Jumat, 15 Agustus 2014

TERIK MENTARI DI SIANG HARI

Hari masih siang saat sang surya masih berjaya pancarkan sinarnya ke bumi. Sengat panasnya seakan-akan membakar semua tempat di daerah sekeliling ini. Walaupun berteduh, pun masih terkena dampak terik panasnya. Hembusan angin yang bertiup tak sangup meredakan udara panas yang ku rasakan.

Kami duduk mencoba mengembalikan ritme napas yang sedari tadi menderu cepat, menghilangkan penat yang ditimbulkan olehnya, menguapkan peluh yang mengucur deras. Di suatu tempat, berlindung dari sengatan sinar matahari. Ada alam raya yang terbentang di hadapan kami, gedung-gedung berdiri tegak menjulang ke angkasa serta sebuah landscape jalan raya beraspal memantulkan sinar matahari menambah teriknya udara panas beserta langit biru di atas sejauh mata memandang. Menoleh ke atas, langit itu berhiaskan awan putih yang berarak tak berarah dihempaskan oleh derasnya kecepatan angin di sana.

Kami duduk dibawah pohon yang tidak begitu rindang, sebagian daun-daun pohon itu telah gugur sementara sengatan matahari siang dengan mencoba membahasakan alam saat itu kami mencoba menghibur diri, bagai awan yang beterbangan di langit biru pikiran melayang-layang, membayangkan tentang tempat yang sejuk, di mana bisa dengan tenang menghirup udara segar tanpa polusi udara asap kedaran, cerobong industri. Tempat di mana bisa mendengarkan suara ayam berkokok bersahut-sahutan di pagi hari, mendengar kicau burung yang berdendang di siang hari, serta suara jangkrik yang melengking di malam hari. Tempat di mana sungai mengalirkan air beningnya, menperdengarkan gemericiknya pada bebatuan di sekitarnya, tanpa ada limbah, sampah maupun kotoran. Keelokannya melampaui kemampuan untuk memikirkan sesuatu. Mungkin tak terbatas kata bisa mendeskripsikannya, hanya bisa terdiam membisu setelah satu kalimat.

Udara panas yang kurasakan membuyarkan semuanya. Sejenak kupandangi matahari di siang itu nempak berjelaga. Tak dapat menatap matahari siang itu, kapasitas cahayanya begitu kuat. Lain halnya ketika fajar menyingsing di pagi hari maupun ketika senja tiba di sore hari saat waktunya matahari mulai tenggelam. Tetapi, ada sebuah tulisan yang menggelitik pikiran, bahwa semua yang kita saksikan tentang matahari itu adalah yang telah lalu. Kita tak benar-benar menyaksikan matahari pada saat itu juga saat memandangnya. Dengan mengandalkan analogi kecepatan cahaya 300 ribu kilometer per detik dan jarak bumi ke matahari sekitar sejauh 150 juta kilometer, kesimpulan itu lahir. Sinarnya baru sampai ke bumi sekitar delapan menit menurut perhitungan itu. Jadi, ketika matahari terbenam di ufuk barat sana, yang kita saksikan itu bukan matahari, tetapi sinarnya delapan menit lebih sedikit yang lalu. Pun ketika fajar, yang kita lihat itu bukan matahari, matahari telah bergerak delapan menit yang lalu. Hanya yang lalu yang kita saksikan. Manusia hanya bisa menelaah cahaya sebatas yang lalu, tak lebih.

Entahlah, terlepas dari benar tidaknya teori itu, hal itu mengalami pembenaran dalam logikaku. Namun kebenaran sejati itu hanya ada pada-Nya. Cahaya, sinar, Cahaya yang memancarkan terang. Yah, Engkaulah terang itu ".........Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." (Yoh 8:12).

 Seperti matahari, tak terlihat, namun dia bisa menyinari semua isi alam semesta. Seperti cahaya, yang bisa dilihat dan tak bisa diraba. Karena cahaya, manusia bisa menggunakan karunia mata yang Engkau berikan untuk melihat. Karena cahaya, manusia bisa melangkahkan kaki mengikuti gerak waktu. Karena cahaya, manusia bisa berpikir tentang jagad raya ciptaan-Nyu. Karena cahaya pula, Engkau bimbing manusia ke jalan-Mu.

Syukurku pada-Mu tak terkira atas semua ini. Misteri-Mu selalu hadir dalam tiap napasku. Karya ciptaan-Mu buatku kecil, bagai sepercik sinar pada milyiaran galaxi. Ilmu-Mu benamkan kesombongku dalam ketidaktahuanku.

Ah... ku harus bergegas. Sepertinya letih telah mereda, peluh telah menguap dan ritme napas pun mulai bisa terkendali. Terlalu lama berdiam diri berarti terlalu lama tak sadarkan diri. Ku harus kembali ke keberadaanku.



(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar