Rabu, 02 September 2015

HIDUP SEPERTI SUNGAI

Foto 2013, Lokasi kotoarjo, Purworejo
Hidup itu mengalir seperti sungai. Sungai yang mengalir dan membenamkan kaki hingga lutut. Arusnya mendorong, mencoba membuat goyah dan jatuh. Ketika jatuh, ia akan menyeret terus dan terus.  Sekiranya mampu bertahan dan masih tegak berdiri, suatu saat akandatang pula arus yang lebih deras lagi. Yang mencoba untuk membuat jatuh atau membenamkan lebih tinggi, hingga tak ada tumpuan untuk tetap bertahan lagi, atau ia akan menenggelamkan sama sekali hingga tak kelihatan. Pada saat itulah dorongannya yang tak lagi tertahankan, akan membawa dan menyeret terus mengikuti kemana arus akan pergi. Pada saat itulah ia akan menampakkan kuasanya, yang dengan mudah dan bebas menggiring ke arah mana ia mau.

Berenang? Ya...., berenanglah selagi mampu dan bisa. Berenanglah agar tak terbawa arus selagi masih gagah dan kuat. Berenanglah dengan seluruh kekuatan, dengan segala akal budi dan pikiransejauh manapun berusaha, sejauh itu pula ia akan menambah kekuatan arusnya hingga mampu menyeret dan membawa pergi, hingga mampu menguasai sepenuh-penuhnya. Berdirilah aku di tepian, memandang potret diri yang mengapung di arus zaman.

Hidup ini mengalir seperti sungai. Dengan air yang jernih menuruni lereng-lereng pegunungan dengan bebatuan yang di tumbuhi lelumutan. Membawa kehidupan bagi setiap harapan yang di tanaman oleh setiap insan. Tanaman yang ditanam oleh para petani. Harapan yang terus membesar karena desakan para tengkulak dan para pedagang kota yang menawarkan eksotisme baru. Para petani itu memaksa tanamannya untuk memberi lebih dan lebih. Memberi dengan lebih cepat, memberi dengan lebih banyak. Penggangu dan hama tanaman di basmi dengan pestisida, herbisida, fungisida. Pupuk-pupuk kimia buatan pabrik menggoreng setiap jengkal tanah sawah hingga matang serta dihidangkan pada tanaman bahkan tak sanggup lagi menyerap air yang digelontorkan. Air pun mengalir bersama herbisida, pestisida, fungisida dan pupuk kimia lainnya melewati got-got, parit-parit kecil untuk bergabung kembali menjadi sungai yang terus mengalir menuju desa jauh di bawah.

Foto 2013
Di sana air itu di gunakan untuk mencuci, mandi, mengguyur sapi dan kerbau bahkan untuk minum sehari. Air sungai yang di atas pegunungan memberi kehidupan, di bawah membawa kematian secara perlahan. Siapakah yang persalahkan? Tiada semua makhluk di bumi membutuhkan. Berhentikah aliran sungai itu di sana? Tidak! Air sungai terus melaju menuju kota, menyusup di parkabungan warga, di perkampungan padat di mana tanah tak lagi terlihat, yang nampak.

Hidup seperti sungai. Seperti sungai yang digambarkan oleh para pelukis tradisonal di Sukaraja. Indah di kanvas, damai tergambar, tenang terlukiskan. Air berwarna jernih memantulkan setiap bayangan yang kelihatan, ada pohon dan tanaman, serta sawah di kejauhan Ada gunung dan awan lembut yang padu dalam warna dan kesejukan. Ada yang dilukiskan dengan perahu nelayan yang menggambarkan harap, atau para pemancing yang berusaha mendapatkan ikan untuk lauk hari ini. Ada pula yang melukis dengan riak-riak kecil dan ikan-ikan berenang tampak dari atas permukaan. Di satu sudut ada tanaman air yang segar, di sudut lain ada teratai yang memamerkan kelopak putih, merah, hijau atau ungu yang anggun. Hidup mengalir tenang seperti sungai yang menggambatkan estetika alam, namun tidak semua.

Pasar Apung, Lok Baintan, Banjarmasin
2012
Ada keindahan lain yang tak tergambarkan, ketika sungai itu menyusuri setiap kelokan, membentur batuan dan terjun dari ketinggian. Ketika terlihat lumpur, pasir di tepi sungai dengan berjajar tanaman bakau. Ketika terlihat dalam pusaran untuk beberapa saat sampai akhirnya harus mengalir lagi menuju titik-titik pertemuan dengan sungai kecil lainnya. Menyatu menjadi lebih besar dan terus bertemu dengan yang lain sampai kesungai yang lebih besar nan luas. Ketenagan sejenak akan terasa sebelum akhirnya memasuki muara, tempat dimana air sungai kehilangan identitas diri sebagai air sungai. Dimana kenyataan akhir berbicara mengenai deru gelombang dan ombak yang tak henti-hentinya membentur pantai, dan karang. Terus pergi dan terus kembali, terus menggelombang nan pecah sebagai ombak yang melaju membentur nan membentur lagi. Hidup tidak lagi seperti sungai, pada akhir perjalanan yang bilamana dilukiskan dalam kata. 
"Aku berdiri, seperti potret diri dengan lebih jelas. Haruskah hidup ini kusesali, kutangisi, ataukah untuk kupahami?"








(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar