Rabu, 29 Oktober 2014

>>


BIYAYA ADMINISTRASI

     Masih untung hamba yang mendapat satu talenta itu memandamnya di tanah, coba saja kalau dia memasukannya di sebuah bank dan terkena biaya administrasi. Barangkali waktu tuannya datang, uang yang hanya satu talenta itu tidak berbunga tetapi justru habis sama sekali.

     Bisa diduga tuannya akan lebih marah lagi. Begitu pun jika benih iman tidak berkembang tetapi justru habis digerogoti karena terkena 'biaya administrasi' kebutuhan jaman.













{Yustinus Setyanta}




JOGJAKU















HUKUM & ATURAN

Kehidupan tanpa hukum dan aturan memang akan menjadi tidak karuan. Namun ketika hukum dan aturan yang dibuat oleh manusia kemudian diper-Allah-kan hal itu justru akan mengorbankan kemanusiaan. Atas nama hukum, atas nama aturan, orang bisa bertidak semaunya, menekan orang lain, bahkan menyakiti dan membunuh manusia lain. Lebih celaka lagi jiua hukum dan aturan itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan diri, golongan tertentu, dan meniadakan kepentingan masyarakat umum yang seharus dilindungi dan diayomi oleh huku dan aturan tersebut.

Hukum dan aturan kemudian dimanipulasi sedemikian rupa demi tercapainya keinginan suatu golongan. Hukum dan aturan dicari-cari celahnya untuk mempersalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. Penegakan hukum dan aturan mulai pengadilan menjadi pasar yang diwarnai dengan tawar-menwar. Keadilan hanya dimiliki oleh penguasa dan golongan tertentu.

Sejak jaman hahulu kala, hukum dan aturan telah banyak diselewekan. Atas nama adat, atas nama agama, bahkan Allah, hukun digunakan untuk menyingkirkan orang lain. Hal itulah yang agaknya dirasakan oreh para murid Yesus (Luk 14:1-6), ketika para ahli taurat dan orang-orang farisi menekan Yesus dengan menggunakan aturan hari sabath. Bukan hanya kelompok Yesus yang ditekan, namun mereka yang miskin, tersingkir, dan difabel pun menjadi korban. Jika hal itu terjadi di lingkungan kita sekarang, bagaiman mungkin orang sakit harus pulang dan tidak jadi berobat ke dokter hanya karena aturan hari Sabath. Bagamimana mungkin orang yang kelaparan terpaksa tidak memperoleh penghasilan karena aturan hari sabath.

Yesus, menempatkan kemanusiaan di atas hari sabath. Aturan yang dibuat oleh manusia, mestinya tidak membunuh dan mengorbankan kemanusiaan. "Seandainya seorang dari kalian mempunyai seorang anak atau seekor lembu yang jatuh ke dalam sumur pada hari sabath, apakah ia tidak segera menarik ke luar anak itu atau lembu itu hari itu juga?". Dengan kalimat tersebut, Yesus menyadarkan mereka bahwa kemanusiaan jauh lebih penting daripada aturan hari Sabath.

REFLKESI :
         Atas nama aturan dan hukum agama, kadang demikian mudah menilai buruk orang lain bahkan mempersalahkan tanpa melihat latar belakangnya. Dengan mudah menyinkirkan, tidak menyapa saudara sendiri karena tidak pernah aktif dan telibat dalam kegiatan lingkungan/wilayah, gereja, tanpa mau tahu permasalahannya. Tetap diam tak bergerak ketika saudara tersebut tertimpa kemalangan atau kesusaham. Dengan gampang mengambil alasan karena dia tidak pernah aktif di lingkungan. Seharusnya aku berusaha menyadarkan atau merangkul mereka dengan penuh rasa persaudaraan. Tapi nyatanya. Bertanya pun tidak, mengapa merka tidak aktif di lingkungan/wilayah.

Ini bukan soal hari sabat, tetapi soal aturan yang diberhalakan, hingga membunuh satu sisi dari rasa kemanusiaan. Pemakluman dengan menggunakan kata wajar karena banyak orang lain yang juga bersikap demikian, meninabobokan diri. Ketika aku terbangun, saat aku tersadar, aku berkubang dalam rasa sesal. Dia yang telah menyelamatkan aku, menganggap bahwa hidupku demikian berarti. Tetapi aku, yang telah Dia selamatkan justru melihat kesenaganku sebagai hal yang lebih berarti.

Kesadaraan itu, mengantar aku untuk berani kembali menempatkan hidupku dalam arti yang sesuangguhnya. Bahwa aku ada karena adanya manusia lain dan bukan karena memiliki kesenangan. Bahwa aku ada sebagai ayah karena adanya anak-anakku, aku ada sebagai suami karena istriku, aku ada sebagai istri karena suamiku, aku ada sebagai warga lingkungan karena ada orang-orang di lingkunganku. Mereka semua membuat aku ada dan berarti. Dan terutama, aku ada karena Dia mengasihku. Aku ada karena kasih-Nya

{Yustinus Setyanta}

.::KEDAMAIAN JIWA::.

Lagu rindu menggetarkan hati
Indah dalam kata yang sunyi
Berbalut rasa yang damai
Ku biarkan tersimpan rapi didalam hati

Kala jiwa damai dalam sandaran-Nya
Tumbuh kuat akar pohon cinta
Rindang daunnya sejukkan hati
Membawaku berlayar di samudera hati

(Yustinus Setyanta)


MENILAI ZAMAN

Menilai keadaan, menilai zaman, perkara menarik yang sering kita lakukan setidaknya untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi atau sekedar untuk mengisi waktu luang. Dalam menilai, sudah tentu kita memdasarkan pada bukti-bukti yang berupa informasi yang lalu kita kait-kaitkan. Kita mencari keterhubungan antara satu informasi dengan informasi yang lain sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan.

Tanda-tanda bisa jadi berupa apa yang kelihatan, namun bisa pula apa yang tidak kelihatan. Tanda-tanda yang kelihatan membuat kita mampu menilai keadaan di luar. Tetapi tanda-tanda yang tidak kelihatan akan membuat kita mampu menilai keadaan di dalam. Zaman, adalah rentang waktu yang kita lalui. Kita bisa menilai zaman sebagai obyek yang ada di luar, yang kita arungi. Tetapi kita yang mengarungi zaman adalah bagian dari zaman itu pula. Hanya menilai apa yang di luar membuat kita mampu menyimpulkan, tetapi jika kita mampu menilai yang di dalam maka kita akan bisa bersikap benar. Maka menilai zaman yang benar adalah mampu menilai seluruhnya, sebab hanya dengan menilai seluruhnya itu kita akan bisa mengambil kesimpulan dan sikap yang benar. Atas dasar kesimpulan dan sikap itulah kita akan dimampukan untuk memutuskan apa yang benar. Sikap adalah........

Itu sebabnya Tuhan memberikan perumpamaan mengenai peristiwa di mana kita mengalami masalah dengan orang lain. (Luk 12:54-59). Dia menghendaki kita menilai ke dalam dan membangun perdamaian sebagai wujud sikap yang benar atas hasil penilaian ke dalam itu. Sekiranya kita enggan melihat ke dalam dan tidak membangun sikap yang benar, maka kita akan tetap terpenjara sebagai akibat dari pertentangan itu. Penilaian ini cenderung menutup refleksi atas diri sendiri. Bukankah bertobat adalah sikap yang merupakan buah dari refleksi atas diri kita sendiri. Buah atau kesimpulan dan upaya kita melihat ke dalam dan bukan melihat keluar.

Acapkakali kita mengambil sebuah keputusan dan menganggap keputusan itu adalah yang benar, setidaknya hal yang baik diantara sederet kemungkinan lain. Mungkin kita telah melihat dan menilai ke dalam diri kita sendiri, kita mengamati apa yang kelihatan apa yang tidak kelihatan yang membuat semua persoalan itu. Melihat ke dalam jarang kita lakukan, karena terkadang yang terpampang hanyalah kesalahan kita sendiri.

REFLEKSI :
Banyang orang yang bisa omong, bisa bicara, dengan kemampuan analisa dan pertimbangan-pertimbangan yang nampak mengagumkan. Mereka pandai, lihai, bahkan mampu memojokkan orang lain sehingga yang tampak adalah orang lain itu salah dan dirinya semakin meneguhkan kesalahan itu. Aku pun demikian, aku pun acapkali demikian pula. Terhadap anak, terhadap pasangan hidupku, aku menilai lalu menyimpulkan bahwa mereka yang salah dan bukan aku. Terhadap komunitas pun demikian. Aku menilai dan melihat, lalu menyimpulkan mereka yang salah dan bukan aku.

Penilaian itulah yang aku pertahankan dan terus di pertahankan. Bahkan ketika mereka mengaku salah, kesimpulan bahwa meraka pernah bersalah itu tidak juga kunjung menghilang. Tanpa terasa aku telah memasukkan mereka ke dalam penjara 'kesalahan' yang entah sampai kapan mereka benar-benar akan bebas dan menjadi orang yang benar di hadapanku. Sungguh aku bisa menilai keadaan dan bisa menyimpulkan, tetapi aku bersikap tidak benar. Apa yang terlihat saja tidaklah cukup, sebab ada bagian-bagian yang ikut terlihat tetapi tidak terlihat. Dan hal itu adalah apa yang ada dalam diriku. Peranku, imanku, dan perasaanku, kadang tidak terlihat dalam penilaian terhadap orang lain. Aku enggan melongok, karena di dalam sana aku menemukan banyak sampah kotoran yang sasanya enggan jika harus kubuang. Semua itu di simpan dan terus disimpan, ditutup rapat supaya tidak seorang pun melihatnya. Itulah yang membuat aku enggan dan tidak pernah melihat apa yang ada di dalam, sehingga lebih sering melihat keluar. Perlahan Dia menghampiri aku dan menuntung untuk selalu melihat ke dalam diri, rasa tenang, damai pun melingkupi. (Sebuah Reflesi diambil dari Luk 12:54-59).
{Yustinus Setyanta}

Minggu, 26 Oktober 2014

SUSU MURNI

Susu murni, adalah susu yang tidak dicapuri apa-apa. Tetapi meski sudah dicampur air atau rasa tertentu, tetap ada yang menyebutnya sebagai susu murni karena berbeda dengan yang bukan susu murni. Susu yang tidak murni sudah dikemas menjadi susu bubuk, dicampu bahan-bahan lain seperti pengawet.

Sabda yang bercampur dengan penghayatan akan hadir sebagai sebuah kesaksian iman. Memang, tidak lagi bisa diperdebatkan kebenaran sejarahnya, atau murni atau tidaknya. Tetapi sebagaimana susu, tetap bisa dinikmati dengan penuh sukacita.










(Yustinus Setyanta)

::.KWATRIN SABDA.::

pada mula pertama
sabda ada bersama-Nya
puisi paling purba
penyair ditakdirkan ada.


(Yustinus Setanta)







MENULISKAN

Kadang kumerasakan lelah untuk terus menulis dan merasa tidak yakin apakah semua ini akan berarti bagi orang lain, terutama bagi diriku sendiri. Perasaan itu datang manakala pikiran ini terasa buntu. Namun dengan berdoa, semangat untuk menulis muncul kembali. Memang kadang diriku sendiri lalai dan merasa bahwa semua ini adalah karyaku, sekaligus menasehati diri. Satu hal yang saya lupakan adalah, Dia memungkinkan semua ini bisa terjadi.

Hidup dalam kehadiran Tuhan, menjadi hidup menyenagkan. Namun tetap setia menyadari kehadiran-Nya memerlukan kesadaran akan kelemahan diri.. Buah dari kesadaran itu adalah penyertaan-Nya, sehingga bukan diriku dalam kesendirian yang berbuat dan melakukan segala sesuatu, tetapi Dia bersama dan melalui diriku berbuat dan melakukan segala sesuatu. Menjaga kesadaran mungkin akan sulit sebagai mana menyadari nafas yang di hirup dan di lepaskan. Kesadaran itu demikian mudah untuk telepas dan tertinggal begitu saja, sehingga akhirnya lebih banyak waktu yang di jalani dalam kesendirian.

Ada rangkaian kalimat yang selama ini menjadi pemicu kesadaraanku,

Aku ini apa, aku bukanlah apa-apa.
Aku ini siapa, aku bukanlah siapa-siapa.
Aku ini yang mana, aku adalah yang dikasihi Bapa
........
Terima kasih Tuhan, terima kasih atas penyertaan-Mu atas kasih-Mu dalam kehidupanku.











(Yustinus Setyanta)

DIAM ITU EMAS

      Seorang peziarah sibuk bercerita mengenai pengalaman doanya. Setiap berdoa, Allah selalu membisikkan di telinganya, apa yang harus ia lakukan dan kerjakan. Maka setiap langkahnya adalah langkah yang sungguh dikehendaki oleh Allah.

      Kami yang sedari tadi diam dan mendengarkan orang tersebut sibuk berbicara, bercerita, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Apakah bapak sering membaca Kitab Suci?" "Ya....kadang-kadang saja. Tetapi Tuhan selalu berbicara kepadaku secara langsung. Untuk apa lagi aku harus membuka Kitab Suci? ". Lantas kami bertanya lagi, eh bapak itu tidak menjawabnya karena kesal, jiwanya telah lelah jadi tak menjawab pertanyaan.

     Akhirnya pula, kesimpulanya bahwa diam itu emas, karena bapak tersebut memang ingin didengarkan dan tidak ingin mendengarkan. Karena ingin diperhatikan bukan memperhatikan.











(Yustinus Setyanta)

MEMBALIK SUNGAI

     Di bagian hulu atau mata air, kebanyakan sungai tidak selebar di bagian hilir atau muara. Di hulu suangai itu mungkin hanya berupa parit kecil belaka. Namun di sepanjang perjalanan banya sungai-sungai kecil yang bergabung, bahkan sampai selokan pembuangan perumahan pun itut tergabung.

     Gabungan suangai kecil dan selokan itu akhirnya menjadi sungai besar dan ketika sampai di muara menjadi semakin besar. Sungai besar itu berakhir di laut atau samudra yang amat luasnya. Kalau cara kita melihat dibalik, kita menyusuri aliran sungai itu dengan cara terbaik, maka kita akan melihatnya serupa pohon sampai ke akar-akarnya. Barangkali seperti itulah kasih Allah sampai kepada kita, dan kasih kita sampai kepada Allah.













(Yustinus Setyanta)

::.PANDANGAN ALAM.::

Kicauan burung yang menyemarak di siang hari
sama halnya dengan bisikan jangkrik ketika senja...
Menggantikan jeritan yang terdekap dalam hati
tentang bayang-bayang akan berbagai rencana...

Sementara dedaunan tengah asik bergoyang
oleh kesibukan udara yang berlalu lalang
Walau masih terdiam tanpa sebuah pergerakan
tetap berharap wujudkan tentang aneka perubahan

Mungkinkah perputaran bumi akan kembali normal
seperti ketika jarak antara siang sama dengan malam.....
Dimana terangnya bahagia nan damai masih terasa sangat kental
diantara mereka yang menyembunyikan arti kelam....

Namun gelap, langit akan tetap terhias
dengan sejuta bintang yang saling berkilauan....
Saatnya beranjak melangkah menjauhi rasa malas
yang telah lama bersenda gurau dalam angan....

Semoga saat pagi tiba semua kembali ceria
bersama indahnya pelangi dalam mewarnai dunia....
Dimana setiap kejadian bukan berarti sia-sia
karena telah merelakan kembalinya sang bahagia.....



(Yustinus Setyanta)


POT

    Orang yang gemar menanam tidak akan membiarkan satu pot pun nganggur dan tidak dipergunakan. Tangannya akan selalu gatal untuk mengisi pot tersebut dengan tanah dan menanam tanaman.

    Tuhan tidak akan pernah membiarkan satu pun manusia menganggur tanpa menaburkan benih iman kepadanya. Tuhan juga selalu berusaha menyadarkan agar manusia merawat benih yang Dia taburkan. Jika ada iman yang tidak tumbuh, sebenarnya bukan karena tidak ada benih di dalamnya, tetapi karena manusianya tidak merawat atau menyiraminya. 



(Yustinus Setyanta)

SENDIRI DALAM KESENDIRIAN

Sendiri bukan berarti merasa kesepian
Sendiri bukan berarti menjalani hukuman
Sendiri bukan berarti tidak pandai berteman
Sendiri bukan berarti tidak dianggap keturunan
Sendiri bukan berarti tidak mempunyai pasangan
 
Namun... kesendirian itu cukup berarti...
Kesendirian berarti meniti perjalanan
Kesenderian berarti untuk merefleksikan diri
Kesendirian berarti menebus kesalahan

Kesendirian berarti mencari jawaban
Kesendirian berarti memaknai kehidupan
Kesendirian berarti menghargai perjuangan
Kesendirian untuk menghenigkan

Kesendirian suatu kesempatan
Yah, kesempatan emas untuk benar-benar merasakan
kehadiran dan penyertaan Tuhan.....


TIDAK TA'UT

 Dahulu saat masih sekolah, setiap kali menghadap Kepala Sekolah tentu diselimuti rasa takut terlebih dahulu, karena selalu berkaitan dengan kesalahan atau memohon keringanan pembayaran sekolah. Untung saja sekarang sudah makin tua dan tidak lagi berurusan dengan Kepala Sekolah, tetapi dengan Tuhan.

Nah, karena Tuhan bukan Kepala Sekolah, maka tidak ta'ut. Sekalipun setiap menghadap Beliau, urusannya setali tiga uang dengan situasi dahulu, yakni soal kesalahan dan minta beban diringankan, atau mita kekuatan memangul beban. Keyakinan bahwa Dia adalah Maha Rahim, Maha Pengasih dan Penyayang, itulah yang membuat ku tidak ta'ut. Hanya sedikit agak malu....karena banyak tugas dari-Nya yang belum juga ku kerjakan. Juga masih banyak aturan-aturan dari-Nya yang ku langgar, juga banyak sabda-sabda-Nya yang ku abaikan. Ah, yang penting nggak ta'ut dan masih punya rasa malu. (Sebuah Refleksi Singkat).













{Yustinus Setyanta}

Jumat, 24 Oktober 2014

API

Api adalah gambaran dari semangat berkobar. Api juga merupakan gambaran akan hidup yang menyala dan memberi kehangatan serta terang bagi sekitarnya. Namun api juga menjadi gambaran akan penghancuran, pemusnahan. Kita tahu betapa hebatnya api berkobar melahap rumah, pasar, gedung, hutan, dsb, sehingga kita berusaha keras untuk memadamkannya. Tetapi kita juga tahu betapa berartinya api di atas tungku yang membuat masakan bisa matang, atau api di dalam dian (pelita) yang memberikan sinar terang serta kehangatan bagi mereka yang mengalami suasana dingin dan gelap. Api yang terkendali, itulah yang besar artinya dan berguna. Semetara api yang liar, bringas dan tak terkendali akan menghancurkan segalanya. Ada ungkapan untuk si api, mungkin sudah akrab ditelinga kita, "Kecil jadi kawan, besar jadi lawan".

Api yang Dia lemparkan ke bumi bukanlah api yang menghancurkan, tetapi Roh Kudus yang menghidupkan bumi. Roh itu membawa harapan Tuhan, bahwa Ia akan terus menyala. Tuhan mengungkapkan perasaan yang menjadi alasan bagi-Nya untuk mengirim Roh Kudus pada kita. Dia demikian peduli dengan apa yang dialami manusia di atas muka bumi. Baptis yang Dia terima adalah awal dari tugas perutusan-Nya, untuk merombak, melakukan revolusi, dan mengubah wajah dunia yang kelam. Maka sudah barang tentu Dia akan berhadapan dengan penguasa kegelapan yang telah munguasai dunia. Maka kehadiran-Nya bukan untuk berkompromi dengan penguasa kegelapan, melainkan menemtang apa yang selama ini dianggap normal bagi dunia. Pertentangan yang Ia korbankan untuk menyelamatkan dunia terhadap cengkraman kegelapan, harus ada yang menang. Tuhan hendak membalikkan orientasi dunia, dan membawanya kepada satu orientasi yakni Allah sendiri. Harapan dunia, Dia pancangkan kepada Allah dan hanya kepada Allah.

Ketika seorang ayah menggantungkan harapannya kepada anak laki-laki, seorang ibu meletakkan harapannya kepada anak perempuannya dan seorang murtua meletakkkan harapannya kepada sang menantu, maka peletekan harapan inilah yang hendak Dia ubah. Bukan anak laki-laki, anak perempuan, atau menantu yang menjadi andalan, tetapi Allah. Pertentangan di antara mereka yang Tuhan gambarkan bukanlah sikap anti tatanan social, bukan soal permusuhan dalam rumah tangga, tetapi pemutusan saling ketergantungan. Dalam segala posisi entah sebagai ayah, ibu, anak laki-laki atau anak perempuan, mertua atau menantu, semua tergantung dan mengandalkan diri pada Allah.

Yang bisa diandalkan dari Allah adalah kasih-Nya yang besar. Maka mengandalkan diri kepada Allah adalah mengandalkan kasih Allah yang menjadi pengobar semangat hidup. Ketika seorang ayah melihat anak laki-lakinya sebagai ungkapan kasih Allah dan anak laki-laki melihat ayahnya sebagai ungkapan kasih Allah, maka mereka hidup mengandalkan Allah. Demikian pula seorang ibu dan anak perempuannya, seorang mertua dan menantunya. Semua berlandaskan atas kasih Allah dan bukan keinginan untuk saling memanfaatkan.

Api Roh Kudus telah Ia lemparkan, dan Ia berharap api itu menyala, mengidupi setiap rumah, setiap keluarga, setiap komunitas. Sebab berawal dari rumah, dari keluarga, dari komunitas itulah api itu akan terus menjalar dan menjalar. Api Roh Kudus yang merupakan pertanda kehangatan kasih Allah.

Refleksi:
Semejak aku dibaptis, aku dibaptis dalam Roh. Maka semenjak saat itu api yang Dia tebarkan itu ada dalam hidupku. Ku lihat ke dalam diri, ku lihat dengan seksama, api itu masih menyala, atau hampir padam. Api itu memberikan kehagatan taukah api itu terselubung oleh ketidakpedulian sehingga kehabisan udara dan padam.

(Sebuah refleksi dari Luk 12:49-53)

(Yustinus Setyanta)

::.ASMARA.::

Kala cakrawala berona jingga
Harum kuntum bak aroma surga
Isyarat sang mawar akan lekas merekah
Ditaman hati s'tiap kekasih

Dimana hatinya tempat memuji
Dimana jiwanya tempat memuja
Anugrah Tuhan dengan nama cinta

Berbisik,
    dikala hening memanggil....
Bersenandung,
    dikala rindu mengalun....
Dan menjelma,
    disetiap mata terpejam....



(Yustinus Setyanta)



Sabtu, 18 Oktober 2014

::. BUNGA HATI .::

Mekar sekuntum bunga di hati
Indah nan elok warnanya mengiasi diri
Dari dirinyalah keindahan terpancar
Aroma wanginya yang s'lalu tersebar...

Ku amati dan kucermati
Ku hayati dan kuresapi
Oh, mekar yang makin nyata
Betapa pesonanya kian menggoda

Semakin lama ku resapi
Semakin dalam ku hayati
Semakian terpesona olehnya
Aku kan selalu menjaganya...

Seiring berjalanya waktu
Kian tumbuh subur, kian menyatu
Jauh ke dasar hatiku
Mencengkram kuat hatiku

Wahai bunga sekuntum
Tetaplah engkau mengharum
Tetalah mengkau menghiasi taman hati
Karena kau telah terpatri

Wahai bunga menghiasi taman hati
Hendak ku melindungi, ku pupuk dan menyirami
Agar bunga cinta yang ku tanam di hati
Selalu asri dan terus bersemi...


{Yustinus Setyanta}


HARTA MELIMPAH

- Luk 12:13-21.
Bahwa harta itu tidak akan dibawa mati, semua tahu itu. Maka kemudian mencari alasan lain, bahwa harta itu bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk anak cucu kita. Kalau bisa cukuplah untuk sampai tiga, empat, atau tujuh turunan. Maka muncul pernyataan yang menyebut ukuran maksimal dari harta melimpah tgdak akan habis sampai tujuh turunan. Soal bagaimana mengamankannya, tidak usah khawatir, ada jaminan asusansi, ada bank yang cukup aman yakni bank di swiss. Kesimpulannya, tidak masalah jika kita mengumpulkan, menumpuk atau menimbun harta. Ada lumbung yang tak terbatas atau tak terkira besarnya untuk menyimpan semua harta tersebut. Lagi pula harta itu bukan untuk kita sendiri tetapi untuk warisan anak cucu kita, keturunan kita. Semua itu kita lakukan sudah barang tentu karena rasa cinta kita pada anak-cucu kita. Alasan kita tidak ingin mereka hidup dalam kekurangan, dalam penderitaan. Merka harus merasa aman dan tercukupi semua kebutuhannya. Bukankah Tuhan sendiri sudah mempercayakan mereka kepada kita.

Oleh karena itu ukuran ketamakan pun menjadi bias alias tidak jelas. Kapan tidak menjadi tamak, serakah, melainkan cukup? Kapan cukup dan benar-benar sudah cukup? Hanya samar-samar. Kita sendiri tidak akan pernah tahu. Rasa cukup itu berkembang dan terus berkembang. Ada saja alasan yang kemudian muncul untuk sebuah kata 'kebutuhan' akan itu. Artinya, kita merasa hahwa ada yang kurang. Bahkan kita akan menyebut naif untuk orang yang berkata "sudah...sudah cukup". Tanpa terasa, kita terjebak dalam rasa tidak pernah puas. Jika kita tidak pernah merasa puas, adakah kita akan bersyukur jika demikian.

Tuhan mengajar kepada kita hidup yang benar. Hidup benar adalah hidup yang didayai oleh Roh Kudus. Dan Roh Kudus itu, memampukan kita untuk senantiasa bisa merasakan kasih Allah, sehingga kita bisa selalu bersyukur. Ada perbedaan yang nyata dengan orang yang didayai oleh keinginannya sendiri. Perbedaan itu terletak pada rasa syukur. Hidup orang beriman akan senantiasa dipenuhi rasa syukur karena ia mampu melihat apapun yang diterimanya sebagai anugerah kasih dari Allah. Sehingga jiwanya tidak terikat pada harta/benda duniawi, melainkan terikat pada Allah semata. Di sisi lain, orang yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang tidak pernah puas dan selalu terpaku pada apa yang belum dikuasai atau belum dia miliki, sehingga jiwanya senantiasa terikat pada keinginannya itu.

Bisa saja kita berkilah bahwa apa yang kita kejar bukanlah untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan anak-cucu kita. Tetapi pada saat yang sama, tanpa kita sadari kita telah memupuk ketidakyakinan kita akan penyelenggaraan Allah. Bahkan tanpa kita sadari kita telah mengikat anak-cucu kita pada ketergantungan terhadap harta dunia dan bukan kepada Allah."Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." dari pernyataan tersebut nampaknya Tuhan menghendaki kita kaya di hadapan Allah.

Orang kaya, adalah orang yang mampu memenuhi kebutuhannya karena ada yang dia amdalkan, yakni harta dunia atau uang, dia bisa membeli imi dan itu, bisa melakukan ini dan itu karena memiliki uang. Maka uang menjadi andalan baginya untuk melakukan byak hal dan mendapat rasa puas dari pemenuhan terhadap apa yang dia inginkan. Orang miskin adalah org yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena dia tidak mempunyai andalan berupa harta. Maka kaya atau miskin tergantung pada kepemilikan atas sesuatu yang bisa diandalkan.

Ketika orang yang mengandalkan hidupnya pada harta duniawi, uang. Mati, semua harta kekayaanya dia tinggalkan dan di hadapan Allah tidak ada lagi sesuatu yang bisa menjadi andalannya. Pada saat itulah dia menjadi miskin. Orang miskin yang sepanjang hidupnya hanya melihat harta duniawi sebagai pokok permasalahannya dn menganggap memjdi andalan yang bisa mengangkat semua persoalannya. Pada saat mati pun ia tetap tidak memiliki sesuatu yang bisa di andalkan.

Bagi orang beriman, hidup di dunia yang menjadi andalan adalah kasih Allah. Segala sesuatu yang ada padanya, dia lihat dan dia rasakan sebagai ungkapan kasih Allah. Maka hidup dengan mengandalkan kasih Allah inilah yang mestinya juga diwariskan. Pada saat meninggal dunia, semua harta yang ada padanya dia tinggalkan, namun dia tidak kehilangan andalan. Orang beriman tetap mempunyai andalan ketika ada di hadapan Allah, karena andalan-Nya adalah kasih Allah. Kasih Allai itu tak terbatas dan tiada batasnya, maka betapa kaya rayanya orang yang mengadalkan kasih Allah, karena yang menjadi sumber adalannya adalah Allah yang ada di hadapannya. Kita lihat secara mendalam bahwa semua yang ada pada diri kita saat ini adalah karena kasih Allah. Menjaga kesadaran akan kasih Allah di setiap hal yang kita terima, baik hal yang membahagiakan maupun hal yang menyedihkan, akan membiasakan kita untuk mengadalkan kasih Allah.

REFLEKSI:
Hidup dengan hanya bermodalkan kasih, sugguh ungkapan seperti ini semakin terpinggirkan oleh jaman. Tak menyangkal bahwa kadang menertawakan orang yang memgatkan demikian. Tidak realistis, pikirk. Orang yang sedang bermimpi saja yang bisa mengatakan bahwa hidupnya hanya bermodalkan kasih. Kadang pun menyamakan orang yang bersikap demikian dengan sikap seorang pengemis, yang kesana kemari mengharapan belas kasihan orang lain. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang? Apa yang tidak bisa dipenuhi dengan uang? Bahkan rumah tangga pun ada yang hancur gara-gara uang, artinya uang menjadi andalan dalam hidup berumah tangga. Negara pun bisa hancur gara-gara uang. Iman pun bisa dibuang hanya kerena uang. Apa yang tidak bisa dikakukan oleh uang. Uang menjadi sosok yang demikian penuh kuasa dalam hidup di jaman yang semakin maju ini. Dunia bergerak karena uang yang bergerak dan dunia ikut diam jika uang diam. Tanpa uang tak dapa burbuat. Tanpa uang tdak hidup. Jika demikian pernyataanya menjadi lupa bahwa uang hanyalah sarana, atau alat belaka. Tuhan mengajari supaya melihat perkara di balik keberadaan sarana atau alat yang bernama uang itu. Tuhan megajari untuk lebih melihat dan lebih mengadalkan pada apa yang ada di sana.

Ada perhatian, ada kepedulian, ada keprihatinan, ada bela rasa dan kasih di balik setiap keping uang yang aku terima. Maka bukan lembaran atau keping unang yang menjadi pusat perhatianku, tepati perhatian, kepedulian, dan kasih yang membuatnya berada di tanganku. Bukan berapa banyak uang yang aku terima, berapa besar nilai uang yang aku dpatkan, tetapi seberapa besar perhatian dan kasih yang yang boleh aku rasakan dengan semua itu. Sedikit demi sedikit, Tuhan mengajar aku untuk mau memyelam lebih jauh dan melihat peran kasih Bapa di setiap perkara itu. Bahwa kasih-Nya lah yang menggerakkan, yang membuat semua kepedulian dan perhatian itu bisa aku terima. Demikian Dia mengajari aku untuk memgandalkan hidupku pada kasih-Nya. Dia adalah andalanku. Aku tidak akan pernah merasa khawatir nati jika aku manti. Di hadapan-Nya aku tidak akan kehilangan perkara yang menjdi andalan hidupku selama ini. Perhatian dan kasih-Nya melalui orang lain akan aku bawa serta dan menjadi persembahan yang istimewa saat aku ada di hadapan-Nya. Aku bisa berkata, "Terimalah Bapa, inilah talenta yang Bapa berikan kepada selama aku hidup di dunia. Talenta-talenta itu tidak kupendam, tetapi telah aku kembangkan sehingga aku bisa menghaturkannya kembali kepada-Mu sesuai dengan kemampuan yang ada padaku".

(Yustinus Setyanta)

::. UNGKAPAN .::

Angin di sore hari
Bertiup dengan sepoi
Yang seakan melambai-lambai
Membuat hati kian damai..

     Senjapun menyambut
     Seakan nyala yang menyulut
     Bersembunyi dalam sebuah kabut
     Mata yang tertutup, tak dapat melihat

Itulah sebuah ungkapan
Oleh sebuah perasaan
Di ungkapkan dari insan
Terpaparkan dengan keluguan


(Yustinus Setyanta)


Jumat, 17 Oktober 2014

PERSEMBAHAN

Persembahan bukanlah pajak atau upeti. Persembahan adalah pemberian atau penyerahan sebagaian dari apa yang kita miliki sebagai ungkapan dari rasa bakti, taat, tunduk, dan berserah diri. Maka persembahan muncul dari dalam, sebagai ungkapan rasa syukur. Rasa syukur yang terungkap adalah buah dari pertemuan dua sikap, yakin sikap Allah yang memberi karena kasih-Nya di satu sisi dan sikap penyerahan diri di sisi kita. Ketika kita menyambut sikap memberi karena kasih Allah itu dengan sikap penyerahan diri, maka kita akan melihat mujizat yang terjadi, berkat yang tercurah di kehidupan kita. Peristiwa itulah yang kemudian membuahkan syukur.

Persembahan bukanlah wahana untuk pemegahan diri, untuk menunjukkan kekayaan atau kemampuan atau pengaruh kita. Ketika persembahan menjadi sarana untuk menunjukkan diri kita sebagai yang 'terhormat' maka Yesus akan menggolongkan kita ke kelompok orang-orang yang disebut-Nya 'celaka'. "Tetapi celakalah kamu,......." (Luk 11:42). Nah, lebih keras lagi kan, Tuhan akan menyebut kita sebagai kuburan tanpa tanda, tanpa nama, yang hilang dari ingatan orang lain.

Pemegahan diri, itulah yang disoroti Yesus pada diri orang-orang farisi. Pemegahan diri muncul karena pikiran yang senantiasa tertuju pada diri sendiri, pada kepentingan diri dan keuntungan diri. Pemusatan pada kepentingan diri itulah yang mengorbankan nilai dari sebuah persembahan. Persembahan menjadi tidak ada artinya karena bukan merupakan perwujudan dari sikap tunduk, taat, dan berserah diri. Ketika persembahan menjadi sarana untuk memgukuhkan kesombongan diri, maka tidak akan membuahkan rasa syukur. Peran Allah pun akan tergeser oleh pengakuan atas kekuatan dan kemampuan diri sendiri. Di sinilah sisi rohani kita terkubur dan menjadi seperti layang-layang putus yang menunggu saatnya jatuh lalu terlupakan. Bukan pada apa wujudnya atau berapa besarnya. Pun memanfaatkan orang lain untuk memikul beban yang di sebut sebagai 'persembahan' demi kehormatan diri sendiri. Dengan sikap hati kita dipenuhi olah rasa syukur yang mendorong dengan keras untuk kita ungkapkan.

Refleksi Diri:
Tuhan, tidak ada sesuatu padaku yang pantas aku persembahkan kepada-Mu.
Aku tidak mempunyai uang banyak, harta dunia yang melipah pun tiada...
Tidak jua selalu membeli bunga atau lilin untuk kunyalakan, kutaruk di mezbah-Mu.
Karena apa yang ada padaku semua berasal dari-Mu
Sekilas angin bertiup sepoi menyampaikan bisikan bahwa ada satu hal yang berarti dalam diriku, yaitu hidupku.

Tuhan, aku hanya mempunyai hidup yang Engkau anugerahkan padaku.
Hidup yang sudah Engkau selamatkan dari kemunkinan lenyap selamanya.
Maka terimalah Tuhan, kupersembahkan hidupku kepada-Mu.

Sekilas kembali angin bertiup.
Sunyi tidak ada bisikan, tidak ada suara.
Namun aku merasakan kebahagiaan karena aku yakin Dia menerima persembahanku.


{Yustinus Setyanta}

MENJELMA EMBUN

Hendak menjelma embun
Yang teruap seiring surya
Namun esok 'kan kembali turun
Sebab tak mengenal jera

Tetaplah dalam bentuk embun
engan menyatu air...
Bukan karena ingin
terlihat tegar...

Namun...
Tersebab tahu,
hanya ditempat terendah...
Air berhenti mengalir...


(Yustinus Setyanta)

LOVE












LOVE :
Law primary in the live and life.
Orientation pure in the live and life.
Very noble in the live and life.
Everything wonderful in the love of God.




(Yustinus Setyanta)

MELIHAT DI BALIK SELURUH YANG DI LIHAT.

"Karena katanya dalam hatinya: "Asal kujamah jubah-Nya, aku akan sembuh" (Mat 9:21).

Perempuan yang menderita sakit pendarahan, suara hatinya mengatakan, "Asal kujamah saja jubahnya-Nya, aku akan sembuh". Menunjukkan bahwa betapa ia menghargai hidupnya. Menghargai hidup, itulah yang dilihat Yesus pada diri mereka. Maka mengalami Yesus adalah menyadari bahwa Dia bersama dan melalui kita, membuat hidup menjadi berarti. Bersama dan melalui kita mengungkapkan kasih Allah Bapa. Yesus bersama dan melalui kita, hidup di jaman ini.

Mengalami Yesus, berarti melihat dengan cara Yesus melihat, mendengar cara Yesus mendengar. Seperti kita tahu, Yesus selalu melihat apa yang ada dibalik yang dilihat, mendengar apa yang ada dibalik yang terdengar. Yesus masuk ke balik setiap permukaan yang tampak. Ketika kita berada di hadapan-Nya. Ketika berada di hadapan arca Yesus, maka bukan patungnya yang kita lihat tetapi siapa yang dipatungkan. Ketika kita menerima hosti kudus, bukan hostinya yang kita rasakan tetapi tubuh-Nya yang di-hosti-kan. Ketika kita melihat kehidupan, maka yang kita perhatikan adalah hidup yang ada di balik kehidupan ini. Hidup yang dianugerahkan oleh Allah dan sangat berharga bagi kita. Hidup yang merupakan mutiara berharga dan harta terpendam yang harus kita jaga dan tidak kita sia-siakan. Hidup yang selalu kita kaitkan dengan Sang Pemberi Hidup, yakni Allah Bapa sendiri. Hidup yang selalu kita kaitkan dengan Sang Penyelamat Hidup yakni Yesus Kristus sendiri.

Kecenderungan melihat kehidupan kita, tetapi bukan hidup yang ada di balik kehidupan ini. Kita lebih menghargai hidup ini sebagai wujud permukaan namun kurang menghargai hidup yang membentuknya. Kita demikian peduli dengan bagaimana keadaan kehidupan., tetapi pedulikah dengan keadaan roh kita yang menghidupkan.

Reflesi Diri:
Aku....aku yang hidup di jaman ini. Aku yang terus bergulat dengan keseharian ku, dengan kehidupan yang menuntut seluruh perhatian dan waktu. Aku coba untuk melatih mengalami Dia. Aku sadar bahwa Dia tidak ku lihat kasat mata, suara-Nya tidak ku dengar melalui kuping bagain dari anggota tubuh fana ini. Tapi aku berlatih untuk melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar. Sedikit demi sedikit, tumbuh kesadaran bahwa Dia selalu hadir di hidup ku. Aku mengalami Dia yang bukan lagi sebagaimana kata orang, bukan lagi sebagaimana yang aku dengar. Aku mengalami Dia sebagai pribadi yang menyentuh pribadi ku. Sedikit demi sedikit, ingatan ku terus terpaku pada diri-Nya. Dia ada, dan nyata ada dalam keseharian ku. Sungguhpun aku tidak melihat Dia sebagai 'penampakan' atau dalam pengelihatan-pengelihatan yang fenomenal. Tetapi aku melihat Dia di balik seluruh yang ku lihat. Aku menyaksikan Dia di balik kehidupan ku, karena Dia yang dengan setia menutun hidup ku, memperbaharui hidup ku terus menerus.

{Yustinus Setyanta}

Jumat, 10 Oktober 2014

HAKIKAT


Seorang manusia duduk di bawah pohon sembari menatap keindahan taman pada suatu siang yang semilir. Ia terpesona pada taman itu hingga kemudian memindahkan seluruh keindahan taman ke atas bentangan kertas gambar. Segenap aura dalam dirinya terkuras habis, demi memahami segenap makna "mengapa taman itu begitu moleknya. Ia habiskan seluruh energi tubuhnya demi mengambar pemandangan keindahan taman.

Lalu it terperangkap lelah teramat sangat, lantas tertidur di kursi panjang. Saat taman mulai temeram di sapa senja. Manusia itu pun pulas tertidur di atas kursi panjang tersebut, dengan lelap tiada tara. Dalam tidurnya itu ia masih jua terayun mimpi menyaksikan keindahan taman, hingga kemudian bidadari turun bersama mencari berkuntum-kuntum kembang kata bidadari; "Hanya di taman ini tumbuh kembang nan indah melampaui segenap keindahan kembang pada geografi mana pun".

Manusia itu terus terlelap tidur terlena dalam mimpi hingga akhirnya dingin malam membangunkannya. Saat mulai membuka mata, sontak ia saksikan langit malam berpendar bintang gemintang. Ia pun terperangkap takjub. Bintang-bintang di langit malam berjuta kali lebih indah melampaui keindahan taman yang terlanjur ia gambar. Jiwa, batin manusia ini terguncang dan sontak pula mulutnya berucap "Maakkanku pada-Mu ya Tuhan aku terlanjur terpesona pada keindahan taman yang membumi. Padahal terpatri keindahao yang bertahta di atas keindahan, yakni keindahan bintang gemintang yang melangit".

Sebelum pergi meninggalkan taman manusia itu kembali berkata "Tuhan, cukup sudah keterpesonaanku pada keindahan yang membumi. Tuntunlah aku Tuhan agar dari detik ke detik terpesona pada keindahan yang melangit. Bukankah Engkau sendiri membuahkan manusia bukanlah makluk bumi dengan pegalman langit tetapi manusia adalah mahkluk langit ciptaan-Mu dengan pengalaman bumi"

Sejenak kemudian manusia itu menelusuri jalan setapak keluar taman lalu ia berdoa. Seekor kekelawar pun berkata "Ooh manusia itu telah menemukan hakikat. Telah menemukan kakikat"

Hakikat kita sebagai manusia adalah bahwa kita makhluk sosial. Kita akan lebih efektif bisa berada dan bekerja sama, berhubungan dengan orang lain, berkeluarga, berkelompok, berkomunitas, berorganisasi, ataupun berbisnis bersama.

{Yustinus Setyanta}

HATI YANG SEMPURNA

"Pada suatu hari, seorang pemuda berdiri di tengah kota dan menyatakan bahwa dialah pemili hati yang terindah di daerah itu. Banyak orang kemudian berkumpul dan mereka semua menagaumi hati pemduda itu, karena bisa di bilang sempurna. Tidak ada satu cacat atau goresan luka sedikitpun dihati pemuda itu. Pemuda itu sangat bangga dan mulai angkuh dengan hati yang di milikinya. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyeruak dari kerumunan, tampil ke depan dan berkata "Mengapa hatimu masih belum seindah hatiku ?". Kerumunan orang-orang dan pemuda itu melihat pada hati pak tua itu. Hati pak tua itu berdegup dengan kuatnya, namun penuh dengan bekas luka, dimana ada bekas potongan hati yang diambil dan ada potongan yang lain ditempatkan di situ; namun tidak benar-benar pas dan ada sisi-sisi potongan yang tidak rata. Bahkan, ada bagian bagian yang berlubang karena dicukil dan tidak tertutup kembali. Orang -orang itu tercengang dan berpikir, bagaimana mungkin pak tua itu mengatakan bahwa hatinya lebih indah?.

Pemuda itu melihat pak tua itu, memperhatikan hati yang dimilikinya dan tertawa "Anda pasti bercanda, pak tua", katanya. "Bandingkan hatimu dengan hatiku, hatiku sangatlah sempurna sedang hatimu tak lebih dari kumpulan bekas luka dan cabikan". "Ya," kata pak tua itu, "Hatimu kelihatan sangat sempurna meski demikian aku aku tak akan menukar hatiku dengan hatimu. Lihatlah, setiap bekas luka ini adalah tanda dari orang-orang yang kepadanya kuberikan cinta kasihku, aku menyobek sebagian dari hatiku untuk kuberikan kepada mereka, dan seringkali mereka juga memberikan sesobek hati mereka untuk menutup kembali sobekan yang kuberikan. Namun setiap sobekan itu tidaklah sama, ada bagian-bagian yang kasar, yang sangat aku hargai, karena, karena itu mengigatkanku akan cinta kasih yang telah bersama-sama kami bagikan. Adakalanya, aku memberikan potongan hatiku bagitu saja dan orang yang kuberi itu tidak membalas dengan memberikan potongan hatinya. Hal itulah yang meninggalkan lubang-lubang sobekan memberikan cinta kasih adalah suatu kesempatan. Meski bekas cabikan itu menyakitkan, mereka tetap terbuka, hal itu mengingatkan akan cinta kasihku pada orang-orang itu, dan aku berharap, suatu ketika nanti mereka akan kembali dan mengisi lubang-lubang itu. Sekarang, tahukan engkau keindahan hati yang sesungguhnya itu?

Pemuda itu berdiri membisu dan airmata mulai mengalir di pipinya. Ia berjalan ke arah pak tua itu, menggapai hatinya yang begitu muda dan indah, lalu merobeknya sepotong. Pemuda itu memberikan robekan hatinya kepada pak tua dengan tangan-tangan yang gemetar. Pak tua itu menerima pemberian pemuda itu, menaruhnya di hatinya dan kemudian mengambil sesobek dari hatinya yang sudah amat tua dan penuh luka, kemudian menempatkannya untuk menutup luka di hati pemuda itu. Sobekan itu pas, tetapi tidaklah sempurna, karena ada sisi-sisi yang tidak sama rata. Pemuda itu melihat ke dalam hatinya, yang tidak lagi sempurna tetapi kini nampak lebih indah dari sebelumnya, karena cinta kasih dari pak tua itu telah mengalir ke dalamnya. Mereka berdua kemudian berpelukan dan berjalan beriringan.

Demikian sebuah kisah inspiratif. Acapkali kita merasa bahwa diri kita hebat dan merasa sempurna. Merasa diri kita menjadi orang yang memiliki hati yang baik dan sempurna, namun justru kesempurnaan yang kita miliki membuat hati orang lain terluka. Jarang kita mau berbagi hati ini untuk menutupi luka orang lain yang kita buat terluka, karena terlalu khawatir kesempurnaan itu akan hilang atau berkurang karena kita memberikanya kepada orang lain. Kita lebih suka mengunakan pikiran katimbang hati. Namun pada hakikatnya, kesempurnaan hati seseorang bukanlah dilihat dari seberapa rapat dia mengunci dan menyembunyikan hatinya, akan tetapi seberapa banyak dia memberikan hati, mengunakan hati itu kepada orang lain, dimana hati yang diberikan kepada orang lain dapat melengkapi dan menutupi luka.

Bunda Maria walaupun teluka hati karena ditembus oleb pedang tetapi ia tetap mencintai Tuhan dan sesama. Gambaran pedang itu adalah senjata yang tajam sehingga ia dapat membelah sesuatu, membelah atau memilah. Sehingga dengan tertembus pedang lalu terbelahlah antara yang baik dan yang jahat, lalu di sana bisa memilah dan bunda Maria memilih yang baik. Nah luka pedang yang diakibakan oleh pedang yang menembus jiwa Bunda Maria nampaknya memperlihatkan kemuliaan Bunda Maria. Demikian halnya Hati Kudus Yesus yang terluka mengeluarkan air dan darah ketika ditombaki. Air dan darah...lambang kehidupan. Hati Yesus adalah hati yang memberikan kehidupan.

Maka bukalah hati, berikanlah hati itu kepada orang lain. Mengunakan hati, agar orang lain dapat merasakan betapa indahnya hati kita, dan biarkanlah orang lain memberikan hatinya kepada untuk membalut lukanya. Karena dengan saling melengkapi itulah hakikatnya sebuah kesempurnaan.

(Yustinus Setyanta)

PERKABUNGAN WARGA

Mereka bernama warga
Segerombolan para manusia
Alamat negaranya tak jelas
Karena sudah dilebur pasar bebas

Lambang negaranya piring dan garpu
Lagu-lagu kebangsaanmu
Jingle-jingle iklan yang menyeru
Warna bendera tak pernah menentu
Bergantung selera tuan-tuan majikan bersekutu

Setiap hari mereka digiring dalam upacara
Untuk membunuh tanda rupa bangsa
Mereka di larang keras menangis atau pun gusar
Karena bertentangan dengan garis besar haluan pasar

Namanya warga berjuta-juta.....
Mereka punya daya hidup dan setamina
Penderitaan tak bisa ditakarnya

Rumput tak laku diobra dan dijual mahal
menjadi tanaman hias di istana...
Namun mereka senantiasa setia
kepada kesahajaannya yang kekal....


(Yustinus Setyanta)


Selasa, 07 Oktober 2014

IKLAN TESTIMONI KESEHATAN.

TESTIMONI, dalam kamus bahasa indonesia berarti kesaksian. Testimoni dikalukan melalui tulisan, lisan ataupun iklan, memberikan kesaksian konsumen terhadap suatu produk barang atau jasa. Kesaksian bermakna pembuktian melalui pengalaman langsung seseoran sebagai bentuk pengakuan atas sebuah fakta, karena kekaguman atau bentuk rekonendasi dari seseorang ke orang lain.

Banyak produk dipasarkan memanfaatkan iklan testimoni, misal kosmetik, obat-obatan dan sekarang testimoni produk kesehatan. Iklan testimonhal dipercaya mampunyai kekuatan dahsyat jika disampaikan dengan jujur dan memenuhi kaedah yang benar.

Sering kita perhatikan iklan testimonial tidak memperhatikan kaedah di atas, terkesan dibuat-buat dan menyesatkan konsumen. "Di klinik tertentu sembuh dan saya semakin segar". Inilah iklan klinik terhebat di Indonesia sebagai iklan jasa kesehatan, hanya dalam pengobatan beberapa kali penyakit seberat apapun serta jenis penyakit apapun akan membaik dalam sekejap.

Iklan berisi testimoni ini menawarkan janji dan jaminan kesembuhan serta ditayangkan televisi nasional secara berulang-ulang. Secara psikologis, testimoni ini dapat menimbulkan rasa ingin tahu masyarakat untuk mencoba. Dengan janji dan jaminan sembuh 100 persen, pasien tergerak berobat ke klinik tersebut dan ini justru berpotenti merugikan masyarakat dari sisi finansial, pskis, maupun kondisi kesehatannya.

Alternatif dan Komplementer. Pengobatan dibidang kedokteran atau terapi medis, berpedoman Evidence Base Medicine (EBM) atau pengalaman klinis berbasis bukti. Tujuanya membantu proses pengambilan keputusan kilinik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik maupun rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan, terapi alternatif, terapi berdasarkan pendekatan pengobatan teradisional turun temurun, dari mulut ke mulut, berbagai pengalaman diperoleh dari warisan nenek moyang, tidak berdasarkan kaedah ilmiah. Kementerian Kesehatan telah mendorong agar pengobatan tradisional terintegrasi masuk ke pengobatan konvesional. Tetapi sebelum ada bukti mengenai manfaat dan keamanannya, baru tergolong sebagai pengobatan komplementer (pelegkap), bukan alternatif, karena alternatif artinya pengganti pengobatan medis.

Peraturan perundangan dibuat untuk melindungi masyarakat, seperti Undang-undamg Kesehatan RI No 36 Tahun 2009, mengamantkan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau. Permenkes 1787/Per/XII/2010 tentan iklan dan publikasi pelayanan kesehatan menyatakan dilarang memberikan informasi/pernyataan tan benar, palsu dan menyesatkan, memuji diri berlebihan serta memberikan testimoni. Dinyatakan juga, iklan dilarang mempublikasikan metode, obat atau teknologi pelayanan kesehatan baru/nonkonvensional yang belum diterima masyarakat kedokteran karena memanfaatkbn dan keamanannya masih diragukan atau belum terbukti.

UU Perlindugan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pun menjelaskan, konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur. Informasi kesehatan berupa iklan jasa, produk kesehatan yang diberikan oleh orang yang tak kompeten. Bila fenomena ini dibiarkan, akan membentuk pengetahuan masyarakat salah arah dan dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat.

Globalisasi informasi dapat berakibat polusi informasi kesehatan yang sering menyesatkan. Masyarakat dituntut kritis, berhati-hati, cermat dalam mencari dan mengolah informasi. Semoga bangsa ini lebih cerdas dam arif dalam menyikapi kemajuan informasi yang demikian hebat ini demi kemajuan kesehatan.

{Yustinus Setyanta}

PERKARA

Ada berapa perkara sebenarnya dalam hidup kita? Pola dikotomi sering membawa kita pada pemikiran bahwa hanya ada dua perkara dalam hidup ini, yaitu jiwa dan raga, rohani dan jasmani. Karena hanya mempunyai dua sisi maka kadang kedua pola tersebut lalu dipadankan. Raga berkaitan dengan soal jasmani dan jiwa berkaitan dengan soal rohani. Tetapi benarkah demikian? Kalau jiwa itu sama dengan hal rohani, kenapa kita menyebut Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan bukan Rumah Sakit Roh? Kita menyebut orang gila itu sakit jiwa dan bukan sakit roh? Rupanya disinilah kita mengalami kekaburan, pergeseran. Ada sebagian orang yang dengan mudahnya menempatkan hal-hal yang berkaitan dengan mental, sikap pribadi sampai dengan halusinasi sebagai perkara rohani. Akhirnya Allah yang tak terbatas, yang sangat Maha itu terkurung dalam ruang dinamika mental. Halusinasi baik yang visual maupun dalam rupa suara dengan cepatnya dilihat sebagai Allah, sebagai tindakan Tuhan, sebagai suara Maria.

Kita melihat terus sebagai peng-awal kehidupan. Adanya ayam atau burung bermula dari sebutir telur sekalipun akhirnya mereka pun menghasilkan telur. Dari telur itu kita bisa mendapatkan gambaran bahwa hidup bukan dimulai dari dua perkara, tetapi tiga. Ada cangkang, putih telur dan kuning telur. Sekiranya cangkang adalah wujud luar yang bisa kita samakan dengan raga, maka putih telur adalah jiwa dan kuning telur merupakan roh. Setelah menjadi makhluk hidup putih telur dan kuning telur itu sepertinya menyatu namun unsur-unsur sebagai jiwa dan roh masih bisa dibedakan. Tentu gambaran ini bukanlah analogi yang sempurna, namun setidaknya bisa menunjukkan bahwa hidup kita terdiri dari atas raga, jiwa dan roh sebagaimana yang dikatakan Santo Paulus dalam 1 Tesalonika 5: (23) "Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.". Lalu dalam Ibrani 4:(12) "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita".

Dalam Injil Lukas 10:36-42, terdapat kisah Marta dan Maria. Ada banyak perkara dan Marta memilih perkara jiwa, karena jiwa merupakan kesadaran social. Maria memilih perkara lain yakni perkara roh. Marta mengalami Yesus dan menariknya dalam perkara jiwa. Sementara Maria mengalami Yesus dan tenggelam dalam perkara rohani. Itulah beda antara keduanya. Soal hidup kekal adalah perkara hidup rohani, maka Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang tidak akan diambil darinya. Dari kedua tokoh wanita itu, kita bisa menentukan sikap. Adakah pengalaman akan Yesus, pengalaman hidup keagamaan kita berkutat pada perkara jiwa ataukah kita mau tenggelam dalam perkara rohani bersamanya.

Perkara jiwa tentu bukan tidak penting, Santo Paulus melihatnya sebagai satu kesatuan yang terpelihara sempurna, tanpa cacat cela. Yang terpenting adalah bagaimana kesatuan tersebut kita tempatkan atas dasar hidup rohani, hidup yang layak sebagai persembahan kepada Allah.

Di dalam kehidupan sehai-hari kita berkarya. Di dalam bekerja kita berdoa, kita mengingat kasih Allah, merasakan, mewujudkan, dan menjadi ungkapan kasih Allah. Begitulah menempatkan perkara lain di atas dasar perkara rohani. Namun yang sering terjadi ketika kita bekerja, melulu bekerja hanya terorientasi pada kewajiban dan uang semata, pada kekuasaan. Sudah barang tentu jika mengalami hal demikian kita mengubah cara pandang terhadap perkara tersebut dan menempatkannya di atas dasar hidup rohani.

REFLEKSI :
Pola kerja yang baik adalah yang terencana, yang selalu dievakuasi, dan diarahkan pada perkembangan untuk menjadi lebih efisien, lebih efektif dalam mencapai tujuan. Itulah yang aku yakini dan menjadi dogma terpenting dalam bekerja. Tujuan menjadi titik pusat dari setiap pekerjaan yang aku lakukan, yang kalau dibahasakan dengan bahasa yang paling sederhana, aku bekerja bertujuan memenuhi kebutuqan hidup. Ketika kebutuhan hidup hanya bisa dipenuhi dengan adanya uang, maka aku bekerja untuk mencari uang. Maka nilai yang kemudian aku gunakan untuk mengukur kesuksesan pekeraan adalah seberapa besar uang yang bisa aku hasilkan.

Aku pun kemudian tenggelam dalam kesibukan sebagaimana Marta. Terhadap orang yang asyik dalam hidup rohani mereka, aku memandang sinis, bahkan menganggap mereka adalah orang-orang yang sedang bermimpi di siang bolong. Ketika satu per satu diambil dariku, kesempatan, harapan, dan kesuksesan. Aku tenggelam dalam ruang kosong, ruang yang membawa diriku pada "adakah hidupku masih berarti?"

dengan lembut DIA membimbing dan memgubah orientasi hidupku. Dengan perlahan DIA mengarahkan sikapku menjadi seorang Maria. DIA tunjukkan apa yang tidak akan bisa diambil dariku. Aku berlatih untuk mengalami DIA, dan duduk di hadapanya suatu waktu, lalu membawa ingatan itu pada setiap langkah dan pekerjaanku, aktivitasku sehari-hari. Aku belajar.... Berlatih mengalami DIA dalam kesibukan duniawiku. Ternyata aku tidak sedang bermimpi.......

{Yustinus Setyanta}


TEMU HATI

Seperti ketika kepul meninju langit...
Lalu jelaga latu menyampahi asbak..
Lekat dalam diam..
Tak hendak beranjak...

       Meski masing-masing tahu...
       Dua hati riuh bersahutan..
       Kadan gedeburnya itu...
       Jadi senyum bergetaran...







(Yustinus Setyanta)



ROH KUDUS MEMBANTU

Apa yang sering mendorongku untuk meminta? Aku coba untuk menyadari. Apa yang mendorongku untuk terus memohon? Aku mencoba untuk menyadarinya. Ketika aku minta roti, Dia memberikan Roh Kudus. Ketika aku minta pekerjaan, Dia memberikan Roh Kudus. Ketika aku minta jabatan dalam kerja naik, Dia memberikan aku Roh Kudus. Ketika aku meminta kesembuhan, Dia memberikan Roh Kudus. Ketika aku minta................, Oh Dia tetap memberikan Roh Kudus. 

Karena Roh Kudus-lah yang akan membimbing  apa yang pantas aku minta dan tidak, mengenai bagaimana aku meminta secara pantas dan tidak, sampai Roh Kudus pula yang akan menunjukkan kepada ku adakah permintaan ku sudah dikabulkan atau belum. Roh Kudus membimbing untuk meminta, mencari dan mengetok pintu Tuhan. Tetapi aku mencoba menilik, ketika berdoa dan memohon, aku selama ini seringkali lupa akan Roh Kudus. Aku sedemikian terpaku pada wujud yang aku mohon dan sama sekali tidak peduli bahwa Ia telah mengaruniakan Roh Kudus jauh sebelum aku meminta segala sesuatu kepada-Nya.

Aku meminta karena merasa tidak mampu memenuhi sesuatu yang aku inginkan. Jika aku mampu, untuk apa meminta? Aku memohon karena merasa tidak mampu mengatasi sebuah persoalan. Jika aku mampu mengatasinya, untuk apa aku memohon? Kemampuan diri.... Oh, inilah persoalan yang mulai kusadari. Ketidakmampuan untuk meraih, menggapai, mendapat, dan menyelesaikan dengan kekuatan dan daya upayaku sendiri.

"Kenapa aku tidak mampu?" Inilah yang membuatku berusaha lebih keras, belajar lebih tekun. Ketika kemampuan itu sudah aku dapatkan maka aku tidak minta atau memohon lagi. Lambat laun menanisme seperti itulah yang berlangsung. Semakin aku mampu, semakin Tuhan tersingkir dari kehidupan ku.

Satu hal yang kulupakan adalah, Roh Kudus yang sebenarnya memampukan untuk melakukan apapun. Roh Kudus yang mengusikku untuk berlatih dan berusaha lebih keras. Roh Kudus yang menyadarkan bahwa aku perlu bekerja keras, perlu berusaha dan berdaya upaya agar apa yang dianugerahkan Tuhan dapat kurasakan dan menjadi alasan bagiku untuk bersyukur. Pengetahuan dan kemampuan tanpa kesadaran akan Roh Kudus akan membuat aku melupakan Tuhan, tdtapi Roh Kudus akan membawaku untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Roh Kuduslah yang menuntunku. Sebelum aku meminta, sebelum aku memohon segala sesuatu, aku mau barang sejenak menengok ke arah Roh Kudus dan membiarkan Ia meminta untuk apa yang sebenarnya aku butuhkan?
(Sebuah Refleksi dari Luk 11:5-13)


(Yustinus Setyanta)



Senin, 06 Oktober 2014

HAMBA TUHAN

      Di awal perumpamaan-Nya Yesus menyampaikan cerita tetang tauan rumah versus (melawan) pencuri. Tuan rumah yang tidak tahu kapan pencuri itu akan datang, dan pencuri yang tentu saja menunggu si tuan rumah lengah sehingga ia bisa masuk dengan aman untuk mencuri. Yesus meneruskan cerita-Nya dan tidak berhenti untuk menjawab pertanyaan Petrus. Namun persoalannya lalu bergeser, tokohnya berganti bukan lagi tuan rumah dan pencuri. Tuhan memunculkan hamba, dan tuan pemilik para hamba. Kisah cerita dalam Luk 12: 39-48 ini ada beberapa tipe hamba: hamba yang memanfaatkan kesempatan selagi tuannya tidak ada, hamba yang tau kehendak tuanya tetapi tidak melakukan apa-apa, hamba yang tidak tahu apa kehendak tuannya, dan hamba melaksanakan kehendak tuannya.

Konsekuensi dari masing-masing sikap hamba itu ditujukkan dengan jelas. Hamba yang menggunakan kesempatan untuk kesenangan sendiri akan membunuh dia dan membuatnya senasib dengan orang yang tidak setia. Hamba yang tahu tetapi tidak berbuat akan mendapat banyak pukulan sebagai pelajaran atas kelalaiannya, hambaya tidak tahu sehingga tidak berbuat akan mendapat sedikit pukulan sebagai ganjaran atas kebodohannya. Sementara hamba yang tahu kehendak tuannya dan melakukannya diangkat sebagai kepala atas hamba-hamba yang lain. Yesus mempersilahkan Petrus dan murid-murid yang lain untuk menempatkan diri mereka. Sebagai hamba yang manakah merka itu, tergantung refleksi apas diri mereka sendiri terhadap pengetahuan dan pelaksanaan akan kehendak Allah.

Demikian pun dengan kita. Sebagai hamba seperti apa kita ini, tergantung pada pengetahuan kita akan kehendak Allah dan bagaimana kita melaksanakannya. Kehendak-Nya sudah jelas bahwa Ia telah menaburkan benih-benih iman atas diri kita, namun para pencuri yang merupakan utusan dari kuasa kegelapan akan menanti saat kita menjadi lengah lalu mencuri semua itu. Jika kita adalah hamba yang memanfaakan kesempatan selagi Allah tak terlihat, maka iman itu akan dicuri dari kita. Dan pada saat Dia datang, Ia tidak menemukan apapun dalam diri kita karena kita asyik dengan diri kita sendiri. Pantaslah jika Ia akan menempatkan kita dalam kelompok orang yang tidak setia. Jika kita tahu kehendak-Nya tetapi melaksanakan apa yang Dia kehendaki maka iman itu tidak berbuah sama sekali. Pada saat Dia datang, Ia akan memberikan hajaran atas ketidakpedulian kita. Jika kita tidak mengembangkan iman sehingga kita tidak tahu apa yang Dia kehendaki atas hidup kita, maka pada saat Dia datang Dia pun akan memberikan pukulan atas kebodohan kita. Namun jika kita berlaku dan bersikap sebagai hamba yang setia, yang tahu apa yang Dia kehendaki kita menjadi kepala atas hamba yang lain. Ia akan mempercayakan perkara yang lebih besar.

"Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku seturut perkataan-Mu" kalimat itu bukan merupakan pernyataan ketidakpedulian atas hidup kita sendiri, tetapi lebih merupakan kesiapan kita sebagai hamba untuk melaksanakan kehendak Allah tanpa keinginan untuk menuntut Allah.


REFLEKSI:
Menjadi hamba Tuhan, kalimat klasik yang sering dikatakan oleh umat dari agama apapun. Mereka adalah hamba-hamba Allah, dan aku pun demikian. Sampai suatu ketika terlitas tanya, adakah aku ini hamba Allah, ataukah pernyataan itu hanya komuflase (samaran) belaka?

Aku ini hamba Tuhan, namun kenyataan yang terjadi aku lebih suka bersikap sebagai tuan. Dan Tuhan aku jadikan sebagai hamba. Tanpa aku sadari aku lebih sering menuntut agar Tuhan berbuat sesuatu untukku. Dengan alasan kebutuhan, aku menuntut supaya Ia memberi. Dengan alasan kekurangan, aku menuntut supaya Dia memenuhi. Dengan alasan penderitaan. Ia aku tuntut untuk membebaskan dan menolong aku. Dengan alasan kelemahan. Ia aku tuntunt supaya melindungi diriku. Dengan alasan ketidakberdayaanku. Dia aku tuntut untuk melakukan mukjizat. Ada seribu satu alasan supaya Ia berbuat sesuatu, melakukan seruatu untuk aku.

Aku ini hamba Tuhan. Namun sikap kadang seperti pelanggan yang datang di restoran dan Tuhan adalah pelayan yang aku panggil dan diharapkan datang tergopoh-gopoh menemui aku untuk mencatat semua pesan ku. Jika apa yang aku pesan tidak segera keluar, maka Dia harus siap menerima kemarahan, bahkan aku tinggal pergi begitu saja.

Aku ini hamba Tuhan.....aku ini hamba Tuhan...aku ini hamba Tuhan. Kadang aku berdalih bahwa semua yang aku lakukan karena Dia pernah mengatakan bahwa aku dipersilahkan meminta, mengetuk, memohon, maka Dia akan memberi. Dia akan membuka pintu, dan Dia akan menolong, memanggul semua bebanku. Namun aku lupa bahwa semua itu bisa aku lakukan jika dan hanya jika aku dalam tugas sebagai hamba untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Aku ini hamba Tuhan. Seorang hamba itu dimiliki oleh tuannya, hamba Tuhan berarti aku mengakui bahwa diriku ini dimiliki oleh Tuhan. Sebagai milik Tuhan, aku berada dalam lindungan, berada dalam ruang pribadi-Nya. Maka yang mestinya muncul sebagai milik Tuhan adalah sikap pasrah, penyerahan diri yang total. Dalam permenungan itu aku menyadari bahwa, ternyata akulah yang memiliki diriku sendiri. Sikap-sikap kadang sangat jauh dari sikap seorang yang pasrah kepada Tuhan. Aku lebih mengandalkan kekuatan, kemampuan, dan kebiasaan. Bahkan lebih menadalkan atasanku di tempat kerja.

Aku ini hamba Tuhan. Seorang hamba dikuasai oleh tuanya, hamba Tuhan berarti mengakui bahwa hidupku ada dalam kekuasaan Tuhan. Maka apa yang Dia kehendaki menjadi kehendakku. Dalam permenungan ini, aku menyadari bahwa aku bukanlah hamba Tuhan karena kehendak-Nya ada dalam hitungan yang ke-sekian, sementara kehendakku pribadi yang momer satu.

Menghayati iman Maria? Aku harus belajar dan belajar lebih banyak lagi darinya. Aku harus belajar bagaimana dimiliki sepenuhnya oleh Allah, dan bagaiman dikuasai sepenuhnya oleh Allah. Devosi setekun apapun kulakukan, selama aku hanya berkutat dengan diriku sendiri dan tidak mau belajar dari Maria, tidak mau menghayati hidup Maria, maka devosi itu tidak ada artinya. Aku menunduk dalam-dalam dan kuakui bahwa Maria demikian mulia karena kerendahan hatinya. Ia demikian agung karena totalitasnya menjadi hamba Tuhan.



{Yustinus Setyanta}

BUMI PERTIWI

Nuansa kesederhanaan tersirat pandangan
terang penuh alami terbentang luas....
Nuansa hijau bersanding cahaya kemilau
antara lintasan katulistiwa yang membusur pusat sang surya...

Mendekap hati dengan penuh rasa kedamaian
terlihat jelas bumi pertiwi dalam sisi keteduhan.....
Hamparan langit berjelaga memberi cahaya dalam benderang
pijakan bumi pun riang dalam warna penuh harapan.....

Untuk satu kebanggaan,
sebagai warisan budaya asli bumi pertiwi
Bumi Pertiwi, tanah air Indonesia.









(Yustinus Setyanta)






KEHIDUPAN IMAN

    Sikap mau mempercayakan dan mengandalkan hidup sepenuhnya kepada Allah adalah sikap iman, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Maria sebagai teladan iman kita. Maria mempercayakan diri-Nya kepada Allah sepenuhnya. Maria menunjukkan 'ketaatan iman' seperti yang dia tunjukkan pada pewartaan kabar gembira oleh malaikat Gabriel "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu" (Luk 1:38), kalimat ini menunjukkan betapa besar iman Maria. Tak hanya sebatas ucapan, kata-kata belaka. Sebagai hamba, ia sepenuhnya bersedia untuk dimiliki dan dikuasai oleh Allah. Dalam sikap seperti inilah kita mengandalkan dan mempercayakan hidup dengan kesadaran menjadi dimiliki dan dikuasai oleh Allah dan bukan lagi oleh dunia.. Maria menundukkan akal budi dan kehendaknya pada iman kepada Allah. Tanggapan iman inilah yang dilakukan Maria terus menerus sampai akhir hidupnya (bdk KGK no. 144). Karena itu Maria dijajarkan dengan Abraham (KGK 145-147). Jika Abraham adalah bapa iman, Maria adalah ibu iman kita. Elisabet-lah yang pertama mengenali iman Maria (KGK no 148). Sungguh, Maria adalah teladan iman kita."

     Sikap dimiliki dan dikuasai oleh Allah, mengandalkan dan menggantungkan hidup kepada Allah, juga merupakan syarat untuk menerima Yesus, ".......barang siapa menyambuat seorang anak dalam nama-Ku, ia menyambut Aku..." (Mat 18:5). Bisa pula dikatakan bahwa apabila kita beriman dalam nama Yesus, mengandalkan dan menggantungkan hidup kita sebagai anak terhadap Bapa, maka Yesus hadir dalam hidup kita. Segala kekhawatiran, ketakutan, kecemasan akan dibebaskan-Nya.

.
REFLEKSI DIRI:
Pohon yang dewasa adalah pohon yang sudah berbuah. Binatang yang sudah dewasa adalah binatang yang sudah menghasilkan keturunan atau sudah bisa bertelur. Hal itu menyadarkan diriku akan kehidupan imanku sendiri. Ketika aku melihat dan mencari buah-buah yang aku hasilkan dari sikap dan perbuatan, aku mulai bisa menilai, melihat kedalam diriku sendiri adakah diriku ini sudah dewasa iman ataukan aku ini masih kanak-kanak.

Sungguh kadang aku memanang masih saja bersikap kekanak-kanakan ketika berpikir bahwa akulah yang paling benar, bahwa akulah yang lebih mengetahui dan memahami. Bahwa akulah yang paling suci. Bahwa akulah yang paling taat. Ketika pemikiran dan pendapatku diremehkan atau tidak dipedulikan orang lain maka muncul yang menolak dan tidak suka terhadap orang itu. Ketik apa yang terjadi tidak sesuai yang aku rencanakan maka aku mencari-cari sumber kesalahan lalu menumpahkan emosi pada orang yang menjadi biang keladi dari kesalahan itu. Ketika aku melihat sudara-saudara yang tidak rajin ibadat, ke gereja, aktivis gereja, bahkan rajin berdoa maka muncul lintasan menganggap iman orang itu rendah........?", padahal aku tahu iman bukan apa yang nampak di luar. Aku merasa bahwa akulah yang lebih dari yang lain, ke-aku-anku demikian menjadi pusat perhatianku. Kalau bukan aku......kalau tidak ada aku....kalau bukan karena aku......, kata-kata itu acapkali menjadi peng-awal dari setiap ucapanku pada orang lain, dsb.
 
Aku berharap bahwa orang yang mendegar perkataanku akan melihat aku sebagai yang lebih besar, sebagai yang lebih suci dan taat, lebih berpengaruh dan lebih berarti. Ketika aku memposisikan diri sebagai yang besar karena dorongan ke-aku-anku itulah sebenarnya aku menjadi merasa terkecil dari yang lain. Kadang pula aku mempunyai penilaian bahwa komunitasku, kelompokku, orang-orang yang beragama sama denganku, adalah yang paling unggul dan lebih dari yang lain. Bahkan aku berpikir bahwa kelompokulah yang paling berhak untuk masuk sorga. Karena pandanganku itulah aku mulai menilai dan menyalahkan kelompok lain. Mereka salah, mereka keliru, mereka tidak paham dan tidak mengerti akan sabda Allah.

Barangkali jika Yesus ada di sebelahku, Dia pun tentu akan menegurku. Dia akan menunjukkan dengan cara yang sama sebagaimana Dia mengingatkan murid-murid-Nya dahulu. Meski demikian aku yakin, bahwa ia tidak akan terus membiarkan diriku terjebak dalam pemikiran yang sempit itu. Dia akan mengutus Roh Kudus untuk memberi bimbingan kepadaku hingga aku bisa bersikap lebih dewasa. Sikap dimana aku berani untuk menjadi yang kecil, yang sebenarnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Roh Kudus-lah yang akan membimbing aku memasuki kesadaran untuk senantiasa bertobat dan senantiasa menyadari kelemahan serta keterbatasku sebagai manusia. Roh Kudus yang menguatkan diriku untuk terus bisa bersikap pasrah serta mengandalkan peran Allah dalam kehidupanku.

Ya Roh kudus, hadirlah dan naungilah aku hingga aku bisa bersikap tulus dan rendah hati. Agar aku berani untuk menyadari bahwa aku bukanlah yang terbesar, bahwa aku bukanlah yang berdiri di puncak pemahaman namun masih berada di lembah ketidakmengertian akan diri-Nya. Bahwa masih banyak misteri yang tidak mampu aku selami dan jika aku boleh tahu sedikit mesteri-Nya, sungguh hal itu merupakan karunia yang mestinya aku syukuri dan bukan malah membuat aku menjadi tinggi hati.

 
 
 
 
{Yustinus Setyanta}