Minggu, 20 November 2016

BERAPA






Berapa?





Berapa?

MULUTMU HARIMAUMU

Mulutmu Harimaumu
(Penggunaan Teknik Metafora Dalam Peribahasa Asli Indonesia).

Tidak, saya tidak bicara masalah kampanye pilkada ataupun melakukan provokasi. Saya mendapatkan pencerahan tentang penggunaan salah satu teknik dalam konseling khususnya play therapy dalam menggunakan metafora dari peribahasa asli kita. Hal ini tiba-tiba muncul di pemikiran saya karena pemberitaan belakangan ini. Saya tekankan dari awal bahwa ini adalah pencerahan yang saya dapat secara pribadi jadi besar kemungkinan pendapat saya ini tidak tepat, jadi bisa kita digunakan sebagai ajang diskusi dan kita sama-sama belajar hal baru. Saya belajar konseling sejak tahun 2002, belajar Satir Family Therapy tahun 2003, Hipnotherapy tahun 2010, dan Play Therapy tahun 2012 hingga sekarang. (Hmmmm.......kesannya kok saya ini sombong aloas pamer)

Saya setuju bahwa proses pembelajaran akan terus berlangsung sampai kita enggan menerima dan mencerna hal baru, bisa karena kita meninggal atau karena kita sangat bersikukuh dengan pendapat kita (ngga perlu nunggu mati). Salah satu teknik konseling yang saya pelajari adalah metafora. Banyak tokoh sejak jaman dahulu sampai para ahli di bidang psikologi mempelajari dan membahas tentang metafora, dari Virginia Satir bersama para tokoh pendiri NLP, Milton Erickson, hingga Joyce C Mills yang seminar serta workshopnya saya datangi saat Konferensi Play Therapy Asia di Bali bulan Oktober 2014 lalu. 




Menurut Joyce Mills dalam bukunya Therapeutic Metaphors for Children and the Child Within, metaphors atau metafora adalah bentuk dari bahasa yang bersifat simbolik yang digunakan selama berabad-abad sebagai sebuah metode pengajaran di berbagai bidang mulai dari kitab-kitab suci, tulisan suci pada Kabbalah, Zen Buddhism, puisi, cerita rakyat, dan cerita dongeng. Intinya menurut saya ini adalah bentuk warisan ajaran kebijaksanaan dari para pendahulu. Selama seminar dan workshop tersebut, saya disuguhi metafora yang juga disajikan dalam bentuk yang agak panjang yaitu Therapeutic Story atau cerita yang memiliki muatan kesembuhan psikologis. Joyce Mills banyak berbagi tentang metafora asli Hawaii. Metafora dan therapeutic story dari Hawaii dan negara-negara lain bukan saja indah didengar namun juga langsung memberikan makna yang mendalam tentang kehidupan. Satu kalimat metafora dapat mewakili makna dari omelan atau nasihat yang diberikan berjam-jam. Namun saya terusik dengan satu hal. Apakah Indonesia punya kekayaan kebajikan asli dalam bentuk metafora dan therapeutic story? 

Pikiran saya berputar keras, mencari-cari dan mengais-ngais ingatan tentang cerita rakyat atau dongeng semasa kecil, dari cerita kancil nyolong timun sampai malin kundang. OMG, kita punya ngga sih? Saya panik bukan kepalang. Apakah kita bukan bangsa yang bijaksana? Mugkin terlalu pesimis dan skeptis, saya berakhir dengan kepusingan dan kekecewaan. TAPIIIIIII... alhasil kebanyakan baca cerita tentang yah cacimakin,, dll saya menemukan kekayaan asli bangsa kita dalam bentuk metafora di peribahasa kita. 

Peribahasa yang paling populer jika membahas (maaf) bacot orang lain adalah "Mulutmu Harimaumu". Ada hal yang unik disini, seperti halnya kesalahan klasik dan klise yang enggan bertanggung jawab secara mandiri atas pemikiran dan perasaan kita (ciri khas orang insecure), sehingga yang salah pasti orang lain seakan-akan kita yakin kalau kita yang ngebacot harusnya ngga jadi masalah buat orang lain oleh sebab itu peribahasa ini hanya pakai kata -MU, bukan kata-KU. Namun terlepas dari itu, HOREEEEEEEE, kita wajib berbanggalah bahwa ada bentuk metafora kebajikan dalam makna peribahasa asli Indonesia ini, yang intinya berhati-hati dan berpikirlah sebelum berbicara. Karena apa yang KAMU bicarakan bisa menyakiti orang lain (termasuk aku) dan bisa membawa petaka bagiMU (si aku kaga ikutan tanggung jawab, karena sibuk menghakimi dan tersakiti) ooooh ironis sekali warisan budaya yang menanamkan untuk menjadi korban dan menyalahkan orang lain. 



Pertanyaan yang bagus berikutnya adalah kenapa yang dipilih adalah harimau? kenapa bukan "mulutmu meongmu"? secara otomatis otak kita membedakan harimau dan meong (kucing imut). Ya bedalah impresinya, harimau serem sedangkan meong unyuuuuu. Disinilah letaknya kekuatan simbol dari teknik metafora. Segala sesuatu yang dianggap serem, oleh ahli psikoanalisa Carl Jung dikatakan sebagai shadow atau bayangan yang artinya bagian sisi gelapnya kita sebagai manusia yang utuh. Hihihi melenceng dikit, artinya kalau kita merasa ngga punya sisi gelap maka kita bukan manusia yang utuh, iyalah isinya penyangkalan melulu /denial. Oke, balik lagi ke pokok bahasan. Dalam buku The Handbook of Sandplay Therapy ditulis oleh Barbara A. Turner, PhD yang bukunya tebel banget (bisa dijadiin ganjel pintu saat angin kencang) dan dijadikan "kitab" wajib bagi praktisi sandplay therapy, play therapy, dll. Didalamnya ditulis tentang shadow. Shadow menurut Barbara Turner mengadopsi dari teori Carl Jung, adalah bagian diri kita yang sebisa mungkin kita sembunyikan. 

Shadow ini adalah akumulasi dari pengalaman pahit, kelemahan, kualitas primitif yang tidak diterima oleh masyarakat umum, maka kualitas ini kita tekan dan sebisa mungkin kita sembunyikan. Sebetulnya shadow ini ngga jahat kalau ngga kita sangkal, kita proses sehingga kita bisa paham fungsi dan tau bagaimana cara mengendalikannya. Itulah kenapa di dalam kegiatan training play therapy ada proses mengenal dan mengendalikan shadow kita sebagai individu sehingga bisa lepas dari kepentingan pribadi saat menangani konseli yang sedang berproses mengenal shadownya sendiri. Shadow ini juga seringkali keluar dalam penggunaan media sandtray selama sesi. Lucunya, saat proses ini berlangsung selama training, shadow saya ya bentuknya harimau yang menakutkan, tapi setelah diproses bentuknya meong yang unyuuuu mirip kucing saya yang namanya Ming-ming yang kadang judes tapi bisa imut juga. Jadi kesimpulannya, metafora peribahasa "Mulutmu Harimaumu" memberikan makna bahwa kita wajib mengingatkan diri sendiri dan orang lain (bukan sekedar untuk menyalahkan atau menghakimi) untuk bertanggung jawab dan memproses shadow/kualitas primitif kita. Bukan disangkal tapi diproses. Dan berbanggalah karna kita punya metafora asli Indonesia. 

Salam ngga' nyambung. Karena hidup isinya mencari sambungan dari ribuan potongan yang ngga nyambung.

.





(Yustinus Setyanta)

Jumat, 18 November 2016

PELUKIS dan PEMUSIK




Sebuah paduan suara ingin mempersembahkan beberapa lagu. Mereka semua sudah berdiri rapi di atas panggung menantikan saat mulai bernyanyi. Namun pemimpin paduan suara tersebut tak bisa memulai karena hampir setiap orang yang ada dalam ruangan tersebut membuka mulut berbicara tanpa rela mendengarkan orang lain. Ruangan penuh dengan kegaduhan.

Pemimpin paduan suara tersebut memegang microphone dan berkata; “Saudara-saudari hadirin yang terkasih; Seorang pelukis menempatkan indahnya sebuah lukisan pada secarik kertas. Sedangkan musikus menempatkan pesona alunan musik pada keheningan. Sekarang Kami akan mempersembahkan alunan musik buat anda sekalian, namun anda diminta untuk memberikan kami keheningan.”

Sungguh kata-kata yang mujarab. Hadirin semuanya perlahan diam memberikan keheningan yang amat dibutuhkan bagi terciptanya alunan musik.

Bila pelukis menempatkan lukisan pada secarik kertas, dan seorang musikus menempatkan alunan musik pada keheningan, maka di manakah harus kita tempatkan iman kita? Iman tak hanya harus ditempatkan di bibir, tapi lebih dari itu, iman harus ditempatkan dalam hidup kita yang nyata setiap hari.















(Yustinus Setyanta)

Life Of Electrical Engineering

Senin, 14 November 2016

SUPERMOON

Fenomena langka supermoon alias bulan super. Fenomena ini langka terjadi, supermoon malam adalah yang terbesar kedua setelah supermoon 68 tahun yang lalu.

Pada 1948 jarak bulan 356.461 km dari bumi, dan pada 2016 jarak bulan adalah 356.500 km dari bumi. Masyarakat bisa membandingkan antara purnama malam nanti dengan purnama biasanya.




Foto pemberian seorang teman :





KATA-KATA

Kalau kata-kata kehilangan muara 
Ia kehilangan makna, bagai air kali menjadi bah

Bahasa adalah pamrih 
Aku dan kau berkasih

























(Yustinus Setyanta)

Sabtu, 12 November 2016

SEMARAK SAJAK

.


















1. SAJAK.

Ialah sajak bukan kata bijak 
Yang bikin penyair tidur nyenyak 
Membawanya mimpi sambil mendekap bahasa 
Dengkur penyair menjadi magma aksara.

2. SAJAK BAHASA 

Bahasa ialah hidup 
Ia tak sanggup 
Kesepian 
atau sendirian

Bahasa diterbangkan diharap jadi hujan 
Semua tambah segar 
Anak-anak tak bertengkar 
Tak ada debat berantakan

Apakah bahasa mulai sirna? 
Kueja tanda-tanda






3. SAJAK LETIH.
(seniman idealis)
Lapar kita semata mengingatkan 
Bahwa masih panjang perjalanan 
Ribuan kelokan menghadang di didepan 
Bila terhenti, lalu mencari nasi,

Terpampang perjalanan makin tersendat 
Tak akan pernah sampai tujuan-bila lambat 
Ke tempat kita berteduh dari siraman air hujan 
Dari kejaran angin malam, angin siang, juga debu jalanan

Mengalirlah di kali warisan lelulur 
Yang selalu penuh makna.

4. SAJAK GESIT.
( Seniman proposal )
Altar itu tak'kan tertemukan 
Bila engan meliuk naik turun mengikuti jalan
Yang tergambar di atlas 
Apapun harus dikerahkan 
Siapapun mesti mengolah retakan aspal 
Bila ingin menghirup atmosfir berbeda 
Yang sedikit menyejukan, atau bakan 
Mengamankan perut dari rasa lapar 
Yang bisa mendera siapa saja

Deretan angka adalah harapan yang dipasangnya 
Terdoa menembus cakrawala 
Meski kadang menyeret tawa 
Mengundang berjuta cerca


.




5. SAJAK LAPAR. 
(seniman penyuka danais)

Inilah saat yang ditunggu 
Nafas huruf yang selalu tersengal akan terlonggarkan 
Tak ada lagi asma aksara yang menyandra

Mari menari 
Menikmati melodi terkomposisi aroma wangi 
Sulingan belasan imaji

Gerak ritmis bukan untuk diri sendiri 
Memuaskan ribuan kepala yang haus sunguhan lengendari 
Sudah saatnya mencicipi 
Kapan lagi kalau bukan saat ini

Mari berpesta penuh kemeriahan 
Memanjakan kesenian....
Kesenian tak cuma kesenagan 
Yang sekedar untuk memuaskan 
Dalam sekecap mata

6. SAJAK WACANA. 
(seniman omdo : omog doang)
Lepasnya bianglala di cakrawala selatan 
Momen harus diabadikan 
Tak terduga, karena mengandung muatan 
Yang tak tertemukan di khayangan

Apalagi laut yang terpagari bukit-bukit 
Jadikan dongeng bagi anak-cucu nan cicit 
Taruh di museum agar semua orang terkenang 
Terbayang-bayang selalu mengenang

Anak, cucu, cicit diberi kebanggan 
Secuil masa lalu 
Bahwa leluhurnya mampu bertindak 
Bergerak dan ngawu-awu 
Bikin terpesona nuansa dimana saja 
Dengan kata-kata menukik gesit-melejit 
Membelah apa saja Di beranda mayapada

- Sepasang tokek ngekek 
- Tergema kisah

7. SAJAK WASPADA 
(seniman perayu)

Untuk meruntuhkan nyali 
Kata selalu dikedepankan
 Mencuatkan kegamangan, 
Mengindari kewajaran.

Tak ada salahnya debu 
Yang melekat pada tubuh dijadikan azimat 
Penarik simpati agar mau peduli

Kapan lagi menikmati kalau bukan kali ini?
Alam akan memaklumi 
Mengerti lalu menepi begitu saja 
Manusia punya nafsu 
Yang kadang melebihi hewani

: ah, sama saja dengan yang lain!






8. SAJAK RAKYAT 
(seniman pro rakyat)
Bagaimanapun laparku lebih penting 
Dari lapar para tetangga 
Eksistensiku juga ingin sampai singgasana 
Tentu saja tetap ingat ribuan yang nestapa

9. MELEPAS SAJAK
Pergilah, 
Sampai di sini aku mengantarmu 
Temui sendiri olehmu 
Tuan pembaca nyinyir

Ia akan menatapmu 
Memandangmu 
Dengan gayanya sok itu 
Bernafsu melucuti segenap hurufmu

Sampai gigil terakhir 
Ia ingin mengunjungimu langsung 
Pada kesempatan pertama: 
Adakah kau sungguh liat 
Atau hanya geliat mayat kalimat? 
Ketahuilah Ia mencurigai sangat

Aku telah mencoba 
Menempamu semampu bisa 
Kurelakan rembulan menyembunyikanmu 
Sampai genap merihmu 
Telah kurobohkan pula 
Rapuh struktur kisahmu 
Duka cerita bumi 
Dan sangit aria langit 
Aku tak tahu tapi 
Adakah sekaliannya cukup?

Pergilah, sana 
Aku melepasmu di sini saja 
Temui sendiri olehmu 
Tuan pembaca nyinyir itu.






(Yustinus Setyanta)

Jumat, 11 November 2016

ATTITUDE

If
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Is equal to
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Then
H+A+R+D+W+O+R+K =
8+1+18+4+23+15+18+11 =
98%
K+N+O+W+L+E+D+G+E =
11+14+15+23+12+5+4+7+5 =
96%
L+O+V+E=
12+15+22+5=
54%
L+U+C+K =
12+21+3+11 =
47%
None of them makes 100%
Then what makes 100% ???
Is it Money?
NO !!!
Leadership?
NO !!!
Every problem has a solution,
only if we perhaps change our
"ATTITUDE".
It is OUR ATTITUDE towards Life and Work that makes
OUR Life 100% Successful..
A+T+T+I+T+U+D+E =
1+20+20+9+20+21+4+5 =
100%




.

(Yustinus Setyanta)

Rabu, 09 November 2016

NON JUDGEMENTAL

"Ini orang sombong bangett !!!"

Dalam suatu kereta ekonomi non-AC yg lumayan panas, Seorang eksekutif muda, dengan jas elegan berdiri di disana. Sesak2an dengan penumpang lain.

Sesaat kemudian, ia membuka tablet Androidnya. Lebih besar tentu dibanding smartphone umumnya.

Semua penumpang menoleh padanya atau meliriknya. Apa batin mereka?

Seorang nenek-nenek membatin, 'Orang muda sekarang, kaya sedikit langsung pamer. Naik Ekonomi, pamer (an).'

Seorang emak2 membatin, 'Mudah2an suami saya ga senorak dia. Norak di kelas Ekonomi bukan hal terpuji.'

Seorang gadis ABG membatin, 'Keren sih keren, tapi ga banget deh sama gayanya. Kenapa ga naik AC kalau mau pamer begituan?'

Seorang pengusaha membatin, 'Sepertinya dia baru kenal 'kaya'. Atau dapat warisan. andai dia merasakan jerih pahit kehidupan; barang tentu tidak akan pamer barang itu di kelas Ekonomi. Kenapa ga naik AC sih?'

Seorang pemuka agama melirik, 'Andai dia belajar ilmu agama, tentu tidak sesombong itu, pamer!'

Seorang pelajar SMA membatin, 'Gue tau lo kaya. Tapi plis deh, lo ga perlu pamer gitu kalle' ke gua. Gua tuh ga butuh style elo. Kalo lo emang pengen diakuin, lo bisa out dari sini, terus naik kereta AC.. ill feel gue.'

Seorang tunawisma membatin, 'Orang ini terlalu sombong, ingin pamer di depan rakyat kecil.'

Ia memang sedang ada chat penting dengan para donatur. Chat tentang dana untuk membantu para korban kebanjiran.

Si eksekutif menyimpan kembali tabletnya di tas. Ia membatin, Alhamdulillah, akhirnya para donatur bersedia membantu. Alhamdulillah, ini kabar baik sekali. Lalu, ia sempatkan melihat kantong bajunya. Ada secarik tiket kereta ekonomi.

Ia membatin 'Tadi sempat tukar karcis dengan seorang nenek tua yang mau naik kereta sesak ini. Tidak tega saya. Biarlah dia yang naik kereta AC itu. Mudah-mudahan manfaat.:

Sahabat..
Begitu berbahaya nya penghakiman. Sebuah kebaikan, tindakan kasih, bisa berubah total menjadi kejahatan hanya karna persepsi kita.

#Jaga persepsi kita, semua tak perlu kita nilai seperti penampakannya #

*Jauhkanasumsi*😬
*Thinkpositive*👌
*Todaylesson*✍👍

Hubungan antar manusia memang kadang merepotkan, tetapi kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendirian saja. Meski begitu, kita juga harus pintar-pintar dalam bergaul dan memiliki seorang teman. Karena akan ada saja teman yang baik dan jahat. Namun kita tidak serta merta menghakimi namun lebih dari itu kita berusaha menjadi teman yang baik dan benar.








Membiasakan diri "non judgemental" (tidak menghakimi) berarti tidak memberi penilaian baik atau buruk, benar atau tidak, bagus atau jelek, tapi cukup mengamati terlebih dahulu apa yang dilihat, dengan demikian kita bisa melihat banyak perspektif.







When you judge another, you don't define them, you define yourself, Wayne W. Dyer.

.





(Yustinus Setyanta)

Selasa, 01 November 2016

KURSI DAN MEJA




Kita lebih menyukai kursi dibanding meja. Ya, karena keberadaan kursi erat terkati dengan tingkat kenyamanan kita saat duduk.

Sebaliknya, kita sering tak terlalu peduli dengan meja, sebab meja kerpa dipandang perlu hanya ketika kedua tangan kita butuh sandaran ketika melakukan aktivitas tertentu.

Di dunia sosial, budaya dan politik, "kursi" kerapa dijadikan simbol kekuasaan (yang nyaman dan menyenangkan); sementara "meja" sendiri menyimbolkan pekerjaan (manus).

Saat kita sekolah dan kuliah, di ruang kelas atau ruang perkuliahan kita diberi kursi lipat, yang tak terlalu nyaman untuk diduduki, dan sangat tidak nyaman dijadikan alas buku atau laptop saat mencatat.

Tak hanya itu, para guru dan dosen malah seringkali tak kebagian meja di ruang kantor yang bisa mereka jadikan sebagai tempat untuk mempersiapkan matapelajaran/matakuliah di kelas. Kalaupun ada, biasanya mereka hanya diberi meja kecil, yang bahkan tak muat menampung lembaran hasil ujian anak-anak didik yang akan mereka periksa.

Lain halnya dengan para kepala sekolah atau rektor. Mereka memiliki kursi empuk dan meja yang luas seperti yang digunakan oleh presiden, gubernur, bupati, camat dan lurah, bahkan kepala desa yang kini dimintain Pusat menghabiskan 1 milyar bantuan desa. Kursi dan meja berukuran lebih besar juga digunakan oleh bos-bos perusahaan.

Lantas mengapa bos-bos tadi harus menggunakan kursi empuk dan meja berukuran lebih luas? Yang pasti sih, kursi dan terutama meja kerja tadi pertama-tama adalah demi mempermudah mereka mengerjakan sesuatu di sana. 



Emangnya apa yang mereka lakukan di sana? Biasanya sih, di atas meja-meja tadi diletakkan timbunan arsip berupa proposal, laporan, dan berbagai arsip administratif lain. Dengan kursi empuk dan meja yang luas tersebut mereka hanya bisa mengerjakan 2 aktivitas.

Pertama adalah menandatangani atau memberi assessment untuk proposal, laporan dan sejenisnya, dan kedua, adalah memanggil bawahan untuk menjelaskan perihal berbagai arsip tadi.

Nah, bentuk, ukuran dan kualitas kenyamanan sebuah kursi dan meja ternyata juga bertautan dengan pengklasifikian golongan atau status para pekerja. Artinya, semakin keren kursi seseorang, maka ia adalah bos bergaji tinggi, tetapai kerjanya cuma duduk dan membubuhkan tanda tangan. Sebaliknya, bila kursinya biasa saja, apalagi hanya berukuran kecil, maka ia hanyalah manager atau staf biasa yang kerjanya sering ke lapangan.

Lain lagi dengan kualitas meja. Semakin bagus dan luas meja kerja seseorang, maka ia adalah seorang pemalas berstatus raja yang kerjanya duduk di kursi empuk dan menaruh kakinya di atas meja. Ya, kerjaan mereka, seperti telah disingguh di atas, tak lain hanya membubuhkan tandan tangan dan menulis memo.

Sebaliknya, semakain kecil meja kerja seseogan, maka pekerjaanny adalah merport semua yang terjadi dalam perusahaan dan selanjutnya, hasil reportnya tadi akan ia tumpuk di meja yang lebih luas milik bosnya.

Begitulah yang terjadi, di mana bentuk, ukuran, ornamen dari meja dan kursi biasanya terkait dengan jenis jabatan seseorang dan seberapa besar lembaga yang ia pimpin. Maka, seseorang tak semestinya bangga ketika ia punya ruang kerja sendiri yang dilengkapi dengan meja yang luas dan kursi empuk, karena sesungguhnya hal itu akan membuat dia sebagai manusia paling tidak kreatif.

Bagaimana tidak? Ia telah melewati masa studi secara formal selama kurang lebih 20 tahun, tetapi selaksa ilmu yang ia dapatkan tadi tak sempat ia praktikkan. Ya ialah... kerjanya aja cuma memeriksa dan menandatangani arsip-arsip yang bersifat administratif tadi. Paling-paling ia sesekali dan secara rutin memimpin rapat.




Makanya, seseorang tak punya alasan untuk berbangga diri punya ruangan yang dilengkapi kursi dan meja bermotif ukiran jepara di dalamnya, disaat ia hanya bisa melakukan tindakan yang sama seperti robot di dalamnya: menandanga tangani arsip dan memimpin rapat. Kecuali, dengan kursi dan meja tadi bisa melahirkan ide-ide kreatif yang bisa Anda ajarkan kepada bawahan sehingga Anda masih punya waktu untuk melakukan hal lain.

Bukankah dalam teori kepemimpinan dikatakan bahwa pemimpin ideal itu adalah pemimpin-pelayan? Ya, ia harus melakukan kewajibannya sebagai pemimpin, antara lain membubuhkan tanda tangan dan memimpin rapat untuk menentukan arah lembaga yang dipimpinnya, tetap serentak ia harus berani berbagi tugas dan tanggung jawab kepada bawahannya.

Untuk apa? Tentu saja agara sang pemimpin tadi masih punya waktu melihat, menyapa dan bergaul dengan customer / klien / pasukan / rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya. Hanya dengan cara itulah ia menolong institusi, perusahaan atau negara yang dipimpinnya.

.





(Yustinus Setyanta)