Rabu, 02 April 2014

KEADILAN BEKERJA DAN WAKTU SENGANG

Modernisasi kehidupan menghasilkan beragam pekerjaan. Pelbagai profesi dan pekerjaan tercipta seiring terus melajunya peradaban. Dengan bekerja manusia mengalami pencapaian-pencapaian maksimal. Bekerja menjadikan manusia mengalami titik pemahaman bahwa ia bukanlah sekedar "binatang berbicara". Di sisi lain, ketika manusia keasyikan bekerja, sampai melebihi ambang batas waktu normal, sejatinya mereka telah mengalami makna waktu itu sendiri. Ketika organisme tubuh merasa tersiksa luar biasa tentu saja manusia justru melukai tubuhnya sendiri sebagai bagian dari harta yang dititipakan Tuhan kepadanya.

Kabar meninggalnya Mita Diran, copywriter yang diduga bekerja selama 30 tanpa istirahat adalah satu peristiwa dari sekian peristiwa di balik gelamornya modernitas. Mita menulis di akun Twitter@mitdog yang membuat riuh dunia maya: 3 hours of working and still going stroon.

Kita tentu saja menikmati hasil peradaban yang mencengangkan buah modernitas itu. Alat-alat produksi dihasilkan secara masif dengan pertaruhan waktu dan tenaga manusia yang bersatu dalam nama: kerja. Ketersediaan pelbagai ragam barang-barang penunjang mengalami eskalasi fungsi tidak sekadar membantu hidup, tetapi juga menandai kelas sosial di masyarakat. Ambisi materialisme yang di balut hedonisme membuat manusia terus berlomba-lomba menentukan siapa yang paling makmur dari segi material, sedang jiwa tersingkirkan. Mereka menghasilkan waktu dan energi untuk menggapai kemakmuran egois. Kemakmuran yang sampai hari ini hanya dinikmati sebagian kecil manusia yang terus berambisi mengekploitasi. Alhasil, alam berantakan, jiwa manusia tergadaikao dengan kepentingan-kepentingan bekerja yang selalu memunculkan masalah baru yang lebih kompleks. Sampai-sampai ada seorang filsuf jerman friedrich nietzsche, melontarkan kritik pedas kepada modernitas bahwa "Tuhan telah mati". Tuhan manusia modern adalah benda-benda yang dihasilkan itu sendiri yang disembah dan dipuja dengan kucuran keringat tiada henti tiap hari walau tak disadarinya.

Memaknai Kembali

Kita memang belum sampai final menilai Mita Diran itu meninggal akibat bekerja yang melampaui batas. Kompetitifnya dunia pekerja terkadang pula menimbulkan kecemasan-kecemasan yang dapat membuat gejala destruktif psikologis pada diri seseorang. Tidak semua orang dapat mengaktualisasikan secara maksimal potensi diri dalam segala tuntutan pekerjaan. Bisa jadi ketika orang merasa malas bekerja, saat-saat itulah justru aktivitas produksi dapat tumbuh kembali. Kemalasan justru tergntikan aktivitas produksi dengan ide-ide segar yang mencerahkan. Dapat kita saksikan bersama bahwa dikota-kota besar kebosanan justru menjadi buah dari rutinitas yang menimbulkan depresi berat. Budaya populer sedikit banyak menjauhkan kualitas karya-karya yang "ramah" pada manusia, alam, dan Tuhan. Sinisme yang dapat dikatakan barangkali "selama dapat mendatangkan uang, prnduksi apa pun bisa dilakukan". Pada saat beriringan, selama berada dalam waktu senggang manusia terjerembab pada pada eksisitensi konsumtif di mal-mal dan taman hiburan yang berbiaya besar. Manusia harus lebih adil terhadap tubuhnya. Meminjam istilah Plato, keadilan itu adalah seseorang membatasi dirinya pada pada kerja dan tempat dalam hidup yang yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya. Ini yang menimbulkan siklus bekerja tiada henti tanpa memikirkan keadilan berwaktu senggang secara manusiawi.

Hiburan Bermakna

Pada zaman yunani kuno, suatu ketika aristoteles menghendaki rakyat memiliki waktu senggang yang cukup. Waktu senggang adalah waktu yang diisi dengan cara berdiskusi tentang kebenenaran dan upaya-upaya menunjungnya, berefleksi tentang pelbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada. Saat itu waktu senggang telah di ambang kepunahan (fransiscus simon, 2007). Secara masif manusia modern memang terjebak "gila kerja", suatu eksatase yang menghendaki manusia terus menerus menggerakan mesin kapitalisme. Waktu senggang adalah pengorbanannya. Untuk itu, eksatase pada puncak bekerja mesti berimplikasi pada esensi jiwa yang damai, sense of meaning. Keadaan itu memang seolah memimpikan kegilaan yang dapat ditanggapi beragan kesinisan maupun antusiasme. Budaya mutakhir kita, yang sehat ini dikendalikan laju patitalisme, menangkap hiburan dengan logika pasar. Hiburan adalah menggurkan buat mengeruk keuntungan. Sasarannnya tak lain adalah manusia pelahap kerja, yang sehari-hari mereka sebagian maupun sepenuhnya merupakan waktu yang bermuatan "kesibukan kapital". Kita memerlukan kosekuensi dari apa yang dinamakan waktu senggang. Bekerja adalah keharusan. Berwaktu senggang menjadi kemestian. Berkeadilan berarti memanggil jiwa yang selaras dengan tubuh.

Dalam modenisasi yang setidaknya menuai pencapaian teknologi mutakhir yang mencengangkan, waktu mesti mendapat kehormatan. Di situ kita (manusia) sanggup merasai diri yang meditatif, romantis bagi jiwa terhadap alam semesta. Bagi manusia yang gila pekerjaan, ingatlah kehidupan tidaklah sekedar gairah "wata

uang". Kebutuhan-kebutuhan eksistensial yang esensial bagi tubuh juga memerlukan perhatian. Tidakkah obrolan-obrolan ringan, diskusi-diskusi di jalanan, di pasar-pasar, di sekolah, membaca buku dan juga mendengarkan lagu adalah hiburan yang memenuhi hasrat waktu senggang berkeadilan. Selain berbiaya murah, ia juga ramah pada alam. Anda mungkin dapat menambah sendiri pemikiran atas hal-hal yang belum disebutkan. Jangan sampai waktu senggang kita dibunuh oleh kehidupan sesaat yang pelan-pelan terjauhkan dari nilai-nilai, etika, estetika dan menghasilkan individualisme masif yang melahirkan manusia penuh ambisi belaka tetapi miskin arti, kaya harta miskin makna.





Yusinus Setyanta
Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar