Liturgi yang kita selenggarakan sekarang ini memiliki tradisi panjang. Tradisi ini bergerak bersama dan seiring dengan unsur-unsur kebudayaan lain, seperti seni musik, seni lukis dan seni teologi bangunan. Dalam sejarah, unsur teologi liturgi dan seni arsitektur serta unsur-unsur kebudayaan lain, satu sama lain saling mempegaruhi. Wajak dan karakter gedung gereja yang memancar mengemuka adalah hasil interaksi dengan kebudayaan pada masanya. Sebagus dan seindah apa pun gereja di Eropa, ia tidak tepat bagitu saja ditiru untuk Gereja Indonesia, karena Gereja Indonesia memiliki pergumulan sosial-kebudayaan yang khas. Meski demikian, kita yang tinggal di Indonesia memang harus tetap terbuka belajar dari filosofi dan teologi gereja tua yang mendahului ini.
Berbicara tentang gedung dan arsitektura gereja tekadang kita menghadapi prinsip pragmatis ini: "Bentuk mengikuti fungsi". Kalau kita mempunyai banyak umat, maka bentuk aula dan kursi seperti di warung bakso adalah pilihan terbaik. Simbol dan keindahan tidak penting, yang dibutuhkan muat banyak. Sudah tentu, para teolog dan budayawan tidak setuju dengan prinsip "bentuk mengikuti fungsi" ini. Terlebih, bila prinsip ini diberlakukan secara mutlak.
Manusia adalah makhluk religius. Sudut-sudut yang paling dalam dan paling tersembunyi dalam diri manusia berisi napas kerinduan pada Yang Ilahi. Gedung gereja, dengan demikian, harus sedemikian rupa dibangun untuk mendekatkan bahkan menyatukan manusia dengan Yang Ilahi.
Teologi ruang dan teologi batu di atas menjelaskan setiap sudut dan material dengan kaidah-kaidah spiritual dan liturgi. Ia mengolah keharmonisan antara keindahan ruang dan alasan tujuan mengapa gedung gereja ada. Teologi ini juga menguraikan bagaimana simbol-simbol di dalam gedung itu berfungsi dan berbicara kepada
orang-orang beriman yang berkunjung di dalamnya. Di zaman klasik, imam yang memimpin liturgi berkotbah sambil memanfaakan gambar-gambar suci yang di lukis di dalam gedung gereja.
Terlepas dari semuanya itu, gedung gereja yang menonjolkan kekenesan juga tidak akan mendukung umat. Kekenesan tersebut tampak antara lain ketika gereja penuh dengan simbol dan pernak-pernik yang membuat umat merasa asing. Megah dan berpendar-pendar, tetapi umat tidak merasa nyaman dan dekat dengan Tuhan.
Membangun gedung gereja harus menghadapi berbagai dilema tersebut di atas.
Yustinus Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar