Betapa banyak daun dan kelopak rela jatuh untuk kelangsungan. Hidupku.
Dari serat daging dan getahku, tahulah aku bagaimana. Tanah merelakan selapis humus
Yang membuat ia jadi tandus.
Di urat dagingku, sungai-sungai yang jauh mengigau,
Di pasir itu, ingatlah aku bahwa
Di urat dagingku, sungai-sungai yang jauh mengigau,
Mencari bening air yang dicuri akar semangku.
Dan kini aku menggantung. Di sini,
Bersama biji dan setangkai sepi.
Aku tak bahagia. Jika kelak matang dan merah,
Seperti kecantikan yang merekah.
Aku tak lekas bangga jika takdirku indah bagai biji-biji doa, bagai
Aku tak lekas bangga jika takdirku indah bagai biji-biji doa, bagai
Madah manis yang dirindukan dan disebut setiap lidah.
Kalong-kalong. Telah menitaiku.
Codot-codot siap mengondolku ke goa, atau
Menjatuhkan ke padang hampa,
di mana pasir dan getir meronta.
Di pasir itu, ingatlah aku bahwa
moyangku. Telah membuat Adam terjatuh ke lembah muda,
tempat batangku tumbuh terkutuk
dan Makhluk-mahkluk bertanduk
pindah dari goa ke goa, dari hutan Ke sawah-sawah,
sebelum akhirnya memburu dan melemparku. ke lembah
Dengan batu yang semenjana.
Dengan batu yang semenjana.
Tak sanggup aku bayangkan Adam Jadi hampa dan terluka.
Menikmati satu buah yang membuat
Ia terosong ke lembah jadah, di mana idungku kini merimbun.
Dengan ular kembar melingkari batangnya yang kian tambun
Seperti sepasang kutuk yang tak akan membusuk seribu ampu
Seperti sepasang kutuk yang tak akan membusuk seribu ampu
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar