Senin, 30 Juni 2014

SIMBOK

Garek pirang dino meneh (tinggal beberapa hari lagi) pilihan Pak Persiden dan wakilnya. Bagi simbok pribadi bukan hal yang sulit untuk menentukan pilihan. Mengapa? Lha yo to Le, Nduk, karena siapapun yang terpilih nanti tidak ada pengaruhnya bagi simbok. Selama ini simbok yo mung begini kok Le, Nduk. Siapapun persidennya simbok yo mung tetep simbok, yo tetep seperti ini, yo tetep jauh dari keributan dan keramaian, simbok wis tuo, urip yo mung karek dewe (hidup juga sudah sendiri) butoh yo sing penting cukup untuk makan dan makan sekali sehari itu pun sudah cukup. Tidak perlu neko-neko (aneh-aneh), pakaian juga tidak perlu mengikuti model-model baru, tren busana masa kini, sak lawase yo pakaian simbok modelnya seperti ini, wes arep mikir apa lagi?. Itu kalau simbok hanya mikir diri simbok sendiri dan mbuh ra weruh (entah tidak tahu) pada kehidupan berbangsa di negeri ini.

Ora mergo (bukan) soal siapa yang dipilih nanti yang menjadai pikiran simbok. Bukan soal siapa yang harus jadi Pak Persiden yang membuat simbok sumelang, tetapi khanan yang mugkin akan terjadi. Akankah situasi aman-aman wae, damai dan semua berakhir dengan baik ataukah justru sebaliknya? Oleh karena itu simbok mung mengajak panjenengan (anda) semua untuk ngrumagsani bahwa kita ki sekeng, lemah, penuh keterbatasan dan bukan apa-apa. Awake dhewe (kita) tidak bisa menjadi kekuatan yang mempengaruhi keputusan penting bagi bangsa ini. Mulo (maka) yang bisa kita lakukan adalah berdoa. Awake dhewe ndedongo bareng-bareng nyuwun kepada Gusti Allah agar kehidupan di negeri ini dijauhkan dari mara bahaya, kerusuhan.

Memang kadang kolo simbok nggrantes, ngelus dodo nek melihat khanan saat ini. Ibarat rumah, saka guru yang menjadi penyangga utama, yaitu Pancasila sudah tidak dipedulikan lagi. Wes ora dianggep meneh (sudah tidak dianggap lagi). Simbok menggambarkan bahwa pancasila itu jiwa sejatinya bangsa ini. Hal paling utama bagi bangsa ini. Naging (tetepi) kok yang sejati ini seperti ambruk tinggal tunggak'e saja. Nasionalisme seperti bayang-bayang semu, Bendera Merah Putih nglumpruk semampir di atas tunggak tersebut. Banyak partai yang sekalipun ngondol, mengusung kata 'Nasionalisme' bagi rakyat. La kok mereka bekerja mung yo (cuma) kalau mau pemilu. Hal itu kok menunjukkan bahwa partai-partai nasionalis ini hanya memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya sendiri, hemmmm.......

Sesungguhnya bukan wewenag dan kewajiban simbok untuk ngompyank (ngoceh) seperti ini, tapi lha piye meneh (gimana lagi). Simbok sungguh prihatin dengan keadaan sekarang ini. Ning prihatin ora kepanjangan dari Perih Atine, hehehee.... (tapi prihatin bukan kepanjangan dari Perih Hatinya). Rasa-rasanya kok seperti tidak ada yang bisa dijagakke (diharapkan) untuk bisa mengibarkan kembali Merah-Putih dengan menempatkan kembali pancasila sebagai jatining bangsa.

Mulo kuwi (maka dari itu), selain ndedongo (berdoa) dan kita lak yo wis ndedongo (sudah berdoa) bareng-bareng to di gereja, di lingkungan, kita yo di konkon (di suru) sama-sama untuk gumregah nyaut Merah-Putih yang nglumpruk dan mengibarkannya kembali. Mbok menowo hanya kita yang melakukan, ning yo wis ben. Biarlah meskipun hanya kita, namun kita berani untuk mengankat dan mengibarkan nasionalisme itu kembali. Gusti Allah ora sare (tidak tidur), apa yang baik yang bisa kita lakukan, pasti Gusti Allah akan mendengarkan. Semoga meski perbuatan kita sangatttt kecil, hanya milih satu diantara dua, hanya nyoblos mak bluussssss....njur rampung (lalu selesai), namun bisa memberi arti bagi bangsa ini.

Berkah Dalem.


(Simbok = Ibu (panggilan untuk seorang ibu umumnya untuk ibu yang sudah sepuh/tua/nenek)




Yustinus Setyanta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar