Aku merasa bahwa diriku adalah seorang pemenang meski sebenarnya aku adalah seorang pecundang. Keputusanku untuk tidak mengadalkan Dia adalah kekalahan dalam kesetiaan. Kemarahanku pada-Nya adalah pertanda runtuhnya ketulusan. Maka yang sebenarnya aku bangun kini adalah kesombongan dan kemegahan diri. Bangunan-bangunan yang demikian mudah runtuh dan demikian mudah hancur. Begitulah yang kemudian terjadi. Persoalan itu ternyata tidak pernah berhenti, selalu datang dan datang lagi. Serupa bola salju yang menggelinding, persoalan yang menggelinding ke arahku semakin besar. Seluruh bangunan kesombonganku hancur bertakan. Kemegahan diriku itu teronggok menjadi puing-puing yang menyedihkan. Aku terdiam karena tak tahu lagi harus bagaimana dan harus berbuat apa.
Ketika kupalingkan wajahku, kulihat Dia mdmanggul salib menaiki sebuah bukit. Dia sempdt menatapku dan dengan tatapan-Nya seolah Dia berkata, "Mari ikutlah Aku......" aku masih tetap berdiri dan memandang ke arah-Nya. Dia memanggul salib yang bukan akibat dari perbuatan-Nya. Hal itu menyadarkan aku, ternyata selama ini aku hanya memanggul penderitaanku sendiri tetapi bukan salibku. Aku mengusung kesedihanku dan bukan salib. Aku tidak pernah memanggul salib. Karena salib, bukan terbuat dari gelagar kepentingan diri, tetapi dari persoalan dan penderitaan orang lain yang disatukan oleh kasih-Nya.
{Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar