Kamis, 18 Agustus 2016

JOGJA UNTUK REPUBLIK INDONESIA

Bagaimana jadinya Republik Indonesia tanpa Jogja dan HB IX..? Itu adalah pertanyaan yang ditulis oleh Moh. Roem dalam buku Tahkta Untuk Rakyat.

Dan memang, Jogja hadir untuk Republik Indonesia. Terutama pada masa-masa kritis.

Tahun 1945-1946 Belanda, setelah perang dunia kedua, membonceng pasukan sekutu kembali lagi ke Indonesia dengan satu tujuan: merebut kembali tanah jajahannya.

Tahun itu menjadi titik penting; apakah republik akan tetap merdeka atau kembali sebagai negeri jajahan.

Melihat kondisi ini, Republik Indonesia perlu mendapatkan dukungan dari daerah-daerah.

Maka setelah Indonesia dinyatakan merdeka oleh Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Pakualam VIII mengirimkan surat ucapan selamat atas kemerdekaan itu.

Tanggal 5 September 1945 Sultan dan Pakualam menyatakan bergabung dalam NKRI.

Bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan kabar yang begitu menggembirakan serta dukungan yang luar biasa bagi republik yang baru lahir ini. Seperti diketahui bahwa Ngayogyakarta adalah salah satu wilayah yang diakui kedaulatannya oleh Belanda, dengan bergabung ke Indonesia maka ini menjadi dukungan kuat bagi para pendiri bangsa.

Melihat situasi yang makin genting, dimana para pendiri bangsa diburu oleh tentara Belanda di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir dan menyarankan agar ibu kota dipindah ke Yogyakarta.

Tawaran Sultan ini pun diterima dengan baik oleh Soekarno. Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 4 Januari Ibu Kota NKRI resmi pindah ke Jogja.

Jogja dipilih bukan tanpa alasan. Beberapa ahli sejarah menjelaskan bahwa pilihan Soekarno untuk menerima tawaran Sultan HB IX karena Jogja merupakan daerah yang paling siap menerima kemerdekaan Indonesia. Jogja yang pertama kali menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui Masjid Gedhe Kauman setelah diproklamasikan di Jakarta.

Sultan HB IX tak sekadar memindahkan ibukota, tapi juga menanggung operasional para pendiri bangsa beserta keluarganya.

Ini dikenang oleh Rahmi Hatta, seperti tertulis dalam buku Tahkta Untuk Rakyat. Bahwa dalam kehidupan perekonomian yang sulit itu, tiba-tiba saya datang seorang suruhan Sultan yang memberikan uang 500 Gulden.

“Dengan uang pemberian Sri Sultan saya terlepas dari kesukaran hidup selama pendudukan tentara Belanda,” kenang Rahmi Hatta. Dan tak hanya Rahmi Hatta, Sultan juga membagi-bagikan uang untuk keperluan hidup Fatmawati, dan keluarga pendiri bangsa lainnya.

Pun tak cukup disitu. Tahun 1949, saat Indonesia akan bangkit setelah agresi Belanda. Dengan entengnya Sultan HB IX menyerahkan 6 Juta Gulden kepada Sukarno dan Hatta sebagai modal awal Indonesia.

“Negara masih bayi dan belum punya pendapatan. Padahal butuh banyak uang untuk pemerintahan,” begitu kutipan dari buku Hamengku Buwono IX: Pengorbanan Sang Pembela Republik.

Saat Republik Indonesia menghadapi situasi genting, Jogja hadir untuk Indonesia.

Dibawah kepemimpinan Hamengku Buwono IX, Jogja menjadi sentral dalam mempertahankan kemerdekaan republik ini. Itulah salah satu alasan Jogja mendapatkan status sebagai daerah istimewa.

Nah, sebentar lagi kita akan memperingati hari kemerdekaan Indonesia. 17 Agustus 2016. Usia Indonesia sudah 71 tahun. Disinilah kita perlu memaknai kembali arti penting peran Jogja yang kita cintai ini untuk Indonesia. Nanti kita coba bahas lagi kejadian sejarah lainnya.

Jogja semoga makin istimewa, bukan hanya untuk warganya tapi juga untuk Indonesia…

Salam seyogyanya Jogja




(:dari berbagai sumber)













(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar