Setangkai kembang, mekar dengan indah dikumpulan semak dengan latar lapangan yang gersang. Sementara langit di atas mendung dengan awan tebal yang bergulung-gulung. Sesekali gerimis jatuh dan membasahi tanah yang kering merekah. Angin sepoi berhembus pelan. Sayup-sayup terdengar bebunyian sapi dari kandang di kejauhan sana. Suasana menjelang siang terasa sepi. Demikianlah ketika ku berada jauh dari keramain kota kala itu di sebuah desa di pinggiran kota..
Dengan terpana ku melihat keindahan kembang ini sebuah kontras yang cantik di tengah hamparan semak dan bumi yang bisu. Di sini, kehidupan seakan diam dalam keheningan tanpa terusik oleh riuh rendah kesibukan nun di kota besar. Seakan jauh terpencil dan memencilkan diri dari segala kesesakan dan pengejaran segala hasrat, ambisi dan kepentingan diri. Di sini, seakan kehidupan, hidup ada buakan untuk di nilai atau di rebutkan, tetapi untuk membagikan dirinya kepada siapa saja tanpa pamrih.
Sejenak ku pandangi bunga ini dan merenungkan. "Dapatkah menjadi seperti setangkai bunga yang indah itu?" Dapatkah kita tumbuh kembang tanpa di penuhi segala keinginan yang muluk-muluk, hasrat, ambisi dan nafsu yang ingin kita miliki sendiri. Sadarkah kita? Bukankah justru segala kekecewaan, sakit hati dan keputus-asaan kita justru berawal dari keinginan, hasrat ambisi dan nafsu kita? Jika apa yang kita dambakan, apa yang kita inginkan tak tercapai lalu merasa gagal dan tak berdaya atau bahkan menjadi sumber perselisihan dan pertengkaran dengan mereka yang kita anggap telah mengaggu hasrat, ambisi, dan keinginan kita tersebut?.
Setangkai kembang mekar indah mewangi di tengah hamparan semak belukar kita yang sebenarnya hadir di dunia tidak seorang diri, namun kemudian mengira bahwa bahwa semua ada dan harus menjadi milik peribadi. Seharusnya dapat menikmati dan merenungkan keindahan kembang itu sebab bukankah jika seseorang datang lalu kemudian memetik kembang yang cantik itu mematahkan tangkainya dan kemudian meluluhkan dedaunnya dengan segera akan layu, melepaskan kelopak-kelopaknya berguguran dan segera lenyaplah seri keindahanya.
Dunia ini hadir bagi kita. Kita semua. Bukan pribadi-pribadi, dunia ini ada untuk di hidupi dan menhidupi kita secara bersamaan bukan untuk satu orang atau satu kelompok tertentu saja. Manusia hadir bersama lingkungan yang unik pula. Sebab alam tak pernah memilah-milah. Alam tak pernah menentukan siapa yang memiliki apa. Alam akan membagikan hidupnya bagi dan untuk semua orang untuk kita, untuk mereka, kalian dan siapa saja yang hidup bersama dan di dalamnya. Demikian juga Tuhan tidak memilah-milah, tak peduli baik atau jahat, DIA tidak memilah-milah dan tetap mengasihi dan memberikan berkatNya pad siapa saja. Jadi siapa saja yang berambisi untuk mengatakan bahwa dunia ini miliknya dan berhasrat ingin menguasai, merebut, menghacurkan segala penghalan yang tidak sejalan dengan keinginanya akan menemui kekecewan dalam hidupnya.
Dan tidakkah kita hanya tamu sesaat dalam sejarah panjang akan semesta ini? tidakkah kita hanya secuil waktu yang tepat ada di saat dan momen tertentu dalam sejarah kehidupan yang sudah teramat panjang dan tak terukir ini? Jadi apa yang harus di katakan jika seseorang tamu justru ingin merebut, menguasai posisi menjadi tuan rumah. Padahal kita hanya sesaat saja hadir untuk kemudian akan lenyap. Bagai debu. Seperti debu yang menghilang tertiup angin. Bagi embun pagi yang jatuh ke bumi. Embun yang jatuh kebumi yang kemudian lenyap terken sengat sang surya.
Setangai kembang mekar mewangi dengan indah di padang gersang tak memilah dimana, untuk apa dan bagaiman, dan menerima apa adanya. Setangkai kembang mekar justru karena dia mau mekar dan membagikan dirinya pada semua insan tanpa memilah-milah. Alam memang tak pernah memilah demikian pula dangan Tuhan, DIA tetap memberi hujan dan hangat matahari kepada siapa pun. Kitalah yang melakuakan demi nama dan atas nama pegetahuan kepraktisan atau terkadang malah karena kemalasan kita untuk berpikir dan sebab itu menemui jalan pintas dengan membagi-bagikan benda hidup dan waktu ke dalam kotak-kotak tertentu. Padahal sesungguhnya kotak seperti itu tak ada tak pernah ada. Selama dalam pemikiran manusia saja. Ya, pemikiran kita
Tetes gerimis mulai turun dari celah langit dan membasahi bumi, membasahi apa dan siapa saja. Semetara kembang yang indah itu nampak seakan tersenyum. Tersenyum padaku - Padamu - Tersenyum pada mereka. Pada siapa saja. Sebab dia tersenyum untuk dunia, kepada dunia, bagi dunia.
"Ya, TUHAN maafkan kami bila kami bertidak tidak adil pada sesama, berilah kami kebijaksanaan agar mampu bertindak adil pada sesama dalam hidup ini. Amin"
Yustinus Setyanta
Kalasan - Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar