Langit mulai terang. Ku berdiri di depan Hotel menunggu seorang temen yang sedang mandi ketika ku datang di depan hotel sambil menikmati kesegaran udara pagi. Jalan masih lengang dan tak nampak sebuah pun kendaraan yang melintas, hanya beberapa orang yang melewati jalan. Di depanku, seorang lelaki setengah baya sedang sibuk menawarkan daganganya "koran-koran mas, kompas, KR,....bagus lho gaji PNS naik tapi nunggu korupsi hahahhaaa..." begitu kata seorang lelaki setegah baya penjual koran yang menawarkan koran sambil tersenyum riang dan wajahnya pun nampak ceria sambil menyiulkan sebuah lagu yang terasa asing bagiku. Suara siulannya terdengar jernih di udara yang sejuk pagi. Sementara pada kedua tangannya, tergenggam koran, sejenak kami ngobrol dan bersendau gurau, setelah ku beli korannya pak setengah baya itu pamit mau melanjutkan berjualan koran, tiba-tiba gerakan ketika berjalan meninggalkanku nampak bagaikan menari. Menarikan sebuah tarian pagi yang indah, bersama iringan siulannya yang merdu. Menakjubkan. Dan matahari mulai menghamburkan sinar kuning keemasan, sinarnya pun perlahan-lahan menerobos di semua penjuru jagat raya.
Ah, mendadak ku teringat pada mereka yang merasa terpaksa harus bangun dini karena diwajibkan. Mereka yang merasa seakan dunia telah runtuh karena harus mengingkari kenikmatan tidurnya yang lelap. Mereka yang hidup namun tak menyadari kehidupannya. Mereka yang hadir seakan hanya untuk diri sendiri. Dan tak pernah menyadari keindahan dunia sekelilingnya. Menjelang pagi ini, saat sang surya mulai menampakkan dirinya, ku merenungkan, betapa seringnya kita terpaku hanya pada apa yang kita rasakan tetapi gagal untuk menyadari keindahan lingkungan hidup kita yang terbentang luas di depan kita. Di depan kita semua....
Dengan tangan kanan yang menggengama koran, lelaki tua itu menlangkah pergi, sambil tak henti menyiulkan lagu yang terasa asing bagiku. Namun indah. Sungguh indah. Riang sangat. Adakah rasa sesal terhadap dirinya saat itu? Adakah rasa putus asa karena harus hidup setiap hari dalam rutinitas yang sama? Bangun saat dini, saat orang masih sibuk menikmati mimpi mereka, dan memulai tugasnya tanpa seorang yang menyaksikan dan menghargai apa yang dikerjakannya? Untuk menjual daganganya. Suatu tugas yang mulia. Tetapi berapakah yang diterimanya sebagai imbal jasa untuk semua karyanya itu? Cukupkah bagi kehidupannya sekeluarga? Adakah anak-anaknya mendapatkan penghidupan yang baik? Pendidikan yang layak? Ah, lelaki tua itu bergerak seakan menari dalam tugasnya, diiringi suara siulannya yang indah. Wajahnya nampak ceria. Betapa kuatnya dia. Begitu riangnya dia dan ramah membagikan senyuman...
Sambil menunggu temen ku menikmati hidupku. Apa yang ku miliki, apa yang ku nikmati, pahit atau manis, duka atau suka, tak pantaslah kukeluhkan jika ku bisa terinpirasi pada lelaki tsetengah baya penjual koran itu. Udara yang bersih, langit yang biru, pohonan yang rindang, alam yang mempesona. Siapakah kita sehingga harus mengeluh dan terus merajuk hanya karena sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita terjadi? Siapakah kita sehingga ingin dengan buas melahap apa saja hanya demi keinginan diri sendiri? Bukankah kita hanya berasal dari debu yang kelak akan kembali menjadi debu? Pantaskah kita keluhkan kesenangan yang gagal kita raih? Pantaskah?
Waktu berlalu dan kita pun berlalu bersamanya. Sesungguhnya hidup ini berjalan sederhana saja. Sesederhana tugas yang dijalani oleh lelaki penjual koran. Sebab dalam tugasnya yang mungkin terasa membosankan itu, dia melaksanakannya bagaikan dalam tarian hidup yang demikian indah. Sambil menyiulkan satu irama asing, dia memberikan berkat bagi dirinya, sekaligus berkat bagi dunia. Pagi tiba. Dan rasakanlah, betapa hangatnya pancaran sang surya yang perlahan membelai wajah kita di tengah kebersihan lingkungan yang telah dikerjakan oleh mereka-mereka yang sama sekali tak kita kenal. Mereka yang sering tak kita hargai. Dan bahkan kita lupakan sama sekali. Bukankah merekalah sesungguhnya sang pemilik kehidupan ini?
Yusinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar