Sabtu, 25 Januari 2014

08 Mei 2007

Dingin menusuk kulitku. Fajar akan segera tiba. Gerimis turun menyejukkan jiwaku. Dan tanah yang basah menyegarkan hatiku. Dua puluh tujuh tahun. Perjalanan waktu di atas bumi ini seakan melintas tanpa terasa. Seakan aku ada kini secara ajaib. Ya, "Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu" (Wahyu 15:3)  Segala suka dan duka hanya sekedar jejak-jejak di atas gurun pasir kehidupan yang tak berujung. Haruskah aku bersedih? Ataukah bersukaria? Tetapi mengapa semua melintas lewat tanpa terasa? Hidup hanya lewat seperti angin yang berhembus. Hidup bagaikan setetes embun pagi yang jatuh ke bumi. Tiba dari entah dimana, dan pergi ke entah kemana. Kini, dan saat ini, aku hanya dapat menikmati hidupku dengan penuh rasa syukur. Apa adanya.

Fajar dan gerimis mengawali hari ini. Dan ku menemukan rintik-rintik riwayat dalam suatu ketakpedulian masa. Ada nyanyian tentang cinta. Nyanyian tentang hidup. Nyanyian yang menyayat hati.Nyanyian tentang pilu. Nyanyian yang memberi semangat. Nyanyian tentang apa saja. Namun ku tahu bahwa, suatu saat kelak, segala nyanyian itu akan usai. Dan tenggelam dalam ujung masa, ada nyanyian yang sama sekali asing bagiku. Sama sekali tak kukenal namun terasa dekat. Aku dan sang waktu, hanya sebatas ada dalam suatu perjalanan menembus masa.

Angin berdesir. Datang, lewat dan pergi. Perlahanku langkahkan kaki menapaki  jalan setapak yang  nampak sepi dan udara sejuk pagi membias. Jalan setapak yang kulalui berdebu namun tak terhambur oleh tiupan angin karena  tetes-tetes gerimis tipis yang membasahi tanah. Lamat-lamat, dari kejauhan, terdengar suara lonceng gereja teng...teng...teng...... Siapakah yang dipanggilnya? Apakah aku? Kamu? Mereka? Kita? Gerimis tipis, fajar, desir angin, suara yang memanggil-manggil kerinduan hatiku untuk bersujud kepada-Nya dalam doa, mengapakah jiwaku harus resah? Bergunakah semua keresahanku ini? Sebab pada akhirnya kelak, semua itu hanya akan bergelut dalam lautan waktu dan daging yang fana ini. Sebab pada akhirnya kelak, aku akan lelap dalam akhir yang tak terelakkan.

Namun tak ada kepastian. Tak ada kata-kata. Aku hanya bisa berharap pada pengharapan yang mungkin. Selalu berharap pada-Nya. Dan itu yang tertinggal dalam jejak-jejak yang telah kutanamkan sepanjang perjalanan hidupku selama ini. Itu pula yang akan tertancap dalam patok-patok kenangan yang menandai keberadaanku di bumi ini. Aku ada. Akan pernah ada. Lalu takkan ada lagi. Ayo, bertuturlah. Nyanyikanlah sebuah lagu untukku. Lagu apa saja. Sebab esok hari, siapa yang dapat menduga akan apa yang akan terjadi? Engkau tidak. Aku tidak. Dan langit tetap akan tersenyum. Padamu. Padaku. Pada kita semua.

08 mei 2007. Hari baru. Harapan baru. Yang kemarin telah silam. Yang besok baru kemungkinan-kemungkinan. Tinggallah hari ini. Dengan segala harapan dan kesegaran baru. Dengan gerimis dan nyanyian hidup. Dengan Nyanyian alam. Aku ada. Telah ada. Dan inilah kepastian yang tak bisa kupungkiri. Segala apa yang telah terjadi takkan bisa disirnakan. Dan apa yang akan segera terjadi takkan bisa dipungkiri. Hidup adalah harapan saat ini. Sekarang. Dan itu sudah cukup sebagai kebenaran yang pasti bagiku, sebagai insan yang masih mampu bernafas. Sebagai insan yang selalu berpegang pada-NYA. Masih sanggup tertawa dan tersenyum. Harapan, ah betapa indahnya ENGKAU.



Yustinus Setyanta.
Kalasan - Jogja 08 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar