Jumat, 25 Desember 2015

GENERASI (NATAL)

Generasi ini masih tetap masih pergi ke gereja dan berdoa. Generasi ini juga tidak mempertanyakan kebenaran isi iman - satu alasan(nya), tentu karena mereka tidak cukup mempunyai basis argumentasi untuk mempersoalkan hal ini.

Rapuhnya iman umat generasi utamanya generasi muda - bukan terutama bukan persoalan religius, melainkan persoalan antropogis. Yang dimaksud tantangan 'antropogis' di sini tiada lain adalah kebudayaan. Muncul satu pendapat bahwa kebudayaan faktor pembentuk dan pendidik masyarakat yang paling menentukan, terapi justru yang paling sering dilupakan.
Pelayanan kita mengikutsertakan kesadaran kultural lokal, memperhatikan cara bersosialisasi, sistem kekeluargan, keluwesan berkomunikasi, gerak-gerik kultural sebuah komunitas dalam memandang Yang Transenden.

Sangat indah menyaksikan segala upaya memajukan iman umat dengan pondasi kesadaran kultural. Di pedalaman, di pedesaan yang tak mengenal polusi industri, di kaki-kaki gunung, di bukit-bukit, lembah dan ngarai, di tangah lebatnya hutan, di tengah gudulnya lahan akibat kebakaran maupun pembakaran hutan, di pinggiran sungai-sungai yang meliuk-liuk masuk ke tanah yang jarang diinjak, komunitas-komunitas Kristiani mengekspresikan iman mereka melalui kebudayaan lokal lewat nyanyian atau tarian simbol pergumulan hidup mereka. Iman dan kebudayaan berjalan seiring mengarungi kehidupan dalam percampuran 'unsur-unsur kimia' yang harmonis.

Itu berlangsung nun jauh di sana. Bagaimanakah kehidupan masyarakat di tengah-tengah kota? Bagaimanakah melukiskan kebudayaan sebuah komunitas beriman yang hidup di tengah-tengah hutan beton gedung-gedung pencakar langit, di tengah-tengah pemukiman warga yang kumuh bahkan menyisihkan kesiap-siagaan kapan saja rumah kediaman akan di gusur, di tengah-tengah jeritan anak-anak jalanan yang tak mendapatkan kesempatan mangeyam pendidikan, di tengah-tengah para petinggi negri yang sibuk memperebutkan kursi kedudukan, di sungai-sungai yang menjadi tumpahan limbah industri-industri yang berlomba-lomba membuang sampah? Adakah yang disebut kebudayaan, bila segala tutur kata, percakapan, setiap langkah kaki hingga cara berpikir dan menghirup napas kita tidak pernah dilepas dari kosakata 'konflik diri, kompetisi, keunggulan, untung rugi dan uang?

Demikianlah, generasi modern menghayati Natal tanpa bisa lepas dari mall, restoran, reservasi pesawat terbang, kartu kredit uang, dan segala alat bukti kapitalisme lainnya. Meski demikian kita boleh bernapas lega, karena bayi Yesus dua ribu tahun lebih yang silam juga hadir dalam silang selisih politik dan kebudayaan. Rejim politik pada masa itu tidak menghendaki kelahiran-Nya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Penginjil Matius (2:3). Meski kelahiran-Nya sungguh berisiko tinggi, Dia tetap hadir kedunia ini (bdk. Mat 2:16). Dunia dengan karut marutnya memang bukan untuk ditinggalkan. Yesus Kristus merealisasikan misi penyelamatan manusia dengan satu jalan, yaitu jalan menjadi manusia dan turun kedunia. Sabda harus menjadi Daging agar misi Sang Mesias terlaksana.

Kutipan Matius di atas dilengkapi, dibarengi dengan kutipan versi Lukas. Natal itu sebuah pengalaman mistik untuk orang-orang yang berjiwa sederhana (Luk 2:8-20). Kelahiran Kristus di tengah-tengah manusia dan dunia mengajarkan pada kita terutama penulisnya yakni saya untuk "Larut tanpa Hanyut". ***








(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar