Rabu, 27 Agustus 2014

KETIKA MULAI MENUNTUT

Kesepakatan adalah dasar untuk menentukan penilaian apakah akhirnya akan menjadi adil atau tidak adil. Sejak semula ketika Allah menciptakan manusia, Allah telah membuat kesepakatan dengan manusia bahwa Dia akan mencintai manusia. Kehidupan ini terjadi karena Allah mengasihinya. Demikian juga dengan hidup kita. Allah tidak akan pernah berhenti mengasihi kita yang adalah manusia.

Ketika manusia mulai menuntut kepada Allah, hal itu dikarenakan mereka merasa bahwa Allah tidak memperhatikan hidup mereka, begitu pula ketika manusia saling menuntut dengan sesama. Begitulah biasanya yang terjadi. Saat kita menderita, kita merasa bahwa Allah memalingkan muka. Karena kita tidak pernah mau menilik penderitaan itu, karena penderitaan itu terdiri dari dua bagian yakni penderitaan buatan sendiri dan penderitaan alami. Ketika hidup kita berada dalam kesulitan dan selalu dirundung kesusahan, kita berpikir bahwa Allah telah meninggalkan kita. Sejarah bangsa israel menunjukkan bahwa perjalanan iman bangsa israel yang mengalami jatuh bangun dalam keyakinan mereka terhadap kasih Allah, juga kita alami dalam kehidupan kita sekarang ini.

Saat kita menuntut Allah, mestinya kita bercermin pada diri kita sendiri. Jika sejak semula Allah mencintai dan mengasihi kita, adakah sejak semula pula kita mencintai dan mengasihi Dia? Jika sejak dahulu Allah setia kepada manusia, seharusnya sebagai manusia pun kita tetap setia kepada-Nya. Kita mulai menuntut lebih dikarenakan kita hanya melihat kepentingan diri kita sendiri, keadaan diri kita sendiri. Kita telah diberi hidup, dan sejal bayi hingga sekarang ini kita pun masih hidup, hidup yang ada pada diri kita pun berasal dari Allah Sang Pencipta, bukan semata-mata karena kempuan dan kekuatan diri kita sendiri. Dengan menyadari hidup yang sedang kita jalani, setidaknya kita tahu dan sadar bahwa Allah tidak meninggalkan kita. Jika dalam hidup ini kita mengalami penderitaan, maka maka pertanyaannya bukan ditujukan kepada Allah, tetapi pada diri kita sendiri, atau dalam kata lain menduduh Allah.

Jika kita terus terpaku pada diri kita sendiri, maka kita akan merasakan bahwa Allah tidak adil. Kita lahir sebagai manusia, sama-sama sebagai manusia dengan orang lain. Tetapi ada yang dilahirkan dari keluarga kaya dengan segala kemegahannya sehingga tanpa bersusah-payah pun hidupnya akan terjamin. Ada yang lahir dengan kecerdasan dan perhatian yang cukup sehingga mampu menjadi orang yang kaya dan berlimpah hartanya. Ada yang mampu melihat kesempatan dan mempergunakan kesempatan itu dengan baik sehingga hidupanya menjadi nyaman dan lain sebagainya. Lalu kita menilik atau bertanya kepada diri kita sendiri, kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Adakah Allah telah bersikap tidak adil kepada kita? Jika kita merasakan bahwa Allah tidak adil, maka ketidakadilan itu sebenarnya muncul dari pandangan kita sendiri akan hidup.

Hidup yang ada pada kita, adalah dari Allah. Hidup yang membuat kita ada sebagai manusia adalah milik Allah yang dianugerahkan bagi kita karena Allah berkehendak agar kita berbuat sesuatu. Allah menghendaki agar kita menjadi ungkapan kasih-Nya bagi kehidupan ini. Inilah panggilan dan pekerjaan kita semua. Mengungkapan kasih Allah merupakan pekerjaan yang tidak terbatas waktu. Ketika kita memahami hidup adalah milik kita sendiri dan untuk kepentingan kita sendiri, maka kita akan melupakan pekerjaan yang diberikan Allah kepada kita berkaitan dengan hidup kita. Ketika kita terpaku pada hidup yang sepenuhnya kita renggut menjadi milik kita sendiri dan sepenuhnya kita pergunakan untuk kepentingan kita sendiri, maka pada saat itulah kita mengalami kematian. Hidup yang kita lihat nyaman seturut ukuran dunia, bukanlah hidup menurut ukuran Allah. Namun jika kita melihat hidup ini sebagai milik Allah dan kita pergunakan untuk menjadikan diri kita sebagai ungkapan kasih-Nya, maka kita akan melihat betapa Dia murah hati. (bdk Mat 20:1-16)



{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar