Rabu, 30 April 2014

Magnificat

Kidungmu begitu hebat
Tak terikat tak mengikat
Namun senantiasa memikat
Entah hati jauh entah dekat

Magnificat...
Harummu semerbak, seharum 'Fiat'mu...
Suaramu yang mengalun lembut...
Dalam jernihnya kemurnianmu...

***
Bunda Maria pada figurmu yang mempesona
Kucoba 'tuk torehkan makna
Sejauh mana aku bisa
Menapaki langkah 'fiat' mu, Bunda

"Salam Maria, penuh rahmat..."
Bisikku perlahan nan tenang
Menyatu dalam hening dan bising
Bunda Maria hatimu bening, berselimut hening
Dalam setiap detak desah nafasku
Genggamlah tangan rapuhku
Dalam kuat doa kebundaanmu






Yustinus Setyanta

Jogja

Pertemuan Para Blogger

Serunya Pertemuan Komunitas Blogger di Indonesiana

CERPEN : "SELAMAT YA, NAK"

    Sejak masa remaja, petrus sutiyono pesuka film korea, dia berdoa saban malam supaya kelak dia memperoleh istri yang cantiknya seperti bintang-bintang film korea. Ukuran cantik baginya untuk calon istrinya adalah : muka bulet, imut, putih. Dia pun hafal berlusin-lusin nama bintang film korea, lebih hafal dari nama murid Yesus yang hanya satu lusin. Maklum, dia katolik suam-suam kuku. Ke gereja memang lumayan rajin. Tapi, di gereja dia cuma tingak-tinguk dan lirak-lirik melihat siapa di antara wanita-wanita yang antre menerima hosti itu yang wajahnya memenuhi syarat untuk dibilang cantik seperti bintang film korea. Tapi, kapankah gerangan wanita dalam gambaran seperti itu muncul kasat mata dalam hidupnya? Umurnya sudah terbilang berangkat senja. Terlalu matang untuk nikah. Dan diusianya itu dia belum juga nikah.     Pada bulan Desember pada tujuh tahun lalu, ketika seluruh anggota keluarga kumpul di rumah ibu, di jln. Ijen, Malang maka sehabis Misa Natal di Katedral Santa Maria Bunda Carmel - yang di belakangnya ada tiga ekor anjing besar-besar - arkian ibunya kembali menegurnya di hadapan adik-adiknya. Biasa ibunya memplesetkan petrus menjadi Petruk. Itu dalam rangka mengaktualisai rasa sayang emak kepada buyung. Kata ibunya, "Truk, tahun depan kamu sudah 35 tahun. Sekarang, di umur 34 tahun ini kamu belum menyelesaikan salah satu isyarat kehidupan insani yang paling penting; bagaimana menyangkali diri demi menerima istri sebagai mitramu dalam susah dan senang. Ingat, Truk diusia 35 nanti itu kamu tidak bisa lagi dibilang muda". Petrus mencoba membela diri. Katanya "Lo, Bu, itu mas Anton sarkono sudah berumur 52 tahun tapi toh masih aktif di organisasi pemuda". Ibunya terpancing mendengar nama yang tidak dikenalnya itu. Katanya sambil merenguutt, "Mas Anton sarkono itu siapa?" itu, yang Ketua KNPI jawa Timur." Intuitif saja tanggapan ibunya. "Ah, pasti yang kamu sebut Mas Anton Sarkono itu sakit jiwa. Umur 50an ketua KNPI pasti KNPI itu singkatan Komite Nasional Paman Indonesia." Petrus seperti disekak. Sambil menggaruk rambut yang berketombe, dia berkata, "Tapi, Bu, aku memang belum menemukan perempuan yang memenuhi syarat kecantikan seperti bintang korea". Ibunya terperangah "E, alah, Truk! Demi Malaikat-malaikat Mikhael, Gabriel, Racael, aku terlalu tua untuk kaget mendengar pertanyaan kucluk itu. Aduh, kenapa kok seleramu jadi meloramatis begitu? Maksudmu, yang kamu bilang cantik itu adalah bintang film wagu; menyanyi sambil berlari terbirit-birit kerena melihat tikus, atau menangis sambil menyanyikan memeluk pohon, atau sambil marah-marah juga menyanyi bersandar di tiang listrik, dan sambil kecing berdiri di taman ya tetap menyanyi memegang bunga...." Petrus tak menanggapi pendapat ibunya. Dia mafhum, selera ibunya keroncong (dan keroncog berhubungan dengan Portugis), bukan dangdut (dan dangdut berhubungan dengan india). Dalamnya dia percaya bahwa setiap manusia memiliki sikap batin yang berbeda dalam menerima dan menghayati gejala-gejala budaya, karena fungsi alat-alat panca indranya juga bekerja tak sama. Di bawah pengetahuan itu, dia berkeras pada sikap batinnya, bahwa wanita yang cantik ideal untuk menjadi istrinya kelak adalah, hidung mancung, mata bening, bibir tipis, putih mulus, telinga buntar. Urutan pertama hidung mancung, sebab dia sadar hidungnya sendiri pesek seperti disetrika. Barangkali kalau di colokan kabel radio dicucuki ke lubang hidungnya berbunyi mengalunkan lagu india korea.
        Walau begitu, dia percaya bahwa di tahun yang berganti pada tujuh tahun yang berganti pada tahun lalu itu, dia bakal bertemu dengan seorang perempuan yang cantiknya seperti bintang film korea idaman. Makanya, dia terus berdoa. Dia harus meyakin-yakinkan hatinya, bahwa doa dengan hati telanjang niscaya akan dikabulkan oleh Tuhan. Pegangannya adalah arahan pastor Belanda di SMP Dempo dulu yang justru selalu menyuruhnya menghafal bunyi injil dalam bahasa jawa : "Podho nyenyuwuno tenah bakal kaparingan, podho golek-goleko tamah bakal oleh, podho thothok-thothoko temah bakal kawenganan." Benar juga. Permintaanya kepada Tuhan tidak sia-sia. Untuk itu, dia mengucapkan haleluyah 99 kali, sebab pada bulan April tujuh tahun lalu, dia bertemu dengan seorang perempuan cantik secantik bintang film korea yang kebetulan katolik pula, dan bernama panjang gabungan nama-nama santa, yaitu Agnes Monica Olga Lydia Cornelia Agata. Namun saking panjangnya nama-nama santa yang menjadi nama wanita itu disingkat menjadi AMOLCA. Dia bertemu dengan AMOLCA di pesawat. Waktu itu dia baru dari Singapura dan AMOLCA baru pulang pula dari suatu kegiatan rahasia di korea. Ketika mereka turun di Bandara Soekarno-Hatta, Petrus pun berlutut di hadapan AMOLCA, Tanpa bunga mengucapkan kata-kata hafalan dari prosa-liris karya sastrawan korea itu. Dan, hebatnya, ibarat kata peribahasa "pucuk dicinta ulam tiba" maka demikian juga AMOLCA menyambut kata-kata Petrus itu dengan gairang seakan-akan kiamat tertunda 1.000 tahun lagi. Kata AMOLCA dengan tulus, jujur, ikhlas, dan bangga, "oh, demi Tuhan yang ajaib, aku suka, aku kagum, aku terpikat padamu pada pandangan pertama....". Mereka melanjutkan hubungan dengan bertemu sebulan sekali di tengah-tengah. AMOLCA ber-KTP Bandung, Petrus ber-KTP surabaya. Jarak tengah-tengah antara kedudanya adalah Solo. Tapi mereka sepakat nikah di Malang, di rumah orangtua Petrus. Dalam pernikahan ini, sakramen dipimpin oleh Romo Herucokro Dining ratan Pr yang sedikit-sedikit nenarik celana di balik jubah karena longar berhubung badannya kurus ceking. Lalu, pesta meriah dilangsungkan di Stadion Gajayana Malang dihadiri oleh 2.000 tamu. Tamu tidak disunguhi band atau wayang, tetapi pertandingan sepak bola dengan kesebelasan amatir dari Bondowoso dan Banyuwangi yang kipernya segaja diam kalu bolanya ditendang ke gawannya.
     
Lantas ibunya datang mengucapkan "Ya, Selamat Nak" sesudah itu mereka berpelukan dan bersama-sama menyanyikan lagu paling abadi, paling indah, paling populer, paling khusyuk ciptaan Joseph Mohr. Dan malam pun menjadi kudus.





Yustinus Setyanta

Jogja

MENONTON TELEVISI

Media massa seringkali mengajak kita berfantasi aneka-rupa, bahkan aneka-rasa. Suatu kali kita disuguhi informasi mengenai janji petinggi negara membantu korban bencana. Lain hari, kita disuguhi informasi mengenai pejabat yang mebantu korban bencana dengan cara meninjau dari atas helikopter, dsb. Berkat media massa, kita menjadi paham, meninjau itu sama artinya dengan membantu. Kita pun juga mendengar dan menyaksikan layar televisi mengenai banjir interupsi di DPR. Tentu saja menarik menyaksikan drama-drama, senetron-senetron, acara olah raga, dsb, yang disajikan dalam ruang bernama televisi. Misalnya lagi :  Sementara petinggi negara lainya mengatakan Indonesia terus-menerus mengimpor beras karena pemeritah sibuk bertengkar secara politik. Ironis karena sebagian dari kita cukup mengetahui bahwa ia adalah bagian dari intrik itu sendiri. Informasi mengalir tanpa henti, sehingga kita sulit menemukan fakta yang obyektif dari banjirnya informasi tersebut.

- Komoditas Informasi 
Televisi sebagai bagian dari media massa memiliki kekuatan magis yang mampu menyedot minat orang untuk terus melekatkan pandangan pada televisi. Tidak hanya program hiburan seperti sinetron, gosip, atau kuis saja yang bisa menarik minat penonton, bahkan juga program berita. Berbeda dengan program lain yang bersifat menghibur mengklaim sajian di dalamnya berisikan fakta yang akurat dan terpercaya.Atas dasar klaim itu, stasiun televisi beranggapan penonton perlu disuguhi informasi dari seorang ahli forensik yang membahas mengenai kasus mutilasi terhadap seorang anak - tanpa ada kehendak menyaring informasi - atas alasan akurasi dan otentisitasi informasi. Penonton berdecak, iba, terheran-heran, terharu, walaupun mungkin sebagian penonton akan merasakan tayangan tersebut berlebihan dan tidak nyaman. Menarik mencermati bagaimana tayangan liputan investigasi dikemas stasiun televisi sedemikian rupa, seperti tentang apa sesungguhnya bahan pembuatan saus, minyak goreng oplosan, terasi, dsb, yang dijual di warung dan pasar. Namun informasi yang disajikan semata-mata sebagai "komoditas" yang dijual institusi media massa demi mendapatkan minat publik menikmatinya hanya sebagai selingan hiburan yang mudah dikunyah dan dicerna tanpa perlu refleksi. Pesannya cukup sederhana : jika percaya, jangan beli produk itu lagi. Penonton tidak diajak berpikir bahwa terdapat sejumlah kondisi struktural bangsa yang melatar belakanginya. Penonton juga tidak perlu berpikir bagaimana menatasi hal tersebut. Cukup nonton dan nikmati saja. Potret kesenjangan yang semakin mewujud nyata di masyarakat kita disajikan televisi kita. Tetapi ketika berita ini disandingkan dengan isu-isu: Pilkada, tangis haru Presiden, dsb, membuat berita kemalangan seperti gagal panen dan harga susu atau harga cabai yang naik menjadi sekedar isu pelengkap.

Realitas Sosial Dalam Ruang Televisi.
Ketika kita mencoba mendefinisikan sebuah realitas tentang misalnya; kenaikan harga susu, ada yang mendifinisikan sebagai bagian dari akibat dari naiknya harga bahan baku susu yang harus diimpor, tetapi tidak sedikit yang melihatnya sebagai beban ekstra yang harus ditanggung terutama oleh kelas bawah. Sebagian lagi mendefiniskan realitas itu sebagai alasan menggalakkan kampanye ASI. Apa yang dipahami seseorang sebagai suatu realitas hanya merupakan hasil konstruksi, yang sangat mungkin berbeda pemahaman orang lain. Padahal yang kita amati realitas yang sama. Maka, mengapa realitas yang sama dapat dipahami secara berbeda antara kita dengan televisi (dan juga di antara kita sendiri),
Pertama, karena setiap kita dibentuk dalam lingkungan sosial yang berbeda-beda: tingkat pendidikan yang berbeda, latar belakang etnis, agama, dsb.
Kedua; pemahaman kita sangat tergantung pada banyak tidaknya pola konsumsi media massa, berapa banyaknya jam menonton televisi dan membaca koran, apa jenis koran dan televisi yang dikonsumsi dan jenis program yang dikonsumsi, dsb.
Ketiga; cara pengamatan kita terhadap suatu realitas. Ada yang melakukan pengamatan seadanya. Ada yang mengamati diri perspektif sebagai ilmuwan. Ada yang melakukan pengamatan dengan empati. Tidak sedikit melakukan pengamatan karena pengaruh kepentingan yang dimilikinya: kepentingan politik, ekonomi atau kebudayaan. Maka tidak mengherankan apa bila definisi realitas yang dikonstruksi oleh stasiun televisi berbeda dengan pemahaman dari masing-masing individu. Realitas di televisi di konstruksi sedemikian kerena pertama, tuntutan pada seorang wartawan bukan menyagkut kebenaran, tetapi pada relevansi berita dengan tuntutan pasar. Kedua, televisi perlu mengaga keberlangsungan hidupnya sehingga selalu mengupayakan agar suguhan informasi memiliki nilai jual.

Kita memahami stasiun televisi meramu informasi sedemikian rupa agar dapat menarik minat penonton.

- Mawas Diri
Dalam layar televisi tersebut, banyak hal bisa kita lihat dan dari layar tabung kaca itu adalah mewakili sebagian kecil keadaan dunia ini.

Prosentasi yang tertayang di layar televisi sebagaian besar adalah hiburan, karena televisi mempunyai tujuan untuk kebaikan ekonomi bagi sebagian kecil orang.

Namun pada kenyataannya tantangan hidup atau gelombang kehidupan sudah nyata di depan kita dan apabila kita tidak segera sadar pada permasalahan yang nyata maka kita akan tergilas menjadi korbannya.
Kita melihat alam yang nyata yang membutuhkan sosialisai dan solidaritas kita.





Yustinus Setyanta


GARAM DAN TERTANG DUNIA

     Diakui, dihormati, dihargai dan berarti, setidaknya itulah yang kita harapkan dalam hidup ini. Berarti bagi keluarga, bagi lingkungan, bagi Gereja, bagi masyarakat bahkan bagi bangsa dan Negara. Diakui keberadaan kita, status kita. Dihargai jerih payah kita, karya-karya kita, perhatian dan keterlibatan kita.

     Dalam hal keberartian, tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan 'aku' yang berarti bagi 'mereka', namun bagimana 'mereka' berarti bagiku. Tuntutannya menjadi terbalik 180 derajat. Disinilah kita mulai terpuasat pada diri sendiri, pada kepentingan diri, sehingga melihat sikap berkorban bagi orang lain adalah sebuah kebodohan.. Rela berbagi adalah kekonyolan, dan berjuang habis-habisan untuk kepentingan masyarakat sebagai sikap munafik. Kalau sudah demikian, sebagai orang kristiani bagaimana kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Yesus?

    Di sisi lain, tuntutan untuk diakui dan dihargai lebih besar daripada keinginan untuk mengakui dan menghargai orang lain. Dan ketika hampir semua orang mengambil sikap yang sama, semua lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama setidaknya, maka yang akan terjadi adalah sebuah kekacauan. Bukan hanya kekacauan di masyarakat, melainkan juga kekacauan dalam keluarga maupun kekacauan dalam hidup pribadi. Hukum yang berlaku adalah yang kuat pasti akan menjadi pemenang, yang berkuasa akan menguasai dan menindas orang lain. Yang lemah akan dimanfaatkan habis-habisan, kepandaian digunakan untuk mengakali mereka yang bodoh.

    Menjadi garam dan terang dunia, merupakan konsep yang nyata untuk menjawab keadaan seperti tersebut di atas. Yesus meluruskan sikap kita sebagai pengikut-Nya, bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita menjadi berarti bagi orang lain berarti bagi kita. Ketika kita tidak lagi menjadi berarti bagi orang lain, maka tidak ada pilihan selain dibuang atau dicampakan. Ketika kita lebih mementingkan diri sendiri dengan menjadi terang yang tersembunyi, maka lebih baik kiranya jika dipadamkan sama sekali.

    Kolong meja bukan tempat bagi kita, ketika kita menjadi terang. Terang yang DIA anugerahkan kepada kita, haruslah kita nyatakan sebagai terang bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

Maka jelaslah kiranya, bukan apa arti sepinggan sayur bagi sedikit garam, tetapi apa arti garam bagi sepinggan sayur. Bukan apa makna seluas ruangan bagi sebuah dian, tetapi apa manfaat sebuah dian bagi seluruh ruangan. Hal ini bukan semata-mata ajaran sosial, namun juga merupakan tuntunan bagi sikap pribadi kita masing-masing.

Salam & Doa

Yustinus Setyanta

Satu kata

Terukir indah tanpa batas aksara..
Terasa manis tanpa luka..
Mengapai kata penuh makna..
Sejuta rasa terlukis bahagia..

Satu kata terucap
       dari ketulusan hati
Ialah : CINTA


Yustinus Setyanta
Jogja







Saat Fajar Merekah

Saat fajar berselimut embun...
Bebunga indah tersenyum menawan...
Mencumbui pagi dengan hangat mentari...
Melenggok menari mencari damai hati...

Berkelana menelusuri jejak kusam...
Bersandar pada rasa percaya... 
Sebilah rasa sendu...
Tertancap dalam di ufuk fajar...
Poleskan sejuk semilir embun...
Merobek kelabu hingga degup fajar....

KAU teman dikala sendiri...
Tulus menanti terik embun pagi hari...
Tepikan aku disudut ruang renung...
Dengan lembut Engkau membasuh gersang jiwa...
Tetes embun tetaplah mengalir...
Meniti jalan dari naluri...
Masuk kerelung hati selamanya...
Tak harap ia kan pergi...
 Selimutkan sejuk fajar yang penuh keanggunan...
Memohon pada pemilik keagungan...
Dalam doa, diantara rasa...




"Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; (Mzm 37:5)"



Yustinus Setyanta


Jogja






YUKK, BERPANTUN

Batang asai bercabang dua..
Batang pinang banyak buahnya..
Salam dan Doa..
Untuk sahabatku semua..


Ada ayam ada itik...
Ada gula ada semut...
Kamu itu sudah cantik...
Kenapa harus imut...






I Miss U
ahh...ahh....tembem dewh....






Yustinus Setyanta

Putihnya Rindu

Putihnya rindu tertulis
             atas namamu....
Yang telah menghuni hatiku...
Tak ada lagi ragu
             yang mencabik batinku....
Sinaran cintamu telah mampu
             bekukan setiap sudut kelu.....
Di ambang pilu
             telah ku bisikan perasanku...

Tak perlu teriak...
Karena cinta tak bisu...
Ia akan tetap mendengar...
Sekalipun saat lidahmu kelu...
Karena setiaku jawaban terbaikku...




Yustinus Setyanta
Jogja

SANTA MARIA

- Lukas 1:26-38

Jika kita membaca injil Lukas 1:26:38, berkisah tentang kunjungan Malaikat Gabriel kepada seorang perempuan muda bernama Maria. Gabriel membuka perjumapaan itu dengan salam yang memuji dan menyejukan hati. Setelah itu, barulah diketahui bahwa ia membawa tugas besar bagi Maria. Gadis itu diminta kesediannya untuk mengandung Putra Allah. Padahal siapa Maria? Di kalangan masyarakat israel waktu itu sosok Maria sama sekali tidak dianggap, sebab dia itu perempuan, masih muda, lagi miskin. Namun, yg tak diperhitungkan oleh manusia justru berkenan di hati Allah Bapa.

Setiap adegan dalam perikop ini memancarkan kesucian Maria dan keagungan Putra yg akan dikandungnya. Maria sadar, dengan meminta kesediaannya untuk mengandung Sang Juruselamat, Allah sebenarnya juga meminta agar dia menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya. Tanpa ragu Maria menyatakan kesediannya untuk menaati apa pun kehendak Allah.

Meneladan Maria, baiklah kita memilih menjadi orang kecil yg rendah hati. Biarlah orang meremehkan kita dan setiap pekerjaan yg kita lakukan; yang penting Tuhan tidak bersikap demikian. Tak lupa kita mesti mensyukuri kesediaan Maria yg telah membuka lebar-lebar pintu keselamatan bagi kita.
 

"Terima kasih, Bunda Maria, Engkau rela menapaki jalan hidup yang terjal demi keselamatan kami semua."


Yustinus Setyanta

KARYA DAN DOA

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sibuk dengan profesi atau panggilan hidup masing-masing, baik sebagai karyawan, pegusaha, guru, petani, dsb. Profesi bisa membuat kita sibuk selama 24 jam, hingga kita bisa menjadi orang yang tidak sempat melakukan hal lain yg penting. Misalnya, memberi perhatian kepada anak, dsb.

Bekerja dengan baik, kita mendapat pujian, sanjungan dari orang lain. Bisa kita larut dan tenggelam dalam pujian atau sanjungan itu. Dampak selanjutnya, kita menjadi sombong, egois, dan bahkan tidak mempu menerima orang lain dalam kehidupan kita, apalagi orang-orang kecil.
Sebagai orang kristiani yg beriman, tentu kita diajarkan dan diharapkan tidak menjadi demikian. Kita diajarkan untuk hidup berdampingan, mampu memantulkan wajah Yesus kepada orang lain. Memantulkan Wajah Yesus itu, secara sederhana misalnya dengan tidak bermegah atas apa yg kita miliki. Sebaliknya, kita berusaha membagikanya kepada orang di sekitar kita.

Kita juga harus memberikan waktu kepada Tuhan yg setia mendampingi kita sehari-hari. Kita perlu berdoa. Di dalam doa itulah kita menyampaikan ujud syukur, terima kasih, permohonan ampun kepada-Nya. Sebab, sebagai manusia yg rapuh, kita tidak pernah terlepas dari kesalahan, yang membawa kita jatuh dalam dosa. Lalu, kita menyampaikan kepada Tuhan apa yg menjadi ujud pribadi, seperti meminta kepada-Nya agar IA selalu memberikan kesehatan, agar kita mampu untuk terus menjalankan tugas/panggilan hidup.
Juruselamat kita, Yesus Kristus, sekalipun anak Allah IA juga anak manusia. Dalam kehidupan-Nya di dunia, IA menjalankan panggilan-Nya yaitu mewartakan kabar gembira, melakukan berbagai tanda dan mukjizat. IA pun mendapat banyak pujian dan sanjungan. Sekalipun banyak orang datang mengikutinya, meminta agar disembukan oleh-Nya, namun Ia tetap meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Dalam doa-Nya itu, ia dapat melihat kembali segala tugas yg dilakuka-Nya.

Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita perlu memurnikan motivasi dalam menjalankan pekerjaan kita. Salah satunya kesempatan yg kiranya baik adalah dalam doa. Kita berbicara dengan Allah dan melihat kembali tugas yg telah kita laksanakan itu. Bila ada keseimbangan antara "hidup karya dan hidup doa", maka hubungan kita dengan Allah dan sesama menjadi kuat. Damai sejahtera pun akan menyelimuti kita, rahmat Allah akan terus mengalir dalam hidup kita.
Semoga kita menjadi seorang kristen yg baik: bercermin pada Allah Bapa dalam melaksanakan tugas harian kita, dan memantulkan wajah Yesus Kristus kepada setiap orang kita jumpai dalam peziarahan hidup kita.
SEMOGA.



Yustinus Setyanta



TUHAN MELIHAT HATI

      Hati merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia, apalagi bagi orang percaya, karena hidup berkenan kepada Tuhan. Kita melihat dari 1 Samuel 16:1-13.
Saul gagal menjadi raja yang baik. Karena itu, Tuhan menolak dia dan memutuskan menunjuk raja baru. Diutus-Nya Samuel ke betlehem untuk mengurapi sosok pilihan-Nya itu. Agar Saul tidak curiga, kepergian Samuel dikatakan dalam rangka mempersembahkan kurban kepada Tuhan.
Demikianlah Samuel mengurapi raja baru bagi israel dalam suatu upacara kurban di betlehem. Yang diurapi tidak lain Daud, putra bungsu Isai. Anak muda yang sebetulnya tidak diperhitungkan ini terpilih untuk memperbaiki kegagalan Saul. Sejak saat itulah, Daud selalu disertai oleh Roh Tuhan sampai seterusnya.

      Daud terpilih bukan karena hebat, gagah, tampan, atau karena faktor lahiriah lainya. Tuhan melihat hatinya.
Ia tulus, sederhana, dan beriman teguh. Pribadi seperti ini sangat cocok menjadi pemimpin umat! Karena itulah, Tuhan yang mengetahui isi hati manusia yang paling dalam berkenan kepada Daud. - "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati (1 Sam 16:7b).

     Hal ini berbanding terbalik dengan situasi sekarang di mana banyak orang mengagung-agungkan apa yang bisa dilihat mata. Mereka menghargai orang yang tampak hebat, yang mengendarai mobil mewah, rumah mewah, atau yang punya tas seharga sepuluh juta, dan sejenisnya. Hati-hati, penampilan bukan segalanya, penampilan bahkan bisa menipu.
Akan lebih baik kalau kita hari demi hari terus berusaha berfokus mempercantik hati kita. Bagi Tuhan, itulah yang paling utama.



Yustinus Setyanta





Jumat, 25 April 2014

DIA Semayam Di Hatiku

Tuhan semayam di hatiku
              santapan jiwaku...
Dan menjadi air hidupku
               penawar dahagaku...

Walau bahaya menimpa Tuhan melindungi...
Tanpa was-was kuberjalan menempuh hidupku...
Tuhan meraja di anganku, harapan citaku...
Dan berjanji menemaniku menyegarkan hasratku

Walau derita kan tiba,
           Tuhan menghibur dan melindungi...
Segala cemas 'kan musna,
           kuaman abadi...



Yustinus Setyanta

Jogja

Kamis, 24 April 2014

MENAKJUBKAN

Menakjubkan. Milyaran manusia dengan milyaran hasrat, ambisi dan keinginan. Milyaran manusia dengan milyaran tabiat, pola pikir dan kelakuan. Jika dibayangkan, bagaimana segala suara-suara kehidupan itu bercampur baur, menjadi suatu paduan suara naik ke Sang Pencipta, bagaikan asap yang membubung memenuhi kediaman-Nya. Dan bahkan kadang kala  tak mampu menyadari keberadaan-Nya, Kehadiran-Nya. Satu dunia dan satu bumi yang telah tercipta sejak berjuta-juta tahun lampau, dan masih akan menuju ke depan entah sampai kapan akan berakhir, tidak ada yang tahu, bagaimana caranya DIA mengatur semuanya itu? Menakjubkan. Sungguh menakjubkan

Kesementaraan kita disepanjang perjalanan waktu alam semesta. Bagaikan noktah-noktah kecil di tengah samudra luas tak terbatas. Yang bahkan di sadari atau tidak keterbatasannya dalam hidup yang memanjang sepanjang waktu. Keabadian, barang apakah itu? Tidakkah seringkali hidup ini yang sedemikian terpencil di sudut galaksi maha luas ini, terasa bagaikan pusat kekuasaan kita semata. Kita saat kita semakin sempit, semakin memendek, dan semakin terkucil di tengah hiruk pikuk kesibukan kita dalam menghidupi hidup yang hanya amat singkat ini.

Hidup ini sungguh rapuh. Berapa banyakkah denyut jantung kita akan berdetak? Berapa banyakkah udara yang akan kita hirup? Kita, diri kita, pemikiran kita, hasrat kita, ambisi kita, keinginan kita, semuanya akan menuju kemanakah? Dan tidakkah bahwa, di muka bumi yang serba terbatas di tengah lautan maha luas semesta alam, kita hanya sepercik sinar pada milyiaran galaxi, bagai setets embun pagi yang jatuh kebumi, yang merasa hanya menjadi pusat segala sesuat.  Hidup ini memang rapuh. Namun, di dalam kerapuhannya, seringkali kita merasa bahwa kitalah sang pusat itu. Kitalah mahluk yang luar biasa tanpa menyadari kerapuhan kita sendiri.

Dan jika kita merenungkan kembali keberadaan kita di tengah kemaha-luasan semesta alam ini. Kita membayangkan jarak yang panjang dan tak terjangkau jauh di luar planet kita yang mungil ini. Atau jika kita coba merasakan kehadiran insan-insan lain di luar tubuh fisik kita. Milyaran sesama kita. Milyaran mahluk lain yang berada di tengah keberadaan kita di sini. Milyaran suka duka mereka. Milyaran harapan-harapan mereka. Milyaran keriduan mereka. Buakan hanya kita pribadi yang mempunyai itu.

Menakjubkan. Sungguh menakjubkan jika kita mampu menyadari semua hal itu. Dan karena itulah, DIA yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu di alam semesta ini, yang menjadi suatu sumber kekuatan yang amat Maha bagi diri kita sendiri. Terutama untuk menyadari dengan rendah hati pada keterbatasan kita menghidupi hidup. Dan pada akhirnya kita mesti mengakui bahwa kita sendiri bukanlah Sang Pusat yang terkucil dan dengan angkuh dapat menciptakan suka duka hidup ini. Bukan. Kita manusia yang lemah dengan hidup yang rapuh, kita dengan segala kesadaran dan perasaan kita, kita semua haruslah mengakui betapa kecilnya kita. Betapa miskinnya kita. Betapa tak berdayanya kita. Betapa tak berartinya kita jika hidup yang kita miliki ini adalah segala-galanya. Jauh, jauh di luar jangkauan kita, ada DIA yang tersembunyi, jauh namun dekat, tak nampak tetapi ada, sebagai sumber kekuatan kita, agar kita mampu menerima dan menghadapi hidup kita sendiri. Dan jika kita sadari itu, maka dengan menunduk rendah, kita bisa mengguman dengan lirih, hidup ini ternyata sungguh menakjubkan di dalam dan bersama DIA.


Yustinus Setyanta

Hijau???

Saat senja tersandar diantara warna hijau...
Burung-burung kecil hinggap dan ikut berkicau...
Menemani kemana angin pergi merantau...
Berkata akan diri menghalau...
Perasaanya yang di landa galau...
















Yustinus Setyanta

Selasa, 22 April 2014

EKSPRESI HATI

Jika kita perhatikan di Alkitab, kita akan nemuin berbagai ekspresi hati, seperti:
".........janganlah tawar hati, kuatkan dan teguhkanlah hatimu......"(Yos 10:25), "............rahasia hati"(Mzm 44:22), ".........hati yang bijaksana"(Mzm 90:12), ".........janganlah keraskan hatimu"(Mzm 95:8). "hati manusia memikir-mikirkan jalannya........"(Ams 16:9), "dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu......"(Mzm 119:11), "......menyedihkan hati"(Ams 13:12), ".........hati panas......."(Yeh 3:14), "tenangkanlah hati......."(Yes 40:2). "........hatimu berada"(Mat 6:21). Dan masih banyak lagi.

Ngomogin masalah hati, kata'hati' dalam bahasa inggris juga berarti centre of a person's feelings, especially love. Itu artinya hati berkaitan sama perasaan, sama apa yang lagi kita rasain saat ini. Di mata Tuhan, hati itu adalah hal yang penting karena hati manusia tidak bisa dimanipulasi atau di bohongi. Maka itu ada yang namanya suara hati. Penulis amsal berkata "jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan"(Ams 4:23). Itu artinya, kita tidak membiarkan hati kita terasa damai. Sebagai orang percaya, kita harusnya isi hati kita dengan ucapan syukur, puji-pujian kepada Allah dan semua hal yang meyukakan hati-Nya.

Apa sih yang hatimu saat ini lagi rasain? Sukacita atau kekecewaan? Apa pun yang kita rasakan itu, yuukks kita jaga hati kita sendiri buat Tuhan. Karena Dia tidak pernah menilai kita dari fisik kita tapi melihat hati. Kita isi hati kita sama pujian, ucapan syukur kepada-Nya.


Yustinus Setyanta




IMAJI FIKSI SEJARAH

Novel sejarah tak hanya berkisah kejadian masa lampau yang dikemas melalui imaji dan kreativitas novelis. Nalar imajinasi dibalut fakta hadir dalam ruang logika, batin, bahkan perilaku masyarakat bentukan fiksi sejarah. Tampaknya, fenomena itu mengilhami banyak orang sekarang ini mengagumi novel sejarah.

Dalam lima tahun belakangan, karya novel sejarah digemari masyarakat. Ada berbagai novel mengangkat peristiwa di masa lalu yang kini mendapat tempat di hati pembaca. Bahasa lain, booming fiksi sejarah sedang menjadi perbincangan khusus di kancah kesastraan, intelektual, sejarawan, dan juga kalangan umum.

Bayangkan saja, konon, dalam beberapa tahun ini terdapat kuang lebih seratus judul novel yang berlatar belakang sejarah membanjiri dunia pasar perbukuan tanah air. Fiksi sejarah laris manis dibeli masyarakat yang mempumyai kegemaran membaca. Karya-karya seperti Gajah Mada yang ditulis Langit Kresna Hariadi laku keras.

Tidak hanya itu, novel sejarah lain: Mahkota yang Terbelah, Sabda Palon, Darmagandhul, Naga Bhumi Mataram, Jaka Tingkir, Majapahit, Hamukti Palapa, Hamukti Moksa, Perang Bubat, Nagabumi ditulis Seno Gumira Ajidarma, Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan masih banyak lagi novel sejarah yang kini disukai pembaca.

Trend fiksi sejarah mengingatkan kita pada peristiwa masa lampau di mana buku-buku menghadirkan setting sejarah pernah mendapat perhatian khusus publik. Ingat buku tebal "Senopati Pamungkas" karya Arswendo Atmowiloto, novel ini pun menjadikan sejarah sebagai ide cerita. Selain Arswendo, ada juga Kho Ping Ho, Mintardja. Mereka adalah novelis yang merekam kembali peristiwa masa lalu dalam karya fiksi.

Fiksi dan Fakta Sejarah
Geliat fiksi sejarah meningkatkan gairah intelektual di kalangan sejarawan dan sastrawan serta akademisi. Topik novel sejarah dikaji, didiskusikan, dikritik, bahkan tak jarang terjadi silang logika di antara mereka. Hal paling urgen diperdebatkan mengenai novel sejarah, apakah ia fiksi, fakta, dan atau gabungan di antara keduanya.

Silang pendapat memang tak mudah dicarikan titik temu. Mungkin karena alasan itu pula, belum lama kita mendengar para sejarahwan dan sastrawan berkumpul pada ruang pertemuan istimewa. Perhelatan berjudul “Borobudur Writers & Cultural Festival” yang digelar di kompleks Candi Borobudur, Jawa Tengah pada 29-31 Oktober 2012 menjadi bahasa simbolik adanya keseriusan dari orang-orang yang sadar akan arti pentingnya sejarah. Dengan kalimat lain, peristiwa bersejarah tersebut yang tak hanya mempertemukan manusia dari berbagai daerah, tetapi juga ada kesadaran kolektif di antara mereka untuk membahas fiksi sejarah.

Booming fiksi sejarah acapkali membenturkan nalar/logika, keyakinan, asumsi, dalam berbagai ruang paradoks. Pertanyaan paling menggelitik seputar topik ini adalah, apa sebetulnya perbedaan mendasar antara novel menghadirkan gagasan sejarah dan ditulis oleh sastrawan, ini satu sisi. Pada lain hal, apakah perbedaan mencolok dengan buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan?

Pertanyaan lebih menukik, bagaimana kebenaran sejarah dari masing-masing karya yang dibuat dari sastrawan dan sejarawan? Siapa yang paling otentik kebenaran sejarahnya? Apakah sejarawan paling originalitas dan valid fakta sejarahnya, lantas bagaimana dengan sastrawan dengan fiksi sejarahnya?

Rasa-rasanya memang tak elok jika keduanya kerap dipertentangkan dan seolah-olah bagai air dan minyak yang sukar menyatu. Sejarawan dengan buku sejarah yang dihasilkan memiliki ruang dan pakem sendiri. Demikian dengan sastrawan, ada ruang berbeda dengan sejarawan dalam menghasilkan suatu karya.

Sejarawan membuat buku sejarah dengan persepsi, metodologi, dan aturan main kaum sejarawan dalam mengungkapkan fakta. Meskipun kita sering mendengar karya sejarawan disajikan sangat kering dan kurang nyastra, tapi itulah karya mereka. Sastrawan memiliki cara sendiri dalam berkarya. Imajinasi, kreativitas tinggi ditonjolkan dalam fiksi sejarah. Tapi begitu bukan berarti novel sejarah mengabaikan fakta.

Garis demarkasi ini yang membuat politik identitas antara sejarawan dan sastrawan tampak muncul dalam berbagai karya yang dihasilkan. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Karena itu, rasanya kurang bijak bila keduanya dibenturkan dalam ruang paradoks.

Menyikapi hal tersebut, tampaknya gagasan penulis kritik sastra dan artikel kebudayaan, Jakob Sumardjo di suatu media menarik dijadikan rujukan untuk menjembatani polemik ini. Menurut Jakob, novel fiksi berlatar sejarah atau novel genre sejarah yang baik harus digarap dengan riset mendalam.

Dalam artian, sumbernya dari hasil penelitian sejarah dan bukti peninggalan masa lampau, seperti artefak dan naskah kuno, serta dokumentasi sejarah untuk rekonstruksi masa lalu. Pada pemahaman lain, novelnya tidak harus menceritakan sejarahnya, karena itu jadi tidak menarik.

Cerita fiksi dalam novel sejarah diperlukan untuk merangkai atau melengkapi bolong-bolong sejarah sesuai dengan tafsir si pengarang. Namun, kisah fiksinya memang tidak mengacaukan kisah sejarah resmi hasil penelitian para sejarawan. Kiranya begitulah cara mendamaikan antara fiksi dan fakta sejarah.


Yustinus Setyanta

Spanjang Hidupku

 TUHAN...
Di sepanjang jalan hidupku...
Engkau selalu besertaku...
Saat mentari cerah bersinar...
Ketika mendung gelap menebar...

Saat kegembiraan hadir menari-nari...
Ketika kepedihan datang menghampiri...
Engkau selalu ada bagiku...
Kasih setia-Mu nyata dan selalu baru...

TUHAN
di sepanjang jalan hidupku...
Engkau selalu besertaku...
ketika harapan membuncak dalam dada...
saat ketakutan akan hari esok nenyelimuti jiwa...
ketika muncul kesempatan merajut...
saat ketidak berdayaan membingungkan...
Engkau selalu ada bagiku...
kasih setia-Mu nyata dan selalu baru...

TUHAN
di sepanjang jalan hidupku...
Engkau selalalu besertaku...
Engkau selalu menolongku...
puji syukur dan terima kasihku pada-Mu...


Yustinus Setyanta

CAHAYA SURYA DI SENJA CERI

Panorama senja hari yang cerah memang begitu indah untuk di pandang dan di nikmati. Apalagi udaranya yang dingin dengan dihiasi cahaya jingga keemasan dari sang surya, membuat kita sadar betapa indahnya bumi ciptaan-NYA.






(foto-foto di ambil di Kalasan - Sleman - Yogyakarta)







Barangkali ada yang pernah melihat rombongan burung-burung beterbangan kembali kesangkarnya.









Ya, Allah Bapa kami, puji syukur dan terima kasih, Engkau berikan alam semesta yang indah mempesona tempta kami tinggal menikmati kehidupan yang dari-Mu. Ajarilah kami untuk mencintai; dengan menjaga, merawat, dalam hidup kami sehari-hari; dengan berprilaku ramah lingkungan, menanam pohon, disiplin membuang sampah pada tempatnya, telebih memanfaatkan limbah sampah yang berguna. Amin






Yustinus Setyanta
Kalasan - Jogja














Senin, 21 April 2014

Hanya Doa Ini, Ibu

Hanya melalui sebait puisi, tanpa bunga,
            doa itu kukirim untukmu ibunda:
"Peluklah, ibu, walau anakmu telah jauh berlayar"
Arungi lautan kehidupan

Pada dadamu yang tipis digerus usia...
Ingin aku kembali sembunyikan tangis...
Sebab aku tahu dada yang tipis itu...
Menyimpan seribu mata air
                yang s'lalu lapang menyimpan keluh.

Tanpa bunga, hanya sebait puisi,
                 lipatlah doa ini di dadamu...
Walau aku tahu sepanjang usiamu...
Tak kan cukup mengagungkanmu
Puisi dan doa ini simpanlah di laci hatimu
                 paling dalam
Walau aku tak pernah tahu bisakah bermakna

Hanya ini yang berikan dari ananda...
Peluklah, doa ini ibu, walau tanpa bunga...
Peluklah walau anakmu telah berlayar jauh...
Namun di dadamu jua hatinya selalu berlabuh...

Puisi dan Doa Untuk Ibunda








Yustinus Setyanta

Jogja

KEMARIN

Barangkali kita pernah merindukan masa lalu. Atau sungguh mengharapkan masa lalu berulang kembali. Ya, saya pikir kita semua, pernah mengalami kerinduan itu. Terutama saat kita memikirkan keadaan dan kondisi kita sekarang. Hari kemarin berubah menjadi sebuah kenangan indah yang sering muncul dalam harapan kita. Walau kadang hanya samar-samar namun tetap mengusik hati dan pikiran kita. Kemarin, hari yang telah lampau, kadang muncul sebagai satu kerinduan yang tak terbendung. Sehingga kita ingin mengulangnya setiap saat. Walau kita sadar bahwa itu mustahil. Situasi dan kondisi tidak pernah sama lagi. Tidak akan sama lagi.

Hari kemarin memang bukanlah sebuah mimpi walau kadang terasa demikian. Hari kemarin telah kita lewati, telah kita alami dengan suka dukanya, dan apa yang telah lewat selalu menimbulkan satu kesadaran bahwa apa yang telah terjadi, seburuk apapun itu, ternyata tetap tersimpan sebagai satu kenangan yang indah. Walau mungkin, di saat-saat itu, kita seakan merasa pedih atau bahkan putus asa menghadapi kesulitan kita. Hari-hari yang telah lewat bagaimana pun juga senantiasa menjadi satu pengalaman hidup yang mengajarkan bahwa semua keadaan, baik atau buruk, selalu akan dapat kita lalui bersama berjalannya waktu. Dan usia kita pun kian bertambah dengan satu kearifan menghadapi kenyataan.

Oleh sebab itu, sesungguhnya hari kemarin dikenang bukan untuk menjadi sebuah nostalgia belaka tetapi juga kita harus belajar agar dapat menerima hidup ini apa adanya. Memang, kita tidak akan pernah mampu untuk mengulang kembali apa yang telah silam, tetapi kita belajar untuk memahami dan menghadapi hidup kita sekarang, bagaimana pun sulitnya, bahwa semua pasti akan menjadi kenangan di hari esok. Mungkin bukan kenangan yang indah tetapi kenangan yang terburuk pun akan dapat membuat kita belajar untuk memahami nahwa semua akan berlalu. Semua pasti akan usai. Dan di hari sekarang bahkan dapat dijadikan sebagai lelucon betapa saat-saat itu sikap kita sungguh dapat terasa konyol dan tidak logis. Walau dapat juga tetap meninggalkan trauma mendalam, tetapi tetap dalam kesadaran kita, semua telah lewat. Telah berlalu. Dan kita belajar dari apa yang terjadi kemarin. Kita dapat dan harus selalu belajar dari hari kemarin.

Oleh sebab itulah, kita kadang merindukan masa lalu. Bahkan kadang mengharapkan agar dapat terulang kembali. Walau kita sadar bahwa itu takkan mungkin terjadi. Tetapi bukankah setiap orang memiliki harapan masing-masing betapa pun mustahilnya itu. Kemarin memang selalu menyimpan kenangan yang mendalam. Tetapi tentu, apa yang telah terjadi takkan pernah dapat terulang lagi. Dan tak perlu kita rindukan atau sesali. Tetapi bersama kemarin, kita dapat belajar untuk hidup hari ini dengan lebih baik. Bersama hari kemarin, kita dapat menjadi semakin kuat dalam menghadapi apa saja yang saat ini kita alami. Dan dalam kesadaran kita masing-masing, kita harus mempunyai tekad untuk percaya bahwa segala kesulitan dan kepedihan kita saat ini, kelak akan menjadi kenangan pula. Dengan demikian kita mampu menghadapi dan menerima hidup ini apa adanya. Tanpa berlebihan. Tanpa kehilangan harapan. Yang lalu biar berlalu. Langkah terus maju.


Yustinus Setyanta

BER-WEEKEND RIA

Tak terasa weekend telah tiba. Weekend atau hari libur atau hari-hari dimana tidak banyak aktivitas dan rutinitas keseharian, adalah hal yang ditunggu-tunggu bagi sebagian orang, terutama oleh kaum pekerja maupun sekolah, kuliah yang memang kesehariannya disibukkan oleh rutinitas pekerjaan sehari-hari sedemikian sehingga serasa tidak ada waktu untuk beristirahat atau rileksasi. Weekend-time begitu orang menyebutnya, menjadi hari-hari untuk melepaskan kepenatan dari aktivitas dan rutinitas keseharian di waktu kerja. Saat weekend itulah, saatnya kita untuk mencharger tubuh setelah 5 atau ada yang 6 hari diporsir untuk bekerja, sekolah atau kuliah. Walaupun ada yang bekerja tidak terlalu menghabiskan energi (karena seru dan menyenangkan), namun weekend adalah waktu untuk melakukan sesuatu di luar rutinitas.

Tapi bukan berarti karena weekend, tentu kegiatan yang dilakukan kebanyakan bermalas-malasan. Yahhh, menambah waktu tidur sih boleh-boleh saja atau bangun siang kalee....tak apalah asal tidak berlebihan, begitu tah. Atau jangan mentang-mentang weekend, tidak ada kegiatan yang dilakukan. Sudah barang tentu ada kegiatan. Weekend bukan berarti harus berada di rumah. Acara-acara blogger atau seminar-seminar pendidikan biasanya dilaksanakan di hari Sabtu dan Minggu.

Menjelang weekend dan pada saat weekend begitu dapat kita rasakan suasananya. Jalanan kota, tempat hiburan, mall, restoran pun seolah berbenah dan bersiap diri menyambut datangnya weekend-time ini. Berbagai acara, program, dan hiburan disiapkan oleh penggiat bisnis hiburan dan kuliner untuk menyambut kaum pekerja untuk menghabiskan waktu di weekend-time mereka.

Terlepas dari pendapat dan pandangan yang berbeda-beda bagaimana cara menghabiskan waktu libur di saat weekend-time ini apakah diisi dengan kegiatan produktif ataupun tidak, semua mempunyai pijakan sendiri-sendiri dalam memandangnya. Produktif atau tidaknya sangat tergantung kepada masing-masing individu dalam berpendapat kegiatan produktif itu seperti apa dalam benak dan kerangka cara berpikir mereka. Orang bisa mengklaim dirinya menghabiskan waktu libur disaat weekend diisi dengan kegiatan produktif, tetapi tentu saja dia tidak boleh mengklaim orang lain tidak produktif dan membuang waktu sia-sia selama mengisi waktu di saat weekend-time. Sekali lagi masing-masing berhak untuk memilih dan berpendapat bagaimana cara mereka mengisi weekend-time mereka. Bukankah demikian sahabatku?

Bagaimana dengan saya sendiri mengisi weekend time minggu ini?
Nah, suatu ketika saya berada di Kawasan Wisata Kampung Jawa Kembang. Desa wonokerto, Turi, Sleman. Yogyakarta. Begitu sejuk suasana alam di desa wisata itu dengan kebun salak yang membentang luas.Yah, Salak merupakan salah satu buah yang kaya manfaat bagi kehidupan manusia. Buah berbatang duri ini sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai buah meja karena rasa yang khas dan bentuknya pun unik sekaligus menarik. Salak merupakan buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan dan cocok untuk dikembangkan. Salak kebanyakan ditanam untuk dimanfaatkan buahnya. Buah yang dijuluki dengan buah ular ini, selain sebagai buah meja dapat diolah menjadi bentuk makanan lain seperti manisan, asinan, bakpia, sirup, dodol, bahkan yang sangat digemari masyarakat adalah kripik salak. Namun bagaian pohon salak lain pun dapat dimanfaatkan. Daun salak kulit tangkai daunnya dapat digunakan sebagai bahan anyaman, pohonnya dapat dimanfaatkan sebagai pagar karena banyak duri, dan sebagainya. Begitulah beberapa manfaat dari tanaman salak.

Salah satu daerah penghasil salak di indonesia adalah di kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakara (DIY). Daerah lereng Gunung Merapi ini dikenal sebagai penghasil salak unggulan yakni "salak pondoh" yang dikenal dengan memiliki citrasa empur yang sangat enak di lidah. Salak pondoh memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi, kadar gula yang lebih tinggi dan kadar asam yang lebih rendah dibandingkan dengan salak jenis lainya. Salak pondoh memiliki keunggulan dari segi citra rasa yang manis dan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan salak jenis lain. Menurut Litbang Pertanian Yogyakarta luas wilayah lereng gunung merapi sendiri sekitar 6.510 Ha di bawah ketinggian < 800 m dpl [di atas permukan laut]. Wilayah yang luas ini dengan tanah di sekitar lereng gunung merapi merupakan tanah yang subur, karena tanah ini merupakan tanah bekas erupsi lahar merapi atau disebut juga tanah vulkanis. Tanah vulkanis memiliki unsur hara yang sangat tinggi dan abu vulkanik juga membuat tanah lebih subur. Jadi sangat mudah sekali tanaman dapat tumbuh subur diwilayah lereng merapi. Kabupaten Sleman, DIY yang dikenal sebagai daerah hasil salak pondoh kini menunjukkan bahwa buah ini memiliki prospek bisnis yang baik pula. Banyak petani dan masyarakat daerah setempat mulai merintis bisnis buah salah seger maupun olahannya.

Salak pondoh asal Kabupaten Sleman telah resmi dipatenkan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai komoditas unggulan. Selain itu, salak pondoh pun telah memiliki sertifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hak Paten dan HAKI ini dilakukan untuk melindungi hasil kekayaan daerah dari eksploitasi produk salak pondoh untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan lainnya. Masyarakat Kabupaten Sleman, terutama petani dan pengolah salak tentunya memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

Heemmmyam....nyam...enaknya buah salak sembari menikmati weekend. Namun jika terlalu lelah untuk keluar rumah, atau sedang tanggal tua dan isi dompet benar-benar tak mau kompromi? Tak masalah, weekend tetap menyenangkan, nggeh tah?Weekend asyikkk..... tak harus berbiaya mahal, kan? Weekend sederhana namun edukatif, selain ringan di ongkos juga, percayalah, tetap bisa memberi makanan lebih bergizi bagi batin kita.
Nah kemana tujuan akhir pekan Anda minggu ini?


Yustinus Setyanta
Turi - Sleman - Yogyakarta

Menghibur diri

Puisi, Lagu dan Gitar
      Berikut ini adalah puisi tentang lagu dan gitar , tentu dengan lirik lagunya , rasanya memang sesuatu yang tak dapat di pisahkan antara puisi , lagu dan gitar , bagi pemusik lirik lagu itu sangat penting sepenting musik yang di mainkan . Nah untuk itu dibawah ini ada puisi tentang lagu, dan gitar

Ku hempaskan penat di raga
Ku putar musik mengiringi suasana jiwa
Musik yang menggambarkan perasaan
Musik yang menghibur kesepian

    Aku tak hiraukan lagi
    Saat ini
    Yang aku mau hanya menghibur diri
    Dengan musik dan lagu ini

Ku ambil gitar dan ku petik riang
Mengiringi nyanyianku yang sumbang
Yang kumau saat ini hanya diriku seorang
Menikmati waktuku yang senggang
Dengan rasa senang

      Untuk apa aku terus terpuruk sepi
      Buat apa aku harus terus menangisi
      Hidupku terlalu berharga untuk sekedar menyesali
      Setiap masalah hidup harus bisa ku atasi
Terus ku petik gitar tua ini
Mengiringi lagu dan irama sepi
Kuhibur diri dan terus bernyanyi
Hidup tak'kan habis 'tuk bermimpi













Yustinus Setyanta

Minggu, 20 April 2014

Antpologi puisi

cover buku

KIDUNG ALAM

Demikianlah kidung mengalun
Tergantung siapa yang memainkan
Tetapi lebih utama siapa yg mendengarkan
Apakah membuka telinga?
Menyimak dan mendengarkan dengan seksama
Terutama apakah membuka hati
Menyimak dan membuka hati
Membiarkan rasa semakin peka
Sehingga hati semakin halus
Semakin lembut
Dan terasah terus
Sehingga hati akan mampu mendengar desir rasa yg lembut
Kepekaan hati inilah sebuah pondasi
untuk
Menerima cahaya Tuhan
Kelembutan inilah untuk memahami cinta kasih
Cinta kasih Tuhan
Memahami bahasa kasih sayang
Bahasa yang universal
Bahass yang dimengerti setiap manusia
Bahasa yang dimengerti binatang
Bahasa yang dimengerti tumbuhan
Bahasa Roh
Bahasa yang dipergunakan alam semesta
Bahasa yang dipergunakan Tuhan semesta alam
Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang..
......
Aku langsung tahu siapapun yang tengah bicara
Dalam bahasa kasih yang lembut ini
Walaupun dia hanya sekedar menuliskan kalimat sederhana
Karena yang terasa adalah energi kasih sayang
Energi kasih sayang sang pemilik kasih sayang
Energi yang meliputi alam
Energi yang di berikan oleh-NYA

Maka
...bersyukurlah ..
...berbahagialah..
Dengan energi ini akan ada
Energi dari-NYA
Rasa-rasa lain yang luar biasa
Yg tak pernah terfikirkan
Tak pernah terbayangkan
Rasa nikmat yang rasanya tak pernah terlintas
Baik dalam ingatan atau dalam angan..
Demikianlah
Dan akupun hanya sekedar mewartakan


Yustinus Setyanta



JEJAK-JEJAK

Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Sama tertunduk saat memperingati momen sengsara dan wafat Yesus di salib. Kutatap wajah-wajah itu sambil merenungkan betapa sengsara adalah milik semua orang. Milik siapa saja. Dan jika Yesus sendiri mengalami sengsara itu, mengapa kita harus luput darinya? Tidak. Sengsara tidak pernah khusus milikku, tidak juga khusus milikmu atau hanya milik mereka. Dalam hidup kita, selalu ada jejak-jejak duka derita yang kita alami setiap saat. Setiap waktu. Kita tidaklah istimewa sendirian.

Demikianlah, hidup yang kita jalani ini, kadang menyeret kita dalam sesal dan kebencian. Dalam putus asa dan sakit hati. Seakan-akan kita dan hanya kitalah sendiri yang dikhianati, kita dan hanya kitalah yang diperlakukan tidak adil, dibohongi bahkan dilukai dan dihancurkan. Mereka yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemilik duka lara, tataplah pada wajah-wajah yang setiap saat nampak di sampingmu, di depanmu, dimana pun berada dan sadarilah betapa banyaknya jejak duka yang tampil di setiap kehidupan ini. Hidup kita tidaklah istimewa. Hidup kita tidaklah berbeda satu sama lain. Sebab jika kita percaya bahwa Yesus mengalami derita yang demikian pahit dan nyeri, mengapa kita sendiri harus luput darinya? Bukankah itu tidak adil?


Jumat Agung. Ribuan wajah dengan ribuan kisah hidup. Ribuan jejak yang telah ditinggalkan dalam setiap kisah keberadaan seseorang. Dan kulihat seorang ibu tua meneteskan air mata saat tiba saatnya dia bersujud mengenang wafat-Nya. Apa yang dipikirkannya? Apa yang dikenangnya? Jejak-jejak kehidupan apakah yang telah dilaluinya? Bukankah kita yang pernah mengalami derita dapat juga memahami derita orang lain? Dan jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita dapat menyadari betapa beratnya perjuangan menjalani hidup ini. Tidak ada perbedaan di antara manusia, yang berpunya maupun yang tidak, setiap derita punya ke-khas-annya masing-masing.

Siapakah kita sehingga harus merasa istimewa dan khusus? Siapakah kita sehingga patut merasa bahwa kita dan hanya kitalah pemilik kehidupan ini, pemilik nestapa yang paling lara? Siapakah kita sehingga patut merasa sebagai satu-satunya yang ditidak-adili dan disengsarakan? Siapakah kita ini? Tidakkah setiap kehidupan yang terkandung di balik wajah-wajah yang ada di sekitar kita punya jejak-jejak dukanya sendiri? Punya jejak-jejak deritanya sendiri? Tetapi di saat lain, bukankah mereka tetap dapat tersenyum lepas dan tertawa gembira? Tidakkah kita juga demikian adanya? Mengapa kita takut dengan diri sendiri? Mengapa kita gentar menjalani hidup ini? Tidakkah harapan selalu ada, bahkan di saat terkelam sekali pun. Harapan selalu ada dan pasti akan datang di saatnya nanti. Yang kita butuhkan hanya percaya dan percaya bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan pasti ada gunanya. Setiap derita yang kita alami pasti ada manfaatnya. Nestapa saat ini adalah jalan salib yang harus kita jalani menuju titik dimana tak ada yang lain selain dari cahaya kebangkitan kita. Maka jangan takut. Jangan bimbang. Percayalah. Hidup kita ini, apapun adanya, selalu akan meninggalkan jejak yang bermakna bagi kehidupan semua insan. Kita tidak sendiri dan tidak akan pernah sendirian.

Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Semua tertunduk mengenang sengsara Yesus. Seorang ibu tua terisak-isak. Seorang bocah kecil menatap dengan matanya yang besar pada salib lambang Kristus tergantung. Dan di luar hujan turun deras. Hujan turun dengan deras. Sungguh, kurasakan betapa kehidupan ini semua menyatu dalam jejak yang sama. Setiap derita selalu mengandung harapan. Setiap kegelapan selalu punya cahaya. Sebab tiga hari setelahnya, Paskah tiba. Dan Yesus bangkit. Dan Yesus hidup. Bersama-Nya, kita semua dapat memastikan bahwa tidak ada yang abadi selain dari kebenaran bahwa setiap derita punya ujung. Bahwa setiap nestapa pasti akan usai. Langkah-langkah duka kita sekarang kelak akan menjadi jejak yang indah dalam kenangan. Itulah hidupku. Itulah hidupmu. Itulah hidup setiap orang. Maka marilah meninggalkan jejak yang berguna, entah pahit entah manis, agar menjadi teladan bagi siapa saja. Bagi dunia seluruhnya. Seluruhnya.

Yustinus Setyanta

Kamis, 17 April 2014

Yang Mencari Sesuatu

Bersama angin aku dengar ceritamu...
Dari jauh tersisi pinggiran...
Hai, engkau yang masih mencari sesuatu...
Bernama kemanusiaan...

Bersama malam aku gapai mimpimu...
Dari kasih pada insan..
Hai, engkau yang masih mencari sesuatu...
Bernama keadilan...

Bersama hujan aku rasa basahmu...
Dari restu Yang Maha Kuasa..
Akhirnya enkau bertemu sesuatu...
Bernama kedamaian...

Burung-burung beterbangan di ankasa luas...
Margasatwa bertempiaran di rimba raya...
Hujan pun turun mengalir ke bumi...
Dan segala yang tercinta akan subur...
Bersama sinar suria...

Bersama kemanusiaan...
Bersama keadilan...
Bernama kedamaian...
Menyatu pada insan...



Yustinus Setyanta

Jogja

Rembulan Jumat Agung

Mengambang jauh tinggi
Rembulan bercahaya
Seakan menyapa bumi
Yang bergelimang duka

Tak ada mega
Tak ada suara
Hening menggapai surga
Lagu duka sang kelana

Tetes air mata
Mengalir perlahan
Membara rindu pada-Nya
Kidung doa melantun

Hanyut diri pada suasana alam
Sunyi meraja, sepi mencekam
Kau diam aku membisu
Kita lelap dalam beku

Mengambang tinggi di angkasa
Rembulan bersinar anggun
Dan disini kami berdiam jiwa
Tanpa suara memohon ampun








Yusinus Setyanta

Jogja

Jumat, 11 April 2014

JALAN

"Banyak jalan ke Roma" Demikian bunyi sebuah pepatah tua. Dan memang demikian adanya. Ada banyak pula arti kata jalan apalagi bila di beri imbuhan, misalnya 'ber' (berjalan), 'men-i' atau men-kan (menjalani, menjalankan), 'per-an' (perjalanan), dsb. Ada banyak jalan menuju tujuan yang satu. Ada banyak cara menuju kepada kebenaran yang tunggal. Bisa berliku, lurus, mendaki dan menurun. Bahkan pada satu jalan pun masih terdapat kemungkinan jalur: kiri, kanan atau tengah. Dan sama seperti jalan, kepercayaan dan keyakinan kita pun demikian adanya. Pengharapan kita terhadap Tuhan yang satu semestinya membuat kita semakin percaya bahwa kita semua sesungguhnya adalah ciptaan semata. Tak ada yang lebih. Tak ada yang kurang.

Maka sungguh ganjil jika kita, yang percaya kepada Sang Maha Pencipta, sambil menundukkan kepala dengan dalam kepada kemaha-besaran-NYA dapat dengan mudah pula menghancurkan dan membasmi sesama kita yang juga ciptaan-Nya yang menurut kita tak sejalan dengan cara yang Dia inginkan. Pertanyaannya adalah, apakah itu sungguh keinginan-Nya ataukah hanya sekedar keinginan kita saja? Bagaimana kita bisa membuktikannya? Bagaimana kita mampu memastikannya? Tidakkah jika kita meyakini bahwa hanya ada satu Pencipta, itu berarti bahwa seluruhnya adalah ciptaan-Nya. Dan jika memang seluruh semesta ini adalah ciptaan Dia semata, bagaimana kita dapat memandang bahkan memutuskan bahwa mereka yang lain adalah salah dan karena itu pantas dimusnahkan. Bukankah yang lain pun adalah ciptaan yang sama dan setara dengan kita sendiri. Dan tidakkah kita percaya bahwa sebagai ciptaan, kita semua punya kemungkinan-kemungkinan untuk benar dan juga salah. Dengan kata lain, kita sendiri toh pada akhirnya bisa salah. Bisa salah.

Banyak jalan ke Roma. Memang. Tetapi kita sering lupa akan hal itu. Kita sering merasa dan berpikir bahwa jalan kita adalah jalan yang paling benar. Jalan yang paling sesuai dengan kehendak-Nya. Jalan yang takkan salah. Jalan yang mutlak harus diikuti. Pada saat itulah, menurut kita, tidak lagi banyak jalan tetapi hanya ada satu jalan: lurus dan langsung kepada-Nya. Tetapi, ah, bagaimana jika kita salah? Atau bahkan bagaimana jika kita memang benar tetapi mereka pun benar? Haruskah kebenaran itu dijadikan mutlak? Satu dan tunggal? Jika itu yang kita inginkan, betapa membosankannya dunia ini. Betapa menyepelekan kehendak-Nya sendiri, yang menciptakan kita dengan kehendak bebas. Bebas untuk tumbuh dan berkembang. Bebas untuk mencari. Bebas untuk menemukan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk memuliakan nama-Nya. Dengan caranya masing-masing.

Manusia diciptakan dengan segala keunikannya. Manusia hidup dengan pemikiran dan perasaannya sendiri. Kita bahkan takkan paham dengan suatu kepastian mutlak tentang apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan oleh seseorang yang paling dekat dengan kita sekalipun, walau saat ini kita sedang berhadap-hadapan dan berbincang dengannya tentang banyak hal. Tidak. Kita harus menyadari keterbatasan kita dalam mengenal seseorang. Apalagi untuk memaksakan kehendak, keinginan dan cara kita agar dapat diikuti dengan pasti. Setiap orang memiliki pengalaman, cara dan lingkungan kehidupan yang berbeda. Setiap orang mempunyai cara pikir yang tak pernah akan sama. Setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda satu sama lain, bahkan dalam peristiwa yang sama sekali pun. Kita telah diciptakan oleh Pencipta yang sama, tetapi kita pasti memiliki panggilan yang berlain-lainan terhadap Sang Pencipta sesuai dengan bahasa kehidupan yang kita kuasai dan kita hidupi ekarang. Toh, tak ada yang aneh dengan hal itu. Tak ada yang aneh, sesuai dengan kebebasan yang telah diberikan kepada kita oleh-Nya sendiri.

Banyak jalan ke Roma. Dan kita masing-masing dapat memilih jalan yang mana yang terbaik bagi kita untuk mencari dan menemukan kedamaian dan kebahagiaan kita masing-masing. Untuk apakah kita merasa terpaksa atau memaksa diri menjadikan semua orang sama seperti yang kita ingini? Untuk apakah kita kehilangan kebahagiaan kita dalam hidup ini, kehilangan kesempatan untuk memuliakan nama-Nya dengan membagikan kebaikan kepada semua orang hanya karena kita hasratkan semua orang harus sama dengan kita? Apakah kita lalu merasa bahagia jika kita kemudian terbunuh atau membunuh demi apa yang kita pikirkan semua ini adalah kehendak-Nya? Tidakkah keragu-raguan selalu muncul dalam hati kecil kita walau tertutup dan tak kita dengarkan. Tidakkah suatu kekhawatiran akan perasaan yang bersalah, suatu kebimbangan terhadap kebenaran kita, suatu ketakutan jika kita ternyata salah dapat mengusik sanubari kita. Tidakkah itu benar?

Marilah kita kembali ke dalam hati nurani kita. Mari kita menyadari keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan kita terhadap kemungkinan untuk berbuat salah. Mari kita melihat manusia sebagai ciptaan yang sama dan setara. Kebenaran yang tidak pernah mutlak dalam kehidupan ini. Dan kita, ya kita semua, hanyalah manusia-manusia rapuh dan lemah yang tidak sempurna dan takkan pernah menjadi sempurna walaupun sekeras apapun kita hasratkan. Kebenaran yang kita miliki sesungguhnya hanyalah kebenaran kita semata, kebenaran pribadi yang sesuai dengan pendapat kita, tetapi takkan mungkin dipaksakan untuk harus sesuai dengan kebenaran orang lain. Sejenak, kita mungkin dapat melakukan hal itu, namun siapa yang mampu menyelami hati seorang manusia.


Yustinus Setyanta

SUATU HARI DI MALL

Hari minggu yang riuh di siang hari, kami berdiri di selasar antrium bulat mal yang berada di kota kami sambil menyaksikan lalu lalang ratusan orang di bawah, ada yang berjalan dengan cepat seakan di kejar sesuatu, ada pula yang berjalan dengan santai dan perlahan seakan ingin menikmati isi dunia ini.
Beberapa pasang muda-mudi berjalan beriringan sambil tertawa-tawa riuh, ada satu keluarga yang nampak rukun beriringan dengan sang ibu menggendong bayinya di dadanya, tiga orang dara cilik kami lihat berlari-lari di antara para penjual bunga plastik dan aksesoris remaja yang terletak di tengah ruang mal. Semua nampak hidup. Semua nampak bergerak. Tanpa henti.
Namun saat kami menatap wajah-wajah itu ratusan wajah dengan beragam raut muka. Tiba-tiba kami bertanya-tanya, apakah yang sedang dipikirkan mereka? Apa yang sedang mereka alami saat ini? Apakah mereka memang sedang gembira dan menikmati hidup atau saat ini sedang mengalami problem hidup yang berat dan ingin menghibur diri sambil menyendiri di tengah keramian mal.
Hari minggu di mal, hari minggu di tengah aroma kemewahan dan keanggunan terpacar dari gedung cantik, seakan menggakui suasana susah dan juga semua kesalahan dan kegagalan kita di latar belakang hidup nyata serupa bayang-bayang semu belaka. Hidup saat ini dan hanya saat ini.

Seorang SPG alat kecantikan nampak tertunduk di belakang etalase yang besar sambil melamun menyaksikan gelombang manusia yang datang dan pergi silih berganti, hmmm.......sudahkah dia makan siang? Seorang pembersih yang sedang mengepel lantai mal sambil bersungut-sungut, apakah yang di pikirkannya? Seorang gadis yang sedang duduk sendiri sembari jari jemarinya yang manis menari-nari di atas pipet selulernya, sedang apakah dia? Sepasang muda-mudi sedang duduk di meja di ruang makan siap saji sambil bercakap-cakap, adakah mereka sedang memikirkan masa depan diantara deretan kemewahan yang menjauh dari kehidupan nyata mereka dan di manakah kita? Dimanakah kita? Dimanakah aku?
Berdiri di selasar bulat mal kami menyaksikan putaran kehidupan itu sambil memikirkan kami sendiri.
Namun saat kami pandang ratusan wajah yang lalu lalang datang dan pergi, wajah-wajah yang asing dan riwayat yang tak kami kenal di baliknya. Lalu apa artinya hidup kami sendiri. Ya.....kami hanya satu dari sekian banyak manusia dengan sekian banyak masalahnya masing-masing. Kami seorang biasa saja, bukan makhluk istimewa, karena tak seorang pun yang dapat mengatakan dirinya istimewa di hadapan sekian banyak alur kehidupan di dunia. Dengan tiba-tiba kami pun merasa satu dengan mereka semua. Ya....ternyata kita semua satu di dalam menghadapi kehidupan kita masing-masing, kita satu di tengah-tengah aneka pergolakkan hidup kita. Kita insan biasa dan tak bisa mengatakan bahwa derita kita lah yang berat. Pun tak bisa mengatakan bahwa kehidupan kitalah yang terhebat. Sebab kita hanya setitik kecil di antara kemaha-luasan dunia ini.
Wajah-wajah yang lalu lalang datang dan pergi, di ruang mewah mal yang dingin ber AC menyadarkan betapa semakin terasingnya kita satu sama lain saat kita hanya memikirkan kesusahan maupun kehebatan diri kita sendiri. Kita tidak sendirian menghadapi kenyataan hidup. Tidak. Kita tak pernah sendiri. Ingatlah hehehe........

Maka memang kita memandang hidup ini dengan keceriaan. Kita meyakinkan bahwa bukan dengan segala macam ambisi dan hasrat kita. Tetapi hanya dengan mengikuti teladan dari KRISTUS lah hidup kita akan bermakna, sebab kita semua hanya ciptaan, kita semua di bentuk untuk memuliakan namaNya semata, bukan demi nama kita.
Semoga jika saatnya tiba kita akan melayang kepadaNya sambil menyayikan lagu pujian baru untuk DIA, satu paduan suara dari sekian banyak insan ciptaan yang serasi indah menawan dan menetap di hatiNya. Amin.




Yustinus Setyanta

Jogja

Kesetian-Mu

Ya YESUS sahabatku...
Terima kasih untuk kesetiaanMu...
Bukan hanya saat jalanku lurus...
Tetapi justru saat aku terbawa arus...

Ya YESUS sahabatku...
Terima kasih untuk kesetiaanMu...
Bukan hanya ketika aku mengerti kehendakMu...
Tetapi juga saat tak tahu harus bagaimana aku...

Ya YESUS sahabatku...
Terima kasih untuk kesetiaanMu...
Bukan hanya saat termudah...
Tetapi justru saat tersulit...
Syukur ku meluap-luap bagiMu...
Tuk mengisi hari-hari ku...
Bermakna bersamaMu...

Mengarungi medan hidupku...
Menebarkan jalaku...
Menemukan kasihMu....
Dalam panggilan ku...
Dalam karya ku...
Ditempat yang dalam bersamaMu...


Yustinus Setyanta
                         

Secangkir Kopi

Jam lima empat belas tepat..
Secangkir kopi hangat..
Ku seruput..
Ahaaa...terasa nikmat..

Secangkir kopi..
Di pagi hari..
Di temani sepotong roti..
Guna menganjal perut ini..
Sebelum bergegas pergi..
Mengikuti misa harian pagi..
Dan mencari sepiring nasi..
Pun mengais rejeki..


Yustinus Setyanta
Jogja


Kamu

AIR SEGAR

Krisis air segar semakin mengancam. Banyak gedung apartemen yang dilengkapi dengan pompa berkekuatan besar sehingga mampu menghisap banyak air tanah dan menyalurkannya ke sekian puluh tingkat gedung itu. Rumah-rumah sekitar yang mengandalkan sumur dangkal atau pompa ukuran kecil segera terkena akibatnya. Air tanah lenyap begitu saja. Tidak sedikit yang akhirnya harus membeli air segar.

Dari Bait Allah mengalir air segar tanpa bisa dibendung. Mengalir terus ke luar, ke daerah sekitar, ke seluruh negeri. Begitu dahsyatnya kekuatan air segar itu, sehingga air asin pun menjadi tawar, dan segera muncul kehidupan baru. Rumah Tuhan, tempat kudus, adalah tempat istimewa. Bagi yang percaya, dari sanalah daya yang menyegarkan jiwa terus mengalir. Hati manusia yang seolah mati pun segera dihidupkan kembali. Bagi banyak orang, berada kembali sejenak di rumah Tuhan adalah sumber daya hidup. (bdk YEH 47:1-2, 8-9, 12).

Pelecehan rumah Tuhan selalu menimbulkan kemarahan. Yesus pun membersihkan Bait Allah yang menjadi simbol tubuh-Nya sendiri (bdk Yoh 2:13-22). Berada kembali di rumah Tuhan juga menjadi saat bagi manusia untuk menyadari kembali, bahwa tubuhnya adalah rumah Tuhan.
Jika terus diserukan, bahwa "Kota kediaman Allah yang Mahatinggi digembirakan oleh aliran sungai" (bdk Mzm 46), hal yang sama berlaku untuk kitaHati kita sebenarnya sudah merasakan, bahwa di rumah Tuhan itulah kita ikut menimba kegembiraan hidup.






Yustinus Setyanta
Jogja

BEJANA HATI

Bejana hati haruslah terisi penuh dengan kehidupan rohani pembawa berkat. Ingatlah Sang Penjunan telah membentuk bejana itu indah dalam pandangan kehidupan. Sang Penjunan membentuknya sesuai dengan kehendak-Nya bukan hanya untuk dinikmati saja tetapi untuk digunakan bagi kehidupan ini. Tahukah bagaimana bejana itu dibuat? Bejana dibentuk sedemikian rupa, jika hasilnya tidak baik, maka bejana itu dibentuk lagi, begitu seterusnya sampai dihasilkan bejana baik.

Itulah kasih Tuhan yang selalu memperbaharui kehidupan kita agar bejana hati kehidupan kita penuh dengan urapan dan berguna bagi kehidupan ini. Amin


Yustinus Setyanta
Jogja

HIDUP DIKASIHI-NYA

Meski ombak menghadang, layar kehidupan telah terkembang
Hujan, badai, ombak, pelangi, terang atau gelap tak menjadi halangan.
Kehidupan harus terus bergerak tanpa henti pantang untuk menyerah.
Sebab kita tahu bahwa sipemilik kehidupan juga tidak pernah berhenti untuk menjaga, melindungi dan memberkati kehidupan kita. Dia tidak pernah berhenti mengasihi hidup kita. Hidup kita dikasihi-Nya siang dan malam sebab Ia pernah berkata "sampai memutih rambutmu, Aku tetap Dia yang menggendong kamu."



Yustinus Setyanta
Jogja