Kamis, 17 Juli 2014

SERBA MAHA

- Matius 11:25-27
- - - - - - - - - - - - - 
Allah itu Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Rahim, Allah itu Maha Besar, kita semua tahu hal itu. Kita semua diajarkan untuk meyakini semua itu. Kita tahu Allah itu siapa dan bagaimana dalam rumusan yang serba Maha itu. Tetapi jika mencoba secarik kertas dan cobalah untuk menggambarkan-Nya? Adakah kita akan mampu menggambarkan-Nya secara tepat sekalipun hanya di dalam benak kita dalam angan-angan kita?

Ya, sungguh kita tidak akan mampu melakukannya. Tidak ada seorangpun yang akan mampu menggambarkan diri Allah secara pasti, secara rinci, secara detail. Allah itu misteri, akhirnya itulah yang kita pahami. Sebagai misteri, maka tidak akan mungkin bisa diselami secara menyeluruh, tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Karena jika Allah bisa dipahami, dan diketahui seluruh-Nya oleh manusia, Dia bukan lagi misteri dan Dia bukan Allah lagi. Dengan demikian, bayangan akan Allah demikian jauh, demikian tak terjangkau oleh kita manusia. Dia tak tersentuh sakalipun oleh akal yang sangat maju sekalipun, saklipun oleh orang yang paling pandai sekalipun, sekalipun oleh orang yang paling bijak sekalipun.

"Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. (Mat11:27). Sabda itu barangkali membuat kita terperangah. Ada jalan untuk mengenal Allah yang serba Maha itu. Ada cara untuk memahami DIA. Yesus membuat jalan itu, Yesus memperkenalkan Allah yang adalah Bapa. Maka mengenal Bapa adalah mengenal Yesus, mengenal Yesus adalah mengenal Bapa. Tapi ada satu hal yang masih menganjal, semua itu hanya diperkenankan kepada orang yang berkenan kepada-Nya untuk menyatakannya. Adakah kita adalah orang-orang yamg mana Dia berkenan menyatakannya? Bukankah kita sering merasa diri kita adalah yang bijak dan yang pandai? Bukankah kita yang merasa bahwa kita yang adalah manusia tahu dan sangat memahami akan Dia? Adakah dalam kondisi seperti itu Dia akan berkenan menyatakan kepada kita tentang Bapa?

REFLEKSI :
Hanya satu buku, ya hanya satu buku bukan sembarang buku yang menceritakan tentang Dia. Buku itu adalah yang ditulis oleh para penginjil, buku itu adalah yang memuat kesaksian-kesaksian para rasul dan kesaksian iman umat israel. Dalam satu buku itu, aku mulai belajar akan Dia. Bertahun-tahun aku membaca, mendengar, belajar untuk memahami Dia. Sampai suatu saat aku merasa aku cukup mengerti bahwa aku sama sekali tidak mengerti. Lalu buku itu kututup dan tak pernah aku buka lagi. Tergeletak hanya buat pajangan. Aku juga tidak mau mendengar lagi apapun tentang Dia. Aku tetap hidup sebagaimana orang lain hidup. Aku tetap berjuang sebagaimana orang lain berjuang memenuhi kebutuhan. Aku tetap bergumul dengan persoalan sebagaimana orang lain bergumul dengan persoalan.

Suatu saat, entah kapan, aku melihat buku yang bernama Kitab Suci itu, yang kukenal dengan nama Alkitab itu. Buku yang tak pernah lagi kubuka lembar-lembaranya, yang tak pernah lagi kubaca kalimat-kalimatnya. Buku yang seolah mengejek aku yang telah menyerah kalah. Buku yang menghinaku ketika aku jatuh luluh. Buku yang mencaci maki aku ketika aku berbuat salah kepada-Nya. Buku yang seperti tertawa terbahak-bahak melihat aku kebingungan mencari pegangan ketika menghadapi persoalan. Ada pertanyaan menyusup, apa yang salah antara aku dengan buku itu? Apa yang salah antara akal dan otakku dengan sabda-sabda di dalam buku itu? Sesaat aku tercengang.

Kucoba untuk membalik semua yang pernah aku lakukan selama ini. Aku tidak ingin lagi memahami Dia, tetapi kucoba untuk membuka diri lebar-lebar agar Dia memahamiku. Aku tidak ingin mengenal Dia, tetapi kubiarkan Ia mengenalku lebih dalam. Mungkin, mungkin dengan cara ini aku melangkah selangkah lebih maju.

Aku ini, hanya satu diantara milyaran manusia di atas bumi. Jika aku tidak ada, jika saja aku tidak pernah dilahirkan, barangkali tidak akan ada pengaruhnya apapun bagi seluruh kehidupan ini. Sementara Dia demikian agung, demikian mulia, disembah dan dipuja oleh milyiaran orang di muka bumi ini. Jadi aku bukanlah siapa-siapa. Maka kubiarkan aku tetap berada dikejahuan, tetap dalam jarank yang jauh dengan-Nya, sementara aku demikian kotornya. Dia demikian besarnya sementara aku demikian kecilnya. Dia demikian berarti sementara aku demikian tidak berarti. Biarlah....biarlah aku tetap di kejauhan dan hanya bisa memandang gambar-Nya. Biarlah aku di kejauhan dan hanya mendengarkan suara-Nya dari mulut orang lain.

Soal kemampuan, apalah kemampuanku? Aku hanya bekerja sebagai buruh, pekerja yang dikuasai dan bukan menguasai. Orang yang menghamba dan bukan memperhambakan. Untuk kebutuhanku, aku sepenuhnya menggantungkan diri pada orang lain. Bukan aku yang memintal benang dan lalu menjadikan kain serta menjahit untuk bajuku sendiri. Bukan aku yang menanam padi lalu menggilingnya dan menjadikan beras. Bukan aku pula yang membuat semua yang ada padaku saat ini. Sungguh aku bukan siapa-siapa. Aku tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat orang yang sakit, lemah, sementara Dia mampu menyebuhkan bahkan membangkitkan manusia yang mati. Aku selalu masuk angin saat kehujanan, sementara Dia mampu meredakan angin ribut dan badai. Aku hanya bisa membeli sepotong roti, sementara Dia mampu menggandakan roti untuk lima ribu orang. Aku ketakutan melihat setan, sementara Dia mampu mengusir semua jenis setan. Jadi aku bukanlah apa-apa. Maka, biarlah aku di kejauhan ini karena tidak pantaslah aku berada di dekat-Nya.

Tenggelam dalam perenunganku, larut dalam doa heningku, akan diriku yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa itulah kudenganr seseorang berbisik dengan lembut di telingaku, "Anak-KU. Aku mencintaimu... Senantiasa mengasihimu, mari mendekatlah pada-KU....". Kupaksa wajahku berpaling untuk mencari sumber suara itu. Tak ada orang, tak ada satupun, kecuali....... Salib yang tergantung di atas pintu rumahku, salib yang tergantung di dinding kamarku, dan Dia ada disana. Kupejamkan mataku, kutajamkan telingaku, dan Dia bercerita banyak hal tentang apa yang Dia lakukan. Dia mengalami semua itu karena Dia mengasihi manusia, ya Dia mengasih semua orang, juga diriku. Dia mengalami semua itu karena manusia demikan berarti bagi-Nya termasuk diriku.


Yustinus Setyanta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar