Kamis, 14 November 2013

REVELASI IMAN

Belajar dari Bartimeus, Si pengemis Buta di pinggir Jalan.
       
        Si Pengemis buta itu duduk di pinggir jalan ( Mark 10 :46-52). Di pinggir jalan adalah situasi yang tidak penting. Ia hanya menjadi penting kalau merujuk pada apa yang sedang terjadi di tengah jalan. Namun, Meskipun demikian, siapa pun yang mengerti tentang keadaan di pinggir jalan, akan segera merasa bahwa berada di pinggir jalan adalah suatu pilihan yang di lakukan dengan sadar, suatu keputusan yang dijalankan dengan tepat, karena pilihan ini berkenaan dengan posisi yang pas untuk mengamati apa yang sedang terjadi di jalan.
         Bartimeus memilih dengan sadar untuk berada di pinggir. Ia berada dari suatu jarak. Meskipun tidak dapat melihat, ia selalu berusaha mendengarkan apa yang sedang terjadi de tengah jalan. Niatnya hanya satu, yaitu merekam sebanyak mungkin, dan mengingatkan dirinya sendiri tentang apa yang sedang terjadi, dan apa saja yang menjadi perbincangan banyak orang di tengah jalan.
         Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa ia tidak mau masuk ke tengah kerumunan dan lalu lintas orang banyak di tengah jalan. Yang di butuhkan adalah mandengarkan dengan tekun, menyimpan semuanya di dalam diri. Tentu ia tidak saja mendengarkan tentang semua yang dikatakan. Tetapi, lebih khusus lagi, ia mendengarkan tentang peristiwa-peritiwa ajaib: si lumpuh berjalan, yang sakit di sembuhkan, roh jahat di usir, dan bahkan orang mati dibangkitkan. Semua yang ia dengar itu berhubungan dengan satu nama: YESUS, anak Daud.

Pengharapan.
         Secara pribadi, Bartimeus mengharapkan agar semua yang ia dengar, boleh terjadi pada dirinya. Oleh kerena itu, ketika YESUS berjalan lewat dari pinggir jalan, ia berteriak secara spontan: "Jesu, fili David miserere mei - YESUS, anak Daud, kasihanilah aku" Seruan ini muncul secara sepontan, keluar begitu saja dari mulutnya dan tanpa beban. Selain itu, seruan seperti ini lahir dari kondisi dan situasi, yang baginya tidak perlu diterima sebagai tugas yang di berikan oleh eksistensi yang peduli dengan persoalaan dan harus segera di tuntaskan. Yang ada di dalam dirinya hanya satu pengharapan, meskipun pengharapan itu tercampur dengan kefanaan dari diri yang terbatas.
         "Anak Daud, kasihilah aku!" Ini adalah pengakuan iman Bartimeus yang paling jujur. Pengakuan ini tidak lahir dari tradisi, atau merupakan warisan. Ia adalah hasil revelasi hidupnya yang membaur dengan keterbukaan dari diri yang terbatas.
         Tampaknya pengakuan seperti ini juga tidak di dasarkan pada kanon-kanon agama, atau pada ritus dan ibadat yang diajarkan sebuah tradisi. Imannya bertumbuh dari revelasi hidupnya di jalan dan menyatu dengan bumi. Dengan fananya hidup ini. Tidaklah mengherankan, ada yang melihat bahwa seruan semacam ini adalah credo dan mazmur yang datang dari jiwa yang tulus dan luhur.
          Siapa yang tahu kemana kata-kata atau suatu pembicaraan akan pergi. Bartimeus juga mungkin tidak tahu dan tidak percaya akan apa yang ia serukan. Yang terjadi bahwa kata-katanya kuat dan hidup terus, dan bahkan menggema mengatasi dirinya. Kekuatan seruan seperti inilah, kemudian membawa Bartimeus masuk ke dalam lompatan transendental untuk menyeberang dari dirinya. Lompatan ini berawal dari kesadaran tentang situasi dari yang terbatas: berada di pinggir jalan, tidak dapat melihat, dan selalu mengemis. Ketiga hal ini adalah motifasi yang  yang menggerakkan dia kepada satu kesadaran yang lebih tinggi, yaitu agar dapat melihat!

Iman Yang Jujur
           "Rabuni, supaya aku dapat melihat!" Bagi Bartimeus, melihat buakan sekedar sustu kerinduan psikologis. Lebih dari itu, Baginya, melihat adalah kekuatan yang dapat mengubah sekaligus menghidupkan. Oleh karena itu, ia pun berjuang dan memberanikan dirinya masuk ke tengah pasar keselamatan dan melakukan tawar menawar.
            Setelah ada kesadaran baru untuk mempertanyakan kondisi dirinya, lalu memilih jalan bersikap kontra diri - dari keadaan buta kepada kerinduaan untuk melihat - Bartimeus dengan tegar ingin segera mengekspresikan suatu antitesis dengan keadaan yang sedang ia gumuli. "Rabuni, supaya aku dapat melihat!"
            Hal semacam ini dapat di mengerti, karena Bartimeus merasa telah menguasaui dirinya dan ia mau memperlihatkan suatu bentuk ekspresi imannya yang paling jujur. Ia seolah mau mempertanyakan, apakah ungkapan iman yang dikemas lewat peti konvesi masih cukup sesuai dan juga masih kuat untuk suatu kehidupan? Batimeus mungkin lebih yakin, bahwa ungkapan iman yang dikemas lewat peti konvensi masih cukup sesuai dan juga masih kuat untuk suatu kehidupan? Barimeus mungkin lebih yakin, bahwa ungkapan iman tidak selamanya terjadi dalam ruang kudus tempat orang memasang lilin, dan kemudian bertekuk lutut sambil melupakan kehidupan yang keras di luar.
             Memang kefanaan selalu menguncangkan hati, dan kita pun selalu merasa di sentuh oleh kefanaan itu. Sering ia membuat kita bergetar, karena kita selalu berada dan berhubungan dengan bumi. Kesadaran seperti ini dapat saja menampilkan bayangan lain di dalam diri kita, yaitu bahwa kita sebenarnya juga buta, dan seharusnya kita juga selalu memohon. Begitulah, kita harus selalu hidup dan senantiasa meminta diri. Tentu ini semua hanya mungkin, kalau kita sanggup membawa diri kita ke pinggir, mengambil jarak, menemukan sendiri batas-batas diri, dan boleh mendengar lagi secara baru segala hikmat kehidupan yang sedang mangalir di tengah jalan hidup kita.
              Kita boleh mengatakan bahwa iman adalah sebuah seruan yang selalu terbuka bagi suatu keadaan. Namun, seperti Batimeus, kedatangan itu harus selalu di antisipasi agar setiap kita mampu bergerak melampaui setiap hirizon diri, meninggalkan batas-batas diri, dan mampu bersentuhan dengan Yang Tidak Terbatas. Bukankah cerita tentang iman adalah cerita saat manusia menjadi makhluk yang tidak sempurna dan mengalami persentuhan dengan yang Mahasempurna? Begitulah, kita harus selalu dan senantiasa meminta diri agar kefanaan kita berhubungan dengan yang abadi itu, dan dosa kita selalu bersentuhan dengan rahmat.






Yustinus Setyanta
Jogja


Tidak ada komentar:

Posting Komentar