Setiap kontestan politik berlomba-lomba memasang foto dengan gaya terbaik lengkap slogan dan janji-janji muluk kampanye mereka ketika sudah mendapatkan posisi politik tersebut. Masyarakat kita mungkin sudah kenyang bahkan sangat kenyang dengan paparan janji politik yang setia saat disebar dan disuntikkan dalam ingatan kita. Kita kemudian terkurung dalam ruang sosial yang dipenuhi oleh kampanye dan sosialisasi politik yang ironisnya tidak semua orang akan dan mau mengerti atau mengikuti kehendak tersebut. Sebagian orang akan melihatnya sebagai sebuah kekuatan politik tapi tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai polusi pandangan sepanjang jalan. Melihat para calon kontestan politik memakai pakaian terbaik dan pose paling keren.
Di beberapa tempat, saya pernah menemui baliho berukuran jumbo malah super jumbo yang memajang wajah calon legislatif sedang merangkul petani dan rakyat miskin, ada patakan yang terpaku di pohon dengan selogan indah, atau ada juga calon kontestan politik dengan jubah agamisnya seolah-olah kita sedang berada di tanah suci dan meyerukan segala kebaikan agama, sangat agamis. Dari segala jenis reklame muali dari poster, baliho, pataka hingga billboard semuanya pada musim kampanye politik menyajikan visualisasi politik dan janji kemajuannya. Setiap kontesntan politik berlomba menampilan ide cemerlangnya, tidak heran jika seorang konstestan-kontestan politik harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bisa menampilkan kampaye politik yang menarik perhatian masyarakat. hmmmm.........
Kita mungkin akan sepakat bahwa bentuk kampanye politik tersebut secara lazim kita mengenalnya sebagai politik citra atau politik narsis atau segala bentuk labeliasasi politik tampilan diri yang tersusun dari segala upaya untuk membangun wajah politik yang ideal berdasarkna selera pemilih, pada tulisan ini, penulis lebih memilih diksi yang sedikit berbeda, semoga kita sepakat bahwa ini adalah semacam Politik Narsis. Politik Narsis adalah langkah awal perjuangan dalam pertarungan politik yang terkonstruksi dari ide menuju satu sikap pilihan politik secara luas. Idealnya kondisi tersebut harus berbading lurus pula dengan pengetahuan masyarakat luas akan konsekuensi pilihannya dan mengetahui segala seluk-beluk peredaran wacana politik via kampanye ini.
Konstruksi Pengetahuan via Politik Narsis
Politik Narsis secara teknis dapat kita pahami sebagai upaya untuk membangun tampilan sosok ideal sebagai muara segala kebaikan, dengan segala biaya yang tinggi dan kekuatan mesin politik yang bekerja keras hanya untuk memunculkan sosok yang ideal dan layak pilih. Politik citra ini berusaha untuk mengkonstruksi ide dalam kehidupan sosial masyarakat tentang pilihan politik yang harus kita ambil hingga pada titik radikal sekalipun berupa tidak adanya lagi pilihan yang rasional dalam kesadaran politik akibat konstruksi ide tersebut karena terkadang pilihan politik adalah pilihan emosional tanpa ideolgis. Maka tidak mengherankan jika ada kubu pendukung kontestan politik yang rela mati demi tokohnya, saling sindir sekilas di media massa atau di ruang publik maka mesin politiknya akan bekerja menetralisir dengan segala cara. Akan tetapi tulisan ini tidak sedang berusaha melihat sisi internal kontestan politik dan mesin politiknya akan tetapi lebih kepada upaya pembongkaran fenomena Politik Narsis dalam Perspektif Sosial Kritis.
Konstruksi Pengetahuan via Politik Narsis
Politik Narsis secara teknis dapat kita pahami sebagai upaya untuk membangun tampilan sosok ideal sebagai muara segala kebaikan, dengan segala biaya yang tinggi dan kekuatan mesin politik yang bekerja keras hanya untuk memunculkan sosok yang ideal dan layak pilih. Politik citra ini berusaha untuk mengkonstruksi ide dalam kehidupan sosial masyarakat tentang pilihan politik yang harus kita ambil hingga pada titik radikal sekalipun berupa tidak adanya lagi pilihan yang rasional dalam kesadaran politik akibat konstruksi ide tersebut karena terkadang pilihan politik adalah pilihan emosional tanpa ideolgis. Maka tidak mengherankan jika ada kubu pendukung kontestan politik yang rela mati demi tokohnya, saling sindir sekilas di media massa atau di ruang publik maka mesin politiknya akan bekerja menetralisir dengan segala cara. Akan tetapi tulisan ini tidak sedang berusaha melihat sisi internal kontestan politik dan mesin politiknya akan tetapi lebih kepada upaya pembongkaran fenomena Politik Narsis dalam Perspektif Sosial Kritis.
Tujuan dasar dari Politik Narsis tersebut ialah untuk menstimulus dan membangun pengetahuan di benak masyarakat tentang segala kebaikan politik. Kebaikan politik yang hanya bisa didapat melalui mereka sebagai orang yang tau dan paling sholeh untuk masalah politik meskipun pada kenyataannya kondisi ini sangat jarang memberikan ruang dialektika politik sehingga cita-cita mendasar tentang pendidikan politik adalah mimpi yang tidak pernah usai. Segala wacana yang dibangun via tampilan politik narsis kemudian merepresi kesadaran kita dan mulai membentuk pengetahuan baru tentang politik tersebut, dari kesadaran palsu melalui rekayasa pengetahuan menuju pemebntukan gerbong politik via kampanye. Bisa pula kondisinya ialah anggapan bahwa masyarakat awam adalah masyarakat yang apolitis dan tidak mengenal segala bentuk kebijakan maka diperlukan sebuah upaya untuk mengenalkannya melalui kampanye politik, keduanya punya alasan yang jelas.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan terlebih dahulu ialah kenapa politik citra begitu penting dan kuat sehingga mampu membentuk masyarakat dengan kesadaran politik yang labil. Secara sederhana, kontestasi ini penting untuk memenangkan pertarungan politik dengan mengkonstruksi pengetahuan awam sebagai sarana sebagai sumber suara meraih kekuasaan. Nantinya kekuasaan ini pulalah yang akan terus mereproduksi wacana untuk mempertahankan kekuasaan, selayaknya lingkaran pengetahuan dan kuasa tiada henti. Pengetahuan terlembaga melalui institusi politik menjadi otoritas kekuasaan yang menentukan ini yang benar dan itu yang salah. Kondisi ini memainkan perannya dengan menjadi bagian internalisasi nilai dan pengetahuan kepada masyarakat sehinggga menjadi kemudi otomatis gerak langkah individu. Singkatnya pengetahuan yang ditampilakn oleh narsisme politik menjadi penuntun langakh politik kita, sadar atau tidak sadar.
Dalam ranah Perspektif Sosial Kritis, Ide Michael Foucault ( 1926-1984) yang banyak menulis tentang relasi kekuasaan, pengetahuan dan diskursus sosial yang terbangun menjadi salah satu refensi kuat untuk bisa menganalisi dan membongkar segala bentuk metode dan relasi yang terbangun dari awal hingga pencapaian kekuasaan. Selain itu beberapa tokoh Kritis lainnya yang banyak terpengeruh dari perspektif sturkturalis memiliki basis analisis yang jelas dalam melihat fenoemana tersebut semisal Andrew Linklater, Richard Ashley (1902-1974), Richard Wyn Jones serta Robert Cox (1926).
Perspektif Sosial Kritis berusaha memahami hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, sehingga memiliki kecenderungan mengakui sifat politik klaim pengetahuan. Pada pandangan ini, Teori atau pengetahuan yang dikosntruksi secara politis hanya mungkin ada dengan syarat bahwa subjek bertanya dapat menarik dari dunia yang dipelajarinya (dan di mana itu ada) dan membebaskan dirinya dari semua hal yang bias sehingga mampu memberikan analisis terhadap dorongan pengetahuan baru serta formasi sosial yang tidak pernah bebas nilai.
Robert Cox menunjukan pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa “theory is always for someone and for some purpose”. Disisi lain pula, Teori kritis bertujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk dominasi serta mendorong kebebasan dan keadilan. Teori kritis menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan. Sebuah pengetahuan secara luas dipahami sebagai sebuah bentuk konstruski sosial, budaya dan ideologi, dan salah satu tugas utama dari Perspektif Sosial Kritis adalah untuk mengungkapkan pengaruh konstruksi dan dialektika didalamnya. Sebagaimana Richard Ashley tegaskan bahwa “knowledge is always constituted in reflection of interests”.
Coen Husain Pontoh pada jurnal Indoprogress sebelumnya pernah menulis terkait politik citra yang menurutnya merupakan bentuk nilai yang ditanamkan sebagai kemudi otomatis dari kekuasaan. Secara sederhana kaum Perspektif Sosial Kritis ingin menunjukkan bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh tampilan politik narsis yang kita komsumsi setiap saat, bukan hanya saat menjelang pemilu atau pemilukada akan tetapi sepanjang hidup politik Indonesia tidak lain bertujuan untuk membentuk pola pikir dan ide yang bermain dikepala yang mengarahkan kita untuk sepakat bahwa hak politik kita telah terwakilkan oleh mereka akan tetapi tugas masyarakat pada dasarnya baru dimulai, ialah bagaimana kekuatan ide yang tterkonstruksi sebelumnya harus disadarkan untuk bisa membongkar kondisi kemapanan pengetahuan yang terus direproduksi oleh kekuasaan. Rebut kembali atau merasa tewakilkan adalah pilihan sikap lanjutan.
Kontestasi Politik Tiada Akhir
Lantas pertanyaan selanjutnya, apa yang salah dengan politik narsisme dan kondisi seperti apa saja politik narsisme itu mati. Kita mungkin akan sepakat jika pada dasarnya sikap politik yang ditampilakna adalah habitus asli kontestan tersebut maka politik narsisme ini bukanlah masalah akan tetapi jika ternyata yang ditampilkan ialah klaim habitus dan menjadikannya tameng untuk terlihat baik maka serangan terhadapnya harus jelas. Tidak ada jalan lain dalam menjalankan kekuasaan kecuali dengan merebut kekuasaan tersebut akan tetapi jika cara dan kekuatan merebutnya terbangun atas kebohongan dan habitus palsu maka yang terjadi ialah kekuasaan palsu pula dan lambat laun kekuasaan akan menjadi barang hina ditangan penjahat kekuasaan.
Politik dan perebutan kekuasaan adalah kontestasi tiada akhir, maka memastikan politik dijalankan oleh kekuatan yang terbagun dari basis pikir masyarakat ialah salah satu jalan dan menjadi jalan kekuasaan terkuat. Membangun budaya kritis akan pengetahuan dan konstruksi ide yang terus terjadi adalah tugas politik sesungguhnya bukan menunggangi politik dengan kepalsuan dan klaim pribadi yang menjadi penghambat transformasi. Tampilan alim ulama ketika kampanye dan korup ketika menjabat adalah musuh transformasi masyarakat politik yang maju mulai dari tingkat negara hingga kecamatan terpencil sekalipun
Dalam ranah Perspektif Sosial Kritis, Ide Michael Foucault ( 1926-1984) yang banyak menulis tentang relasi kekuasaan, pengetahuan dan diskursus sosial yang terbangun menjadi salah satu refensi kuat untuk bisa menganalisi dan membongkar segala bentuk metode dan relasi yang terbangun dari awal hingga pencapaian kekuasaan. Selain itu beberapa tokoh Kritis lainnya yang banyak terpengeruh dari perspektif sturkturalis memiliki basis analisis yang jelas dalam melihat fenoemana tersebut semisal Andrew Linklater, Richard Ashley (1902-1974), Richard Wyn Jones serta Robert Cox (1926).
Perspektif Sosial Kritis berusaha memahami hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, sehingga memiliki kecenderungan mengakui sifat politik klaim pengetahuan. Pada pandangan ini, Teori atau pengetahuan yang dikosntruksi secara politis hanya mungkin ada dengan syarat bahwa subjek bertanya dapat menarik dari dunia yang dipelajarinya (dan di mana itu ada) dan membebaskan dirinya dari semua hal yang bias sehingga mampu memberikan analisis terhadap dorongan pengetahuan baru serta formasi sosial yang tidak pernah bebas nilai.
Robert Cox menunjukan pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa “theory is always for someone and for some purpose”. Disisi lain pula, Teori kritis bertujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk dominasi serta mendorong kebebasan dan keadilan. Teori kritis menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan. Sebuah pengetahuan secara luas dipahami sebagai sebuah bentuk konstruski sosial, budaya dan ideologi, dan salah satu tugas utama dari Perspektif Sosial Kritis adalah untuk mengungkapkan pengaruh konstruksi dan dialektika didalamnya. Sebagaimana Richard Ashley tegaskan bahwa “knowledge is always constituted in reflection of interests”.
Coen Husain Pontoh pada jurnal Indoprogress sebelumnya pernah menulis terkait politik citra yang menurutnya merupakan bentuk nilai yang ditanamkan sebagai kemudi otomatis dari kekuasaan. Secara sederhana kaum Perspektif Sosial Kritis ingin menunjukkan bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh tampilan politik narsis yang kita komsumsi setiap saat, bukan hanya saat menjelang pemilu atau pemilukada akan tetapi sepanjang hidup politik Indonesia tidak lain bertujuan untuk membentuk pola pikir dan ide yang bermain dikepala yang mengarahkan kita untuk sepakat bahwa hak politik kita telah terwakilkan oleh mereka akan tetapi tugas masyarakat pada dasarnya baru dimulai, ialah bagaimana kekuatan ide yang tterkonstruksi sebelumnya harus disadarkan untuk bisa membongkar kondisi kemapanan pengetahuan yang terus direproduksi oleh kekuasaan. Rebut kembali atau merasa tewakilkan adalah pilihan sikap lanjutan.
Kontestasi Politik Tiada Akhir
Lantas pertanyaan selanjutnya, apa yang salah dengan politik narsisme dan kondisi seperti apa saja politik narsisme itu mati. Kita mungkin akan sepakat jika pada dasarnya sikap politik yang ditampilakna adalah habitus asli kontestan tersebut maka politik narsisme ini bukanlah masalah akan tetapi jika ternyata yang ditampilkan ialah klaim habitus dan menjadikannya tameng untuk terlihat baik maka serangan terhadapnya harus jelas. Tidak ada jalan lain dalam menjalankan kekuasaan kecuali dengan merebut kekuasaan tersebut akan tetapi jika cara dan kekuatan merebutnya terbangun atas kebohongan dan habitus palsu maka yang terjadi ialah kekuasaan palsu pula dan lambat laun kekuasaan akan menjadi barang hina ditangan penjahat kekuasaan.
Politik dan perebutan kekuasaan adalah kontestasi tiada akhir, maka memastikan politik dijalankan oleh kekuatan yang terbagun dari basis pikir masyarakat ialah salah satu jalan dan menjadi jalan kekuasaan terkuat. Membangun budaya kritis akan pengetahuan dan konstruksi ide yang terus terjadi adalah tugas politik sesungguhnya bukan menunggangi politik dengan kepalsuan dan klaim pribadi yang menjadi penghambat transformasi. Tampilan alim ulama ketika kampanye dan korup ketika menjabat adalah musuh transformasi masyarakat politik yang maju mulai dari tingkat negara hingga kecamatan terpencil sekalipun
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar