Diakui, dihormati, dihargai dan berarti, setidaknya itulah yang kita harapkan dalam hidup ini. Berarti bagi keluarga, bagi lingkungan, bagi Gereja, bagi masyarakat bahkan bagi bangsa dan Negara. Diakui keberadaan kita, status kita. Dihargai jerih payah kita, karya-karya kita, perhatian dan keterlibatan kita.
Dalam hal keberartian, tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan 'aku' yang berarti bagi 'mereka', namun bagimana 'mereka' berarti bagiku. Tuntutannya menjadi terbalik 180 derajat. Disinilah kita mulai terpuasat pada diri sendiri, pada kepentingan diri, sehingga melihat sikap berkorban bagi orang lain adalah sebuah kebodohan.. Rela berbagi adalah kekonyolan, dan berjuang habis-habisan untuk kepentingan masyarakat sebagai sikap munafik. Kalau sudah demikian, sebagai orang kristiani bagaimana kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Yesus?
Di sisi lain, tuntutan untuk diakui dan dihargai lebih besar daripada keinginan untuk mengakui dan menghargai orang lain. Dan ketika hampir semua orang mengambil sikap yang sama, semua lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama setidaknya, maka yang akan terjadi adalah sebuah kekacauan. Bukan hanya kekacauan di masyarakat, melainkan juga kekacauan dalam keluarga maupun kekacauan dalam hidup pribadi. Hukum yang berlaku adalah yang kuat pasti akan menjadi pemenang, yang berkuasa akan menguasai dan menindas orang lain. Yang lemah akan dimanfaatkan habis-habisan, kepandaian digunakan untuk mengakali mereka yang bodoh.
Menjadi garam dan terang dunia, merupakan konsep yang nyata untuk menjawab keadaan seperti tersebut di atas. Yesus meluruskan sikap kita sebagai pengikut-Nya, bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita menjadi berarti bagi orang lain berarti bagi kita. Ketika kita tidak lagi menjadi berarti bagi orang lain, maka tidak ada pilihan selain dibuang atau dicampakan. Ketika kita lebih mementingkan diri sendiri dengan menjadi terang yang tersembunyi, maka lebih baik kiranya jika dipadamkan sama sekali.
Kolong meja bukan tempat bagi kita, ketika kita menjadi terang. Terang yang DIA anugerahkan kepada kita, haruslah kita nyatakan sebagai terang bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Maka jelaslah kiranya, bukan apa arti sepinggan sayur bagi sedikit garam, tetapi apa arti garam bagi sepinggan sayur. Bukan apa makna seluas ruangan bagi sebuah dian, tetapi apa manfaat sebuah dian bagi seluruh ruangan. Hal ini bukan semata-mata ajaran sosial, namun juga merupakan tuntunan bagi sikap pribadi kita masing-masing.
Salam & Doa
Yustinus Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar