Mungkin hamba-hamba itu berpikiran dan bermaksud baik. Sebelum ilalang itu tumbuh besar ada baiknya dicabut dan dibuang, agar tidak mengganggu pertumbuhan pohon-pohon gandum. Bukankah aneh, jika pikiran yang baik itu justru dihalangi? Pemikiran si Pemilik Ladang sungguh tidak masuk akal dengan membiarkan ilalang itu tumbuh bersama gandum. Adakah nanti akan tumbuh pohon gandum yang baik, yang sehat dan berbulir banyak?
Tidak perlu bersitegang, pemaparan itu hanyalah perumpamaan belaka dan bukan kejadian yang sebenarnya. Ketika sebuah persitiwa dijadikan sebuah perumpamaan memang kadang cerita itu akan berubah menjadi aneh dan tidak masuk akal, karena yang penting bukan jalan ceritanya melainkan apa yang dimaksudkan dari perumpamaan itu. Dongeng kancil mencuri timun pun tidak masuk akal karena kancil bisa berbicara seperti manusia, tetapi bukankah hal itu yang penting tetapi pesan dari dongeng tersebut. Demikian dari perumpamaan mengenai pohon gandum dan ilalang, pesan apa yang ingin disampaikan oleh Yesus itulah yang penting.
Pertama, ladang itu adalah kehidupan kita dan benih gandum yang ditaburkan adalah firman yang memuat kehendak-Nya. Pada waktu semua tertidur, pada waktu yang tidak diperhatikan, ketika perhatian terhadap ladang kehidupan itu
lenyap datanglah musuh. Siapa musuh itu? Boleh kita menyebutnya setan, boleh pul;a kita menyebutnya iblis. Yang jelas musuh itu adalah pihak yang menentang kehendak-Nya, pihak yang tidak menginginkan apa yang baik terjadi dalam kehidupan kita. Ia menaburkan benih pula, yakni benih ketidakbaikan, kesombongan, kepentingan diri, nafsu, ketidakpedulian, kebencian dll. Lalu kedua perkara itu tumbuh dalam kehidupan kita. Ada dorongan untuk memperhatikan kehendak-Nya dan hidup seturut kehendak-Nya, tetapi ada pula dorongan untuk tidak peduli, mementingkan diri sendiri, meninggikan diri sendiri, dan mengikuti kesenangan diri. Itulah realitas yang terjadi dalam kehidupan kita.
Sebelum menjadi sombong, ketika benih kesombongan itu masih kecil, ia masih berupa rasa bangga. Jika rasa bangga itu dicabut bukankah akan berpengaruh pada semnagat hidup kita? Ketika masih kecil nafsu itu berupa naluri, jika naluri itu dicabut bukankah akan tercerabut pula kehidupan kita? Kebencian ketika masih kecil dan masih berupa benih, hanyalah berupa keinginan untuk membela dan mempertahankan diri untuk tidak disakiti. Jika keinginan untuk mempertahankan diri itu dicabut, bukankah akan tercerabut pula kehidupan kita? Akhirnya semua itu dibiarkan tumbuh bersama, agar kita tetap dapat meneruskan kehidupan. Persoalannya kemudian, jika kita lebih memperhatikan ilalang yang tumbuh di kehidupan kita dan tidak memperhatikan kehendak-Nya maka pohon gandum itu tidak akan berbuah. Akhirnya ia pun akan diperlakukan sebagaimana Ia memperlakukan ilalang. Sekiranya kita lebih memperhatikan kehendaknya dan bukan ilalangnya, maka pohon gandum itu akan tumbuh lebih besar dan menghasilkan buah yang berlimpah, dan kita pun diperlakukan sebagai gandum yang mengisi lumbung Tuhan.
Tidak perlu bersitegang, pemaparan itu hanyalah perumpamaan belaka dan bukan kejadian yang sebenarnya. Ketika sebuah persitiwa dijadikan sebuah perumpamaan memang kadang cerita itu akan berubah menjadi aneh dan tidak masuk akal, karena yang penting bukan jalan ceritanya melainkan apa yang dimaksudkan dari perumpamaan itu. Dongeng kancil mencuri timun pun tidak masuk akal karena kancil bisa berbicara seperti manusia, tetapi bukankah hal itu yang penting tetapi pesan dari dongeng tersebut. Demikian dari perumpamaan mengenai pohon gandum dan ilalang, pesan apa yang ingin disampaikan oleh Yesus itulah yang penting.
Pertama, ladang itu adalah kehidupan kita dan benih gandum yang ditaburkan adalah firman yang memuat kehendak-Nya. Pada waktu semua tertidur, pada waktu yang tidak diperhatikan, ketika perhatian terhadap ladang kehidupan itu
lenyap datanglah musuh. Siapa musuh itu? Boleh kita menyebutnya setan, boleh pul;a kita menyebutnya iblis. Yang jelas musuh itu adalah pihak yang menentang kehendak-Nya, pihak yang tidak menginginkan apa yang baik terjadi dalam kehidupan kita. Ia menaburkan benih pula, yakni benih ketidakbaikan, kesombongan, kepentingan diri, nafsu, ketidakpedulian, kebencian dll. Lalu kedua perkara itu tumbuh dalam kehidupan kita. Ada dorongan untuk memperhatikan kehendak-Nya dan hidup seturut kehendak-Nya, tetapi ada pula dorongan untuk tidak peduli, mementingkan diri sendiri, meninggikan diri sendiri, dan mengikuti kesenangan diri. Itulah realitas yang terjadi dalam kehidupan kita.
Sebelum menjadi sombong, ketika benih kesombongan itu masih kecil, ia masih berupa rasa bangga. Jika rasa bangga itu dicabut bukankah akan berpengaruh pada semnagat hidup kita? Ketika masih kecil nafsu itu berupa naluri, jika naluri itu dicabut bukankah akan tercerabut pula kehidupan kita? Kebencian ketika masih kecil dan masih berupa benih, hanyalah berupa keinginan untuk membela dan mempertahankan diri untuk tidak disakiti. Jika keinginan untuk mempertahankan diri itu dicabut, bukankah akan tercerabut pula kehidupan kita? Akhirnya semua itu dibiarkan tumbuh bersama, agar kita tetap dapat meneruskan kehidupan. Persoalannya kemudian, jika kita lebih memperhatikan ilalang yang tumbuh di kehidupan kita dan tidak memperhatikan kehendak-Nya maka pohon gandum itu tidak akan berbuah. Akhirnya ia pun akan diperlakukan sebagaimana Ia memperlakukan ilalang. Sekiranya kita lebih memperhatikan kehendaknya dan bukan ilalangnya, maka pohon gandum itu akan tumbuh lebih besar dan menghasilkan buah yang berlimpah, dan kita pun diperlakukan sebagai gandum yang mengisi lumbung Tuhan.
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar