Jumat, 10 Januari 2014

CERMIN

Tuhan Yesus hendak mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Mengasingkan diri, berarti menyendiri, masuk ke dalam kesendirian tanpa gangguan orang lain. Tidak jarang kita pun melakukannya. Kita ingin menyendiri tanpa gangguan siapapun, bahkan terbebas dari keluarga kita sendiri. Tetapi sebenarnya kita tidak pernah mampu sepenuhnya mengasingkan diri, sebab sekalipun tidak ada seorangpun di sekitar kita, tidaklah demikian dengan pikiran kita.

Biasanya ketika kita menyendiri, justru pikiran kita melayang kemana-mana untuk menemui orang-orang yang terlibat dengan kehidupan kita. Tidak jarang pula pikiran kita menemui sosok-sosok imajinatif yang tercipta dari keinginan dan harapan kita sendiri. Mungkin saja dalam kesendirian itu pikiran kita justru asyik berdua dengan bayangan kita kemarin yang merasa sedih, yang sakit dan menderita. Kadang pula bercanda dengan bayangan kita di masa depan yang mengenakan mahkota kesuksesan dan kehormatan. Itulah yang biasanya terjadi, kita tidak sepenuhnya mengasingkan diri.

Ketika Yesus hendak mengasingkan diri, Ia melihat kerumunan orang. Melihat bukan sekedar melihat, karena Ia merasakan apa yang mereka rasakan. Akhirnya Yesus keluar dari keinginan untuk masuk ke dalam diriNya sendiri. Semua itu terjadi karena Ia peduli.

Itulah kasih. Ketika ada yang harus dipedulikan, harus diperhatikan, maka kasih itu keluar menyatakan dirinya. Kasih akan terungkap dan tidak lagi bersembunyi dalam kesendirian. Kasih tidak mungkin terkurung oleh cinta diri.

Kasih tidak hanya terungkap melalui kata-kata, lagu, puisi, atau rayuan. Kasih terungkap secara nyata melalui perbuatan yang benar-benar bisa dirasakan oleh yang dikasihi. Lantas bagaimana dengan kasih yang ada di dalam diri kita? Adakah juga berani keluar meski tanpa syarat apapun?

Seringkali yang tampak, kasih kita penuh dengan persyaratan. Kasih kita hanya terungkap pada mereka yang kita kenal, pada mereka yang baik kepada kita, yang mengasihi juga menguntungkan kita. Adakah Yesus juga mengenal ribuan orang itu? Apakah kasih-Nya juga penuh dengan persyaratan? Jika tidak, mungkinkah kita juga melakukan demikian?

Yustinus Setyanta
Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar