Rabu, 30 April 2014

MENONTON TELEVISI

Media massa seringkali mengajak kita berfantasi aneka-rupa, bahkan aneka-rasa. Suatu kali kita disuguhi informasi mengenai janji petinggi negara membantu korban bencana. Lain hari, kita disuguhi informasi mengenai pejabat yang mebantu korban bencana dengan cara meninjau dari atas helikopter, dsb. Berkat media massa, kita menjadi paham, meninjau itu sama artinya dengan membantu. Kita pun juga mendengar dan menyaksikan layar televisi mengenai banjir interupsi di DPR. Tentu saja menarik menyaksikan drama-drama, senetron-senetron, acara olah raga, dsb, yang disajikan dalam ruang bernama televisi. Misalnya lagi :  Sementara petinggi negara lainya mengatakan Indonesia terus-menerus mengimpor beras karena pemeritah sibuk bertengkar secara politik. Ironis karena sebagian dari kita cukup mengetahui bahwa ia adalah bagian dari intrik itu sendiri. Informasi mengalir tanpa henti, sehingga kita sulit menemukan fakta yang obyektif dari banjirnya informasi tersebut.

- Komoditas Informasi 
Televisi sebagai bagian dari media massa memiliki kekuatan magis yang mampu menyedot minat orang untuk terus melekatkan pandangan pada televisi. Tidak hanya program hiburan seperti sinetron, gosip, atau kuis saja yang bisa menarik minat penonton, bahkan juga program berita. Berbeda dengan program lain yang bersifat menghibur mengklaim sajian di dalamnya berisikan fakta yang akurat dan terpercaya.Atas dasar klaim itu, stasiun televisi beranggapan penonton perlu disuguhi informasi dari seorang ahli forensik yang membahas mengenai kasus mutilasi terhadap seorang anak - tanpa ada kehendak menyaring informasi - atas alasan akurasi dan otentisitasi informasi. Penonton berdecak, iba, terheran-heran, terharu, walaupun mungkin sebagian penonton akan merasakan tayangan tersebut berlebihan dan tidak nyaman. Menarik mencermati bagaimana tayangan liputan investigasi dikemas stasiun televisi sedemikian rupa, seperti tentang apa sesungguhnya bahan pembuatan saus, minyak goreng oplosan, terasi, dsb, yang dijual di warung dan pasar. Namun informasi yang disajikan semata-mata sebagai "komoditas" yang dijual institusi media massa demi mendapatkan minat publik menikmatinya hanya sebagai selingan hiburan yang mudah dikunyah dan dicerna tanpa perlu refleksi. Pesannya cukup sederhana : jika percaya, jangan beli produk itu lagi. Penonton tidak diajak berpikir bahwa terdapat sejumlah kondisi struktural bangsa yang melatar belakanginya. Penonton juga tidak perlu berpikir bagaimana menatasi hal tersebut. Cukup nonton dan nikmati saja. Potret kesenjangan yang semakin mewujud nyata di masyarakat kita disajikan televisi kita. Tetapi ketika berita ini disandingkan dengan isu-isu: Pilkada, tangis haru Presiden, dsb, membuat berita kemalangan seperti gagal panen dan harga susu atau harga cabai yang naik menjadi sekedar isu pelengkap.

Realitas Sosial Dalam Ruang Televisi.
Ketika kita mencoba mendefinisikan sebuah realitas tentang misalnya; kenaikan harga susu, ada yang mendifinisikan sebagai bagian dari akibat dari naiknya harga bahan baku susu yang harus diimpor, tetapi tidak sedikit yang melihatnya sebagai beban ekstra yang harus ditanggung terutama oleh kelas bawah. Sebagian lagi mendefiniskan realitas itu sebagai alasan menggalakkan kampanye ASI. Apa yang dipahami seseorang sebagai suatu realitas hanya merupakan hasil konstruksi, yang sangat mungkin berbeda pemahaman orang lain. Padahal yang kita amati realitas yang sama. Maka, mengapa realitas yang sama dapat dipahami secara berbeda antara kita dengan televisi (dan juga di antara kita sendiri),
Pertama, karena setiap kita dibentuk dalam lingkungan sosial yang berbeda-beda: tingkat pendidikan yang berbeda, latar belakang etnis, agama, dsb.
Kedua; pemahaman kita sangat tergantung pada banyak tidaknya pola konsumsi media massa, berapa banyaknya jam menonton televisi dan membaca koran, apa jenis koran dan televisi yang dikonsumsi dan jenis program yang dikonsumsi, dsb.
Ketiga; cara pengamatan kita terhadap suatu realitas. Ada yang melakukan pengamatan seadanya. Ada yang mengamati diri perspektif sebagai ilmuwan. Ada yang melakukan pengamatan dengan empati. Tidak sedikit melakukan pengamatan karena pengaruh kepentingan yang dimilikinya: kepentingan politik, ekonomi atau kebudayaan. Maka tidak mengherankan apa bila definisi realitas yang dikonstruksi oleh stasiun televisi berbeda dengan pemahaman dari masing-masing individu. Realitas di televisi di konstruksi sedemikian kerena pertama, tuntutan pada seorang wartawan bukan menyagkut kebenaran, tetapi pada relevansi berita dengan tuntutan pasar. Kedua, televisi perlu mengaga keberlangsungan hidupnya sehingga selalu mengupayakan agar suguhan informasi memiliki nilai jual.

Kita memahami stasiun televisi meramu informasi sedemikian rupa agar dapat menarik minat penonton.

- Mawas Diri
Dalam layar televisi tersebut, banyak hal bisa kita lihat dan dari layar tabung kaca itu adalah mewakili sebagian kecil keadaan dunia ini.

Prosentasi yang tertayang di layar televisi sebagaian besar adalah hiburan, karena televisi mempunyai tujuan untuk kebaikan ekonomi bagi sebagian kecil orang.

Namun pada kenyataannya tantangan hidup atau gelombang kehidupan sudah nyata di depan kita dan apabila kita tidak segera sadar pada permasalahan yang nyata maka kita akan tergilas menjadi korbannya.
Kita melihat alam yang nyata yang membutuhkan sosialisai dan solidaritas kita.





Yustinus Setyanta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar