Dalam doa aku berbincang dengan-Nya. Tentang pengalaman hidup. Tentang kehendak ku dan kehendak-Nya. Ku lontarkan berbagai argumentasai yang ku bisa yang menurut ku masuk di akal, paling benar. Sampai aku merasa lelah. Tetapi DIA hanya diam.
DIA tetap melanjutkan rencana kehendak-Nya. Hingga akhirnya aku diam tak berani bertanya tak berani berargumentasi, aku diam hanya diam dan ku temukan bahwa kehendak-Nya lah yang memang aku butuhkan yang membuat ku tenang, bukan keinginan ku. Yang dapat ku lakuakan adalah mampersembakan setiap yang ku alami bersama persembahan-Nya di altar. Setiap aku pergi ke altar-Nya tidak lagi dengan tangan hampa dengan persembahan yang hidup. Persoalan, masalah, kebahagiaan, keberhasilan, kegagalan. ku terima berkat-Nya dan ku bagikan pada sesama dan dalam setiap tugas ku.
Tak mudah untuk diam. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari jalan keluar yang mustahil. Diam untuk berkaca pada diri sendiri. Diam untuk menimbang sebuah kensekuensi dari rasa yang di pendam. Diam yang sungguh di sadari, keluar dari hati bukan kerena lari dari persoalan. Ketika merasa di perlakukan tidak adil, ingin rasanya kita membela diri dan berbicara dan punya peluang untuk itu. Namun maukah kita mengerti tak semua persoalaan harus di hadapi dengan kekerasan dan pembelaan diri.
Kita mulai belajar mencintai justru dalam"kekalahan" yach....kita memeng di anggap kalah, dan memang kita merasa begitu. Tetapi kita justru jadi pemenang, Seorang pemenang bukanlah orang yang tak pernah gagal dan kalah,. Seorang pemenag adalah orang yang pernah gagal dan kalah. Tapi coba bangkit lagi karena imannya seteguh batu karang. Perjuangan untuk mencintai justru semakin murni kesakitan dan kekecewaan.
Bersyukurlah betapa sulit mencintai dan betapa melegakan miliki cinta yang tulus dan betapa besar cinta Tuhan kepada kita dengan setia menuntun kita untuk mencintai sesama.
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar