Dalam benak koster menebak Oma itu sesudah dia akan duduk, mengeluarkan untaian rosario dan membuat tanda salib. Dugaannya meleset. Perempuan tua itu tidak langsung duduk. Dia memandangi arca Bunda Maria seperti mengagumi sebuah lukisan. Tampak dia sangat menikmatinya. Setelah puas, dia berbalik memunggungi arca Bunda Maria lalu duduk. Pandangannya tertuju ke pintu gerbang gereja. Tanganya dilipat di pangkuan.
Lima belas menit menjelang Misa, umat makin banyak yang berdatangan, tapi dia masih duduk seperti tadi. Secercah senyum tersungging di bibirnya. Ekspresi wajahnya seperti mendiang ibuku ketika mengharap cucunya datang dalam hitungan menit. Itulah saat-saat pertama koster memperhatikan si Oma. Yohanes baru dua bulan bekerja sebagai koster di gereja ini. Minggu-minggu pertama perhatiannya terpusat pada penyiapan Perayaan Ekaristi. Hanya sesekali saja memperhatikan gerak gerik Oma itu. Kehadiran Oma ini menarik perhatiannya karena dialah yang selalu datang pertama kali sementara lingkungan di gedung gereja dan pelataran masih sepi.
Lama-lama koster itu hafal pola kedatangannya. Dia datang hanya sekali dari tiga Misa yang ada di gereja ini. Kalau tidak sabtu sore, ya Minggu pagi atau Minggu sore. Tempat yang dituju hanya gua Maria saja. Dia tidak mengikuti Misa. Selesai Misa ia juga pulang. Bedanya, ia pulang setelah umat terakhir meninggalkan gedung gereja. Koster itu melaporkan pandangan matanya kepada pastor, dan dia membenrakan. Merurutnya, kebiasaan oma duduk di depan gua Maria sudah berlangsung lama. Mungkin sudah sekitar empat atau lima bulan. Pastor pun pernah mengamati secara detail gerak-gerik Oma tetapi Pastor tidak mengambil tindakan apa-apa karena perempuan tua itu memang hanya duduk seperti itu, tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan dan duduknya jauh dari pelataran gua Maria.
"Pastor nggak nanya-nanya ke dia?" tanya si koster yang masih saja penasaran
"dia itu 'kan duduk di tempat terbuka. Semua orang, kalau mau, bisa melihat apa yang dia lakukan. Dan dia memang hanya duduk di sana. Mungkin, dia itu yaa....hanya ingin duduk di situ. Kalau perlu curhat dengan ku, pasti dia sudah mencariku, to. Jadi, sementara ini, biarkan saja," jawab Pastor kepada si koster.
Tetapi si koster masih juga penasaran. Sungguh ia ingin tahu mengapa perempuan tua itu duduk depan gua. Si koster berencana mendekati dia. Akan di siapkan semua perlengkapan Misa lebih awal agar ia bisa mencuri waktu barang sepuluh menit agar bisa berbincang dengan Oma itu. Koster itu mulai melanjutkan rencananya pada sabtu sore ini. Eh, dianya tidak datang. Mungkin minggu pagi, pikirnya. Ternyata tidak juga. Hatinya berharap Oma itu datang pada Misa Minggu sore. Harapannya terkabul.
"aku melihatnya datang" bisik dalam benak si koster itu. Lantas si koster melanjutkan menyelesaikan pekerjaannya di sakristi. Lalu, ia segera keluar mengambil sapu lidi, pura-pura menyapu halaman gua. Beberapa saat menyapu di dekatnya si koster sudah tak sabaran untuk bertanya. "Oma rajin sekali berdoa. ku perhatikan seringkali Oma duduk di sni sebelum Misa," tanya si koster memancing.
Dia agak terperanjat tetapi tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia kesal. Pertanyaan pancingannya tidak membuahkan hasil. "Maaf, Oma, aku menyapu di sekitar sini," katanya tetap berusaha mencari perhatiannya. "Silahkan, Pak, oh, apakah aku menggangu pekerjaan Bapak?" tanya Oma itu sambil buru-buru menjawab sekenanya. Jujur saja, aku tidak siap dengan reaksi Oma itu, bisiknya lagi dalam benak koster.
"ngomog-ngomog tampaknya Oma senang duduk di sni, ya" tanya koster berbasa-basi. "Iya, Pak. Di sini adem. Sejuk. Damai. Tenang. Banyak pepohonan. Pohon kelapa ada lima. Ada pohon ketapang, pohon tanjung, puring, beringin, bahkan guanya aja ditumbuhi dolar-dolaran jadi kayak gua beneran. Merawat kebersihan gua ini pasti berat ya, Pak," jawab simbok.
"Sudah menjadi tugas ku, mbok" kata koster tersipu bangga.
Lalu, Oma itu mengarahkan pandangannya kepada umat yang mulai berdatangan. Koster melihat pandangan itu lagi, pandangan seorang nenek menanti kedatangan cucu. Oma ini memang penuh kejutan , tiba-tiba saja dia berbicara tanpa tanya. "Aku senang melihat orang-orang yang datang. Ada yang bersama anak-anak, ada yang sendirian, ada yang datang tergesa-gesa karena sudah terlambat tetapi masih sempet menelpon. Ada yang datang tidak terlambat tetapi lebih senang di luar. Ada yang sudah di dalam gereja tetapi keltar lagi, karena anaknya rewel. Ada juga yang keluar dari gereja meskipun acaranya belum selesai," ucap Oma tanpa mengubah sikap dudu dan pandanganya. Koster manggut-manggut membenarkan apa yang dikatakannya. "Oma, tidak bersama keluarga?" tanya koster sekenanya. "Oh, anakku semua di luar negeri. Suamiku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu," ungkap simbok sambil membenahi letak kacamatanya.
Tak terasa waktu Misa hampir tiba. "Oma, aku permisi, Misa sudah mau dimulai," kata koster sembari undur diri. Ia bergegas masuk gereja untuk menyalakan lilin altar. Ketika menuju menara lonceng, koster itu sempat melirik ke arah Oma. Oma itu masih juga seperti tadi. Benak koster beranya-tanya, kok dia tidak segera masuk gereja untuk mengikuti Misa. Beberapa saat koster sudah kembali ke sakristi. Koster itu makin penasaran melihat Oma masih di situ juga. Koster memutar otak mencari cara. Lampu di gua Maria! Bisanya lampu itu baru dinyalakan setelah magrib, namun demi memuaskan rasa penasarannya, meski sekarang masih pukul lima sore, lampu itu akan dinyalakan juga. Saat melewatinya koster pun permisi kepadanya, demikian juga setelah selesai. "Oma, Misa sudah dimulai dan di dalam gereja masih banyak tempat duduk. Silahkan masuk aja," ujar koster sambil seolah akan berlalu."Oh, maaf, Pak, aku tidak ikut Misa," Oma menjawab sambil tersenyum. Koster terperangah. dia menjawab seolah ini hal biasa, koster tak habis mengerti. Langkahnya terhenti dan menoleh kepadanya. "Lho, kenapa, Oma?" tanya koster sambil menahan gemes. "aku bukan orang katolik, Pak," jawabnya santai. Koster makin tambah geram. Ini 'kan gereja! dia itu pikun atau nggak tahu. Kalau nggak Katolik, ngapain ke sini. Dengan hati geram dan marah, koster meninggalkan Oma itu. Selesai Misa, koster melapor kepada Pastor, bahwa Oma itu ternyata bukan beragama Katolik. Koster berharap, Pastor marah atau terkejut. Ternyata, dugaannya salah lagi. Pastor tidak marah. "Ah, Pak Yohanes, biarkan saja, tidak apa-apa"
THE END
Oleh : Yustinus Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar