan fungsi berkumpul dan membentuk oranganisasi. Kita jelas perlu terampil membangun komunikasi yang dilandasi kepercayaan dan hubungan baik yang kuat karena setiap profesi biasanya memiliki "bahasa"-nya masing-masing. Para enginner berbicara dengan bahasa teknis dan karena berfungsi di produksi juga berbicara berbahasa produksi. Di sisi lain, barisan sales terbiasa berbicara dengan bahasa pasar saat mengajukan permintaan modifikasi produk. Perbedaan persepsi, bahasa, dan pemahaman jelas tidak terhindari. Salah siapakah ini? Kitalah yang berkewajiban untuk membuat lawan bicara atau mitra kita paham tentang apa yang ada di benak kita. Bersikap ramah, baik, tidak kasar, mudah diakses, dan diajak bicara adalah sikap yang sangat efektif dalam pengembangan diri dan karier. Bila anak buah atau bawahan ngeyel dan perlu dikoreksi, bukankah kita masih bisa mengonfrontasi dengan cara yang "manis" dan tidak menyerang? Cara yang menegur yang "merangkul" malah berulang kali teruji lebih "kena" lebih diingat, dan "menghujam" lawan bicara kita. Bila kita tidak terbiasa memelihara caring manner sebetulnya bahayannya bukan saja berdampak pada emosi kita, tetapi juga pada keadaan fisik. Bukankah banyak orang menderita "stroke" akibat konflik dan ketegangan hubugan interpersonal yang tak bisa diatasi?
          Tidak populernya sikap caring ini sebetulnya dilatar belakangi tidak adanya pendidikan formal yang mengajarkan sikap ini. Padahal, individu perlu sekali biasa membedakan situasi di mana ia bertenaga, berkuasa, atau sebaliknya powerless, merasa intim atau tidak intim dengan orang lain. Kemampuan merabarasakan situasi ini sebetulnya adalah dasar untuk mengembangkan trust antara kita dengan orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kita perlu memberi waktu untuk mawas diri, kemudian memperbaiki, lalu mawas diri kembali, dan seterusnya. Banyak hal yang sebenarnya diajarkan sejak kita masih balita seperti sharing, bersikap fair, membuat evaluasi yang obyektif, merelakan, atau mengalah. Bila setelah dewasa tiba-tiba kita tidak memelihara sikap kita, bisa jadi karena kita mungkin menganggap hal ini tidak penting dan menomorduakannya sepanjang pengalaman hidup kita. Padahal, bisakah kita bayangkan berada di tengah orang yang tidak nyaman dan tidak percaya pada kita dan terus berada di situ bertahun-tahun? Bisa jadi, hal ini juga salah satu menjadi penyebab kita tidak terlalu sukses.


Yustinus Setyanta
Jogja


DUA BUAH EMBER

Ini kisah tentang dua buah ember, bukan emberrrrrr lho yaa hehehe.....
Duah buah ember di tepi sebuah peringi. Tak dapat di pastikan sudah berapa banyak air yang telah mengisi kedua ember itu. Namun selalu saja ke dua ember tersebut pada akhirnya harus menjadi kosong dan akan di bawa lagi ke tepi peringi ini untuk di isi air.
"engkau nampak murung kurang bergembira hari ini, apa gerangan yang telah menggerogoti bathin mu? Sayanggg......" tanya satu di antaranya kepada ember yang hanya yg berada di sampingnya.
"oh....nasib....nasib!!! dech....sungguh suatu pekerjaan yang sia-sia tanpa arti, setiap hari aku selalu mengulangi pekerjaan yang sama, yakni datang ke peringi ini untuk di isi dengan air hingga penuh namun setelah itu aku akan menjadi kosong lagi dan harus datang lagi ke tempat ini sungguh membosankan -- jenuh" keluh ember yang di tanya.
"oh....begitu!!!" sahut ember yang pertama, tapi aku tak pernah berpikir demikian jee......sebaliknya setiap kali setelah tiba di peringi ini aku akan selalu dengan penuh gembira, berkata "Dalam kehampaan aku datang, namun dalam kelimpahaan aku meninggalkan tempat ini sungguh suatu kebahagiaan sejati"

Kita memang perlu mengubah sudut pandang, agar bisa melihat rutinitas hidup harian kita secara baru, serta memberikan arti rohani yang baru pula pada apa yang nampaknya biasa-biasa saja.


Yustinus Setyanta
Jogja

HIDUP

Kala sendiri, takut dan sedih..
Ingatlah..
Tanpa debu, tak akan ada dunia..
Tanpa malam, pagi tak akan berarti..
Tanpa airmata, senyum akan sangat membosankan..
Dan tanpa hitam, putih pun tidak akan terasa indah..

Jika ingin menagis, menagislah untuk sehari saja..
Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari..
Karena esok, adalah hari lain untuk tersenyum..
Jika ingin marah, berteriak sajalah..
Jangan simpan dendam -- benci yang merusak hati..
Jika merasa letih akan beban, beristirahatlah sejenak...
Jangan tinggalkan beban yang kan membusuk..
Dan mematikan kebahagiaan yang kan datang esok..
Jika merasa sendiri, nikmatilah malam dengan penuh syukur...
Karena dengan itu akan sadar..
Bahwa selalu ada harapan untuk hari esok..

# Syukurilah, hidup seperti nada yang mengalir dalam tiap hentakkan irama dan jalanilah hidup dengan segala keindahanya dan akan tahu betapa berharganya hidup ini #


Yustinus Setyanta
Jogja

DUNIA DALAM BERITA

Seringnya kita membaca atau menonton berita. Setiap petang, pagi mungkin saja kita duduk sambil membaca atau menonton berita dan mungkin kita merasa gundah karena judul-judul berita di penuhi dengan musibah, kekerasan, kejahatan, kepiluan nasib manusia. Dan tentu saja sesekali topik yang membuat kita gembira tetapi pada umumnya tidak. Apakah hidup ini hanya di penuhi kesedihan yah? Apakah dunia ini hanya berisikan peristiwa yang membuat galau. Tidakah setiap hari selain dari judul-judul yang membuat kita gudah itu hanya sebuah kisah yang sangat terbatas dari miliyaran kejadian di dunia ini. Tetapi kemudian menjadi topik pilihan media untuk menuliskan atau menyiarkan di halaman.

Terkadang tidak tahu atau tidak memahami pilihan yang menjadikan sebuah berita sebagai fokus utama, namun di situ tentu ada banyak dan bahkan teramat banyak kejadian yang tak di beritakan tetapi sungguh sebuah kenyataan tentang perjuangan manusia dalam menghadapi dan menerima hidup ini apa adanya.
Kejadian yang luput dari perhatian hanya karena yang melakukan hanyalah orang-orang sederhana yang tak terkenal dan karena itu tak di rasakan penting untuk di beritakan. Tetapi kejadian itulah sungguh yang mendukung kehidupan dunia ini tentang pengorbanan seorang ayah atau ibu untuk menghidupi keluarganya. Tentang pekerjaan sederhana seseorang untuk menghidupi orang lain sekaligus dirinya sendiri, tentang dan sebagainya. Mereka hidup dan nyata. Maka terkadang merasakan betapa berita-berita yang setiap hari itu seakan-akan menyesatkan sekaligus menyesakkan karena hidup ini seakan-akan di penuhi tragedi...! Mungkin atau bahkan pasti bahwa tragedi terjadi, tetapi sebuah tragedi selalu hanyalah satu bagian kecil - sangat kecil - dari lautan kehidupan yang berjalan normal dan biasa-biasa saja. Lautan kehidupan yang mungkin tak menarik untuk di beritakan karena kita semua adalah pelakunya dan kita semua adalah tokoh yang tak ingin atau tak sadar bahwa apa yang telah kita lukukan sesungguhnya telah membawa banyak berkat kebaikan bagi dunia keseluruhan dan dalam ketidak sadaran itulah kita semua melupakan apa yang kita perbuat dan karena itulah sering merasa sedih, galau, membaca atau menonton berita-berita yang menghebohkan pemikiran kita.

Setiap media memang selalu membawa pemikiranya sendiri tentang sebuah kejadian tetapi sadarkah kita bahwa kita sesungguhnya juga adalah MEDIA sekaligus pelakunya langsung yang dapat dan patut untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang baik dan berarti bagi kehidupan?
Sadarkah kita bahwa kita dapat berbuat jauh lebih berharga dengan tidak hanya larut dalam perasaan ketika mengetahui sebuah bencana, musibah atau kekerasan yang terjadi tetapi dapat mengubah semua itu menjadi lebih baik dengan berbuat sesuatu bagi sesama kita? Dan walau kita tak di kenal atau terkenal dan tak akan pernah di kenal, itu bukan masalah. Sesungguhnya kita ada dan telah ada untuk kehidupan ini. Kita adalah lautan kebaikan yang karena banyaknya sehingga bukan lagi suatu hal yang perlu untuk di beritakan.

Demikianlah setiap saat kita membaca atau menonton berita yang membuat kita galau, sedih atau mungkin kecewa terhadap hidup. Percayalah bahwa sesungguhnya di balik kabar itu kita semua dapat dan patut untuk secara tak terberitakan berbuat sesuatu yang punya arti. Walau kita tak menjadi orang penting yang layak di jadikan topik pemberitaan. Kita selalu penting dan hidup kita sendiri. Tidak perlu kecewa dan putus asa atau merasa tak berguna. Tetapi hidup dan berbuat sesuatu sehingga kita dapat menjadi terang dan garam dunia. Sungguh banyak hal yang dapat kita kerjakan bahkan di saat kita merasa sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Sesimpul senyum pada dunia saja akan menjadikan kita menjadi berkat bagi orang lain dan menjadi berkat bagi sesama adalah sebuah topik utama yang jauh lebih berarti dari pada judul-judul besar dan media apa pun. Kita lihat, setiap hari berapa banyak senyum yang telah kita saksikan sendiri. Nah kita menjadi bagian dari itu. Kehidupan ini lebih bermakna sungguh jauh lebih indah. Pecayalah.




Yustinus Setyanta

PENYESALAN

Aku tertunduk malu...
Datang kehadirat-Mu...
Aku meneteskan air mataku...
Datang dalam Rumah-Mu...

Aku terdiam tanpa tahu apa yang harus kulakukan...
Aku berdoa pada-Mu mohon pengampunan...
Aku tahu aku telah berdosa pada-NYA...
Aku tahu aku tak layak bagi-NYA...

TUHAN, masih adakah remah-remah belas kasih-Mu...
Aku hanya berharap akan hal itu...
Aku tak dapat lari dari murka-Mu...
Kecuali dalam kasih-Mu...

Aku hanya berharap pada-Mu Tuhan, bahwa...
Aku tidak terhilang selamanya...
Layakkan dan bersihkan aku yang penuh noda dosa ini...
Bentuklah aku ya TUHAN...
Di dalam-Mu hidupku berarti...


Yustinus Setyanta
Jogja

TENTANG DONGENG

Ada sebuah dongeng lama, dongeng anak-anak yang berjudul cindelaras. Alkisah Cindelaras melihat naga yang terbang di angkasa, dan kepada nagi itu dia memohon, "Naga...naga....minta lelurmu satu saja..." dan naga itu pun menjatuhkan telurnya. Cindelaras mengambil telur tersebut dan menyatukan dengan telur ayam yang sedang dierami induknya. Beberapa hari kemudian telur itu menetas, dan bukan seekor naga yang keluar, melainkan ayam. Ayam itu tumbuh menjadi ayam jago dewasa. Karena kesakitan ayam jago itulah kehidupan cindelaras kemudian berubah.

Itu ringkasan dongeng yang dipenuhi dengan symbol. Pemaknaan atas symbol tersebut bisa kita padankan dengan kedatangan Yesus sebagai manusia. Persoalannya, jika ayam jago Cindelaras bisa mengubah hidupnya, adakah kelahiran Sang Mesias mengubah cerita hidup kita?


Yustinus Setyanta
Jogja






Selasa, 18 Maret 2014

KUPU-KUPU JANGAN PERGI

Seekor kupu-kupu terbang diantara bunga-bunga indah di taman, namun ketika dia berpaling ke arah pohon mangga yang berdiri di tepi taman itu, kupu-kupu berniat untuk terbang menuju kekerumunan bunga mangga. Melihat gelagat itu, pohon-pohon di taman berteriak-teriak, "wahai kupu-kupu janganlah engkau pergi. Tidakkah kau senang dengan keindahan mahkota-mahkota kami yang lembut dan beraneka warna? Janganlah pergi, karena kami pun menyediakan madu-madu manis dan segar untukmu." Kupu-kupu itu diam sejenak dan berpikir. Bunga-bunga itu memang indah, karena memang keindahan bunga itulah yang menjadi alasan mengapa pohon bunga itu ditanam, sehingga menjadi buah atau tidak, tidaklah terlalu penting bagi mereka. Tetapi pohon mangga itu di tanam bukan untuk sekedar menghasilkan bunga, tetapi juga harus berbuah, maka jelas pohon mangga itu tetap mengharapkan kedatangannya. Atas tertimbangan itu lah kupu-kupu itu tetap terbang ke arah bunga pohon mangga. Memang ada kasih yang mewujud dalam keindahan, tetapi ada pula yang mewujud dalam keberartian.


Yustinus Setyanta
Jogja


JENANG SUMSUM

Jenang sumsum atau bubur sumsum kalau tidak untuk yang habis sakit tipus, juga untuk pembubaran panitia hajatan. Entah apa makna di balik jenang yang halus itu, tapi memang kadang kadang kala bikin kangen. Pernah pula suatu ketika saya sarapan pagi jenang sumsum tersebut. Salah satu keistimewaan jenang sumsum adalah sangat lembut dan tinggal telan, ada rasa gurihnya ada manisnya, maknyuzzz......lah.

Keistiwewaan Sabda Yesus, bila di umpamakan atau diibartakan dengan jenang sumsum, sabda itu ada kelembutan, ada rasa nikmat, ada manisnya, ada gurihnya, dan sangat-sangat baik untuk membantu proses penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit akibat kesalahan mencerna kehidupan.


Yustinus Setyanta
Jogja

KARENA MIMPI

Karena seringkali mimpinya menjadi kenyataan, maka teman saya menyimpulkan bahwa mimpinya bukan mimpi biasa. Lama-lama dia berpikir bahwa dia itu bukan orang biasa.
dia merasa bahwa TUHAN memberi karunia dia pengetahuan akan hal-hal yang akan terjadi melalui mimpi-mimpinya. Maka mulailah sejak saat itu hidupnya dipegaruhi oleh mimpi-mimpi yang dia dapatkan, maka mulai pulalah dia menjadi orang yang lebih kerap tidur daripada bangun

Sementara TUHAN selalu bangun dan tak pernah tidur.






Yustinus Setyanta
Jogja

RANTING dan EMBUN

Ting...
Ting...
Ting...

Pohon ranting...
Letih melengking...
Hasrat lenting...
Terasa kering...

Inilah ranting, sebuah rasa...
Awal sebuah mula...
Akhir segala tunggu...
Hidup dalam waktu...

Bun...
Bun...
Bun...

Tetesan embun...
Sejuk turun...
Riang timbun...
Tampak rimbun...

Ranting...
Embun...

Hey, embun...
Seringkali daun-daun...
Yang nempel pada ranting...
Ia rela kau topang...

Hai, embun...
Sisa dari hujan...
Guyur bumi..
Tersia titik air...
Jatuh pada dedaunan...
Meronta, tubuh yang letih...
Hanya menyimpan semagat sesaat...
Heh, kala mentari terik...
Kering. Hilang...
Namun sebelum lenyap...
Kau penyejuk fajar...
Indahmu untuk senyap...

Hai embun...
Esok kau masih datang kan?
Manjadi pelukis seni dedaunan...
Titikmu begitu dirindukan...

Ranting...
Embun..
Berdenting...
Pada dedaun..

Cinta jatuh ke ranting...
Bermain dengan embun...
Ceritamu oh, Ranting...
Ceritaku oh, Embun...

Kau embun, menyapa...
Pelepas dahaga...
Ini cerita kita..
Kala pagi tiba..



Yustinus Setyanta
Jogja


Selasa, 11 Maret 2014

Rumahku Istanaku

Kepuasan Terhadap Rumah Tinggal
Rumah jika ingin bersendiri jika ingin hening di tengah bising yang mati jika terus ingin lari lalu rindu kembali jika ingin tempat menetap tanpa tersekap jawablah : kepadamukah kumesti pergi?
Landung R. Simatupang
Demikian "makna" rumah bagi Landung, penyair dari Kumetiran Yogyakarta itu. Pun setiap orang sah memaknai rumahnya masing-masing.

Minggu, 09 Maret 2014

ARTI SEBUAH RENUNGAN

Kata hanya dapat ditulis dan dibayangkan tetapi tak mampu dan tak mungkin sama dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Kadang kata dapat dibayangkan jauh lebih atau bahkan kurang dari makna kata itu sendiri. Demikianlah jika kita membaca kata gembira, kecewa atau sepi, kita hanya bisa membayangkan bagaimana perasaan itu sesuai dengan pengalaman diri kita sendiri, bukan pengalaman nyata dari sang penulis. Tetapi bagaimana pun, kata-kata yang tertulis selalu dapat mengajarkan kepada kita bahwa bukan hanya kita yang pernah atau sedang mengalami apa yang tertulis itu walaupun pasti berbeda dalam situasinya masing-masing.

Sebuah tulisan, baik tentang pengalaman maupun tentang suatu peristiwa, seorang penulis sering hadir bersama perenungannya tentang kehidupan ini. Dengan demikian kita tahu dan paham bahwa selalu ada nuansa yang berbeda bahkan dalam pengalaman yang mirip atau sama sekalipun. Dan dari pemikiran itulah kita dapat mencoba memahami diri kita sambil berusaha untuk memahami orang lain. Mencoba untuk mengenal kepribadian kita sambil berupaya untuk mengerti kepribadian sesama. Maka sebuah tulisan, terutama tulisan yang bertutur tentang pengalaman hidup seseorang selalu dapat dijadikan cermin kehidupan. Sebagai contoh sekaligus pelajaran. Memang hidup tidaklah sederhana namun juga tidak perlu dipersulit dengan hanya menenggelamkan diri dalam keakuan kita. Baca dan pahamilah. Lalu temukanlah diri kita sendiri di dalam kata-kata yang mengalir itu.

Sebuah tulisan yang baik selalu dapat membuat kita merenung dan menyadari kenyataan hidup. Selalu membuat kita berpikir dan bertindak untuk berubah, menyesuaikan diri dengan kenyataan. Karena kesadaran bahwa kita tidaklah sendirian. Kita tidaklah istimewa. Juga tidak pernah menjadi yang paling. Sehingga kita tidak perlu menyesali diri. Pun tidak usah membanggakan diri. Yang kita butuhkan hanya kesadaran diri. Bahwa selalu ada nuansa dalam setiap pengalaman seseorang dalam menyikapi sejarah hidupnya. Dalam menghadapi peristiwa yang dialaminya sendiri-sendiri.

Maka dalam kata selalu terkandung makna yang hanya kita bayangkan sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing tanpa pernah dapat disamakan kepada setiap orang. Sebab itu, bagaimana pun, kata selalu hadir bersama pengertian yang sama dalam kandungan yang berbeda. Dan itulah makna tulisan, hadir untuk dipahami, direnungkan dan menjadi pelajaran kehidupan. Setiap orang sama dalam kapasitas yang berbeda. Maka jangan membuat sebuah tulisan menjadi keramat. Jangan pula membacanya dengan bayangan yang tunggal dan kekal. Itu tidak akan dan mustahil terjadi. Mustahil selama kita semua memiliki pikiran dan pengalaman yang unik. Kita masing-masing. Dan jika kita tetap melakukan itu, akhirnya kita akan kecewa karenanya. Dan akan gagal memahaminya.

Perenungan Dalam Keheningan

Selain itu di sisi lain untuk lebih memanfaatkan hidup ini sebaik mungkin adalah dengan melakukan perenungan, karena dalam merenung itu terkandung sebuah nilai spiritual yang tinggi, namun perlu digaris bawahi bahwa perenungan itu tidak sama dengan ‘memikirkan’ karena jika cuma memikirkan akan berkonotasi dengan sebuah trick untuk mengurai sesuatu hal padahal dalam perenungan ada sesuatu yang lebih dari pada sekedar menggunakan trick atau tips. Perenungan lebih cenderung berarti intropeksi diri atau melihat diri yang dalam jiwanya akan menimbulkan sebuah petualangan spiritual yang kemudian berdampak pada kepekaan mata hatinya. Dalam menjelajahi dan mengarungi samudra luas kehidupan ini tentu sangat diperlukan sebuah peran dari mata hati karena dengannya akan selalu menghadirkan pemikiran-pemikira yang amat posotive, pemikiran positive atau positive thinking ini sangat mutlak dimiliki sebab jika jiwa seseorang sudah tidak memiliki positive thinking ini pastilah akan menjadikan hidupnya hambar, bahkan bosan dan tidak menarik lagi dan tentunya akan sangat berpengaruh dalam kondisi kejiwaannya.

Dalam ajaran berbagai agama pun ada semacam tekanan kepada umatnya supaya mereka mampu merenungi diri, alam dan berbagai tanda kejadian di sekitar, sebab pada suatu ketika manusia itu memerlukan sebuah flash back, reflektive atau pun proyektive dalam keadaannya untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinnya, lebih-lebih bahwa sebenarnya kita dihadapkan pada sebuah teka-teki yang teramat besar, sebuah sandiwara dalam panggung yang megah bernama dunia dan hidup yang tidak pernah pasti, disinilah titik kulminatif dari pada sebuah perenungan teramat besar perannya. Pada akhirnya puncak daripada perenungan itu adalah memandang diri sendiri betapa kecilnya keberadaan kita di keluasan lautan hidup.


Yustinus Setyanta

Sabtu, 08 Maret 2014

BERANGKAT DENGAN KERETA

Dapat membaui wangi bunga cinta
Yang mekar dan tumbuh pada ladang jiwa
Dapat merasakan merambat akrabnya
Yang menyeruak ke segala pancaindra

Cahaya matahari pagi menggaga lebar
Bunga cinta harum wangi menusuk diri
Kau dan aku sebentar terdiam
Lantas bangkit menuju stasiun

Bunyi peluit panjang dari sang masinis
Memberi tanda pada lokomotif
Sudah waktunya berangkat
Gerbong membawanya
Bersama setangkai bunga cinta
Pada gengaman hatinya

Ia telah berangkat
Dengan kereta



Yustinus Setyanta
Stasiun Tugu - Jogja

Jumat, 07 Maret 2014

KATA

Hidup bukan kata. Namun sering kata menentukan hidup. Ada orang yang sedemikian terikat dengan kata, sehingga menganggap bahwa apapun yang telah tertulis adalah kebenaran mutlak. Sehingga dia mau dan dapat berbuat apa saja demi kata. Kata-kata yang tertulis, yang kita anggap bersumber dari hal yang mutlak benar, tidakkah dia mengalir melalui manusia yang memiliki pengalaman sendiri dalam menapak kehidupannya? Bagaimana kita dapat memastikan suatu kebenaran saat kita sendiri menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang rapuh dan sering tak berdaya ini? Bukankah kita sering menyembunyikan ketak-berdayaan kita, dengan berpura-pura berdiri kokoh dan teguh memaksakan kebenaran kita sendiri, justru karena kita ragu terhadapnya? Hidup memang bukan kata. Tetapi mengapa kita sering memaksakan kata itu terhadap hidup?

Bandara Adi Sucipto, suatu pagi. Puluhan, atau bahkan ratusan manusia nampak berseliweran, berkelompok atau hanya sendirian, di depanku. Ratusan wajah yang praktis terasa asing, jauh dan tak kukenali. Aku merasakan jejak-jejak kehidupan yang membaur, tersembunyi di balik wajah-wajah itu, di balik pikiran dan perasaan mereka. Siapakah mereka? Dari mana mereka datang? Dan akan menuju ke manakah mereka? Dari sudut pandang mereka, aku memikirkan juga mengenai diriku. Siapakah aku? Kenalkah aku seutuhnya mengenai diriku? Mungkin dan pasti aku mengetahui asalku, dan akan kemana diri ini, tetapi mengapa aku harus berasal dari situ? Dan mengapa aku harus menuju ke sana? Tidakkah, sama seperti mereka, sering aku sendiri tak tahu mengapa aku harus bergerak dalam perjalanan panjang kehidupan ini? Dan jika demikian, mengapa aku harus memastikan bahwa asal dan tujuanku adalah suatu kepastian mutlak yang, sering, kuanggap sebagai suatu kebenaran mutlak pula? Siapakah aku? Siapakah kita?

Pengalaman membuat kita sadar, betapa seringnya kita menggapai-gapai tujuan yang sering kita sendiri tak mengenalnya. Tujuan yang sering kita tak tahu untuk apa kita harus menuju ke sana. Dan jika demikian, seharusnya kita sadar bahwa kita adalah jiwa-jiwa rapuh yang berusaha untuk tegar, dan karena itu berupaya untuk memegang sesuatu yang kita bayangkan sebagai kebenaran tanpa mau bersusah payah untuk merenungkan apakah sesuatu itu sendiri. Kita bahkan menganggap bahwa sesuatu itu mutlak benar sehingga tanpa sadar kita menyamakan diri kita dengan sesuatu itu. Namun, bukankah itu hal yang sia-sia? Bukankah itu membuat diri kita terperosok dalam gua yang sempit dan gelap serta melupakan betapa dunia di luar kita sesungguhnya amatlah beraneka warna dan penuh keindahan. Sementara kita mengira bahwa hanya apa yang kita alami dalam kegelapan gua tersebut sebagai satu-satunya hal yang benar dan kemudian ingin memaksa dan menyeret sekeliling kita dalam keseragaman kegelapan yang sama, kita melupakan betapa indahnya kebebasan warna-warni panorama dunia.

Maka menyaksikan wajah-wajah yang ada di depanku, sosok-sosok yang terlibat dalam percakapan entah apa, tiba-tiba aku tahu bahwa, hanya dalam perbedaan pengalaman saja kita dapat saling berbagi, saling bertutur dan saling bersenda gurau. Sebab, jika kita semua punya imajinasi yang sama, apakah yang harus kita bagikan? Apakah yang harus kita tuturkan? Dan bagaimana bisa kita terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan sambil tertawa gembira jika kita tidak menyadari perbedaan diantara kita? Bukankah karena kita berbeda, maka hidup menjadi jauh lebih menyenangkan? Di tengah ruang tunggu bandara yang teramat luas dan sejuk ini, aku menyadari bahwa kata bisa membuat kita bersahabat dan bersaudara tetapi hanya dalam pengalaman saja yang membuat kehidupan ini indah dan bermakna. Kita memang hidup dengan kata, tetapi bukan kata yang menentukan kehidupan kita. Bukan kata.


Yustinus Setyanta

Kekasih Jiwaku












BAPA, Sahabat, kekasih jiwaku..
Engkau yang selalu dihatiku..
Yesus, kekasih jiwaku..
Kujatuh cinta pada-Mu..

Hidupku tanpa arti ini..
Kaubuat berarti..
Kau segalanya bagiku..
Kau yang selalu di hatiku..

YESUS, YESUS kekasih jiwaku..




Yustinus Setyanta
Jogja

TENTANG CINTA

Apakah cinta itu? Cinta adalah belaian lembut angin yang menyentuh kulit. Cinta adalah kehangatan sang surya saat fajar menyingsing. Cinta adalah tetesan air hujan pada rambut. Cinta adalah keindahan bung-bunga yang sedang mekar. Cinta adalah hamparan dedaunan di bumi yang menguning layu setelah lepas dari tangkainya. Cinta adalah dinginnya malam yang membuat kita menggigil. Cinta adalah segala sesuatu yang dapat kita nikmati setiap hari. Setiap saat.

Bukankah hidup ini adalah cinta itu sendiri? Kita ada, kita hadir disini, sekarang dan saat ini, dikehendaki atau pun tidak, selalu dapat kita nikmati. Selalu dapat kita hayati. Dan pahami. Jika kita mau. Jika kita tidak menolaknya. Ya, cinta adalah penerimaan kita pada hidup yang kita miliki. Bahkan dalam badai topan pun kita dapat menemukan cinta. Setiap pengorbanan adalah cinta yang menampakkan wujudnya secara nyata. Setiap kesedihan, kekecewaan dan sakit hati adalah cinta yang meminta kita untuk dipahami dan diterima.
Maka cinta adalah sesuatu yang tak pantas kita tolak. Walau kadang dia membuat kita terluka. Walau sering dia membuat kita kecewa. Bahkan sesungguhnya, kesakitan dan penderitaan yang kita alami tidaklah berarti bahwa cinta telah gagal. Tidak. Tetapi perasaan sedih, hampa dan duka yang melilit kita justru karena penolakan kita terhadapnya. Justru karena kita enggan untuk menerima dia apa adanya. Karena kita lebih menyukai diri dan kepentingan kita daripada apa yang siap diberikan oleh cinta kepada kita.

Lihat, dengarkan dan rasakanlah betapa setiap saat cinta memberikan dirinya kepada kita dengan tanpa syarat. Dengan tanpa mengharapkan imbal jasa. Dan karena dia memberikan hidup ini tanpa kepentingan diri, maka kita pun selayaknya menerima tanpa perhitungan untung rugi. Hanya dengan kepekaan menerima pada apa saja yang ada. Hanya dengan menghargai apa saja yang dapat kita lihat, rasa dan raih. Sebab cinta adalah semua hal yang baik dan indah jika kita mau menyisihkan keinginan, hasrat dan ambisi pribadi kita masing-masing.

Cinta adalah kehidupan ini. Dalam keheningan dan keriuhan. Dalam ketenangan dan badai. Dalam kecemerlangan dan kegelapan. Dalam pagi dan malam. Dalam lembah terdalam dan gunung tertinggi. Dalam samudra tak bertepi dan gurun pasir terluas. Dalam segala apa yang dapat kita lihat, dapat kita rasa, dapat kita dengar: alam semesta, udara, desah angin. Bahkan eongan kucing manja maupun auman singa buas. Cinta adalah segala yang dapat kita kenali dalam hidup ini. Terimalah dia apa adanya. Tanpa penolakan. Tanpa keinginan diri sendiri. Cinta adalah hidup kita semua. Hidup kita semua.

Yusinus Setyanta


TANDA KEHIDUPAN

Salah satu tanda dari kehidupan itu adalah adanya perubahan. Manusia, tanaman dan hewan, dikatakan hidup manakala terjadi perubahan pada dirinya. Jika tidak ada perubahan apapun dalam kurun waktu yang lama, maka bisa dikatakan bahwa mereka tidak hidup. Namun ada banyak manusia yang demikian takut menghadapi perubahan, demikian kuwatir terhadap terjadinya perubahan. Maka berusaha keras supaya tidak berubah. Pengingaran inilah yang menjadi penyakit, menggerogoti setiap kehidupan hingga menjelang kematian.


Yustinus Setyanta

KARYA TUHAN

Matahari mulai mengintip dari balik awan dengan malu-malu mulai menampakkan kecemerlangan wajahnya dari balik dedaunan pohon rimbun depan rumah tempat tinggalku. Perlahan kehangatan cahayanya mengusir udara subuh dan membuyarkan udara yang dingin. Sinarnya perlahan-lahan menerobos di semua penjuru jagat raya. Tampak panorama elok di ufuk timur. Keindahan fajar yang mempesona saat merasakan tetes embun di rerumputan menyegarkan kulit. Demikianlah suasana pagi yang menyapa hidup, selagi dapat dan mau merasakan keindahan alam ini. Nikmati dan resapkanlah betapa setiap hari yang tak pernah sama mampu membuat kita terpesona, membuat kita mengagumi betapa indahnya ciptaan TUHAN. Bahkan termasuk kita sendiri. Kita. Masing-masing dalam seluruh. Seragam dalam keberagaman. Berbeda tetapi satu.

Bukankah hidup bergerak sejajar dalam waktu, maju dan maju terus ke depan, tanpa akhir yang pasti walau masing-masing memiliki ujungnya sendiri. Maka siapa pun yang saat ini membanggakan kehidupannya, atau menyesalkan kehidupannya, patutlah belajar dari perubahan-perubahan yang terjadi setiap saat di sekelilingnya. Perubahan yang terkadang sangat kecil, tetapi selalu dan selalu terjadi. Setiap detik berlalu takkan pernah kembali. Setiap detik datang selalu berbeda. Perubahan dan perubahan, hanya itu yang ada dan terus ada. Hanya perlu kepekaan agar dapat menikmati indahnya perubahan yang setiap saat terjadi. Hanya butuh kesadaran untuk memahami dan menyerap keindahan yang diberikan secara cuma-cuma oleh dunia ini. Dan kita, yah kita semua, memiliki anugerah itu. Hanya seringkali kita tidak menyadarinya. Atau seringkali melupakannya karena kepentingan diri jauh lebih diutamakan daripada keindahan semesta. Sayang, sungguh sayang.....

Kita hidup di dalam pergulatan menjalani kenyataan yang ada sehari-hari. Tetapi kita semua juga hidup bersama keinginan, ambisi, hasrat dan gairah untuk apa dan bagaimana keinginan kita dapat diraih. Acapkali tanpa menyadari bahwa perjalanan hidup kita sejajar dengan perjalanan hidup sesama, bahkan perjalanan peristiwa lingkungan dan alam semesta. Sebab pikiran kita telah menciptakan semesta lain yang kadang kala demikian melelapkan kesadaran kita pada dunia ini. Tetapi bukankah hidup ini sesungguhnya tidak akan pernah terlepas dari apa yang ada di sekeliling kita. Bahwa kita semua saling terkait, saling membutuhkan, saling terikat satu sama lain dalam perjalanan melewati waktu dan ruang yang demikian tak mungkin diprediksi. Dan di atas segalanya, bukankah kita hanya secuil debu di luasan semesta raya yang belum atau takkan mampu kita ukur. Hanya setitik noktah dalam garis panjang sang waktu yang belum atau tidak dapat kita pastikan ujungnya.

Matahari mulai menampakkan cahaya dan kehangatannya kepada kehidupan di atas bumi yang biru kecil ini. Matahari yang tak pernah memilih kepada siapa ia memberikan cahaya dan kehangatannya. Matahari yang demikian gemilang di langit biru dan hadir setiap saat dalam waktu yang seharusnya, walau kadang awan mendung menutupi wajahnya. Semuanya indah. Semuanya punya guna. Semuanya tidak sia-sia. Hanya kadang kala kita lupa atau mungkin juga malas untuk menyapanya. Hanya kadang kala kita lebih suka bersembunyi di ruang sempit kamar kita yang sunyi, gelap dan tenggelam hanya untuk diri kita sendiri. Kita tidak sendirian. Kita tidak pernah sendirian. Tidak pernah sendirian. Marilah menyapa kehidupan yang indah ini dengan melupakan sejenak segala kepentingan diri, segala hasrat dan keinginan kita, segala ambisi dan cita-cita kita. Menyambut kehadiran pagi sama seperti kita sambut kehadiran malam.


Yustinus Setyanta
Jogja

HITAM dan PUTIH

Hitam adalah warna dengan sifat menyerap semua spektrum warna yang jatuh padanya. Sementara putih adalah warna yang memantulkan semua spektrum warna yang jatuh padanya.
Hitam adalah warna yang ingin memiliki semuanya, sementara putih adalah warna yang ingin membagikan semuanya.
Menjadi hitam atau putih bukan sebuah pilihan, karena sifat itu sangat tergantung pada bagaimana kita memposisikan kepentingan diri terhadap kehendak Allah, kemuliaan diri terhadap kemuliaan Allah.


Yustinus Setyanta
Jogja



Kamis, 06 Maret 2014

JALAN SALIB

Jika aku menghitung perhentianku, barangkali jumlahnya jauh lebih banyak dari 14 perhentian Jalan Salib. Namun dari sekian banyak perhentian hidupku, aku kebingungan untuk mencari mana yang paling berarti bagi sesama, bagi keluarga dan bagi Tuhan. Sementara tak ada satu pun perhentian Jalan Salib Yesus yang tidak bermakna.

Aku cari lagi dan aku amati lagi perhentian hidupku, satu persatu aku maknai kembali, namun dari semua itu hanya satu makna yang aku temukan. Bahwa hudupku diselamatkan olehNya melalui Jalan Salib. Bahwa hidupku dihidupkanNya melalui Jalan Salib. Bahwa hidupku adalah tujuan Jalan Salib-Nya. Bahwa..... aku yang penuh dosa, adalah alasan bagiNya untuk mengungkapkan CINTA.



Yustinus Setyanta
Jogja

SAJAK SATU

sejejak apa ketika semua begitu dalam
dan kita selalu bercerita tentang awan gemawan
yang beriring-iring berkejaran
jauh dilembah gemercik air yang jatuh diatas bebatuan
akan kemana segala semua cerita
ketika semua di paksa untuk diam
dan kita selalu saja menatap senja
merekah di ujung bola mata
cahayanya serupa musim-musim berbunga membawa
gelombang rasa bergolak diatas bara api cinta.


Yustinus Setyanta
Jogja

SEJENAK MENEPI

Menyingkir sejenak untuk menepi
Dari deru hiruk pikuk dunia ini
Mencoba menyepi dan menenangkan hati
Kembali membangun nurani, tertidur tapi tak mati

Kala aku lihat di sekitarku ini
Manusia bergegas dan berlari
Menghampiri beribu harapan yang teringini
Bergulat - bergelut dengan apa yang termaui


Yustinus Setyanta
GM Sendang Sriningsih





SESAAT

Sesaat ada. Sesaat tiada. Hanya sesaat. Demikianlah. Hanya ada beda tipis antara kefanaan dan keabadian. Sebuah misteri yang tak terungkapkan. Tetapi sering kita pertanyakan. Sering kita pikirkan. Sering kita selidiki. Dengan tanpa sebuah kepastian. Sebelum kita mengalaminya sendiri. Secara langsung. Dan, seakan kita adalah tamu sang waktu yang hanya sekejap ada lalu tiada kembali. Kita hanya pengunjung sementara yang mencoba untuk membuktikan keberadaan kita. Tetapi tidakkah semuanya hanya kesia-siaan belaka?

Hidup memang memiliki kerinduan yang mencoba untuk meraih harapan bahwa keberadaan kita, kesenangan dan kesengsaraan kita, sesungguhnya hanya sebuah jalan menuju sebuah pintu kebahagiaan selamanya. Tetapi pintu yang akan kita masuki dalam saat-saat yang demikian tak terduga, memiliki rahasianya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang takkan terjawab sebelum kita memasukinya. Sebuah misteri akan terpampang di saat kita telah memasukinya. Sebelum itu, kita hanya jejak yang tertinggal saat demi saat. Dan harapan kita terbelit dalam kepercayaan yang walau teguh, sama sekali tak pasti. Sungguh tak pasti.

Karena kita hanya kabut yang terlihat sekejap lalu lenyap. Dan sesungguhnya, kita yang mengakui serta mempercayai keyakinan pada apa yang dapat kita raih di saat-saat kita ada hanya menyimpan misteri di balik segala tawa dan tangis itu. Kita berjuang untuk ada namun ketiadaan mengganga di depan kita. Maka waktu sekarang, dengan kesadaran yang kita miliki, melintas hanya sekejap untuk larut dan lenyap di ketika yang lain.

Sesaat ada. Sesaat tiada. Sebuah kesempatan dan hanya sebuah kesempatan yang dapat kita miliki sekarang. Sebuah kesempatan yang takkan terulang kembali. Takkan kita raih kembali. Bilamana saat itu lewat, lenyaplah ia. Kita ada. Kita tiada. Sungguh hanya beda tipis tetapi penuh kerahasiaan yang tak terungkapkan. Sebelum kita sendiri melewatinya. Sebelum kita sendiri memasuki saat-saat yang menentukan itu. Sebab walau sekarang adalah pengalaman yang dapat kita rasakan dan dapat kita pikirkan, adakah nanti kita masih tetap dapat merasakan dan memikirkan diri kita sendiri? Di saat ketika kita memasuki saat yang penuh misteri itu, dapatkah kesadaran kita memahami apa yang kita alami? Ada. Tiada. Hilang. Lenyap. Ataukah tetap ada? Dan sadar? Sungguh, ini sebuah misteri yang sangat menggoda.....(hehehheee......)




Yustinus Setyanta

FANA

Bunga-bunga indah pada akhirnya akan layu, gugur, membusuk lalu menyatu dengan tanah. Demikianlah betapa sementaranya hidup ini. Namun, ketidak-abadian tidak berarti bahwa semuanya sia-sia saja. Betapa pun juga, walau hanya sesaat yang singkat, ia telah memberikan keindahan dan keharumannya kepada dunia. Dan dunia pun tak pernah sama jika ia tak pernah hadir. Setiap keberadaan selalu membawa berita bahwa hidup itu ada. Nyata. Dan tak pernah sia-sia.

Maka bilamana hidup terasa berat, percayalah bahwa kita tidak sendirian. Tidak pernah sendirian. Manusia harus bergulat dengan dirinya sendiri untuk meraih pemahaman tentang makna keberadaannya di dunia. Kita memang sendirian dalam menghadapi pergulatan itu, tetapi karena setiap orang mengalami hal yang sama, maka kita tidak boleh menganggap bahwa hanya kita sendiri yang berbeban pun terhebat. Tuhan menciptakan keberadaan kita bukan untuk pasrah dan menyerah pada kesulitan-kesulitan. DIA menciptakan kita untuk berjuang menghadapi dan menerima kesulitan itu sebagai sebuah berkah bagi kehidupan.

Keberadaan kita sendiri menyiratkan bahwa Tuhan tak pernah putus asa dalam membuat kita ada. Dan karena DIA tak pernah bosan kepada kita, mengapa kita harus menyerah serta ingin melarikan diri dari kesulitan kita? Memang, kita bukanlah Tuhan sendiri, bukan!!! tetapi kita harus ingat bahwa DIA memberikan kita untuk dunia sebagai berkah, dan karena itu kita mempunyai kewajiban sekaligus kesempatan untuk membagikan berkah yang telah kita terima kepada dunia.

Demikianlah, setiap kelahiran selalu bermakna bahwa Tuhan percaya kepada kita yang diciptakan-Nya dan sebab itu, kita haruslah menjaga kepercayaan itu sebagai suatu tanggung jawab kepada-Nya. Tanggung jawab untuk tidak mudah menyerah kepada kesulitan yang harus kita hadapi. Tanggung jawab untuk membagikan diri kita kepada dunia, bukan sekedar untuk kedamaian kita saja, tetapi terlebih-lebih untuk kedamaian bagi seluruh alam semesta. Dan percayalah keberadaan kita berarti dan selalu berarti dalam kehidupan dunia.

Bunga-bunga yang indah itu pada akhirnya memang akan layu, lapuk, gugur dan kemudian membusuk serta menyatu kembali dengan bumi. Tetapi baik saat ia mekar maupun saat ia kembali ke bumi, ia selalu akan membagikan berkah keberadaannya bagi alam semesta yang hidup. Dengan membagikan keindahan dan keharumannya. Dengan menjadi humus yang menyuburkan kehidupan baru. Jadi percayalah bahwa tidak ada kehidupan yang sia-sia. Tidak ada kehidupan yang tak bermanfaat. Kehidupan, secara keseluruhan, adalah hadiah terindah Tuhan bagi kita. Kita semua.Dan setiap manusia adalah peziarah, berasal dan kembali kepada ALLAH.

Yustinus Setyanta




Menapak Dan Terbang Ke Maya

Menapak kaki ke bumi maya...
Sejenak bertamasya menuju alam nirmala...
Harum senyuman berjuta bianglala...
Bertatap wajah maya, bertemu tubuh maya...

Langit pagi pun merona...
Kala surya terbit di balik ufuk timur...
Menjalani hidup dalam karya dan tindakan nyata...
Membujur melintasi serpihan umur...

Terbang ke langit maya...
Di sana kita bersua dan bertutur sapa...
Telinga 'kan terus di buka...
Buat berjuta kata terlontar tanpa nada...

Dalam suka pun duka kita bersama...
Menikmati pesona tiada tara...
Kita biarkan diri sejenak mengangkasa...
Di gegap gempita dunia maya....

Senja pun mengajak berdansa...
Berbagai butiran aksara....
Berbalut aneka rasa dan warna...
Tergoreslah seuntai kata meracik makna...

Kita mungkin telah layu dan tak bisa...
Untuk saling bertemu dan bertatap muka...
K'rena jarak bentang pisahkan kita...
Aku di sini, engkau ada di sana...

Kita mungkin tak selalu bersama..
Untuk saling bertutur sapa...
Karena kesibukan-kesibukan kita...
Pada kehidupan kita di dunia nyata...

Menatap cakrawala maya
Berhamburan kata-kata di sana...
Ku baca dan kutulis sapaan untuk anda...
Salam damai bagimu semua...

Yustinus Setyanta
Jogja






Rabu, 05 Maret 2014

OASE (Si Burung Pipit)


Di sebuah hutan hiduplah seekor burung pipit. Ia hidup di hutan itu bersama kawan-kawannya yang lain. Mereka hidup dengan damai. Namun terdengar kabar bahwa hutan akan dihancurkan. Karena itulah, pipit mencari perlindungan. Ia bertemu seekor burung merak yang berbulu sangat indah.
"Hey burung pipit, kapan kamu akan tumbuh besar?" kata merak mengejek.
"Takdirku memang kecil, merak," jawab pipit sedih.
"Lalu kapan bulumu itu berubah warna jadi indah?"
wajah pipit berubah muram. Ia semakin sedih mendengar ejekan merak.
"Buluku memang tak akan seindah kamu, tapi janganlah sombong merak."
"Hey pipit, kalau badanmu tetap segitu dan bulumu tak berubah warna, kamu tak akan bisa menyelamatkan diri dari manusia. Meski aku tak sekuat elang, buluku sangat indah. Pasti manusia suka dengan buluku dan tak akan membunuhku. Mereka akan memeliharaku."

Setelah obrolan itu terbanglah pipit, dan di tengah perjalanan pipit bertemu elang.
"Hey, pipit apa dirimu sudah mendengar berita tentang hutan kita ini?"
"iya, elang" "Aku adalah burung perkasa, aku pasti bisa menjaga hutan ini."
"Hey, pipit kalau kamu tak bisa melawan mereka, kau akan ikut dihancurkan!"
"Bukankah kamu akan mempertahankan hutan kita ini elang?"
"Aku adalah burung yang kuat, aku mampu menjaga diriku sendiri, kalau kamu jadi burung perkasa seperti aku, kamu juga akan bisa selamat"
Sesaat setelah mengejek pipit, elang kembali terbang meninggalkan pipit. Si burung pipit pun mulai beranjak pergi dari tempat itu, lagi-lagi di tengah perjalanannya pipit bertemu burung beo.
"Wahai burung pipit kamu pasti sudah mendengar kabar kalau hutan kita akan dihancurkan. Siapa yang kuat, ia akan selamat"
"Aku sedang mencari seseorang yang mampu menyelamatkanku, beo."
"Hahahahaa....kasihan sekali kamu pipit. Meski tak sehebat elang, aku mampunyai kehebatan meniru suara manusia. Mereka banyak yang mengidolakan aku karena keindahan suaraku itu. Manusia pasti akan memeliharaku nanti"

"bahkan mereka juga selalu mengikutkan aku dalam perlombaan kicau burung. Jika aku menang, aku semakin disayang" tambah si beo. Pipit semakin galau, kegalauannya sampai memuncak tingkat propinsi, semakin sedih. Ia hampir putus asa, matahari kian miring kebarat, hari semakin gelap. Hari makin berganti. Namun masih ada beberapa hewan yang masih bertahan. Hanya monyet yang masih bergelantungan seakan tak peduli. "Hey, monyet, mengapa kau masih saja ceria sedangkan hutan kita terancam?"
"Pipit apa yang kamu khawatirkan sayang?"
"Kalau hutan kita dimusnahkan manusia, kita akan ikut dimusnahkan juga, monyet. Kita akan mati!" teriak pipit keras.
"Hahahawkwkwkkkk....." gelak tawa monyet mengundang tanya pada hati pipit.
"Mengapa kau malah tertawa monyet?" tanya pipit bingung. "Yang dimusnahkan manusia adalah yang menguntungkan manusia. Aku tak membawa keuntungan apa-apa untuk mereka. Aku tak memiliki bulu indah seperti merak, tak juga punya suara merdu seperti beo, aku juga tak bisa sekuat elang. Apa yang dicari manusia dari diriku?"
"Betulkah? Bukankah yang menguntungkan manusia justru akan dipelihara?"
"kau salah pipit. Manusia akan mengambil bulu indah merak, menjual suara merdu beo dengan menyuruhnya bernyanyi tanpa henti agar orang mau membeli beo, juga memajang tubuh elang di museum untuk dipertontonkan kegagahannya" Belum lama pipit berjalan, tiba-tiba terdengar suara,
"Aadduuuhhhh..."
"Siapa itu?" pipit mencari tahu. Pipit menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak menemukan sesuatu. "Ini aku, semut di bawah kakimu."
"Oh, semut maaf yah. Aku tak lihat kamu."
"Aku memang sangat kecil, di bawah dan selalu diinjak-injak," sahut semut dengan sedihnya"
"kalau gitu kamu di atas saja semut," kata pipit menasihati. "Aku tak bisa terbang seperti kamu, pipit."
"Oh, iya kamu kan tak punya sayap seperti aku."
"Tadi puluhan manusia menginjak-injakku, aku seperti tidak berharga, tak berguna" Pipit terbelalak kaget mendengar ucapan semut.
"Betulkah semut?"
"Iya, mereka masuk hutan kita dan membawa teman-teman kita yang hebat, kuat" Pipit semakin terkejut. "Siapa semut?"
"Si merak yang memiliki bulu indah, elang yang gagah perkasa dan beo yang bersuara merdu. Mereka yang dicari manusia."
"Apa!!" pipit seolah tak percaya apa yang terjadi.
"Aku memang tak sehebat mereka, pipit. Namun aku sangat bersyukur karena kekuranganku ini, aku selamat dari bahaya".


Pipit tersenyum bahagia, lega dan legawa. Apa yang dikatakan semut benar. Kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya tak selalu mendatangkan keburukan pada dirinya.
Sekian.


Oleh : Yustinus Setyanta
           Jogja





Minggu, 02 Maret 2014

GALOMBANG KEHIDUPAN

Hari demi hari t'lah dilalui
Jalanan yang berliku t'lah dilewati
Tebing-tebing nan tinggi pun didaki
Lautan luas pun kian disebrangi
Sungai-sungai tak luput kan diarungi

Tak perduli hujan, panas ataupun dingin
Tak perduli jurang ataupun terjalnya bebatuan
Tak usah hiraukan gelaombang yang datang menerjang
Tak perlu takuti meskipun air terjun dihadapan menantang

Arungi lautan kehidupan
Lalui dengan pelahan
Serta bijaksana menghadapi gelombang kehidupan
Hanya nahkoda iman yang terus dipertahankan
Demi keseimbangan layar yang kian berkobar
Agar tak tenggelam dilautan tak ber-air

TUHAN kan selalu menjaga, maka tak perlu gentar
Meskipun diterjang badai dan halilintar
Dengan mengibarkan layar keyakinan dan
Mengendalikan nahkoda keimanan


Yustinus Setyanta
Jogja