Api adalah gambaran dari semangat berkobar. Api juga merupakan gambaran akan hidup yang menyala dan memberi kehangatan serta terang bagi sekitarnya. Namun api juga menjadi gambaran akan penghancuran, pemusnahan. Kita tahu betapa hebatnya api berkobar melahap rumah, pasar, gedung, hutan, dsb, sehingga kita berusaha keras untuk memadamkannya. Tetapi kita juga tahu betapa berartinya api di atas tungku yang membuat masakan bisa matang, atau api di dalam dian (pelita) yang memberikan sinar terang serta kehangatan bagi mereka yang mengalami suasana dingin dan gelap. Api yang terkendali, itulah yang besar artinya dan berguna. Semetara api yang liar, bringas dan tak terkendali akan menghancurkan segalanya. Ada ungkapan untuk si api, mungkin sudah akrab ditelinga kita, "Kecil jadi kawan, besar jadi lawan".
Api yang Dia lemparkan ke bumi bukanlah api yang menghancurkan, tetapi Roh Kudus yang menghidupkan bumi. Roh itu membawa harapan Tuhan, bahwa Ia akan terus menyala. Tuhan mengungkapkan perasaan yang menjadi alasan bagi-Nya untuk mengirim Roh Kudus pada kita. Dia demikian peduli dengan apa yang dialami manusia di atas muka bumi. Baptis yang Dia terima adalah awal dari tugas perutusan-Nya, untuk merombak, melakukan revolusi, dan mengubah wajah dunia yang kelam. Maka sudah barang tentu Dia akan berhadapan dengan penguasa kegelapan yang telah munguasai dunia. Maka kehadiran-Nya bukan untuk berkompromi dengan penguasa kegelapan, melainkan menemtang apa yang selama ini dianggap normal bagi dunia. Pertentangan yang Ia korbankan untuk menyelamatkan dunia terhadap cengkraman kegelapan, harus ada yang menang. Tuhan hendak membalikkan orientasi dunia, dan membawanya kepada satu orientasi yakni Allah sendiri. Harapan dunia, Dia pancangkan kepada Allah dan hanya kepada Allah.
Ketika seorang ayah menggantungkan harapannya kepada anak laki-laki, seorang ibu meletakkan harapannya kepada anak perempuannya dan seorang murtua meletakkkan harapannya kepada sang menantu, maka peletekan harapan inilah yang hendak Dia ubah. Bukan anak laki-laki, anak perempuan, atau menantu yang menjadi andalan, tetapi Allah. Pertentangan di antara mereka yang Tuhan gambarkan bukanlah sikap anti tatanan social, bukan soal permusuhan dalam rumah tangga, tetapi pemutusan saling ketergantungan. Dalam segala posisi entah sebagai ayah, ibu, anak laki-laki atau anak perempuan, mertua atau menantu, semua tergantung dan mengandalkan diri pada Allah.
Yang bisa diandalkan dari Allah adalah kasih-Nya yang besar. Maka mengandalkan diri kepada Allah adalah mengandalkan kasih Allah yang menjadi pengobar semangat hidup. Ketika seorang ayah melihat anak laki-lakinya sebagai ungkapan kasih Allah dan anak laki-laki melihat ayahnya sebagai ungkapan kasih Allah, maka mereka hidup mengandalkan Allah. Demikian pula seorang ibu dan anak perempuannya, seorang mertua dan menantunya. Semua berlandaskan atas kasih Allah dan bukan keinginan untuk saling memanfaatkan.
Api Roh Kudus telah Ia lemparkan, dan Ia berharap api itu menyala, mengidupi setiap rumah, setiap keluarga, setiap komunitas. Sebab berawal dari rumah, dari keluarga, dari komunitas itulah api itu akan terus menjalar dan menjalar. Api Roh Kudus yang merupakan pertanda kehangatan kasih Allah.
Refleksi:
Semejak aku dibaptis, aku dibaptis dalam Roh. Maka semenjak saat itu api yang Dia tebarkan itu ada dalam hidupku. Ku lihat ke dalam diri, ku lihat dengan seksama, api itu masih menyala, atau hampir padam. Api itu memberikan kehagatan taukah api itu terselubung oleh ketidakpedulian sehingga kehabisan udara dan padam.
(Sebuah refleksi dari Luk 12:49-53)
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar