Sabtu, 04 Oktober 2014

RENUNG

Ada keterbatasan-keterbatasan dalam pola pikir kita yang sungguh menjadi tembok penghalang dengan tingkah laku. Dan kadang, walau tak ingin melakukan sesuatu, namun ternyata gagal bukan karena tidak mau berhasil namun karena ternyata hasrat dan nafsu jauh lebih kuat daripada pemikiran kita. Atau jangan-jangan yang dilakukan itu secarara otomatis, tanpa mau bersusah payah untuk memikirnya lagi.

Kita yang adalah manusia bukan robot yang hanya bisa berfungsi sesuatu dengan program yang telah ditanamkan dalam memori kita. Memang betul itu. Tetapi kadang kala lebih senang menjadi robot dengan megikuti apa saja yang telah disampaikan dan diajarkan kepada kita tanpa mau memikirkan kembali. Karena itu haruslah diakui bahwa berpikir sungguh adalah pekerjaan yang sangat melelahkan dan menguras tenaga. Jauh lebih meletihkan dibanding kerja keras apapun juga yang dilakukan hanya oleh tubuh kita. Maka sungguh betul bahwa menghapal adalah pekerejaan yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan memahami. Bahwa selama ini kita dididik untuk tahu, bukan untuk paham. Dan bagi kita sendiri, bukankah ujian yang hanya berupa pilihan antara benar dan salah jauh lebih menyenangkan daripada ujian yang mengharuskan kita untuk menuliskan alam pikiran kita. Karena itu kita enggan untuk berpikir sendiri. Karena kita tak mau menyulitkan diri dengan memahami mengapa dibanding dengan menjawab apa.

Maka dapakah kita mengubah diri? Semua tergantung niat dan kemauan kita sendiri. Maukah kita bersusah payayah untuk mencoba memahami daripada sekedar untuk menghapal agar tahu lalu tetap tinggal tahu sambil tak peduli kenapa kita harus tahu apakah yang kita tahu itu benar atau salah. Maka dua tambah dua adalah empat. Mengapa dua tambah dua menjadi empat kita tak perlu tahu karena itu jauh lebih sulit daripada sekedar tahu. Tanpa pemahaman. Tanpa pemikiran. Tanpa kerja keras untuk memikirkannya. Padahal sesungguhnya, pengetahuan berkembang justru karena kita semua berusaha untuk paham dan kemudian mengembangkan pemahaman itu daripada hanya sekedar untuk tahu saja lalu semuanya menjadi tidak berarti apa-apa selain daripada selembar ijasah atau gelar yang terpampang di belakang nama kita.

Inilah kita semua sekarang umumnya. Saat ini. Belajar untuk tahu, bukan untuk paham. Ilmu yang kita tahu hanya karena kita ingin lulus dan mendapat selembar ijasah, bukan untuk bekal pengembangan pemikiran lanjut tetapi sekedar mengejar pekerjaan, posisi atau bahkan pangkat yang lebih tinggi. Hanya untuk kesenangan fisik, bukan demi pemgembangan pemikiran. Demikianlah kadang kita bertemu dengan mereka yang telah memiliki sederet gelar tetapi dengan pemikiran yang sederhana. Hitam putih. Sesuai teks baku. Tanpa pemikiran sendiri. Bahkan gagal memahami mengapa demikian. Lalu, untuk itukah kita belajar. Hanya untuk tahu, tidak merubah diri dan pemikiran kita? Semoga tidak demikian halnya diri kita.

{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar