Di ranah teologis, Aloysius Pieris (1988) telah wewacanakan gagasan bahwa refleksi dan praksis teologi Asia harus bergerak di antara sifat ke-Dunia ketiga-an (Third-Worldliness) dan ke-Asia-an) (Asianess). Sifat ke-Dunia ketiga-an ditandai dengan kemiskinan. Sedangkan kekhasan warga Asia adalah hidup dalam keragaman agama, budaya dan tradisi. Refleksi dan praksis teologi pun harus memperhitungkan, memadukan, serta menggerakkan kedua kondisi dasariah tersebut.
Narasi teologi yang diharapkan adalah narasi yang bukan saja mengatasi masalah seperti Teologi Pembebasan di Amerika Latin, tetapi juga yang menyapa, mengigat, dan menginspirasi tradisi-tradisi agama di asia untuk menjawab kegelisahan kemanusiaan warga Asia. Narasi yang ditawarkan Pieris adalah mewartakan Yang Mahatinggi yang bertindak bagi dunia ibarat 'seorang' Rahib Miskin (Poor Monk). Konsekunsinya, siapa pun yang percaya kepada Yang Mahatinggi hendaknya berjuang meneladani Sang Rahib Miskin hingga menjadi 'rahib miskin' dengan huruf kecil.
Gambaran Yang Mahatinggi sebagai Rahib Miskin tentu mudah diterima di tanah asia. Rahib Miskin adalah pribadi yang memilih secara sukarela menjadi miskin untuk dapat 'memperkaya' sesama dan diri sendiri dengan aneka bentuk kebijakan. Jalan menjadi Rahib Miskin ditempuh dengan disiplin dan tradisi kereligiusan yang dikenal dengan asketisme. Asketisme adalah penolakan (pembatasan) sukarela terhadap segala kenikmatan duniawi untuk meraih keintiman dengan Yang Mahatinggi dan kesempatan yang lebih untuk melayani sesama.
Semua tradisi agama-agama asia memiliki, mengajarkan dan menjunjung tinggi gagasan dan praktik penolakan atau pembatasan sukarela terhadap kenikmatan sesaat duniawi yang berlebihan. Maka, secara teologis (praktis), ditemukan bahwa jalan ideal menjawab kodisi sekarat kemiskinan dan kemjemukan adalah dengan menggemakan semangat asketisme untuk melahirkan generasi-generasi berpola hidup sebagai 'rahib miskin'.
Tentu saja, kemiskinan dan kemajemukan bukan hanya konteks berteologi asia, tetapi juga locus refleksi dan praksis berpolitik di asia. Maka di ranah politik, asketisme politik menjadi jalan yang sangat penting untuk ditempuh dalam rangka menjawab kemiskinan tanpa mengacaukan kemajemukan dalam masyarakat.
Karena itu, dalam perspektif peradaban asia, politisi sejati adalah seorang asketis sejati. Ia yang berniat menjadi bagian dari pembuatan kebijakan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah dia yang telah dengan sukarela dan penuh komitmen menolak serta membatasi hasratnya pada materi dan aneka kenikmatan duniawi.
Seorang politisi sejatinya ibarat seorang rahib miskin. Di matanya, aktivis politik adalah jalan untuk memuluskan langkah menggapai Yang Mahatinggi dan sesama. Kekuasaan dan kewenangan politisi adalah media terbaik mewartakan keluhuran hati dan kecemarlangan gagasan demi kesejahteraan bersama.
Mungkinkah kita mendapatkan 'rahib miskin' untuk menahkodai indonesia? Mungkin dan sangat mungkin! Karena kita lahir dari rahim peradaban yang mengenal disiplin religiositas yang bernama asketisme. Keutamaan asketis itu masih dan selalu ada karena menjadi bagian dari dimensi transendental kita. Ia brtahta di hati siapa pun yang bernama umat beriman, beragama, dan berkepercayaan.
Yust Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar