Beberapa hari yang lalu, seorang tetua kampung pernah bercerita tentang mimpi anehnya kepada salah satu warga kampung. Karena merasa aneh dengan mimpi itu, warga itu pun menceritakan kepada warga lain.Tak sengaja, mimpi itu tersiar hampir ke seluruh warga kampung Hilir. Reaksinya pun beragam. Ada yang menanggapinya dengan serius, ada yang tidak. Bahkan, beberapa warga mereka justru menertawakan dirinya. Lebih dari itu ada pula yang mencemooh setelah mendengar mimpi itu.
Mimpi itu juga terdengar oleh Agus. Pemuda ini dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial di Kampung Hilir. Ia juga menjadi ketua OMK di stasi tersebut. Akibat penasaran, akhirnya ia pun memutuskan untuk mengetahui secara persis berita itu. Walaupun hari sudah malam, ia terus mencari informasi dari rumah ke rumah. Keputusan terakhir, ia pun pergi ke rumah Pak RT.
"Selamat Malam. Selamat malam Pak RT," sapa Agus. Tak berselang beberapa detik, pintu pun dibukakan oleh si pemilik rumah. "Selamat malam juga Dek Agus," balas Pak RT sembari mempersilahkan Agus duduk. "Rupanya ada urusan penting, malam-malam kemari?" tanya pak RT mencari tahu. "Tidak Pak RT. Saya sekedar mencari informasi mengenai kebenaran mimpi dari salah satu tetua kampung kita. Sepertinya mimpi itu sudah tersiar hampir ke semua warga yang ada di kampung ini," jelas Agus.
Sambil menghela napas, Pak RT menjelaskan. "Benar katamu. Tapi bagi kita yang telah hidup di zaman modern ini sulit memang bila hal seperti itu dicerna melalui akal sehat. Namun begitu, kita perlu menanggapi hal ini dengan hati." "Bagaimana mimpinya Pak RT?" desak Agus. "Suatu malam dalam tidurnya, ia melihat segerombolan anjing turun dari sebuah gunung di sekitar perkampungan Hlilir. Kondisi badan anjing-anjing itu menyerang dan menerkam warga kampung, serta hewan amukan itu, dalam sekejap gerombolan anjing itu pun lenyap," urai Pak RT.
Setelah menceritakan peristiwa dalam mimpi itu, kedua orang itu pun terdiam. Sesekali kedua orang itu menghela napas dan menggelengkan kepala. Sukar menebak apa yang mereka pikirkan. "Sepertinya mimpi itu pertanda buruk bagi kampung kita ini?" kata Agus mencegah kebisuan di antara mereka. "Sulit bagi ku untuk menjawabnya. Hal ini diluar jangkauan rasio kita," kata Pak RT. Sepertinya Pak RT tidak mau berpikir lebih dalam di luar jangkauanya. Pulang dari rumah Pak RT, jam dinding sudah menunjukkan angka sembilan malam. Ia langsung mampir ke rumah seorang janda bernama Maria. Janda ini, salah satu anggota Legio Maria. Usianya sudah cukup tua, 62 tahun. Namun rajin berdoa, ramah, dan dikenal baik di Kampung Hilir. Ia telah ditinggal mati oleh suaminya. Ia memiliki seorang putra. Namun, putranya sekarang bekerja di tanah orang. Jadi, saat ini ia hidup hanya seorang diri. Orang di kampung itu sering memanggilnya "Bunda".
"Bunda....bunda...bunda. Bukankan pintunya!" pinta Agus agak memaksa. "Ada apa Nak?" kata janda itu menyelidik. "Begini bunda. Sebaiknya malam ini bunda jangan berada di rumah ini. Bukankah rumah ini sering kebanjiran? Perasaan ku tidak enak melihat kondisi cuaca malam ini." "Begini Nak, jangan khawatirkan bunda. Kalau kamu begitu khawatir, biarlah malam ini engkau kenakan rosario ini. Inilah bekal pengharapanmu," katanya lugas. "Nak Agus, sebenarnya rosario ini akan bunda berikan kepada putraku. Tapi, untuk malam ini biarlah engkau yang menggunakannya," sambung si janda itu. Permintaan Agus sepertinya sia-sia belaka. Janda itu tetap teguh pada pendiriannya. Malah ia mohon agar agus segera kembali ke rumahnya untuk beristirahat karena malam makin larut.
Di rumah. Agus sukar memejamkan mata. Ia terus dihantui oleh mimpi yang aneh itu. Bahkan, pikirannya pun melayang jauh pada hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada janda 62 tahun itu. Bagaimana tidak? Rumah janda itu tepat di daerah aliran sungai. Sambilan tahu lalu, banjir bandan telah meluluhlantakkan rumah-rumah warga yang juga di sekitar rumah janda itu. Kilat, guntur, dan hukan badai menggelegar di keheningan malam. Masyarakat tertidur lelap karena hujan. Mereka tidak menyangka bahwa malam itu akan terjadi malapetaka. Mereka pun tidak pernah membayangkan bahwa beberapa sanak saudaranya akan pergi untuk selamanya meninggalkan mereka.
Benar adanya. Sekitar pukul 03.00 dini hari, banjir besar datang menyapu rata rumah warga di sekitar aliran sungai itu. Tak terkecuali janda malang itu. Rumah-rumah penduduk yang menjadi korban sebagaian besar tak berbekas, kecuali rumah batu. Ada pula beberapa warga yang luptu dari malapetaka, karena mendengar gemuruh banjir dari kejauhan malam. Sekitar pukul lima pagi, warga mulai berdatangan ke lokasi kejadian. Isak tangis dan teriakan histeris menjadi pemandangan yang memilukan. Warga mulai mencari tahu masing-masing anggota keluarga mereka. Yang mungkin diperkirakan menjadi korban bencana alam.
Termasuk Agus, ia diliputi kekhawatiran yang mendalam. Apalagi, ia tahu persis rumah janda itu di daerah rawan banjir. Betapa sedihnya setelah ia melihat yang tersisa. Airmata Agus jatuh berderai. Janda "bunda" Maria sudah dianggap seperti ibu kandungnya sendiri. Sejak enam bulan ia sudah diasuh oleh janda itu. Ibu kandungnya meninggalkan. Ia hanya bisa berdoa agar jenazah janda itu bisa ditemukan. Berita tentang bencana banjir yang telah merenggut banyak korban nyawa telah tersiar ke mana-mana. Tapi, sosok yang paling dibicarakan yaitu "bunda" Maria. Sosok dan kepribadiannya yang baik dikenal luas oleh warga.
Agus hanya bisa menatap hampa bekas rumah janda itu. Sesekali ia menatap arus sungai yang masih tampak ganas. Agus pasrah dengan semua kenangan bersama "bunda" Maria yang tergerus oleh arus sungai itu. Tiba-tiba saja, Agus merasakan sejuknya butir-butir rosario yang menlingkari lehernya. Sebuah rosario pemberian"bunda" Maria semalam. Beberapa menit Agus teringat akan kata-kata terakhir janda itu. Siapa yang seharusnya memiliki rosario itu?" "Iya. Rosario ini bukan menjadi milikku selamanya. Sebaiknya aku segera memberikan kepada darah dagingnya sendiri," pumam Agus dalam hati. The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar