Rabu, 07 Mei 2014

Puisi : BATANG

Siang mengulung pagi.
Petang dan malam saling memasuki.
Aku membuka benih. Aku pun bersemi
Membuka daun dan tunas sepi.
       Syukur, Tuhan memberi segala kebaikan putih: putih dari.
       Putih nun, putih dari kelopak kun,
       putih dari susu kembang rabun.
Aku pun dibaptis di bukit paling tinggi,
di mana segala satwa. Purba mengenali,
aku sebagai cikal pangkal kelezatan tak terperi.
Sebentuk gilap sebelum fajri. Semisal sebab sebelum semai.
Serupa megap sebulum permai.
Tapi, ada baiknya ini kau mengerti:
Sebelum putik jantan berdiri di puncak bumi.
Sebelum kelopak. Birahi terbuka di goa-goa yang terberkati.
Akulah pemilik genap. Penguasa lembab.
Aku membelah untuk menetaskan tunasku.
Membelah dan menetas lagi. Membelah dan menetas lagi.
Bertahun-tahun begini. Hingga cabang jadi lengkap.
Angin tergeragap. Kupu-kupu terkejap.
Dan kekumbang menyingkap sayap harap.
Merapal yang sedap-sedap.
Bingung pun dimulai. Dimulai dari sini.
Ketika Tuhan memekarkan sebelah pelupuk mataku nan permai.
Seekor kura-kura kuno menyebutnya kembang. Sang biang bagi.
Keharuman dan kesegaran kuncup-kuncup bumi. Sungai-sungai.
Mengembung dan meninggi, menahan geletar tersembunyi.
Sebutir bulan mulai menciut pucat pasi.
Sepasang gelap menatap. Kearahku, sembari memanggili alap-alap pagi.
Dan seperti berantai.
lap-alap mengajak codot. Codot mengajak kalong.
Kalong. Mengajak kunang.
        Dan, dalam remang kekerlip kunang.
        Aku tak tahu siapa yang mencuri dan menebarkan benihku.
        Sementara akar-akarku terus menjalar.

       Hingga jadi lumut, jadi rumput, jadi semak yang merebak warna.
       Warni, menghiasi petak-petak sepi dan leladang yang sedih.


Yustinus Setyanta
Wonogiri - Jawa Tenggah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar