Bahwa harta itu tidak akan dibawa mati, semua tahu itu. Maka kemudian mencari alasan lain, bahwa harta itu bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk anak cucu kita. Kalau bisa cukuplah untuk sampai tiga, empat, atau tujuh turunan. Maka muncul pernyataan yang menyebut ukuran maksimal dari harta melimpah tgdak akan habis sampai tujuh turunan. Soal bagaimana mengamankannya, tidak usah khawatir, ada jaminan asusansi, ada bank yang cukup aman yakni bank di swiss. Kesimpulannya, tidak masalah jika kita mengumpulkan, menumpuk atau menimbun harta. Ada lumbung yang tak terbatas atau tak terkira besarnya untuk menyimpan semua harta tersebut. Lagi pula harta itu bukan untuk kita sendiri tetapi untuk warisan anak cucu kita, keturunan kita. Semua itu kita lakukan sudah barang tentu karena rasa cinta kita pada anak-cucu kita. Alasan kita tidak ingin mereka hidup dalam kekurangan, dalam penderitaan. Merka harus merasa aman dan tercukupi semua kebutuhannya. Bukankah Tuhan sendiri sudah mempercayakan mereka kepada kita.
Oleh karena itu ukuran ketamakan pun menjadi bias alias tidak jelas. Kapan tidak menjadi tamak, serakah, melainkan cukup? Kapan cukup dan benar-benar sudah cukup? Hanya samar-samar. Kita sendiri tidak akan pernah tahu. Rasa cukup itu berkembang dan terus berkembang. Ada saja alasan yang kemudian muncul untuk sebuah kata 'kebutuhan' akan itu. Artinya, kita merasa hahwa ada yang kurang. Bahkan kita akan menyebut naif untuk orang yang berkata "sudah...sudah cukup". Tanpa terasa, kita terjebak dalam rasa tidak pernah puas. Jika kita tidak pernah merasa puas, adakah kita akan bersyukur jika demikian.
Tuhan mengajar kepada kita hidup yang benar. Hidup benar adalah hidup yang didayai oleh Roh Kudus. Dan Roh Kudus itu, memampukan kita untuk senantiasa bisa merasakan kasih Allah, sehingga kita bisa selalu bersyukur. Ada perbedaan yang nyata dengan orang yang didayai oleh keinginannya sendiri. Perbedaan itu terletak pada rasa syukur. Hidup orang beriman akan senantiasa dipenuhi rasa syukur karena ia mampu melihat apapun yang diterimanya sebagai anugerah kasih dari Allah. Sehingga jiwanya tidak terikat pada harta/benda duniawi, melainkan terikat pada Allah semata. Di sisi lain, orang yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang tidak pernah puas dan selalu terpaku pada apa yang belum dikuasai atau belum dia miliki, sehingga jiwanya senantiasa terikat pada keinginannya itu.
Bisa saja kita berkilah bahwa apa yang kita kejar bukanlah untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan anak-cucu kita. Tetapi pada saat yang sama, tanpa kita sadari kita telah memupuk ketidakyakinan kita akan penyelenggaraan Allah. Bahkan tanpa kita sadari kita telah mengikat anak-cucu kita pada ketergantungan terhadap harta dunia dan bukan kepada Allah."Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." dari pernyataan tersebut nampaknya Tuhan menghendaki kita kaya di hadapan Allah.
Orang kaya, adalah orang yang mampu memenuhi kebutuhannya karena ada yang dia amdalkan, yakni harta dunia atau uang, dia bisa membeli imi dan itu, bisa melakukan ini dan itu karena memiliki uang. Maka uang menjadi andalan baginya untuk melakukan byak hal dan mendapat rasa puas dari pemenuhan terhadap apa yang dia inginkan. Orang miskin adalah org yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena dia tidak mempunyai andalan berupa harta. Maka kaya atau miskin tergantung pada kepemilikan atas sesuatu yang bisa diandalkan.
Ketika orang yang mengandalkan hidupnya pada harta duniawi, uang. Mati, semua harta kekayaanya dia tinggalkan dan di hadapan Allah tidak ada lagi sesuatu yang bisa menjadi andalannya. Pada saat itulah dia menjadi miskin. Orang miskin yang sepanjang hidupnya hanya melihat harta duniawi sebagai pokok permasalahannya dn menganggap memjdi andalan yang bisa mengangkat semua persoalannya. Pada saat mati pun ia tetap tidak memiliki sesuatu yang bisa di andalkan.
Bagi orang beriman, hidup di dunia yang menjadi andalan adalah kasih Allah. Segala sesuatu yang ada padanya, dia lihat dan dia rasakan sebagai ungkapan kasih Allah. Maka hidup dengan mengandalkan kasih Allah inilah yang mestinya juga diwariskan. Pada saat meninggal dunia, semua harta yang ada padanya dia tinggalkan, namun dia tidak kehilangan andalan. Orang beriman tetap mempunyai andalan ketika ada di hadapan Allah, karena andalan-Nya adalah kasih Allah. Kasih Allai itu tak terbatas dan tiada batasnya, maka betapa kaya rayanya orang yang mengadalkan kasih Allah, karena yang menjadi sumber adalannya adalah Allah yang ada di hadapannya. Kita lihat secara mendalam bahwa semua yang ada pada diri kita saat ini adalah karena kasih Allah. Menjaga kesadaran akan kasih Allah di setiap hal yang kita terima, baik hal yang membahagiakan maupun hal yang menyedihkan, akan membiasakan kita untuk mengadalkan kasih Allah.
REFLEKSI:
Oleh karena itu ukuran ketamakan pun menjadi bias alias tidak jelas. Kapan tidak menjadi tamak, serakah, melainkan cukup? Kapan cukup dan benar-benar sudah cukup? Hanya samar-samar. Kita sendiri tidak akan pernah tahu. Rasa cukup itu berkembang dan terus berkembang. Ada saja alasan yang kemudian muncul untuk sebuah kata 'kebutuhan' akan itu. Artinya, kita merasa hahwa ada yang kurang. Bahkan kita akan menyebut naif untuk orang yang berkata "sudah...sudah cukup". Tanpa terasa, kita terjebak dalam rasa tidak pernah puas. Jika kita tidak pernah merasa puas, adakah kita akan bersyukur jika demikian.
Tuhan mengajar kepada kita hidup yang benar. Hidup benar adalah hidup yang didayai oleh Roh Kudus. Dan Roh Kudus itu, memampukan kita untuk senantiasa bisa merasakan kasih Allah, sehingga kita bisa selalu bersyukur. Ada perbedaan yang nyata dengan orang yang didayai oleh keinginannya sendiri. Perbedaan itu terletak pada rasa syukur. Hidup orang beriman akan senantiasa dipenuhi rasa syukur karena ia mampu melihat apapun yang diterimanya sebagai anugerah kasih dari Allah. Sehingga jiwanya tidak terikat pada harta/benda duniawi, melainkan terikat pada Allah semata. Di sisi lain, orang yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang tidak pernah puas dan selalu terpaku pada apa yang belum dikuasai atau belum dia miliki, sehingga jiwanya senantiasa terikat pada keinginannya itu.
Bisa saja kita berkilah bahwa apa yang kita kejar bukanlah untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan anak-cucu kita. Tetapi pada saat yang sama, tanpa kita sadari kita telah memupuk ketidakyakinan kita akan penyelenggaraan Allah. Bahkan tanpa kita sadari kita telah mengikat anak-cucu kita pada ketergantungan terhadap harta dunia dan bukan kepada Allah."Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." dari pernyataan tersebut nampaknya Tuhan menghendaki kita kaya di hadapan Allah.
Orang kaya, adalah orang yang mampu memenuhi kebutuhannya karena ada yang dia amdalkan, yakni harta dunia atau uang, dia bisa membeli imi dan itu, bisa melakukan ini dan itu karena memiliki uang. Maka uang menjadi andalan baginya untuk melakukan byak hal dan mendapat rasa puas dari pemenuhan terhadap apa yang dia inginkan. Orang miskin adalah org yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena dia tidak mempunyai andalan berupa harta. Maka kaya atau miskin tergantung pada kepemilikan atas sesuatu yang bisa diandalkan.
Ketika orang yang mengandalkan hidupnya pada harta duniawi, uang. Mati, semua harta kekayaanya dia tinggalkan dan di hadapan Allah tidak ada lagi sesuatu yang bisa menjadi andalannya. Pada saat itulah dia menjadi miskin. Orang miskin yang sepanjang hidupnya hanya melihat harta duniawi sebagai pokok permasalahannya dn menganggap memjdi andalan yang bisa mengangkat semua persoalannya. Pada saat mati pun ia tetap tidak memiliki sesuatu yang bisa di andalkan.
Bagi orang beriman, hidup di dunia yang menjadi andalan adalah kasih Allah. Segala sesuatu yang ada padanya, dia lihat dan dia rasakan sebagai ungkapan kasih Allah. Maka hidup dengan mengandalkan kasih Allah inilah yang mestinya juga diwariskan. Pada saat meninggal dunia, semua harta yang ada padanya dia tinggalkan, namun dia tidak kehilangan andalan. Orang beriman tetap mempunyai andalan ketika ada di hadapan Allah, karena andalan-Nya adalah kasih Allah. Kasih Allai itu tak terbatas dan tiada batasnya, maka betapa kaya rayanya orang yang mengadalkan kasih Allah, karena yang menjadi sumber adalannya adalah Allah yang ada di hadapannya. Kita lihat secara mendalam bahwa semua yang ada pada diri kita saat ini adalah karena kasih Allah. Menjaga kesadaran akan kasih Allah di setiap hal yang kita terima, baik hal yang membahagiakan maupun hal yang menyedihkan, akan membiasakan kita untuk mengadalkan kasih Allah.
REFLEKSI:
Hidup dengan hanya bermodalkan kasih, sugguh ungkapan seperti ini semakin terpinggirkan oleh jaman. Tak menyangkal bahwa kadang menertawakan orang yang memgatkan demikian. Tidak realistis, pikirk. Orang yang sedang bermimpi saja yang bisa mengatakan bahwa hidupnya hanya bermodalkan kasih. Kadang pun menyamakan orang yang bersikap demikian dengan sikap seorang pengemis, yang kesana kemari mengharapan belas kasihan orang lain. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang? Apa yang tidak bisa dipenuhi dengan uang? Bahkan rumah tangga pun ada yang hancur gara-gara uang, artinya uang menjadi andalan dalam hidup berumah tangga. Negara pun bisa hancur gara-gara uang. Iman pun bisa dibuang hanya kerena uang. Apa yang tidak bisa dikakukan oleh uang. Uang menjadi sosok yang demikian penuh kuasa dalam hidup di jaman yang semakin maju ini. Dunia bergerak karena uang yang bergerak dan dunia ikut diam jika uang diam. Tanpa uang tak dapa burbuat. Tanpa uang tdak hidup. Jika demikian pernyataanya menjadi lupa bahwa uang hanyalah sarana, atau alat belaka. Tuhan mengajari supaya melihat perkara di balik keberadaan sarana atau alat yang bernama uang itu. Tuhan megajari untuk lebih melihat dan lebih mengadalkan pada apa yang ada di sana.
Ada perhatian, ada kepedulian, ada keprihatinan, ada bela rasa dan kasih di balik setiap keping uang yang aku terima. Maka bukan lembaran atau keping unang yang menjadi pusat perhatianku, tepati perhatian, kepedulian, dan kasih yang membuatnya berada di tanganku. Bukan berapa banyak uang yang aku terima, berapa besar nilai uang yang aku dpatkan, tetapi seberapa besar perhatian dan kasih yang yang boleh aku rasakan dengan semua itu. Sedikit demi sedikit, Tuhan mengajar aku untuk mau memyelam lebih jauh dan melihat peran kasih Bapa di setiap perkara itu. Bahwa kasih-Nya lah yang menggerakkan, yang membuat semua kepedulian dan perhatian itu bisa aku terima. Demikian Dia mengajari aku untuk memgandalkan hidupku pada kasih-Nya. Dia adalah andalanku. Aku tidak akan pernah merasa khawatir nati jika aku manti. Di hadapan-Nya aku tidak akan kehilangan perkara yang menjdi andalan hidupku selama ini. Perhatian dan kasih-Nya melalui orang lain akan aku bawa serta dan menjadi persembahan yang istimewa saat aku ada di hadapan-Nya. Aku bisa berkata, "Terimalah Bapa, inilah talenta yang Bapa berikan kepada selama aku hidup di dunia. Talenta-talenta itu tidak kupendam, tetapi telah aku kembangkan sehingga aku bisa menghaturkannya kembali kepada-Mu sesuai dengan kemampuan yang ada padaku".
Ada perhatian, ada kepedulian, ada keprihatinan, ada bela rasa dan kasih di balik setiap keping uang yang aku terima. Maka bukan lembaran atau keping unang yang menjadi pusat perhatianku, tepati perhatian, kepedulian, dan kasih yang membuatnya berada di tanganku. Bukan berapa banyak uang yang aku terima, berapa besar nilai uang yang aku dpatkan, tetapi seberapa besar perhatian dan kasih yang yang boleh aku rasakan dengan semua itu. Sedikit demi sedikit, Tuhan mengajar aku untuk mau memyelam lebih jauh dan melihat peran kasih Bapa di setiap perkara itu. Bahwa kasih-Nya lah yang menggerakkan, yang membuat semua kepedulian dan perhatian itu bisa aku terima. Demikian Dia mengajari aku untuk memgandalkan hidupku pada kasih-Nya. Dia adalah andalanku. Aku tidak akan pernah merasa khawatir nati jika aku manti. Di hadapan-Nya aku tidak akan kehilangan perkara yang menjdi andalan hidupku selama ini. Perhatian dan kasih-Nya melalui orang lain akan aku bawa serta dan menjadi persembahan yang istimewa saat aku ada di hadapan-Nya. Aku bisa berkata, "Terimalah Bapa, inilah talenta yang Bapa berikan kepada selama aku hidup di dunia. Talenta-talenta itu tidak kupendam, tetapi telah aku kembangkan sehingga aku bisa menghaturkannya kembali kepada-Mu sesuai dengan kemampuan yang ada padaku".
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar