Sebenarnya penilaian akreditasi ini dimulai sejak tahun 2004 untuk setiap program studi (Prodi). Setiap Prodi akan mencantumkan nilai akreditasinya dalam ijazah. Hal ini sangat berpengaruh bagi lulusan yang akan mencari kerja. Untuk beberapa departemen dan perusahaan swasta secara tegas menghendaki pelamar kerja dari lulusan Prodi yang memiliki akreditasi A atau B. Artinya, lulusan dari Prodi yang memiliki nilai C sudah hilang kesempatan untuk mendaftarkan diri. Tentu ini menjadi tanggung jawab pengelola agar terus menjaga nilai B atau A. Beberapa PT telah mengikuti perangking internasional. Asean University Netwok ajau ISO untuk menunjukkan, kampus mereja bergengsi dan layak disebut World Class Univesity.
Memang tidak bisa disangkal, kampus yan mempunyai mutu perangking bagus baik nasional mamupun internasional, berkah itu datang bak rezeki yang melimpah. Mereka bakalan kebanjiran mahasiswa, tawaran kerja sama dari pemerintah, swasta maupun pihak asing. Berbagai proyek penelitian, visiting profesor, student exchange, pemberian hibah, juga hubungan komersial dengan korporasi. Ini semua tertadi hanya jika kampus itu dianggap bermutu dan bergengsi. Sebaliknya, bagi kampus yang tidak memiliki mutu bagus, sedikit mendapat calon pendaftar, tak ada pihak menjalin kerja sama dan sepi order. Akhirnya kampus layu menuju bangkrutan dan dosennya kabur tak jelas nasibnya. Oleh karena itu, mutu PT menjadi persoalan strategis yang harus dicapai.
Namun demikian selalu ada yang perlu diperhatikan, yaitu,
Pertama ; Penjamin mutu bagi PT itu mutlak diperlukan sebagai wujud tanggung jawab pengelola kepada publik. Masyarakat harus tahu apa dan bagaimana keunggulan sebuah PT Sebagai pusat ilmu pengetahuan yang memperoses peserta didik menjadi lulusan yang memiliki kompetensi unggul. Publik harus mendapat kejelasan, siapa dan bagaimana mutu pengajarmya, apa karya akademik dosennya, apa saja fasilitas laboratarium dan pendukung suasana belajar lainnya, agar tidak salah pilih.
Namun, upaya menenuhi seluruh fasilitas sarana dan prasarana serta kualifikasi deosen tidaklah murah. Harus dianggarkan secara besar-besaran jika kampus ingin bermutu tinggi. Dari perhitungan borang akreditasi, untuk mendapatkan skor tertinggi, maka biaya operasional permahasiswa pertahun tinggi. Artinya biaya PT menjadi mahal. Ini berakibat tidak semua orang bisa mengakses bangku kuliah. PT harus mampu mendapatkan sumber pendanaan lainya selain dari SPP mahasiwa. Upaya mendapakan hibah dari pemerintah maupun asing harus dilakukan. Menjalin kerja sama riset yang didanai korporasi juga harus dibangun. Termasuk menjual hasil penemuan teknologi yang dipatenkan ke dunia industri adalah cara yang lazim di PT negara maju.
Kedua; Perlu diperhatikan mutu pendidikan yang digenjot dengan instrumen akademik, sering menciptakan lulusan yang kurang memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial disekitarnya. Mungkin kita bisa melihat dan menilai hubungan bertetangga antar kampus yang hebat dengan masyarakat, kurang harmonis. Begitu pula dengan sarjana yang dihasilkan. Mereka tampil menjadi lulusan cerdas, tetapi sangat minim tenggang rasa dalam pergaulan masyarakatnya.
Hal itu kurang mendapat perhatian dari penyelenggara PT, karena dalam penilaian mutu masih sangat sedikit yang menilik mutu hubugan perguruan tinggi dengan masyarakat. Dalam jangja panjang tentunya akan menimbulkan kesenjangan antar dunia pendidikan tinggi dengan wilayah sosial di mana mereka berada. Tentunya bukan mutu seperti ini yang diharapkan.
Namun, upaya menenuhi seluruh fasilitas sarana dan prasarana serta kualifikasi deosen tidaklah murah. Harus dianggarkan secara besar-besaran jika kampus ingin bermutu tinggi. Dari perhitungan borang akreditasi, untuk mendapatkan skor tertinggi, maka biaya operasional permahasiswa pertahun tinggi. Artinya biaya PT menjadi mahal. Ini berakibat tidak semua orang bisa mengakses bangku kuliah. PT harus mampu mendapatkan sumber pendanaan lainya selain dari SPP mahasiwa. Upaya mendapakan hibah dari pemerintah maupun asing harus dilakukan. Menjalin kerja sama riset yang didanai korporasi juga harus dibangun. Termasuk menjual hasil penemuan teknologi yang dipatenkan ke dunia industri adalah cara yang lazim di PT negara maju.
Kedua; Perlu diperhatikan mutu pendidikan yang digenjot dengan instrumen akademik, sering menciptakan lulusan yang kurang memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial disekitarnya. Mungkin kita bisa melihat dan menilai hubungan bertetangga antar kampus yang hebat dengan masyarakat, kurang harmonis. Begitu pula dengan sarjana yang dihasilkan. Mereka tampil menjadi lulusan cerdas, tetapi sangat minim tenggang rasa dalam pergaulan masyarakatnya.
Hal itu kurang mendapat perhatian dari penyelenggara PT, karena dalam penilaian mutu masih sangat sedikit yang menilik mutu hubugan perguruan tinggi dengan masyarakat. Dalam jangja panjang tentunya akan menimbulkan kesenjangan antar dunia pendidikan tinggi dengan wilayah sosial di mana mereka berada. Tentunya bukan mutu seperti ini yang diharapkan.
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar