Derit roda besi perlahan berputar melegakan hati para penumpang yang bersabar menunggu kereta api Sancaka meninggalkan Stasiun Gubeng Surabaya. Roda-roda besi pun menggelinding memberangkatakan kereta. Sinar mentari perlahan terik. Terlihat hamparan sawah yang luas di sepanjang perjalanan ini nampak hampa. Bumi nampak seakan kering dan gersang. Satu dua pohon yang tumbuh di tepi jalan nampak merangas. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Sawah-sawah yang kelihatan nampak kering. Kemarau tiba. Tak ada angin bertiup. Di dalam kereta yang ku tumpangi menuju jogja, para penumpang tenggelam dalam hidup mereka masing-masing. Wajah-wajah yang letih. Wajah-wajah yang seakan menyiratkan ketidak-pedulian pada apa pun juga. Seakan masaing-masing menyimpan beban berat dalam hati mereka. Merka sibuk dengan diri masing-masing. Dalam hidup mereka. Ku pandang ke luar dari balik jendela kereta dan menyaksikan suatu pemandangan yang membosankan. Suatu pemadangan yang tanpa arah. Dan tanpa ujung.
Sayup-sayup, dari speker yang bersuara sumbang, terdengar nada lagu Ebid G Ade. "....perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan...." ahh....akan kemana aku saat ini? aku merasa tak seorang pun peduli, tak ada yang ku ajak berbincang, tak ada yang mau bertukar kata. Terasa hidup, bagi kami, sudah menghimpit rasa dan akal kami, sehingga tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal lain selain dari diri sendiri. Udara pengap. Kereta melaju cepat. pendingin pun mati. Debu mengepul menempel di kaca jendela. Perjalanan kali ini tertelan sepi. Seperti tanpa ujung. Kapan sampainya.
Terik. Pengap. Bau keringat menyergap bersama aroma aneka macam barang bawaan para penumpang. Dengan perasaan letih, ku memejamkan mataku. Berusaha untuk tidak berpikir apa-apa. Berusaha untuk melupakan apa yang nampak di sekelilingku. Mengambil jarak antara kenyataan dan anganku. Mencoba menikmati hidupku sendiri. Menukmati keletihanku. Menikmati kebosananku. Kereta meleju dan terus melaju. Sesaat serasa seakan aku berada seorang diri di dunia yang telah mati. Seorang diri di tengah kekosongan hidup. Pagi menjelang siang adalah suatu perjalanan yang pengap, gerah, tanpa kepastian.
Dengan perlahan, ku coba untuk melupakan perasaanku, aku coba untuk mengosongkan pikiranku, aku coba melupakan segala apa yang sedang terjadi. Pada akhirnya aku harus menerima kenyataan yang telah terjadi. Dan apapun yang akan terjadi, yang bisa ku lakukan hanyalah mencoba menikmatinya. Rasa sepi dan bosan. Rasa hampa dan tak bermakan. Semua berawal dan berakhir dalam diriku sendiri. Ku serahkan segalanya kepada-Nya. Dan aku sadar, bahwa perjalanan ini sesungguhnya akan menuju dan kelak tiba di satu titik tujuan tertentu. Hidup bukan tanpa ujung, dan tanpa unjung hanyalah illusi belaka.
Aku. Kami. Kita. Mereka. Dapatkah perjalanan hidup yang sedang dialami ini menyatu semua? bagai keping-keping puzzle, gambaran apakah yang kelak akan nampak saat ia membentuk suatu keutuhan di tujuan kehidupan kita? Kebenaran siapakah yang kelak akan membuktikan dirinya sendiri. Penderitaan. Kesepian. Kebosanan. Situasi. Kondisi. kpedihan. Suatu perjalanan bersama kita lakukan, kita lalui dan lewati suatu perjalannan bersama namun sering tanpa kebersamaan. Kita mencari kadang tak menemukan. Kita mencoba menjadi untuh namun hanya ada kepingan-kepingan yang berserakan. Puing-puing yang berupaya disatukan namun seringkali hanya kegagalan yang terjadi. Karena kita tenggelam dalam diri kita mnsing-masing. Kita lelap dalam hidup kita masing-masing. Kita memikul beben hidup dan tak mampu membagikan. Kita. Kami. Aku. Mereka.
Kereta melaju dengan cepat tak terasa di sing hari yang terik matahari yang kian mulai miring ke barat tibalah aku di Yogyakata. Jogjaku aku datang.
Yustinus Setyanta
Di dalam kereta Sancaka
Surabaya - Yogyakatya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar