Rabu, 15 Januari 2014

CERPEN (Jalan Berliku Untuk Cinta Siska)

Siska berlari-lari di ruang tengah sembari memain-mainkan boneka panda kesayangannya. Bi inah sedang memasak di dapur, sementara papa dan mamanya di kantor. Bocah dara cilik berusia lima tahun itu terlihat lucu dengan kedua kucir di kepalanya. saat berlari itulah, tiba-tiba bonekanya terlepas, jatuh berguling-guling di lantai dan berhenti tepat di kaki kursi goyang yang sedang terayun-ayun. Siska berupaya mengambil boneka itu. Tapi, tiba-tiba kaki kursi roda menjepit tangannya, membuat siska menangis meronta-ronta "sakit....sakit....aduhhhh....!!!!!" tangis siska melolong-lolong, mengejutkan bi inah, yang kemudian menyerbu dalam wajah kecemasan. "sssttt.....cup....cup......sayang. mana yang sakit" Masih dalam tangis, siska menunjukkan ujung jarinya yang memerah, lalau menunjuk kaki kursi roda. Bi inah meniup-niup ujung jari itu dengan mulutnya.

Ia sempet menengok ke arah kursi goyang. Di situ duduk nenek dengan wajah dingin. Boneka panda di bawahnya. Buru-buru bi ina membopong siska untuk diajak pergi dari ruang itu. Namun belum sempet berdiri. Nenek menghardik, "salah sendiri main tak tak tahu aturan!" Bi inah tak mau ribut-ribut, dan buru-buru ia merogoh boneka itu dari bawah kursi goyang, lalu mengendong siska untuk di bawa pergi. "kau juga pembantu tak bisa di untung! selalu bela-bela anak salah!"
"maaf...maaf...eyang,,,,,stttt....ayo, siska ke kamar saja ya sama bi inah," sahut bi inah tergopoh-gopoh. Bi inah memang takut dengan eyang. Bagi dia, sehari-hari perempuan tua itu seperti monster yang selalu menampakan wajah murka. Apalagi jika berhadapan dengan siska, cucunya sendiri, jangankan eyang mau membelainya. Berbagi seulas senyum pun terlihat sungkan. Sudah sekitar empat tahun bi inah menjadi pembantu di keluarga itu, mengapa sinar kebencian bisa terpancar dari seorang nenek kepada cucunya?

****

Namaku Maria Magdalena Sunarti. Aku perempuan bahagia setelah mengikat janji dengan mas Frans, lengkapnya Fransicus Bramono. Saat itu, di depan altar gereja tangan kami bertangkup di atas Kitab Suci. Di hadapan pastor dan para saksi, kami berikrar untuk setia dalam suka duka, sehat maupun sakit, untung dan malang. Sejak itu, bersama mas frans aku mengarungi lautan kehidupan dengan biduk cinta. Aku berharap mampu memberikan buah cintaku kepada mas frans, Dan mampu mendidiknya dengan penuh cinta pula. Namun baru aku sadari, jalan cinta, harapan, dan kesetiaan ternyata tidak selamanya mulus. Melainkan penuh kelok dan bertebaran kerikil-kerikil maupun duri di sana sini. Salah satu yang menjadi ujian cinta bagiku adalah buah cinta itu sendiri.

Hampir lima tahun berlalu belum juga tumbuh benih cinta di rahimku. Aku nyaris saja putus asa ketika berbagai cara tak membuahkan hasil. Untung mas frans tetap memberi dukungan, peghiburan. Ia selalu mengigatkan untuk memengang ikrar cinta yang pernah mereka ucapkan di depan altar. "cinta semata-mata bukan soal raga," begitu yang sering diucapkan mas frans kepadaku, dan selalu mengiang di telingaku.
Lamunanku buyar kemana-mana. Tanpa seorang bayi, rumah besar ini memang terasa sepi. Tapi, mengusir sepi bukan perkara sulit bagiku. Aku bisa menyibukan diri dengan berbagai aktivitas selepas jam kerja. Banyak hal positif yang dapat ku kerjakan, mulai dari menyulam, menulis, merawat tanaman ataupun kegiatan lain. Namun, yang membuat aku galau adalah ibu. Di usia yang makin senja, beliau mendambakan buah cinta dari aku dan mas fras. "lalu kepada siapa lagi ibu akan berharap, nar?" ujar ibu berulang kali. Namun selalu dan selalu belum cukup sampai di situ. Biasanya ibu akan melanjutkan dengan kata-kata yang bagiku serasa duri, serasa sembilu mengiris-iris hingga begitu pedihnya ulu hati ini. "ingat nar, kau adalah anak tunggal keluarga ini. Kau paham maksud ibu kan?" Kalimat itu selalu diiringi tatapan yang serasa menghujam ulu hatiku.

Aku sangat paham yang diinginkan ibu adalah seorang anak. Anak dari rahimku sendiri. Namun, ibu tak sekedar pemahaman. Ia butuh buah cinta itu mewujudkan dalam diri seorang bayi, untuk meneruskan trah di keluarga besarnya. Namun cintaku pada mas frans belum mampu menyediakan jawaban atas keinginan ibu. Hidup ini fana. Tidak melulu hitam dan putih, tidak melulu siapa benar atau salah namun sering berwarna kelabu dan sulit mempersalahkan atau dipersalahkan. Apa yang terjadi sering merupakan akibat dari keinginan sendiri tanpa memperhitungkan resiko apa yang akan dihadapi oleh orang lain. Lingkungan yang sulit atau bahkan tak mungkin untuk ditidak-pedulikan begitu saja, tanpa rasa sakit, hina dan tersudut bahkan kesepian yang demikian menggigit jiwa.

Sampai kemudian hadirlah seorang bayi kecil di tengah-tengah keluarga kami yang kami beri nama Fransika sekaligus menjadi nama permandianya. Itulah bayi yang aku adopsi atas dukungan mas frans. Bayi itu kami ambil dari panti asuhan milik salah asatu kongergasi suster. Bayi malang dari seorang ayah dan ibu yang mati muda karena kecelakaan lalu lintas. Semula aku merasa masalahnya selesai dengan hadirnya bayi itu. Aku dan mas frans mencoba memberikan cinta pada siska, layaknya buah hati kami sendiri, dan kami pun ingin menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Kami mencoba untuk tidak egois dan berbagi cinta kepada sesama. Salah satunya lewat siska. Begitulah yang kami pahami dari makna sebuah cinta yang dikuduskan didepan altar. Tapi ternyata, dugaanku salah. Kehadiran siska nyatanya tidak mampu mengobati kerinduan ibu. Lalu, apa yang dipahami ibu soal cinta? sering aku bertanya dalam hati, mengapa ibu yang dulu mendidiku dengan ajaran Kristus justru tak mampu untuk menjalankan ajarannya sendiri untuk menapaki jalan salib-Nya?. Aku sadar ibu tinggal sendiri sejak kepergian Ayah lima tahun yang lalu. tapi, semudah itukah kepergian ayah dijadikan dalih hilangnya sebuah cinta, bahkan untuk seorang anak kecil yang sangat membutuhkannya?

****

Aku dan mas frans sudah tak kurang-kurangnya mengetuk hati ibu demi siska. Namun, belum juga membuagkan hasil. Laporan bi inah dari hari ke hari akan sikap ibu terhadap siska sungguh menyedihkan. Kepada siapakah aku harus bersandar. Sejak itu, aku dan mas frans makin sering berdoa hanya dengan satu permohonan, yakni terbukanya hati ibu untuk cinta siska, cucunya. Dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga terbilang tahun, permohonan kami belum terkabul. Namun, kami mencoba untuk setia pada pilihan yang kami yakini benar dan tetap berdoa sampai saatnya nati hati ibu terbuka untuk cinta siska, cucunya.

Hingga pada suatu ketika kesehatan ibu memburuk. Apalagi, usianya sudah 80 tahun. Usia yang sangat akrab dengan penyakit ketuaan. Ibu tak bisa kemana-mana lagi selain hanya berbaring di ranjang. Semua kebutuan di layani bi ina. Keadaan masih belum berubah sampai pada suatu ketika, saat senja hari. Ku dengar suara memenggil-manggil nama siska. arahnya dari kamar ibu. Tapi benarkah pendengaranku ini? Rasanya sejak siska masih bayi hingga lima tahun belakangan belum pernah ku dengar ibu memanggil siska. Aku beranjak menengok ibu.
"Nar....mana siska, mana?" suara ibu terdengar lemah di atas nafas yang tersengal-sengal. Pertahananku pun runtuh. Tanpa terasa kedua pipiku basah. Tahu-tahu mas frans dan siska sudah dibelakangku. Kutarik tangan siska mendekat. Sembari berbaring, ibu menarik siska ke dalam pelukannya dan tumpahlah tangisku, sementara di luar rumah gerimis jatuh merintik. gerimis jatuh merintik..... Aku dan mas frans saling berpandangan, mengucap syukur atas terbukanya hati ibu untuk siska. Tercurahnya cinta ibu untuk siska.
SEKIAN


Oleh : Yustinus Setyanta












Tidak ada komentar:

Posting Komentar