Jumat, 21 Agustus 2020

TIPE SEPEDA SESUAI DENGAN DIAGRAM SEPEDA

 



Mengenal Tipe Sepeda Sesuai dengan Diagram Sepeda

Fast = apabila anda tertarik dengan kecepatan maka sepeda triathlon adalah juaranya.

Rugged = tingkat ke kasaran jalan yang dihadapi seperti pegunungan yang berbatu. sepeda yang ini cocok dengan sepeda yg menggunakan suspensi.

Comforttable = tingkat kenyamanan semakin. digunakan untuk berkendara senyaman mungkin tanpa memperhitungkan kecepatan dan keandalan di jalan yang berbatu. sepeda yg cocok dalam pada jika mengedepankan kenyamanan yaitu sepeda
city bike, jenki, fixi.

Tire tread = berada pada sebelah kanan menunjukkan apabila semakin kebawah ban sepeda harus semakin menonjol untuk medan tanah, batu, dan pasir yg , apabila semakin keatas akan semakin tipis ban sepeda yg dibutuhkan yg berarti semakin halus medannya contoh seperti jalan raya beraspal.

Tire Width = lebar dari ban juga hampir sama dengan tire Tread semakin kebawah maka akan digunakan sepeda gunung atau montain bike. semakin keatas maka semakin kecil ban digunakan untuk sepeda yg mengedepankan kecepatan.

Saddle Dan Postur
yang d tunjukan pada sebelah kiri diagram. semakin keatas sadel sepedah akan semakin tipis dan potus tubuh semakin maju atau membungkuk posisi ini dunakan untuk memecah angin. semakin kebawah maka semakin tegak postur kita dan sadel akan semakin melebar demi kenyamanan dalam berkendara.

Sepeda Hybrid = perpaduan antara 2 titik temu kecepatan dan keandalan medan keras. sepeda ini cocok untuk kamu yang berkeliling d komplek rumahan atau pedesaan hanya untuk membeli makan diluar rumah tanpa harus menggunakan motor.
.
Sepeda commuter = perpaduan antara kecepatan dengan kenyamanan dalam berkendara. cocok untuk transportasi apabila ada barang bawaan banyak.
Commfort Bike = perpaduan antara keandalan medan terjal dengan kenyamanan. cocok sekali buat sepeda santai d desa.










(Yustinus Setyanta)

Rabu, 12 Agustus 2020

KENORMALAN BARU DARI SISI LOGIKA

Pada clotehan melalui tulisan saya ini  lebih mendekati kata kenormalan baru dari aspek logika dan realitas kekinian yang hidup di tengah-tengah kita. 



Secara sadar patut kita akui bahwa pandemi covid-19 ini telah mengubah banyak hal. Mulai kebiasaan sehari-hari hingga aturan dan perundangan yang menyertai.Sebagai bukti, mulai 18 Maret 2020 hingga hari ini, setiap hari, terutama saat keluar rumah, kita diwajibkan menggunakan masker. Begitu pun saat beribadah di masjid, misalnya, kita mesti mengatur jarak.Kondisi yang berbeda dari sebelumnya itu dilabeli sebagai kenormalan baru. 

Logika tentu saja bisa kita tebak bahwa saat ini kebiasaankebiasaan di atas, baik yang terkait dengan masker maupun dengan pengaturan jarak, dilabeli kenormalan baru. Artinya pula, kondisi kehidupan di saat covid-19 ini, walau tidak sama dengan keadaan sebelumnya, tetaplah anggap normal.

Nah, penyematan kata baru yang mengiringinya menegasikan bahwa kenormalan saat ini semu dan jauh dengan kenormalan yang dulu saat sebelum covid-19.Secara logika pula, kata kenormalan baru merupakan euforia dan sekaligus eufemisme. Disebut euforia karena kondisi kebebasan semu ini lebih dapat diterima masyarakat bila dibandingkan dengan pembatasan: harus tinggal di rumah atau karantina mandiri. 

Ketika kebebasan ‘bergerak’ diberikan, kata kenormalan baru pun muncul seiring sejalan.Begitu pun secara eufemisme, kata kenormalan baru menunjukkan pelembutan makna, yang mengesankan bahwa situasi saat ini sudah normal, hanya harus ada syarat yang mesti diterima, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, yakni protokol kesehatan.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kenormalan saat ini sesungguhnya tanpa kenormalan.

Jelas saja dapat dibuktikan, sebagai umat beragama kita tentunya juga  banyak beribadah di rumah ibadah. Tapi saat ini kita dibatasi dengan ketentuan.
Mestinya kita merapat barisan dalam peribadatan, malah saat ini kita dijauhkan.

Mestinya siswa atau pelajar mendapat edukasi dengan datang ke sekolah, tetapi keinginan belajar itu harus dipupus dalam-dalam karena lebih baik di rumah. Belum lagi kita mesti sering bersilaturahim, tetapi sekarang mesti dikurangi.Ini artinya lagi, kenormalan saat ini merupakan budaya, sikap, atau norma yang baru dan berbeda dengan yang sebelumnya. Alih-alih ingin saya ungkapkan bahwa normalnya hanya segini, loh. Bisa juga disampaikan dalam bahasa yang berbeda bahwa kenormalan saat ini ialah kenormalan yang mentok.

Ringkasnya dapat dipahami bahwa kita berada dalam kenormalan yang tidak normal. 

Saat ini kenormalan baru dipenuhi kenegasian dari kenormalan yang sesungguhnya. Selagi covid-19 masih mewabah, selama itu pula kenormalan tidak ada.Terakhir. Kita bisa merasakan kenormalan lagi bila semuanya sebangun dan sepola dengan kondisi sebelumnya. 

Namun, bila itu belum terjadi, kenormalan itu sejatinya tidak akan pernah kita rasakan lagi.Lenyap dan pergi di antara ganasnya bakteri. Artinya pula, kenormalan baru merupakan standar baru karena kita tidak atau belum menemukan kenormalan yang sejati..









(Yustinus Setyanta)

Senin, 10 Agustus 2020

TREND LAMA MUNCUL KEMBALI

Di tengah-tengah pandemi ini kembali muncul tren lama yaitu bersepeda. Masyarakat secara tiba-tiba banyak yang menyukai olahraga ini dari usia muda hingga tua.

Bersepeda rupanya menjadi salah satu pilihan olahraga dan transportasi paling diminati sejak pandemi Covid-19 mewabah di seluruh dunia. Hal itu tampak dari larisnya penjualan sepeda di sejumlah toko di Indonesia.



Menjelang diberlakukannya cara hidup new normal yang mengimbau orang agar menjaga jarak, banyak orang beralih ke transportasi seperti sepeda, yang memungkinkan mereka tidak terlalu berdekatan dengan orang lain.

Maka toko-toko sepeda pun kembali didatangi pembeli, seperti saat bersepeda menjadi tren beberapa tahun lalu.

Entah kenapa trend lama itu muncul kembali disebabkan karena kebosanan stay at home atau muncul kesadaran baru sebagaimana dikumpulkannya istilah atau new normal; kesadaran kepada kendaraan yang ramah lingkungan sekaligus dapat menyehatkan badan.

Masyarakat diserang virus sepeda. Akankah bertahan lama maupun seterusnya atau hanya hangat-hangat tai ayam. 😄😁😁 






(Yustinus Setyanta)

KATA; NEW NORMAL


Kira-kira sekitar menjelang 1 Juni 2020, kata normal baru muncul di banyak media, utamanya media sosial. Sesak tak tertampung silih berganti. Kegembiraan dan kepasrahan pun menyertai kemunculan frasa yang diterjemahkan mentah-mentah dari new normal.

Tentu saja sudah terlalu banyak kalangan yang memaknai kata normal baru. Semua terurai dari pusat kota hingga pelosok desa. Dari gedung DPR hingga warung kopi. Berkomentar positif dan negatif. Subjektif.

Secara bahasa pun ada sisi yang mesti diungkapan: pembentukan dan makna. Keduanya berkelindan menyertai frasa normal baru. *Dari asalnya, kata normal baru segaris dengan new normal. Telak. Hanya berbeda dari hukum DM dan MD belaka. Bila diungkap dari kelas kata, baik kata normal maupun kata baru sama-sama berkelas adjektiva. 

Sepintas konstruksi seperti itu biasa saja. Tak ada masalah. Akan tetapi, dalam kacamata bahasa, frasa baru ini rupanya tidak biasa. Aneh dan janggal. Apa pasalnya?Sebagai pembanding, lihatlah gabungan kata berikut: mobil baru, rumah mewah, dan gadis cantik. Dalam gabungan itu, konstruksi frasa berasal dari kelas kata yang berbeda. Mobil baru dibentuk dari kata benda (mobil) dan kata sifat (baru). Begitu pula pasangan rumah mewah dan gadis cantik. Ketiga sebangun.Sekarang bandingkan kembali dengan kata normal baru. Keduanya berkelas adjektiva. Yang notabene tidak lazim dalam konstruksi frasa bahasa Indonesia. Akan sangat janggal bila kita membuat gabungan kata mewah baru, cantik baru, dan lainnya.Memang di dalam gabungan bahasa kita, ada konstruksi cantik jelita, hitam manis, dan pahit getir. Yang semua kata pembentuknya berkelas sama: adjektiva. Akan tetapi, gabungan ini menunjukkan kesetaraan. 

Sebagai bukti, di antara gabungan itu dapat ditambahkan konjungsi ‘dan’ yang tidak mengubah makna. Tak aneh bila membaca kata cantik dan jelita, hitam dan manis, serta pahit dan getir.Sebaliknya, cobalah tambahkan kata ‘dan’ di antara kata normal baru! Aneh, kan? Kalaupun dipaksakan, makna sudah menjauh dari yang diharapkan. 





Artinya, kata normal baru tidaklah bisa digunakan apa adanya. Padanan dari new normal itu semestinya diturunkan menjadi ‘kenormalan baru’. Bisa juga dikonstruksikan menjadi ‘pola hidup baru’ atau ‘tatanan hidup baru’. *Sekarang secara makna. Kata normal berantonim dengan abnormal (baca: tidak normal). Begitu pun kata normal baru berlawan arti dengan dua frasa sekaligus, yakni normal lama atau abnormal lama. Mengapa begitu?Saat ini banyak pengulas berita menyebut ‘Indonesia akan memasuki era normal baru’. Artinya, kita akan atau telah meninggal era tidak normal lama atau abnormal lama.

Padahal, esensi dari frasa normal baru hanya mengantonimkan kata baru dan lama. Era sebelum pandemi covid-19 ialah normal dan setelah pandemi saat ini juga normal. Hanya ada perilaku yang membedakan kedua kenormalan itu.Di era kenormalan baru ada perilaku baru, yakni mesti menggunakan masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan sosial melebihi perilaku di era kenormalan lama. Artinya pula, masyarakat kenormalan baru berperilaku hidup lebih sehat. Bukan sebaliknya, yakni era kenormalan baru yang individualistis, koruptif, sekuler, dan hedonisme.

Terakhir, selamat datang kenormalan baru dan selamat datang juga kenormalan berbahasa Indonesia.













(Yustinus Setyanta)