Minggu, 04 Mei 2014

CERPEN : BUKU KECIL SEORANG RAHIB TUA

      Pagi itu masih sunyi. Suara-suara seolah bersembunyi di biliknya masing-masing. Hembusan angin pagi menyapu sebuah pertapaan tua yang teletak di lembah pegunungan Giri, sebuah pertapaan tua yang melestarikan aturan hidup Benediktin (Trappist). Pertapaan ini dikenal dengan Nama Pertapaan Santa Maria.
      Seorang rahib tua berjalan dari kamarnya menuju ke kapel. Sebuah rosario tua yang terbuat dari kayu gaharu tergenggam di tangannya, dia memanjatkan doa rosario sambil berjalan menuju ke kapel. Lantai kayu yang bergesekan dengan sandalnya sesekali menimbulkan bunyi berdecit memecah keheningan.
     Ketika dia membuka pintu kapel, para rahib lainya menatapnya dengan tatapan mata yang tajam. Tatapan mereka seolah-olah menatakan, "Lagi-lagi kau terlambat datang ke kapel!" Rahib tua itu tidak merisaukan tatapan mata rekan-rekannya. Baginya, itu bukanlah penghakiman, melainkan sebuah cambuk untuk memperbaiki hidupnya.
     Di tempat dukuknya, dia masih menyelesaikan doa rosarionya sambil mempersiapkan batin untuk mengikuti perayaan Ekaristi pagi. Segala sesuatu berjalan seperti biasanya. Hanya saja ada sebentuk kegundahan yang diam-diam menghinggapi hatinya. Kegundahan itu terus menggangu hatinya sepanjang hari. Kadang-kadang pikirannya melayang-layang entah ke mana pada saat bekerja, dia berusaha mendaraskan doa batin untuk menyingkirkan kegundahanya yang tak jelas asal usulnya. "Rahib Pius! Rahib Pius, ember tempat susunya!" seorang rahib muda yang menjadi teman kerjanya membuyarkan khayalannya. Rupanya Rahib Pius lupa menaruh ember untuk menampung air susu. "Terima kasih, ya, sudah mengigatkan, maklum udah tua, jadi mudah lupa," kata rahib Pius mencoba menjelaskan. Rahib Pius cukup akrab dengan para rahib muda. Banyak rahib muda yang senang berbincang-bincang bersendau gurau, dan bimbingan rohani dengannya. Senyum, keramahan, keceriaan, dan kerendahan hatinya, keteladananya menjadi daya tarik tersendiri bagi para rahib muda. Ketekunanya dalam berdoa juga menjadi teladan bagi para rahib lainya.
     Namun hari ini, dia tidak terlihat seperti biasanya. Tak ada senyum memgiasi wajahnya. Tatapan matanya menyiratkan ada beban pikiran yang menekannya. Seusai memerah susu sapi, dia lagsung meninggalkan para rahib muda yang membantunya. Padahal, biasanya dia menyempatkan diri untuk bercengkrama sejenak dengan para rahib muda.
     Setiap malam, rahib Pius menuliskan hasil permenungan hariannya dalam sebuah buku kecil. Buku kecil itu merupakan kuntum-kuntum indh yang dia peroleh selama membaktikan hidupnya sebagai seorang rahib (Trappist) selama empat puluh tahun. Bila ada waktu senggang, dia menyempatkan diri untuk membaca kembali apa yang telah dia tulis dalam buku itu. Di saat kesepian dan kekeringan rohani mendera, buku itu memberi inspirasi untuk menemukan kembali semangat hidupnya.
     Namun malam itu, Rahib Pius tidak dapat menuliskan sepatah kata pun dalam buku itu. Kegundahan yang menderanya sepanjang hari tak juga menghilang. Khayalan tentang salib dan kematian sesekali melintas dalam benaknya. "Apakah sudah waktunya aku menhadap Sang Khalik?" pertanyaan itu muncul dalam hatinya. Memang hatinya sudah siap kalau sewaktu-waktu ajal menjemputnya, dia merasa sudah cukup mengenyam pahit manis hidup selama delapan puluh tahun. Namun, kematian tetaplah sebuah pengalaman yang menggetarkan untuk seorang manusia. Apalagi, bila dia sendiri tahu kematian sedang menantinya.
     Lonceng tengah malam berdentang. Rahib Pius masih duduk termenung ditemani buku kecil dan pena yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya setiap malam. Belum ada satu kata pun ditulisnya, dia membolak-balik Kitab Suci yang ada di atas meja belajarnya. Tanpa sengaja dia menemukan teks mengenai perjumpaan Musa dengan Yahwe di Gunung Sinai. Musa berjumpa dengan Allah yang hadir dalam semak belukar yang menyala-nyala tetapi tak terbakar. Musa merasakan tidak sanggup ketika Yahwe memintanya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Saat rahib Pius mencurahkan segala perhatiannya untuk menyelami pegalaman Musa di Gunung Sinai, tiba-tiba muncul gambaran tentang Yesus yang berdoa di Taman Getsemani, dia seolah-olah merasakan ketakutan dan kegentaran seperti yang dialami Yesus menjelang saat-saat penderitaan dan kematian-Nya.
     Matahari telah mengusir malam. Kehidupan di Pertapaan Giri pun mulai menggeliat. Namun, ada sesuatu yang berbeda di pertapaan. Seusai makan pagi, seorang rahib muda menemukan Rahib Pius sudah meninggal. Cerahnya pagi berubah menjadi mendung yang menghinggapi para rahib lainnya. Mereka kehilangan seorang rahib yang mereka sayangi. Mereka tak menyangka rahib Pius meninggal hari gtu. Para rahib mengadakan Misa Requiem dan upacara pemakaman sederhana untuk melepas kepergian Rahib Pius.

* * * * *

      Beberapa bulan kemudian, gunung Giri meletus. Muntahan materialnya menimbun Pertapaan Santa Maria. Para rahib mengungsi ke paroki terdekat yang tidak terkena dampak bencana. Beberapa rahib menjadi korban karena tak sempat menyelamatkan diri. Banyak barang-barang yang tidak bisa dibawa ke tempat pengungsian. Namun seorang rahib muda berhasil menyelamatkan barang-barang peningalan Rahib Pius.
       Tidak ada seorang rahib pun yang peduli dengan buku kecil Rahib Pius. Bahkan setelah Pertapaan Giri dibangun kembali, belum ada orang yang membuka buku itu. Buku itu hanya diletakkan di antara barang-barang peninggalan Rahib Pius lainnya.
       Suatu malam ada seorang rahib muda sedang dilanda kekahawatiran akan jalan hidup sebagai seorang rahib. Apa yang baginya dulu begitu bermakna kini terasa hampa, dia teringat akan Rahib Pius.
      "Seandainya Rahib Pius masih ada, barangkali aku bisa memecahkan persoalan ini dengam lebih mudah. Hanya padanya aku bebas menceritakan segala pergulatan batin yang aku alami," kata Rahib muda itu.
      Malam semakin larut. Jangkrik-jangkrik mengerik membentuk simfoni. Rahib muda itu duduk termenung di hadapan barang-barang lainya. Buku kecil yang terlihat sudah usang itu diambilnya. Tulisan dalam buku itu begitu rapi, dia membaca refleksi-refleksi singkat yang ditulis Rahib Pius.

"Hidup adalah anugerah Allah yang harus disyukuri dan dimaknai sebagai panggilan untuk meneruskan kebaikan dan kasih Allah kepada sesama"
Hidup dengan tujuan mulia membuat hidup penuh makna dan dihayati dengan tegar, penuh semangat, gembira, dan tahan uji. Hidup hanya sebentar. Orang tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana maut datang menjemput, maka hidup harus dihayati dengan penuh tanggung jawab, berkiblat pada keabadian, sehingga setiap saat siap menghadapi kematian.
Pengalaman jatuh bangum yang menyakitkan membuat orang semakin ditempa dan matang, ibarat kayu yang dipahat menjadi patung yang indah.

       Halaman demi halaman memberikan sebuah pencerahan baru bagi hidupnya. Dia menemukan jawaban atas kehampaan yang mendera hatinya. Sebuah harapan baru muncul dalam benaknya untuk tetap setia menjalani rutinitas hidup sebagai seorang rahib.
      Keesokan hari, dia menyerahkan buku kecil Rahib Pius kepada Abas, pemimpin pertapaan. Abas membaca dengan seksama buku kecil Rahib Pius. Akhirnya, dia menyatakan, Rahib Pius telah memberikan warisan berharga untuk Pertapaan Giri mulyo. Buku itu dijadikan bacaan wajib bagi para rahib muda.
      Buku kecil Rahib Pius mengobarkan hati setiap orang yang rindu untuk mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah. Buku itu merupakan kuntum-kuntum kehidupan seorang rahib. Di halaman terakhir buku itu tertulis:

"Bukan aku yang menemukan-Nya, tetapi DIA yang menemukan aku.
Percayalah kematian dan kehidupan.
DIA hadir dan menyertai kita sampai akhir zaman. ¤
THE END


(Cerpen di tulis pada waktu retret pribadi di Pertapaan Santa Maria, Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah)

Oleh : Yustinus Setyanta.
Pertapaan Santa Maria, Rawa Seneng, Temanggung, Jateng. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar