Rabu, 30 Juli 2014

MUTIARA TERINDAH

Seorang remaja puteri mendengar bacaan Injil yang menyebut soal "mutiara yang indah", pikirannya langsung melayang terbang pada aneka bentuk perhiasan yang bisa dipasangkan dengan mutiara itu. Ada gambaran cincin, 'ah....mutiara mungkin terlalu besar untuk dipakai cincin. Muncul gambaran lagi subang atau anting, 'ah...untuk anting mungkin juga terlalu besar, nanti telinganya malah jadi sakit. Oh.....iya yang pas untuk liontin. Dengan kalung emas dan liontin berupa mutiara besar, wah tentu akan membuat siapapun yang melihatnya terkagum-kagum.

Gambaran yang muncul di benak si remaja puteri itu rupanya juga dilihat oleh Yesus. Si remaja puteri tersenyum lalu meniup pelan dan gambaran-gambaran itupun hilang.

Yustinus Setyanta.



Senin, 28 Juli 2014

LEBARAN

Lebaran itu dirindukan. Sekaligus menyenangkan dan mengenyangkan. Setiap lebaran, mungkin slalu berarti saat untuk berkumpul dan bercengkerama kembali dengan keluarga yang selama setahun seakan-akan terlupakan. Mengunjungi kerabat atau tetangga kanan-kiri yang merayakan lebaran. Saat untuk saling menyapa sekaligus untuk kembali menegaskan bahwa walau ada perbedaan, kita semua adalah satu. Dan tetap satu.

Maka dalam situasi dimana hampir setiap saat kita membaca tentang pertentangan antar agama, antar suku dan antar keyakinan, ternyata bahwa, acapkali yang menjadi berita utama hanyalah sebuah noktah kecil di area yang luas, amat luas. Bahkan acapkali tak terasakan di dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dari kita. Apa artinya perbedaan dalam hubungan antar kekerabatan. Antar manusia. Tidakkah setiap saat kita masih dapat tertawa lepas, berbincang hingga tanpa menyadari adanya perbedaan satu sama lain.
Yah, lebaran adalah saat untuk merefleksikan diri bahwa walau hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda-beda, walau situasi yang di hadapi setiap hari dan setiap saat berlain-lainan, kita semua tetap hanyalah manusia yang punya keterbatasan. Kita semua memiliki awal dan akhir. Dan di suatu ujung nanti, kita akan menuju ke alam baru dimana yang ada hanyalah keabadian dan ketunggalan tanpa diperhitungkan siapa, apa dan bagaimana kita jalani hidup ini. Di ujung itulah, kita akan mempertanggung-jawabkan apa yang telah kita lakukan, bukan siapa dan bukan apa yang kita miliki.
Sebagai insan yang rapuh, yang tak luput dari salah, walau sering merasa sekuat baja, tentunya juga harus menyadari keterbatasan diri. Keterbatasan kekuasaan-kekuatan dan kekayaan. Sebab manusia bukan hidup untuk itu. Tidak, bukan untuk itu. Tetapi demi dan terutama untuk saling mempertautkan diri, saling bermanfaat dan saling memahami kelemahan masing-masing. Dan ketika saat ini lebaran tiba, inilah saatnya untuk membuang segala kebebalan dalam memandang kehidupan sebagai sekat-sekat yang pasti. Kamu. Aku. Kami. Mereka. Kalian. Semua hanya kata dalam dunia yang tak punya arti saat kelak kita semua menyatu di alam keabadian. Di hadapan Sang Pencipta hanya akan ada kita. Yah, kita semua. Maka saat lebaran, saat aku berkumpul bersama keluarga yang berbeda keyakinan, dan saling berseloroh tentang apa saja, menertawakan satu sama lain termasuk menertawakan diri sendiri, bukankah perbedaan itu bukan sebuah kutukan melainkan sebuah anugerah yang harus kita terima, kita jalani dan kita manfaatkan demi memuliakan nama-Nya. Karena untuk itulah kita diciptakan.


Jadi bukan dengan perasaan tertekan karena harus saling mengunjungi, tetapi dengan semangat bahwa hari lebaran ini tali persaudaraan disatukan kembali. Saling bersilaturahmi. Saling bercanda. Bahkan mungkin saling menikmati santapan yang enak dan mengenyangkan perut sekaligus jiwa kita.

Selamat merayakan hari raya Idul Fitri 14.... H.
Mohon maaf lahir dan batin kepada semuanya.





Yustinus Setyanta

Jumat, 25 Juli 2014

AWAN

Terlihat datar
Terlihat tanpa emosi ..
Terlihat diam walaupun sebenarnyadia bergerak
Ada yang mencelanya karena ia terang
Ada yang mencelanya karena dia mendung
Tapi ia tetap berpendirian teguh…
Apapun yang dikatakan mereka…
Karena ia telah menerima perintah-Nya


Bahkan dalam kemarahannya sebenarnya ia bermaksud baik…
Kadang memutar
Kadang menyambar
Semua ia lakukan atas perintah-Nya…

Keindahannya adalah ketika ia tenang
Membuat damai orang yang melihatnya
Ketika ia dibelakang gunung
Kerlihat pemandangan gunung tetpa mempesona...
Ketika ia di belakang pantai
Melengkapi keindahan pemandangan pantai
Walau tak ada orang yang mengatakan pemandangan awan...
ia cukup puas menjadi pelengkap pemandangan lain…











Puisi Awan
Di atas muka laut cerah, kau menipis
Di cakrawala kau tebal, menutupi langit
Dan di pegununganpun kau disana
Dikala kau berkawan mengabut hingga berawan
Di saat itu bumi menanti datangnya hujan
Awan ..kau bergerak mengikuti angin
Menyatu dan berpencar keindahan

Menggumpal-gumpal putih bagai salju
Berbaring datar laksana permadani
Mengkristal memberi warna pelangi
Meleleh membasahi bumi

Awan .. engkau bergerak menerpa bukit
Menonjolkan birunya langit
Menampakan warna pegunungan
Menanda bahwa disana alam sedang berharap

Sungai menanti datangnya air
Dan kesejukan yang ditunggu oleh tanaman dan satwa
Awan ..kau lah isyarat
Di depan dan di mana saja pertanda hujan dan badai
Di ufuk pertanda kita dalam perlindungan atas panas terik
Dikala kau membentuk dan memposisi diri
Tersadarlah bahwa dimana aku berada
Yustinus Setyanta

Kamis, 24 Juli 2014

PENABUR

(Matius 13:1-9)

Refleksi: Aku? Aku seorang penabur? Ah...bercanda...lu! Mana mungkin aku menjadi penabur yang Dia maksudkan? Tetapi soal muri, aku memang murid-Nya, setidaknya demikianlah aku selalu menempatkan diri, dan selalu kuyakini bahwa aku adalah murid-Nya. Kalau tugas utama seorang murid adalah mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat donk..., itu pasti. Yang selama ini tak pernah terpikirkan adalah, bahwa Kerajaan Sorga itu sama juga artinya dengan menjadi penabur. Sebagai penabur, tak mungkin jika aku hanya berkutat di dalam dan tidak mau keluar. Sebagai penabur tidak mungkin aku menaburkan benih kepada sesama penabur, sehingga kami saling melempar benih satu sama lain. Sebagai penabur tidak mungkin aku hanya diam di dalam dan takut untuk keluar. Tapi kenyataanya memang demikian, aku takut keluar. Aku kuwatir bahwa benih yang aku taburkan hanya akan sia-sia belaka. Paling juga nanti dimakan burung, nanti menyelip diantara bebatuan, atau tergencet oleh smak duri. Bukankah akan sia-sia saja aku melakukannya? Rupanya pikiranku sama juga dengan teman-teman penabur yang lain, maka ketika keluarpun kami menuju ke ladang yang sama. Nah di ladang yang tidak seberapa luas itu kami menabur dan berusaha jangan sampai yang kami taburkan terbang keluar. Jadilah diantara kami saling menabur satu sama lain.

Menggelikan? Ya.....memang sangat mengelikan jadinya. Maka kuputusankan untuk berani keluar. Aku tidak lagi berpikir benih itu nanti akan jatuh ke mana. Aku hanya berharap bahwa diantara yang dimakan burung, yang jatuh bebatuan, atau yang jatuh di semak duri itu, masih ada juga yang jatuh di tanah yang subur. Entah tanah yang subur itu milikku atau bukan, yang penting aku menaburkan benih. Setidaknya tempat jatuhnya benih itu bisa menjadi bahan refleksi bagi diriku sendiri. Apakah hatiku itu serupa tanah berbatu, ataukan serupa semak belukar.




Yustinus Setyanta

Senin, 21 Juli 2014

::. TEGA .::

Bukan kehancuran yang menyayatnya
Luluh lantak pun bukan apa-apa
Yang memilukan adalah sejaksa tanya
Mengapa fakta?

Engkau selama ini seaku seirama
tak sejenak lambaikan hati
Hanya karna si penghasut itu apa?
atau karena tetes madu duniawi

Kami yang telah membisu
mengabu hanya mampu diam
Nasehatku
kau tikam..

Yang Ku-pinta tak mahal
yang Ku-iba darimu tak sulit
Sesungguhnya Ku-ingin hatimu
maukah kau beri seutuhnya?

Sepanjang nafas keabadian-Ku..


(Yustinus Setyanta)

TAK TEGA

Tawar menawar di pasar itu biasa, hal yang lumrah. Seorang ibu mencoba menawar sesisir pisang yang ditawarkan oleh pedagang 15 ribu rupiah dengan penawaran 5 ribu rupiah. Mendengar tawaran itu spontan si Pedagang berkomentar, wah bu, kalau segitu sih lebih baik ibu nanam pisang sendiri saja, nanti kalau sudah masak ku beli deh dengan harga 8 ribu sesisirnya."

Tuhan tentu tidak akan tega berkomentar sebagaimana si pedagang ketika kita menawar untuk mendapatkan rahmat sebesar-besarnya dengan melalui penderitaan sekecil-kecilnya.














Yustinus Setyanta

::. SEMBURAT RONA JINGGA DI BATAS CAKRAWALA SENJA .::

Di antara detak langkah hari
Dan biarkan waktu bercerita
Tentang kisah kasih kehidupan ini
Hingga tahu senja itu jadi miliknya

Di ambang senja berona jingga

Membahasa jiwa dengan sapa
Lewat sinar hangat mentari
Ku sentuh dirimu dengan seru hati

Semburat rona jingga

Di batas cakrawala senja
Yang mengulung siang keperaduan
Merambat remang dengan sepoi dingin

Senja di antara lembayung

Ketika usai tuntutan remang
Berarak dengan gegas pada malam
Dengan damai kala sunyi terbaring berdiam

(Yustinus Setyanta)




RINTIK-RINTIK GERIMIS DI SORE HARI


Rintik-rintik gerimis di suatu sore. Dingin. Secangkir kopi hitam yang mengepul. Diana Krall menyanyi dari speaker. Diseling suara guruh yang memekakkan telinga. Di luar langit sangat kelam. Tetapi entah mengapa, aku ingin bernyanyi tentang dedaunan yang basah. Tetesan air di dahan dan ranting. Tentang kehidupan yang jauh terlupakan di sudut dunia nan terpencil. Dan rasa sunyi yang memenuhi udara. Serta perasaan yang bergumpal dalam pikiran. Mengalir dalam waktu. Mengalir bersama waktu. Mengalir....

Bagaikan air yang tergenang memenuhi halaman depan rumahku, pikiranku mengalir kemana rasa hati membawanya pergi. Berhembus bersama angin yang bertiup. Dan lagu. Dan musik indah ini. Hidup bagaikan mimpi yang berputar dalam lelap bumi. Bagaikan mimpi yang muncul dari kegelapan sambil menjinjing harapan yang tak terpenuhi. Sebentar lagi hari akan malam. Tetapi besok segera pula tiba. Hari pergi dan datang. Hidup ini bagaikan tarian sang lagu yang kadang lambat dan kadang cepat tetapi takkan pernah ingin kuhentikan. Karena dia indah. Sungguh indah.

Alam adalah misteri. Ia menyimpan masa lalunya dalam kesadaran. Ia menampakkan kekiniannya dalam perasaan. Ia menyembunyikan masa depannya dalam impian. Dan semuanya membawa impian akan hidup pada satu titik utama: harapan. Yang mana, tanpa itu, semuanya terasa sia-sia. Rintik-rintik gerimis di sere hari. Dingin. Secangkir kopi hitam. Irama musik. Suara guruh. Jalanan lengang. Tetapi inilah hidup yang di sadari. Inilah hidup yang nyata.


Yustinus Setyanta

::. DI BATAS CAKRAWALA PAGI .::

Malam merangkak ke penghujung
Menelusuri gulita dengan hembusan
Singgah di tingkupan reranting
Membelai lembut helaian dahan

Pun ketika malam telah bubar
Di batas cakrawala pagi
Demi menemani sang dewi fajar
Ianya tak sudi beranjak pergi

Pun ianya menyapa kembali

Menari dipucuk-pucuk mahkota
Hingga dinginnya menusuki
Pori-pori jelaga sukma

Ketika selesai remang

Di binarnya wajah pagi
Dengan celoteh burung-burung
Pada lembaran hari

Di ufuk timur kilau sinar surya..

Mengiringnya pada tahta siang...
Untuk selalu setia mengiringi..
Jejak hari tanpa jeda...

(Yustinus Setyanta)





RONA PAGI

Matahari mulai mengintip dari balik pepohonan, sinarnya perlahan menerobos di semua penjuru jagat raya. Tapak panorama elok di ufuk timur dengan selaput jingga keemasan, embun pagi menyiram bumi, udara pagi yang sejuk menambah ketentraman di hati orang-orang yang menikmatinya. Burung-burung pun tak mau ketinggalan menyemarakkan suasana pagi dengan suara kicau khas yang merdu, bunga-bunga di taman pun nampak mekar segar. Inilah nikmat sehat pagi yang di berikan TUHAN pada mahkluk-Nya. Nikmati dengan penuh rasa syukur.







Yustinus Setyanta

NASIB SEBUAH FIRMAN

Beginilah firman Tuhan, "Seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke sana melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman yang keluar dari mulut-Ku: Ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan padanya"
Adakah bagian dari kalimat tersebut yang tidak menyangkut diri kita sendiri? Bila ada, sungguh kasihan Nabi Yesaya yang telah menyampaikan Fiman itu, dan kasihan pula Lektor yang telah membacakannya untuk kita.







 









Yustinus Setyanta

::. DI BATAS CAKRAWALA SENJA .::

Di ambang senja..
semburat berona jingga..
Membahasa jiwa..
dengan sapa...

Lembayung mengukir pena...
di penghujung teratak..
Menjuntai tepian..
kasturi semerbak mewangi..

Indah taman hati...
temeram larung jiwa..
Mesra sapa teduh..
Di batas cakrawala senja..
Penghantar kidung malam...


Yustinus Setyanta


  
Berfirmanlah Allah: "Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air." Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua. (Kejadian 1:6-8)

TAK SENDIRI

Di tempat layanan umum seperti bank, kantor pos, dll. Biasanya disediakan ruang tunggu yang cukup luas. Sembari menunggu mereka asyik dengan gadget atau membaca buku maupun majalah, atau koran untuk membunuh waktu. Bisa dibayangkan jika ada larangan membawa gadget/hp atau buku di ruang tersebut, betapa menjemukan berlama-lama menunggu tanpa bisa melakukan apapun. Terlebih jika datang sendirian, tidak ada seorang pun yang dikenal dan bisa diajak bicara.

Bagi orang beriman, situasi seperti itu bukan masalah melainkan suatu kesempatan emas karena bisa berdoa, mengoreksi batin.

Ketika berada dalam kesendirian, seorang yang beriman tidak akan pernah merasa sendiri. Dia ada bersama Tuhan dan bisa berbicara dengan-Nya kapan pun.



Yustinus Setyanta.

Kamis, 17 Juli 2014

Desir Melambai

Bisik gemruncing..
Berarak damai membelai ranting..
Kuasa rasa menusuk..
Bagai jarum dalam kehalusan pori-pori jiwa..

Desir melambai ke samudera mengikis butiran yang menetes..
Dalam wujud beningnya embun..
Yang menderai kalas..
Halus menyentuh pucuk daun..

Sejuknya bumi, indahnya langit..
Bergelombang obak di laut..
Kunikmati dalam relung puji syukurku..
Terima kasih Tuhan, Kau berikan nafas dalam hidupku..

Hingga aku menikmati..
Berjuta rasa yang Engkau Berikan pada ku..
Aku masih berdiri disini, di muka bumi..
Menikmati keindahan rasa dari-Mu..



Yustinus Setyanta


NASIB TERNAK DOMBA

Meskipun pepulasi domba di indonesia katakanlah cukup besar, saya kok jarang sekali bahkan tak menjumpai daging domba dijual di pasar atau pasar sewalayan. Yang ada hanya daging kambing dan tentu saja daging sapi. Warung sate dan gule (gulai) domba juga tidak pernah saya temui. Yang ada selalu sate, tongseng, dan gule kambing.

Apakah domba yang dipelihara peternak Indonesia itu tak pernah dipotong? Di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ternyata domba-domba itu juga rutin dipotong, dikuliti, dibersihkan, dan dagingnya dijual. Pada saat itulah nama 'domba' menghilang, berganti dengan kambing. Selama ini daging domba memang selalu dipasarkan dengan sebutan "daging kambing". Ketika disate dan digule pun, namanya bukan sate dan gule domba, melainkan "sate dan gule kambing". Dalam bahasa jawa, kambing dan domba memang sama-sama disebut wedus, yakni wedus jowo dan wedus gembel. Dan anak dari wedus itu namanya cempe.

Jadi, menurut orang jawa, domba memang masih tergolong jenis kambing dengan bulu keriting (gembel). Dalam bahasa jawa halus, kambing disebut mendo atau mendo jawi. Domba disebut mendo gembel. Maka, ketika dipotong pun, daging dua jenis ternak ini juga sama-sama disebut iwak wedus atau ulam mendo. Entri wedus dalam Bausastra Jawa berpenjelasan: menda, kewan asikil papat kalebu wewilangane kewan rajakaya, jinise warna-warna kayata: gembel, jawa, lan sakpiturute. Domba tak pernah punya nama khusus dalam kosakata bahasa jawa. Pengaruh bahasa jawa ini berimbas ke bahasa indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), enti kambing dijelaskan sebagai binatang pemamah biak dan pemakan rumput (daun-daunan), berkuku genap, tanduknya bergeronggang, biasanya dipelihara sebagai hewan ternak untuk diambil daging, susu, kadang-kadang bulunya; capra. Karena domba masih dianggap jenis kambing, entri domba dijelaskan sebagai 'kambing yang berbulu tebal (bulunya dipakai bahan membuat wol); kambing kibas. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, entri Domba 'kambing kibas'. Kambing binatang sebangsa domba, ada banyak macamnya seperti kambing kacang, kambing benggala, kambing kibas, dsb.

Kurang lebih sama dengan KBBI, Ensiklopedi Indonesia menjelaskan domba sebagai biri-biri, termasuk binatang memamah biak, ternak kecil; nama lain: Gibas. Sementara itu, entri kambing diberi penjelasan agak lebih panjang: (Latin : Capra) hewan pemamah biak, berkuku genap dengan tanduk geronggang, leher pendek, dahi menjorok ke depan, hidung datar serta tanduk pipih ke samping. Kambing jantan berjenggot, makanannya tumbuh-tumbuhan, banyak dipelihara di seluruh Indonesia; dikenal dua jenis: jenis perah dan jenis potongan.

Dalam Ensiklopedi Umum Indonesia, entri domba dan kambing sama-sama diberi penjelasan cukup lengkap. Kambing (goat), genus Capra, familia Bovidae, binatang menyusui, memamah biak, bertanduk yang berongga, erat hubungannya dengan domba. Kambing dipelihara untung dagingnya, air susunya, dan kulitnya. Di Indonesia dikenal kambing kacang yang kecil-kecil dan kambing Etawah yang besar dengan telinganya yang bergantung ke bawah. Entri domba diberi penjelasan sebagai berikut. Domba atau biri-biri (Inggris: sheep), binatang menyusui, memamah biak, genus Ovis, familia Bovidae, masih liar atau sudah dijinakkan sebagai ternak. Domba dekat sekali hubungannya dengan kambing, bedanya: tanduk domba spiral, domba jantan, tidak berbau, jenggotnya seperti kambing jantan. Domba dipelihara untuk wolnya yang lembut, daging dan kulitnya. Penyebutan "genus ovia" merupakakan salah tulis atau salah cetak sebab yang bener genus ovis.

Tampaknya para penyusun KBBI hanya berpatokan pada Bausastra Jawa dan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Ensiklopedi Umum Bahasa Indonesia tampaknya tak mereka lihat, apalagi Webster's Dictionary dan Encyelopedia Britanica.


Yustinus Setyanta.

Pagi Dengan Rintik Gerimis

Detak jantung pagi..
Nafas aroma pagi..
Saat pagi menyentuh tubuh ini..
Semua nyata mimpi terdapati..

Pagi dengan rintik gerimis..
Pada lembaran hari..
Burung kecil bernyanyi..
Ikut menyemarakan hari dengan riang...

Kabut pagi dengan berselimut dingin..
Enggan beranjak dari ruang peraduan..
Untukmu pagi..
Aku menyentuhmu..


Yustinus Setyanta



SERBA MAHA

- Matius 11:25-27
- - - - - - - - - - - - - 
Allah itu Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Rahim, Allah itu Maha Besar, kita semua tahu hal itu. Kita semua diajarkan untuk meyakini semua itu. Kita tahu Allah itu siapa dan bagaimana dalam rumusan yang serba Maha itu. Tetapi jika mencoba secarik kertas dan cobalah untuk menggambarkan-Nya? Adakah kita akan mampu menggambarkan-Nya secara tepat sekalipun hanya di dalam benak kita dalam angan-angan kita?

Ya, sungguh kita tidak akan mampu melakukannya. Tidak ada seorangpun yang akan mampu menggambarkan diri Allah secara pasti, secara rinci, secara detail. Allah itu misteri, akhirnya itulah yang kita pahami. Sebagai misteri, maka tidak akan mungkin bisa diselami secara menyeluruh, tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Karena jika Allah bisa dipahami, dan diketahui seluruh-Nya oleh manusia, Dia bukan lagi misteri dan Dia bukan Allah lagi. Dengan demikian, bayangan akan Allah demikian jauh, demikian tak terjangkau oleh kita manusia. Dia tak tersentuh sakalipun oleh akal yang sangat maju sekalipun, saklipun oleh orang yang paling pandai sekalipun, sekalipun oleh orang yang paling bijak sekalipun.

"Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. (Mat11:27). Sabda itu barangkali membuat kita terperangah. Ada jalan untuk mengenal Allah yang serba Maha itu. Ada cara untuk memahami DIA. Yesus membuat jalan itu, Yesus memperkenalkan Allah yang adalah Bapa. Maka mengenal Bapa adalah mengenal Yesus, mengenal Yesus adalah mengenal Bapa. Tapi ada satu hal yang masih menganjal, semua itu hanya diperkenankan kepada orang yang berkenan kepada-Nya untuk menyatakannya. Adakah kita adalah orang-orang yamg mana Dia berkenan menyatakannya? Bukankah kita sering merasa diri kita adalah yang bijak dan yang pandai? Bukankah kita yang merasa bahwa kita yang adalah manusia tahu dan sangat memahami akan Dia? Adakah dalam kondisi seperti itu Dia akan berkenan menyatakan kepada kita tentang Bapa?

REFLEKSI :
Hanya satu buku, ya hanya satu buku bukan sembarang buku yang menceritakan tentang Dia. Buku itu adalah yang ditulis oleh para penginjil, buku itu adalah yang memuat kesaksian-kesaksian para rasul dan kesaksian iman umat israel. Dalam satu buku itu, aku mulai belajar akan Dia. Bertahun-tahun aku membaca, mendengar, belajar untuk memahami Dia. Sampai suatu saat aku merasa aku cukup mengerti bahwa aku sama sekali tidak mengerti. Lalu buku itu kututup dan tak pernah aku buka lagi. Tergeletak hanya buat pajangan. Aku juga tidak mau mendengar lagi apapun tentang Dia. Aku tetap hidup sebagaimana orang lain hidup. Aku tetap berjuang sebagaimana orang lain berjuang memenuhi kebutuhan. Aku tetap bergumul dengan persoalan sebagaimana orang lain bergumul dengan persoalan.

Suatu saat, entah kapan, aku melihat buku yang bernama Kitab Suci itu, yang kukenal dengan nama Alkitab itu. Buku yang tak pernah lagi kubuka lembar-lembaranya, yang tak pernah lagi kubaca kalimat-kalimatnya. Buku yang seolah mengejek aku yang telah menyerah kalah. Buku yang menghinaku ketika aku jatuh luluh. Buku yang mencaci maki aku ketika aku berbuat salah kepada-Nya. Buku yang seperti tertawa terbahak-bahak melihat aku kebingungan mencari pegangan ketika menghadapi persoalan. Ada pertanyaan menyusup, apa yang salah antara aku dengan buku itu? Apa yang salah antara akal dan otakku dengan sabda-sabda di dalam buku itu? Sesaat aku tercengang.

Kucoba untuk membalik semua yang pernah aku lakukan selama ini. Aku tidak ingin lagi memahami Dia, tetapi kucoba untuk membuka diri lebar-lebar agar Dia memahamiku. Aku tidak ingin mengenal Dia, tetapi kubiarkan Ia mengenalku lebih dalam. Mungkin, mungkin dengan cara ini aku melangkah selangkah lebih maju.

Aku ini, hanya satu diantara milyaran manusia di atas bumi. Jika aku tidak ada, jika saja aku tidak pernah dilahirkan, barangkali tidak akan ada pengaruhnya apapun bagi seluruh kehidupan ini. Sementara Dia demikian agung, demikian mulia, disembah dan dipuja oleh milyiaran orang di muka bumi ini. Jadi aku bukanlah siapa-siapa. Maka kubiarkan aku tetap berada dikejahuan, tetap dalam jarank yang jauh dengan-Nya, sementara aku demikian kotornya. Dia demikian besarnya sementara aku demikian kecilnya. Dia demikian berarti sementara aku demikian tidak berarti. Biarlah....biarlah aku tetap di kejauhan dan hanya bisa memandang gambar-Nya. Biarlah aku di kejauhan dan hanya mendengarkan suara-Nya dari mulut orang lain.

Soal kemampuan, apalah kemampuanku? Aku hanya bekerja sebagai buruh, pekerja yang dikuasai dan bukan menguasai. Orang yang menghamba dan bukan memperhambakan. Untuk kebutuhanku, aku sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain. Bukan aku yang memintal benang dan lalu menjadikan kain serta menjahit untuk bajuku sendiri. Bukan aku yang menanam padi lalu menggilingnya dan menjadikan beras. Bukan aku pula yang membuat semua yang ada padaku saat ini. Sungguh aku bukan siapa-siapa. Aku tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat orang yang sakit, lemah, sementara Dia mampu menyebuhkan bahkan membangkitkan manusia yang mati. Aku selalu masuk angin saat kehujanan, sementara Dia mampu meredakan angin ribut dan badai. Aku hanya bisa membeli sepotong roti, sementara Dia mampu menggandakan roti untuk lima ribu orang. Aku ketakutan melihat setan, sementara Dia mampu mengusir semua jenis setan. Jadi aku bukanlah apa-apa. Maka, biarlah aku di kejauhan ini karena tidak pantaslah aku berada di dekat-Nya.

Tenggelam dalam perenunganku, larut dalam doa heningku, akan diriku yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa itulah kudenganr seseorang berbisik dengan lembut di telingaku, "Anak-KU. Aku mencintaimu... Senantiasa mengasihimu, mari mendekatlah pada-KU....". Kupaksa wajahku berpaling untuk mencari sumber suara itu. Tak ada orang, tak ada satupun, kecuali....... Salib yang tergantung di atas pintu rumahku, salib yang tergantung di dinding kamarku, dan Dia ada disana. Kupejamkan mataku, kutajamkan telingaku, dan Dia bercerita banyak hal tentang apa yang Dia lakukan. Dia mengalami semua itu karena Dia mengasihi manusia, ya Dia mengasih semua orang, juga diriku. Dia mengalami semua itu karena manusia demikan berarti bagi-Nya termasuk diriku.


Yustinus Setyanta

KETIKA AKU MELANGKAH

Refleksi Dari : Matius 11:20-24.
Ketika aku melangkah, aku bertanya mengapa aku melangkah, bagaimana aku bisa melangkah kakiku ini? Ketika kugerakkan jari-jemariku, kembali aku bertanya: Mengapakah aku bisa menggerakkan jari-jariku sesuka hatiku, bagaimana mungkin jari-jari ini bisa bergerak hanya karena aku menginginkannya bergerak? Kuraba nadi di pergelangan tanganku. Aku tidak pernah memerintah hal itu terjadi, semua bergerak di luar kesadaranku. Semua terjadi dan menjadikan aku......hidup!

Kucoba untuk memandang, melihat apapun di sekelilingku. Aneka bentuk, aneka warna, semua tertangkap oleh kedua mataku. Karenanya aku berpikir, karenanya aku bereaksi, karenanya aku merasakan betapa indah hidup ini. Kucoba pula untuk mendengar apa yang terdengar oleh telingaku. Dari gemerisik angin, deru motor, suara nyanyian, suara orang berbicara, semua bisa aku dengar. Semua yang kulihat, semua yang kudengar membuat aku bereaksi, membuat aku bergerak, dan......hidup!

Kuamati seluruh tubuhku, kusadari bahwa dengan tubuhku inilah aku hidup, apa yang membuat aku hidup, yang membuat jantungku berdetak, darahku mengalir, paru-paruku bekerja, udara mengalir keluar-masuk? Apa yang membuat otakku bekerja hingga aku bisa berpikir, bisa merasakan, bisa mengamati dan menyadari? Apa yang membuat aku hidup? Pasti ada, pasti ada yang menyebabkan aku menjadi hidup. Menurut kata orang, yang menyebabkan aku hidup adalah daya hidup yang disebut dengan roh. Tapi bagaiman roh itu bekerja dan menghidupkan tubuhku, jantungku, paru-paruku, otot, syaraf dan otakku? Semua menjadi misteri yang tidak dapat aku pahami. Semua itu adalah perkara yang tidak mampu kucerna dengan akalku.

Sama,....yah sama persis dengan mukjizat-mukjizat yang pernah Dia lakukan ketika itu. Semua mengherankan, semua tidak mampu kucerna dengan akal. Mukjizat itu, ternyata juga terjadi pada diriku. Mukjizat itu, ternyata kualami dan sungguh aku alami. Tetapa mengapa aku harus mengalami? Pertanyaan itu membuat aku tersipu, karena sebenarnya aku mempertanyakan persoalan yang selama ini tidak pernah aku pedulikan, "Mengapa aku hidup apa tujuan Dia memberiku hidup?" Jika Dia melakukan mukjizat agar Allah Bapa dimuliakan, bukankah demikian pula mukjizat yang terjadi pada hidupku? Degup jantung, aliran nafas, aliran darah adalah mukjizat yang benar-benar terjadi? Mukjizat seperti apa lagikah yang mesti di tunggu hingga membuat percaya bahwa Dia benar-benar mengasihku? Lalu...apakah aku pernah memuliakan Dia karena mukjizat yang nyata aku alami dalam hidupku ini? Kembali aku tersipu...


Yustinus Setyanta.

Rabu, 16 Juli 2014

Malam Tanpa Purnama

Telaga malam yang pekat, gulita..
Apakah lautan tinta..
Sepahat tatah jelaga..
Seulas kuas melukis tanpa warna..

Tatap hitam cabik menikam...

Tak kasat mata menatap maya..
Canting kosong melompong seperti ompong..
Batik pudar tiada kelir..
Corak tanpa warna..
Hampa saat nalar membaca..

Tulisan tak jelas hanya samar
Aksara kaku tak lentur..
Deret berantak..
Dalam huruf yang menumpuk..
Rumusan imaji tak datang..
Lonceng malam tak goyang..

Tahukah apa ini maknanya..

Ada irama tak ada suara..
Senandung bungkam tertahan..
Nyanyian hanyalah sedayu angin..

Semilir lirih menusuk rasa..

Dingin malam pun menyapa..
Dan tetap buta..
Malam tanpa purnama..


(Yustinus Setyanta)

Daun Kerinduan

Mekar indah bunga berputik..
Harum ditangkai layu kala dipetik..
Hangat ramah surya menyapa..
Tebarkan cinta di palung rasa..

Bunga jiwa santiasa bersahaja...

Putik di petik sibunga melenggik...
Lantas di belai sibunga terbuai...
Toreh imjai daki ijati..
Indah melambai daun kerinduan..
Mengobarkan semangat hati yang terkulai..

Rindu tiada sekat jemu...
Mendayu ayu laksana bayu..
Menerjang karang laksana ombak laut biru...
Tiada lapak sendu selain rindu..
Karena memang rindu itu..
Hadir untukmu dan untukku..


Yustinus Setyanta

AKAR DARI TUHAN

Penelitian tentang keberadaan sebuah pohon tidak selamanya dilakukan oleh para ahli. Penelitian ini pun tidak selalu dilakukan di kebun botani. Akan tetapi, siapa saja termasuk kita juga bisa melakukan penelitian dan pengamatan terhadap tanaman atau tumbuhan di setiap tempat yang setiap hari bisa kita jumpai.
Alkisah seorang tukang kebun pun mencoba melakukan hal yang ilmiah. Ia mencoba melakukan penelitian pada tanaman untuk memahami kekuatan akarnya. Tukang kebun ini menanam dua tanaman sejenis, tetapi mencoba memberikan perawatan yang berbeda.


Tanaman pertama mendapat perawatan yang ekstra, ia memberinya pupuk dengan baik serta menyiramnya pagi dan sore. Sementara itu, tanaman kedua disiram dua hari sekali bahkan tanpa diberikan pupuk . Setelah tanaman cukup besar, tibalah waktu si tukang kebun untuk menguji tanaman tersebut.
Perbedaan yang sangat mencolok terjadi pada kedua tanaman tersebut. Ujian yang dilakukan oleh tukang kebun adalah mencoba mencabut tanaman tersebut beserta akar-akarnya. Hasil pengujian tanaman, apa yang terjadi? Ternyata tanaman pertama yang tumbuh cukup subur dan baik tadi, memerlukan waktu tak lebih dari dua menit untuk mencabutnya. Sementar itu tanaman kedua yang tadi kurang diberi perhatian tadi, ternyata membutuhkan waktu lebih dari lima menit.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Tanaman yang pertama cukup dimanjakan dengan air. Dengan demikian ia dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh, sehingga akarnya tidak berusaha mencari air ke tanah yang lebih dalam. Akibatnya tentu akan lebih mudah tercerabut dari akarnya. Sedangkan tanaman yang kedua karena kurang mendapat suplai air secara baik, maka mau tidak mau akar harus menembus tanah yang lebih dalam lagi supaya memperoleh air dan makanan. Dengan demikian yang terjadi akar akan lebih masuk ke dalam tanah. Dampak yang terjadi, pohon kedua mempunyai kekuatan yang lebih karena akar menancap dalam ke tanah.

Analogi ini sebanarnya bisa kita terapkan dalam kehidupan kita berkaitan dengan cara TUHAN mendidik umatNya. Bayangkan saja jika TUHAN memanjakan kita dengan senantiasa mengabulkan setiap permintaan kita dan tak pernah mengizinkan kita mengalami penderitaan. Tentu kita akan menjadi orang yang manja. Kita juga akan menjadi orang yang cenngeng. Pastinya juga memiliki akar iman yang tidak kuat pula. Apabila menghadapi persoalan dengan mudahnya kehidupan menjadi tumbang.
Jika kita dimanjakan dan tidak pernah mengalami persoalan hidup, tentu kita juga akan menjadi orang yang manja dan cengeng. Akibatnya, akar iman kita tidak kuat dan kita pun akan dengan mudah tercerabut hingga kehidupan kita juga tumbang. TUHAN juga sangat mengasihi dan mendewasakan serta melatih akar-akar iman kita. TUHAN senantiasa mengizinkan penderitaan, masalah , tekanan hidup dan berbagai macam pencobaan yang tidak menyenangkan.

Semua itu merupakan cara TUHAN mendidik kita dengan harapan akar iman kita terus mencari “sumber” yang sejati. Bagaimana dengan pilihan kita? Apakah kita akan memilih untuk menjadi orang yang manja denngan akar yang rapuh, ataukah ingin menjadi orang yang didewasakan oleh TUHAN?
Tanpa masalah, kita hanya akan menjadi orang yang manja dengan akar iman yang rapuh.
Jadi, mari kita jalani hidup ini dengan gembira dalam suka dan duka. Satu hal yang harus kita ingat adalah “TUHAN tidak akan pernah memberikan cobaan melebihi kekuatan kita”.

Semoga iman kita semakin bertumbuh dan semakin mengakar pada TUHAN.


Yustinus Setyanta

Cakrawala Senja

Cakrawala senja penuh jelaga
Berikan kesejukkan mata memandang
Makin temeram rona senja
Seiring rangkaian alunan dendang

Cakrawala senja
Pancarkan cahaya merah jingga
Hiasi senja penuh sahaja
Menyimpan seberkas misteri saat senja tiba

Kian redup cahaya surya di cakrawala senja
Penuh untaian burung di angkasa
Sayap-sayap dikepakkan terbang
Menuju perlindungan dalam petang


Yustinus Setyanta
Jogja





Jumat, 11 Juli 2014

KETIKA AKU LAHIR KEDUNIA

Refleksi diri:
Ketika lahir aku memang terpejam, tetapi tidak lama kemudian mataku terbuka, aku tidak buta. Ketika lahir memang aku tidak mendengar apa-apa, tetapi sebentar kemudian aku dapat mendengar dengan jelas, aku tidak tuli. Ketika lahir aku memang belum bisa berjalan, dan aku kemudian bisa berjalan, aku tidak lumpuh. Aku tumbuh bukan sebagai orang buta, bukan orang tuli ataupun lumpuh.

Namun ketika lahir, aku tidak mengenal DIA, aku tidak mendengar suara-Nya, tidak merasakan sentuhan-Nya. DIA yang memberi hidup baru kukenal beberapa tahun kemudian ketika aku sudah mulai bisa berpiki. Sampai sejauh ini, sampai puluhan tahun umurku, aku masih belum banyak mengenal diri-Nya. Aku masih belum melihat DIA dan mendengar suara-Nya dengan mataku dan telingaku sendiri. Bahkan aku juga mengenal-Nya yang lahir sebagai manusia yaitu Tuhan Yesus Kristus. Tetapi aku belum pernah melihat dan mendengar dengan mata atau telingaku sendiri. Jujur kukatakan bahwa aku mengenal dari cerita, dari Kitab Suci, dan dari pengajaran yang sampai padaku. Karena tidak pernah melihat dan mendengar langsung, aku kadang menganggap-Nya tidak begitu penting, tidak sepenting apa yang kulihat, kudengar, atau kurasakan secara langsung.

Dalam hidupku, aku mengurai kembali apa yang sebenarnya penting. Lalu mulai kusadari pula bahwa aku hidup karena ada yang membuat aku hidup, ada yang membuat aku tetap hidup. Sesuatu yang membuat aku hidup itu ada di dalam diriku, ya....ada di dalam diriku sendiri. Mulai kusadari pula bahwa sesuatu yang membuat aku hidup itu berasal dari DIA yang memberi hidup, Sang Sumber Hidup. Maka mestinya hidupku selalu terikat dengan-Nya, mestinya aku tidak pernah telepas dari DIA. Dan mestinya pula aku selalu mengikutinya. Hidupku semestinya, selalu berada dalam keterikatan dengan-Nya, selalu dalam kebersamaan dengan-Nya. Aku semestinya mengenal baik diri-Nya, mampu melihat peran-Nya, bisa mendengar suara-Nya. Mestinya aku tidak buta dan tuli akan DIA. Mestinya pula aku tidak lumpuh dan mau berjalan, bergerak kearah DIA. Kesadaranku akan DIA membuan angin segar yang bertiup seolah menyampaikan pesan, "Kerajaan Sorga sudah dekat...". Kesadaranku pula yang menuntun aku sehingga aku tidak lagi lumpuh, tidak lagi buta dan tidak lagi tuli akan diri-Nya.


Yustinus Setyanta

Kamis, 10 Juli 2014

Segunting Pelangi Senja

Telah kuperlihatkan
Berjuta laksa rona asmara..
Telah kuperdengarkan
Berjuta pita nuansa gelora..

Dan pada segunting pelangi jingga,
Ku ikrarkan hati untuk cintaku yang mesra
Namun hanya lubuk sunyi hatimu
Yang mampu memahami riuh di jantungku..



Yustinus Setyanta




KARENA SALIB BUKAN ..............?

Kemarahan itu semakin mudah tersulut. Bukan hanya marah kepada orang lain, bahkan kepada Tuhan pun marah. Ketika aku menganggap Dia tidak memperhatikan diriku, ketika aku merasa bahwa hidupku penuh penderitaan, aku marah kepada-Nya. Aku marah karena putus asa, karena Dia tidak kunjung menolong dan memberikan jalan agar aku segera keluar dari semua persoalan yang melibat kehidupanku. Suatu saat aku benar-benar marah, aku jarang berdoa, bahkan tidak pernah berdoa lagi, tidak pernah ke gereja lagi. Ku putuskan untuk menyelesaikan seluruh persoalan hidupku bukan dengan doa tetapi dengan berpikir keras, berbuat dan berjuang. Ketika satu per satu persoalan dapat aku selesaikan, aku menjadi bangga pada kemampuanku, pada kebiasaanku, pada semangatku. Kepada setiap orang aku bercerita tentang kehebatanku.

Aku merasa bahwa diriku adalah seorang pemenang meski sebenarnya aku adalah seorang pecundang. Keputusanku untuk tidak mengadalkan Dia adalah kekalahan dalam kesetiaan. Kemarahanku pada-Nya adalah pertanda runtuhnya ketulusan. Maka yang sebenarnya aku bangun kini adalah kesombongan dan kemegahan diri. Bangunan-bangunan yang demikian mudah runtuh dan demikian mudah hancur. Begitulah yang kemudian terjadi. Persoalan itu ternyata tidak pernah berhenti, selalu datang dan datang lagi. Serupa bola salju yang menggelinding, persoalan yang menggelinding ke arahku semakin besar. Seluruh bangunan kesombonganku hancur bertakan. Kemegahan diriku itu teronggok menjadi puing-puing yang menyedihkan. Aku terdiam karena tak tahu lagi harus bagaimana dan harus berbuat apa.

Ketika kupalingkan wajahku, kulihat Dia mdmanggul salib menaiki sebuah bukit. Dia sempdt menatapku dan dengan tatapan-Nya seolah Dia berkata, "Mari ikutlah Aku......" aku masih tetap berdiri dan memandang ke arah-Nya. Dia memanggul salib yang bukan akibat dari perbuatan-Nya. Hal itu menyadarkan aku, ternyata selama ini aku hanya memanggul penderitaanku sendiri tetapi bukan salibku. Aku mengusung kesedihanku dan bukan salib. Aku tidak pernah memanggul salib. Karena salib, bukan terbuat dari gelagar kepentingan diri, tetapi dari persoalan dan penderitaan orang lain yang disatukan oleh kasih-Nya.


{Yustinus Setyanta}

HATI

Ketika melintasi, melewati jalan sering menemui rambu-rambu jalan bertuliskan "Hati-Hati.................", terlintas dalam benakku oh...hendaknya pelan-pelan atau dalam kata lain berhati-hatilah dalam menjalani hidup bukan berpintar-pintar mejalani perjalanan hidup ini.








Hati,
Selalu lebih mampu melihat dari pada mata...
Selalu lebih manpu merasa daripada indra perasa...
Selalu menjadikan hidup orang itu lebih berdaya daripada kekuatan otaknya...
Selalu lebih mampu memahami daripada budi...
Hati akan selalu menjadikan hidup ini lebih bernilai...

Nah, karena hidup ini anugerah dari Tuhan, maka kita diajak untuk menjalaninya dengan menggunakan "alat" yang juga telah dianugerahkan-Nya. Namanya, "HATI". Hati adalah kunci relasi manusia dengan Tuhan dan sesama. Hanya melalui hatilah kita akan mengalami kebahagiaan sejati. Hati adalah pusat trasformasi hidup. Hati adalah harta yang amat berharga. Hati adalah pusat dari hidup. Hati membaharui hidup dengan tidak beranjak dari hati dan keberhati-hatian adalahah sebuh kekeliruan.

Jika kita menggunakan otak, jalan keluar seringkali tersendat-sendat karena argument yang dilemparkan bersikap mau menang sendiri. Tak jaran, jalan buntu yang didapat. Namun dengan hati, diharapkan jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak bisa tercapai.

TUHAN tidak pernah memandang orang dari parasnya atau perwakannya tetapi dari hatinya. Artinya, dari keberadaannya yang sesungguhnya, dari jati dirinya yang sejati. Karena itu bila hati buram maka akan buram pula seluruh budi dan cara memandang dan menilai hidup diri dan sesama. Sebaliknya bila hati jernih maka segalanya akan menjadi baik, penuh berkat dan membahagiakan. Hati akan selalu menjadi benteng kejujuran. Ia akan selalu mampukan dan mengajar orang untuk tidak berdusa demi menyengakan hati orang. Tapi hati akan mendorong orang untuk mencapai kebaikan dengan menyampaikan sesuatu apa adanya meski itu menyakitkan hati. Sakit yang ditimbulkannya hanya cambuk demi pertumbuhan menuju perbaikan dan kesempurnaan hidup. Kedepakan hati bukan pikiran apalagi amarah.

Emosi-emosi negatif yang meracuni manusia sehingga menghambat pengasahan alat itu, harus dienyahkan dengan terus-menerus berelasi dengan Tuhan. Kasih-Nya yang jauh melebihi tingginya semua gunung dan dalamnya semua samudera, membua Ia pasti membantu kita asal kita terus melakukan relasi dengan-Nya. Semoga Tuhan selalu menjaga hati kita agar senantiasa dilimpahi oleh kasih-Nya. Di jauhkan dari kebencian dan balas dendam. Dimampukan untuk berlaku kasih, melakukan kebaikan dengan menjaga hati sesama dengan sebaik dan sehati-hati mungkin.....















{Yustinus Setyanta}

Nada Indah

Sebait kata cinta ku tuliskan didinding malam
Desah nada jiwa tentang rindu yang mendalam
Merajut aksara kasih dalam gelap ku menyulam
Berbenangkan tinta hitam saat waktu kian mengelam

Melantun nada indah saat bayang mu menyapa
Ku goreskan puisi cinta pada setiap bait aksara
Terselipkan kerinduan dalam semua rangkaian kata
Melantunlah sebuah irama dalam setiap alunannya

Bergemuruh nafas malam saat rindu membuncah
Menjeritlah desir angin meratapi kesah jiwa
Tersampaikan pada langit dikisahkan di semesta
Terdiamlah kegelapan dalam pesona sebuah cinta



Yustinus Setyanta





HIDUP SEHAT

Tubuh dan jiwa, bersama-sama, diciptakan sebagai satu kesatuan utuh sebagai citra Allah (bdk Kej 12). Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka tubuh dan jiwa keduanyanya terluka. Maka, ajaran Gereja tidak pernah menjadi terlalu spiritualistik dan menganggap tubuh sebagai sesuatu yang sia-sia; tetapi ia juga tidak pernah mengaung-agungkan materi dan tubuh sebagai yang segala-galanya.

Santo Paulus yang kerap mempertentangkan antara 'daging' dan 'roh' (bdk Gal 5:17; Rm 7:14-23) juga tidak pernah mengangap bahwa tubuh otomatis koruptif dan menjadi 'sarang dosa'. Dalam tradisi antropologi kristiani, manusia, meski bisa dilihat dari berbagai aspek, tetaplah merupakan satu kesatuan yang utuh. Tidak pernah secara simpatik Gereja menganggap aspek yang satu lebih rendah atau lebih tinggi dari lainnya.

Tubuh yang sehat adalah anugerah Allah. Hidup yang panjang, dalam Kitab Suci, dianggap sebagai berkat (Mzm 91:16; Kel 20:12; Ef 6:2 dst). Tetapi, kehidupan yang dianugerahkan pada manusia bukan hak di dalam dirinya sendiri, melainkan harus diletakkan dalam praktik pengabdian dan misi. "Tidak ada orang yang hidup untuk dirinya sendiri..... Jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan." (Rm 14:7dst).

Perlu diingat, Gereja mengajari kita untuk percaya bahwa hidup di dalam dirinya sendiri tidak pernah dianggap sebagai nilai tertinggi. Kristus mengajari kita, ada masa bahkan kita kita harus memeluk dan mencintai 'penderitaan dan kematian'. Jika hidup menghalangi manusia untuk dekat dengan Kristus, kita harus 'membenci hidup' (Lk 14:26; Yoh 12:25). Cita-cita hidup sehat selalu harus diletakkan demi dan untuk cinta yang lebih besar.

Hidup bagaimanpun adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga. Ada kewajiban yang dimiliki setiap orang untuk menjaga hidup supaya tetap sehat. "Tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat." (Ef 5:29).

Gerakan Hidup Bersih dan Sehat, dengan demikian, adalah gerakan iman. Tetapi, ajaran tradisional kita sudah mengatakan, "Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia". Salah satu wujud konkret dari gerakan iman tersebut adalah kepedulian pada sampah. "Taruh Sampah Jadi Berkah" adalah tantangan di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan-mental serta ekologi secara bersama-sama.

Konsep sehat dalam Gereja tidak dibatasi pada tubuh biologis saja. Kesehatan jiwa dan pikiran bahkan tidak kalah penting. Upaya mengusahakan keduanya secara bersama-sama bahkan menjadi syarat berhasilnya. Salah satu membangun sikap sehat jiwa dan spiritual adalah pertobatan. Orang sampai pada kesadaran melihat bahwa ada yang keliru selama ini, dan perlu membuat perubahan. Jadi Peduli Sampah dikategorikan sebagai sebuah gerakan ekologis, segala upaya teknis-ekonomi harus diserti dengan pertobatan batin dan religius. Pertobatan ekologis harus menyertai setiap upaya untuk berdamai dengan ciptaan.

Tobat 
(Tobat berarti manusia menerima dan menanggapi undangan Allah untuk berkarya bersama-Nya. Tobat bukan berarti mausia jera, dan tidak melanggar perintah Allah lagi. Akan tetapi berarti manusia menanggapi undangan Allah yang mengandung kegembiraan pesta, usaha/jerih payah untuk memulihkan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama. {MB - Rekonsiliasi; Hal 223} )


Yustinus Setyanta



Minggu, 06 Juli 2014

Petrus

Akulah Petrus itu
Yang menyangkal bahwa Yesus adalah temanku
Yang takut mengakui bahwa Yesus adalah sahabatku
Yang tega berujar bahwa aku tidak mengenal Mesias-ku

Yang berpura-pura tak melihat wajah-Nya memar karena siksa
Yang mengelak memandang kepedihan lewat mata-Nya
Ya, aku seolah tak lagi punya cinta
kepada Dia, yang telah menjadikanku penjala manusia.


Yustinus Setyanta
Jogja

Pilatus

Akulah Pilatus yang peragu
Aku tahu semuanya itu
Hanyalah tuduhan palsu
Tapi aku cuma bisa termangu

Bahkan mencuci tanganku
Menciptakan pengadilan semu
Lalu menyerahkan-Mu
Kepada bangsa-Mu





Yustinus Setyanta

Yudas Iskariot

Akulah Yudas Iskariot sang pengkhianat...
Yang tega berbuat laknat
Mengundang iblis memasang jerat
Berbuat nista melebihi penjahat…

Tahukah engkau wahai manusia?
Tiga tahun aku bergaul mesra
Dengan Dia yang disebut Anak Manusia
Pernah kupeluk dan kucium Dia

Tapi apa?
Akhirnya aku menyerahkan-Nya
Kepada para imam kepala dan tua-tua
Hanya dengan tiga puluh perak saja.





Yustinus Setyanta

MEMILIH KEMANUSIAAN


Sosok Yudas Iskariom melekat pada pandangan murid yang menjual gurunya seharga tiga puluh keping uang perak. Nama Yudas Iskariot memjadi julukan bagi orang-orang yang berkhianat, culas, dsb. Hampir tak ada orang yang peduli pada alasan Yudas menukar gurunya dengan uang, hingga beberapa ahli Kitab Suci mulai bicara tentang kedudukan Yudas Iskariot di dalam komunitas 12 rasul. Ia adalah bendahara. Mungkin kas mereka menipis sehingga si bendahara merasa harus mencari dana tambahan. Ketika membuat perjanjian untuk menyerahkan gurunya kepada imam-imam kepala, ia mungkin tidak berpikir bahwa ia sedamg terlibat dalam konspirasi menyalibkan gurunya sendiri (Mat 26 : 14-25).

Dari Yudas Iskariot, kita juga belajar bahwa setiap tindakan kita adalah sebuah pilihan. Di dalam setiap pilihan ada nilai yang di prioritaskan. Adakalanya kita pun keliru memilih, menjadikan uang dan kekuasaan sebagai prioritas hidup. Dari Yesus, kita belajar untuk mengutamakan nilai kemanusiaan di dalam setiap pilihan hidup kita, termasuk nilai kemanusiaan diri kita sendiri. Keliru memilih keutamaan, Yudas Iskariot merusak martabat manusiawinya. Mengutamakan kemanusiaan, Yesus harus membayar harganya: dicela, ditolak, disingkirkan. Mana yang kita pilih?


Yustinus Setyanta

Malam Getsemani

Malam terus merayap di bukit zaitun...
Dan bulan memucat di atas taman getsemani...
Siapakah gerangan mengiba sendu kepada Tuhan...
Siapakah gerangan tersendu meratap dalam sunyi...

Malam terus merangkak sampai subuh...
Dia gemetar menahan nestapa...
O, dua matanya mengucurkan darah...
Dia kecewa dikhianati murid tercinta...

Malam terus bergerak menuju pagi...
Siapakah kesepian dalam sendiri...
Siapakah terkapar di bukit cadas sepi...
Betapa berat Dia menanggung ngeri...

"Ya, Abba, Ya Bapa, kalau saja berkenan...
piala derita ini, enyahkanlah, enyahkan"..
namun kehendak Bapa tak terelakkan...
meski sakit karya penyaliban dan penebusan...


Yustinus Setyanta
Jogja


Rabu, 02 Juli 2014

Maria Magdalena

Akulah maria magdalena berkubang dalam lumpur...
Aku kepergok dan babak belur...
Yang bermandi caci-maki...
Untung batu itu tak jadi menghujani...

Aku memang hanya jalang...
Penuh kotoran dan nafsu dosa...
Namun mengapakah kasih sayang...
Yesus terlimpah kepada hamba...

Siapakah aku yang biasa dicerca...
Tiba-tiba dibela dan dicinta...
Siapkah aku selain pelacur hina...
Tak berdaya dalam kuasa pendosa...

Aku memang hanya perempuan...
Alpa, tak bisa setia, bahkan sesah...
Namun mengapakah tangan mesias...
Terulur justeru di tengah penderitaan...

Aku tersungkur dan mencium kaki-Nya...
Mengharumkan kepala-Nya...
Menyanyikan suka cita...
Melagukan cinta...

Ceriaku adalah pembebasan-Nya.
Pembebasan-Nya adalah kunci ceria-ku.
Itulah ceriaku yang sekilas t'lah diceritakan mereka.
Aku tertegun, kini hanya bisa ceria
Menikmati kemerdekaan bersama-Nya.

****
Maria Magdalena kau mengispirasi diriku ini
K'rena kau tak mencari diantara fatamorgana keadilan bikinan manusia yang
bisa dibeli.
K'rena kau tak mencari-cari diantara keliaran berahi.
K'rena kau tak mencari-cari diantara puja-puji.
K'rena kau tak mencari-cari diantara resep-resep seksi-sensasi.
K'rena kau tak mencari-cari diantara busana-busana masa kini.
K'rena kau tak mencari-cari diantara prestasi-prestasi.
K'rena kau tak mencari-cari diantara kursi puri-puri.
K'rena kau tak mencari-cari diantara janji-janji teknologi.
K'rena kau tak mencari-cari diantara suka-suka sendiri.




Yustinus Setyanta
Jogja


Mendung Pagi Hari











Awan hitam menggelayut di pelupuk
Semilir angin perlahan membelai bulu kuduk
Samar, aroma kopi masih menyapa indera
Menawarkan sedikit kehangatanmu yang tersisa





Yustinus Setyanta

Selasa, 01 Juli 2014

SEBATANG AKAR

Ialah sebatang akar...
Ia tak punya mahkota layaknya bunga...
Warna pun tak menarik untuk disanjung dan dipuja...
Bahkan aroma tubuh pun tak pernah sewangi sang bunga...
Yang sanggup memikat lebah, kumbang, burung kecil pengisap madu dan juga manusia....

Ia memang bukan bunga...
yang dapat meliuk gemulai seiring dengan terpaan angin...
lepaskan segenggam penat jagad nan padat...
Ia bukan bunga yang kerap menjadi sumber inspirasi bagi para pengagum seni.
Ia tumbuh tak pernah seperti kelopak bunga....
Berwarna cantik, menebar wangi, dan mengundang kupu-kupu....

Ialah akar...
Tertimbun dibawah tanah, dan diatas sana ribuan kaki menginjak tanpa kenal sopan santun...
Jangankan untuk memuji wajahnya, melirik saja pun tidak
Ia memang tak kelihatan...
Bahkan kadang, waktu sepertinya terlalu sempit untuk sekedar menganggap ada....
Ia nyaris terlupakan.

Ia memang hanya akar...
Ya, akar !!! Tubuh terdiri dari bulu-bulu halus detektor...
Yang mendeteksi keberadaaan air dan zat hara yang ada di dalam tubuhnya
Juga pembuluh-pembuluh yang bertugas menghantarkan zat hara, untuk kemudian dimasak pada klorofil daun dalam proses fotosintesis, lantas hasil masakannya kelak diedarkan keseluruh organ tubuh, hingga sang pohon dapat bertahan hidup.

Ialah akar...
Tak perlu menjadi daun ataupun bunga, karena Ia adalah akar !!!!
Meski kumbang dan kupu-kupu itu tak pernah menghampirinya...
Tak pula pernah mendengar sekelumit pujian untuknya...
Tapi telah puas menjadi akar....
Akar yang selalu mencari air untuk daun dan bunga...
Bahkan air itu untuk kelanggengan usia sang pohon...
Bukan hanya air setetes, melainkan sedanau, bahkan kalau bisa seluas samudera raya....
Setiap hari ia jalani tugas mulia ini dengan tulus, kiranya selalu ada kabar gembira bagi daun dan bunga...
Sehingga bisa di titipkan girat senyum gembira untuk awan putih dan langit tinggi....
Sampaikanlah salam manis buat semilir sejuk dan kupu-kupu cantik itu
Dariku : Akar

Setiap kita, sudah barang tentu ingin tampil semolek bunga, atau seminimal seperti daun! Kita ingin selalu berkedudukan tinggi, harapan beragam pujian dalam setiap sisi kehidupan, hingga nama kita bagai semerbak bunga-bunga yang harum itu. Atau minimal seperti daun, yaitu sebagai pendamping sang bunga!! Mungkin hanya satu dari seribu, kita yang rela menduduki posisi akar, jauh terdesak dalam pengapnya tanah, diinjak-injak, tidak dipuja, bahkan tidak disebut-sebut namanya. Selain itu, kewajibannya cukup berat bagaikan kuli bawahan yang mencari dan mengangkut air.

Padahal sadar atau tidak, diam-diam manusia akar, yang tengah meracik harum kasturi segar, memoles bentuk mahkota indah, mengundang kupu-kupu surga, serta mempersiapkan pujian Mahatinggi, yang dapat diperoleh siapapun selain dirinya sendiri, karena telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk bermanfaat bagi daun dan bunga, bahkan seluruh pohon!! Serta dengan segenap karya, tanpa menuntut popularitas dan tanpa pamrih. Dengan kata lain melakukannya dengan total ikhlas kepada Allah Bapa.


Yustinus Setyanta

MARI SALING MENGENAL

Suatu siang dalam udara yang terik menyengat, saat ku sedang mengendarai motorku di suatu jalan yang padat dan, sebuah motor tiba-tiba nyelonong di depanku, mencuri jalurku dan bahkan nyaris menyenggolku. Saya tiba-tiba merasa jengkel dan saat akan menegur pengendara yang tidak sopan itu, mendadak dia mendahuluiku menegur, "woiii Yust, apa kabar, baik-baik saja?" ku terpana memandangnya dari balik helm dan melihat wajahnya yang tersembunyi juga di balik helmnya. Ternyata, dia adalah temanku yang telah lama tidak pernah bersua. ku balas menegurnya dan kamipun, masih dengan mengendarai motor kami masing-masing, saling beriringan sehingga beberapa pengendara yang berada di belakang kami, karena merasa terganggu, lalu membunyikan klaksonnya, karena kami merintangi jalan mereka. Kemanakah kemarahanku yang tadi sempat timbul?

Tiba-tiba ku sadar, bahwa ada banyak peristiwa kekerasan dan pertengkaran di dunia ini, terjadi hanya karena masalah kita tidak saling mengenal satu sama lain, juga karena kondisi hati setiap orang tidak sama. Menyimak pada pengalamanku tadi, ku tahu bahwa seandainya orang yang mencuri jalur itu bukan seorang yang kukenal, mungkin kami akan segera terlibat dalam percekcokan, atau bahkan bisa terjadi perkelahian. Tetapi sungguh berbeda, jika kita ternyata kenal satu sama lain. Betapa pun berbedanya kita, jika kita saling mengenal, maka ada banyak persoalan di dunia ini akan berakhir dengan damai. Bahkan akan berakhir dengan senda gurau dan tawa ria, seperti yang kualami siang itu. Tetapi persoalannya, di dunia yang kita hidupi saat ini, di dunia yang kita pandang semakin maju dan moderen, aktivitas kita untuk berkenalan dan membina persahabatan telah menjadi semakin jauh dan redup. Kita kian senang untuk hidup di dunia kita sendiri, kita hanya mampu merasa aman di lingkungan kita sendiri. Lingkungan yang juga semakin menyempit, dan bahkan praktis kita hanya hidup untuk diri kita sendiri. Demikianlah masyarakat kita di dunia yang kita anggap modern ini.

Maka, sudah berapa lamakah kita tidak berkumpul bersama teman-teman kita? Sudah berapa lamakah kita tidak bersua dengan orang-orang lain untuk dapat saling berkenalan dan saling mengenal satu sama lain? Bahkan sudah berapa lamakah kita tidak pernah bertemu dengan keluarga-keluarga kita sendiri? Yahh, kian maju dan sibuk suatu komunitas, kian sempit pula saat-saat kebersamaan kita dengan orang lain, dengan sesama kita, dan akan semakin sulit pula bagi kita untuk mampu memahami keberadaan orang lain tanpa kita merasa terganggu kebebasan kita untuk menikmati hidup ini. Dan inilah ironi kemajuan dan kebebasan kita. Semakin maju dan semakin bebas kita, semakin terpencil dan semakin terkucil kita dari hubungan antar pribadi. Akibatnya, kita kian mudah tersinggung oleh ulah orang-orang yang tidak kita kenali, karena kita hidup terkurung dalam privasi kita dan tak mau kepentingan kita terganggu, sehingga usikan sederhana pun dapat membuat kita menjadi tersinggung dan bahkan tak terkendali saat kita sedang dikejar-kejar oleh kepentingan diri sendiri.

Demikianlah, di siang yang terik itu, bersama teman yang baru saja nyaris membuatku jengkel, aku dan dia saling menyapa dan bahkan sempat mampir makan siang bersama dan menyusun ulang perkenalan kami setelah sempat lama tak saling bersua satu sama lain. Hidup, saya kira, seharusnya demikian adanya. Kita harus selalu saling mengenal satu sama lain, agar segala kesempitan dan kepentingan diri dapat tereliminasi oleh kebersamaan dengan orang lain. Dengan sesama kita. Maka hidup kita pun akan semakin aman dan tenteram jadinya. Mari saling mengenal satu sama lain. Salamku selalu buat kalian.


Yustinus Setyanta

Telaga Hati

lelah jiwa beradu dunia
tanduk bertemu tanduk
api melahap sejuknya jiwa
tunduk! terpaksa tunduk

jiwa bagai segelas air
telah tercemar segenggam garam
rasanya begitu asin, begitu pahit
adakah penawar hati?

sungguh,
rindukan air segar

kini,
saat tergelap dalam jiwa
saat terpanas dalam jiwa
DIA mengutus setangkai bunga
yang membuka hati, buka pikiran kita

apa yang terjadi?

jiwa kini semakin luas
bukan lagi segelas air
tapi setelaga air
yang tak kering oleh api
tak tercemar segenggam garam

jiwaku
telah
menjadi
telaga hati...............





Yustinus Setyanta




Lembayung Senja Memerah

Waktu terus bergulir melaju tak tertahan
Matahari senja pulang keperaduan
Berganti dengan sang rembulan malam
Memberi terang pada sang kelam

Sungai rindu mengalir di dalam hati
Mengikuti liku-liku tak bertepi
Membawa pesona dirimu dalam diri
Atas keinginan dan rasa terbawa bersama arus sendiri

Pada suatu waktu tak tertuju
Coba melukis bayangan di dalam air itu
Tapi Semua hilang tak berarti
Walaupun mencoba dengan pahat rasa di hati

Kehadiran mu adalah semu
Seperti sebuah fatamorgana di sahara
Walau indah tak dapat tersentuh kalbu
Hanya membuat haus dahaga

Lembayung senja merah
Kau ada tapi seperti tiada
Kau nyata hanya di pelupuk mata
Kau selalu bermain dalam bumiku
Biarlah kau ada tanpa bisa dijamah
Dan tetaplah menjadi lembayung yang memerah


Yustinus Setyanta