Dalam lima tahun belakangan, karya novel sejarah digemari masyarakat. Ada berbagai novel mengangkat peristiwa di masa lalu yang kini mendapat tempat di hati pembaca. Bahasa lain, booming fiksi sejarah sedang menjadi perbincangan khusus di kancah kesastraan, intelektual, sejarawan, dan juga kalangan umum.
Bayangkan saja, konon, dalam beberapa tahun ini terdapat kuang lebih seratus judul novel yang berlatar belakang sejarah membanjiri dunia pasar perbukuan tanah air. Fiksi sejarah laris manis dibeli masyarakat yang mempumyai kegemaran membaca. Karya-karya seperti Gajah Mada yang ditulis Langit Kresna Hariadi laku keras.
Tidak hanya itu, novel sejarah lain: Mahkota yang Terbelah, Sabda Palon, Darmagandhul, Naga Bhumi Mataram, Jaka Tingkir, Majapahit, Hamukti Palapa, Hamukti Moksa, Perang Bubat, Nagabumi ditulis Seno Gumira Ajidarma, Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan masih banyak lagi novel sejarah yang kini disukai pembaca.
Trend fiksi sejarah mengingatkan kita pada peristiwa masa lampau di mana buku-buku menghadirkan setting sejarah pernah mendapat perhatian khusus publik. Ingat buku tebal "Senopati Pamungkas" karya Arswendo Atmowiloto, novel ini pun menjadikan sejarah sebagai ide cerita. Selain Arswendo, ada juga Kho Ping Ho, Mintardja. Mereka adalah novelis yang merekam kembali peristiwa masa lalu dalam karya fiksi.
Fiksi dan Fakta Sejarah
Geliat fiksi sejarah meningkatkan gairah intelektual di kalangan sejarawan dan sastrawan serta akademisi. Topik novel sejarah dikaji, didiskusikan, dikritik, bahkan tak jarang terjadi silang logika di antara mereka. Hal paling urgen diperdebatkan mengenai novel sejarah, apakah ia fiksi, fakta, dan atau gabungan di antara keduanya.
Silang pendapat memang tak mudah dicarikan titik temu. Mungkin karena alasan itu pula, belum lama kita mendengar para sejarahwan dan sastrawan berkumpul pada ruang pertemuan istimewa. Perhelatan berjudul “Borobudur Writers & Cultural Festival” yang digelar di kompleks Candi Borobudur, Jawa Tengah pada 29-31 Oktober 2012 menjadi bahasa simbolik adanya keseriusan dari orang-orang yang sadar akan arti pentingnya sejarah. Dengan kalimat lain, peristiwa bersejarah tersebut yang tak hanya mempertemukan manusia dari berbagai daerah, tetapi juga ada kesadaran kolektif di antara mereka untuk membahas fiksi sejarah.
Booming fiksi sejarah acapkali membenturkan nalar/logika, keyakinan, asumsi, dalam berbagai ruang paradoks. Pertanyaan paling menggelitik seputar topik ini adalah, apa sebetulnya perbedaan mendasar antara novel menghadirkan gagasan sejarah dan ditulis oleh sastrawan, ini satu sisi. Pada lain hal, apakah perbedaan mencolok dengan buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan?
Pertanyaan lebih menukik, bagaimana kebenaran sejarah dari masing-masing karya yang dibuat dari sastrawan dan sejarawan? Siapa yang paling otentik kebenaran sejarahnya? Apakah sejarawan paling originalitas dan valid fakta sejarahnya, lantas bagaimana dengan sastrawan dengan fiksi sejarahnya?
Rasa-rasanya memang tak elok jika keduanya kerap dipertentangkan dan seolah-olah bagai air dan minyak yang sukar menyatu. Sejarawan dengan buku sejarah yang dihasilkan memiliki ruang dan pakem sendiri. Demikian dengan sastrawan, ada ruang berbeda dengan sejarawan dalam menghasilkan suatu karya.
Sejarawan membuat buku sejarah dengan persepsi, metodologi, dan aturan main kaum sejarawan dalam mengungkapkan fakta. Meskipun kita sering mendengar karya sejarawan disajikan sangat kering dan kurang nyastra, tapi itulah karya mereka. Sastrawan memiliki cara sendiri dalam berkarya. Imajinasi, kreativitas tinggi ditonjolkan dalam fiksi sejarah. Tapi begitu bukan berarti novel sejarah mengabaikan fakta.
Garis demarkasi ini yang membuat politik identitas antara sejarawan dan sastrawan tampak muncul dalam berbagai karya yang dihasilkan. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Karena itu, rasanya kurang bijak bila keduanya dibenturkan dalam ruang paradoks.
Menyikapi hal tersebut, tampaknya gagasan penulis kritik sastra dan artikel kebudayaan, Jakob Sumardjo di suatu media menarik dijadikan rujukan untuk menjembatani polemik ini. Menurut Jakob, novel fiksi berlatar sejarah atau novel genre sejarah yang baik harus digarap dengan riset mendalam.
Dalam artian, sumbernya dari hasil penelitian sejarah dan bukti peninggalan masa lampau, seperti artefak dan naskah kuno, serta dokumentasi sejarah untuk rekonstruksi masa lalu. Pada pemahaman lain, novelnya tidak harus menceritakan sejarahnya, karena itu jadi tidak menarik.
Cerita fiksi dalam novel sejarah diperlukan untuk merangkai atau melengkapi bolong-bolong sejarah sesuai dengan tafsir si pengarang. Namun, kisah fiksinya memang tidak mengacaukan kisah sejarah resmi hasil penelitian para sejarawan. Kiranya begitulah cara mendamaikan antara fiksi dan fakta sejarah.
Yustinus Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar