Sabtu, 09 Januari 2016

BER-"ISI"

Seorang murid begitu mengagumi gurunya. Baginya sang guru adalah sumber pengetahuan, hikmat, dan kebijaksanaan. Dalam benaknya, sang guru adalah segala-galanya, begitu luar biasa, dan dapat diandalkan. Ketika kekagumannya semakin kuat hingga cenderung menempatkan sang guru begitu tinggi, sang guru mengingatkan dia dengan sebaris kalimat "Sesungguhnya semua yang isi itu kosong, dan semua yang kosong itu isi." Kalimat pendek itu membuat dirinya bertanya-tanya tentang makna yang sesungguhnya.

"Semua yang isi itu kosong dan semua yang kosong itu isi" adalah kesejatian diri yang asasi. Itulah hakikat yang sesungguhnya dari setiap pribadi. Sebuah metafora yang di dalamnya setiap orang, siapa pun dan bagaimana keberadaan orang tersebut, tidak ada yang "penuh" dan tidak pernah ada yang "minim" sepenuhnya.

Segala sesuatu yang dianggap hebat, kuat, dan tanpa cacat cela (sempurna) sesungguhnya bukanlah apa-apa. Semua itu hanyalah sementara, sebuah kefanaan dan tidak pernah ada yang kekal. Sesaat memang begitu luar biasa dan hebat, tetapi dalam sekejap bisa berubah menjadi sangat berbeda. Oleh karena itu, tidaklah bisa dan tidak munggkin membanggakan diri, apalagi mengunggulkan diri dengan sesuatu yang tampak "isi" dalam diri, seperti jabatan, kedudukan, kepemilikan dan apapun itu. Tidaklah mungkin menjaga dan terus-terusan mempertahankan semua itu selalu melekat dalam diri. Ada waktunya herus melepasnya. Begitu terobsesi terhadap apa yang tampak isi hanya akan membuat menjadi pribadi yang kosong. Merasa isi dan penuh padahal sesungguhnya kosong. "Ah, orang bisa bicara ini itu aku juga bisa bahkan melebihi apa yang kamu katakan"

Sebaliknya, siapa pun yang siap mengosongkan diri dan melepaskan semua yang tampak isi tanpa merasa berat, tetapi dengan rela dan tanpa beban, sesungguhnya ialah pribadi yang benar-benar ber-"isi". Bukankah bulir gandum semakin berisi akan semakin merunduk, tidak berdiri tegak dan menentang sekitarnya. Hanya bulir-bulir gandum yang kosong sajalah yang berkasnya mejulang. Demikian halnya dengan padi semakin berisi semakin menundukan diri.

Mereka yang betul-betul "isi" tidak pernah takut kalau dirinya tampak kosong karena "isi" atau "kosong" tidak pernah ditentukan oleh penilaian dari luar.

Nah, Manusia itu cuma memiliki dua hal, kelemahan dan kekuatan. Kepandaian di satu sisi, kebodohan di sisi yang lain. Oleh karena itu, selama segala sesuatu itu dihasilkan manusia, yaa..hasilnya mengandung dua hal abadi itu yang menempel dan tak bisa dilepaskan.

Jadi, sungguh wajar kalau tak ada karya buatan manusia yang sempurna. Yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah melatih kemampuan menghargai keindahan karya seseorang, tidak hanya dengan kasatnya mata, tetapi juga dengan murninya hati. Syukur-syukur dapat menyerap maknanya bukan malah menggungulinya. Sempurna itu salah satunya kalau saya bisa memainkan hati, dan bukan hanya memainkan mata.

Hal lain adalah: "Nobody has the whole truth, every body has piece of everything." Di dunia ini tidak pernah ada seorang pun yang memiliki seluruh kebenaran; masing masing orang hanya memiliki sepotong kebenaran (termasuk saya). Oleh karena itu, tidak pernah ada seorang pun di dunia ini yang sepenuhnya tanpa cacat cela (sempurna) atau sepenuhnya "isi", selalu saja ada bagian dari dirinya yang dipenuhi oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya, tidak pernah ada di dunia ini pribadi yang sepenuhnya "kosong", selalu saja ia dapat memberi sumbangsih untuk orang lain agar dapat dipenuhkan.






(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar