Kamis, 23 Januari 2014

GELAR

Suatu ketika, kami berempat sedang berbincang-bincang di angkringan sembari menikmati es teh dan gorengan lantas ada seorang yang bercerita kepada kami, dengan nada bangga, tentang betapa hebatnya seorang teman yang dikenalnya. Teman yang juga punya deretan gelar di belakang namanya sehingga rasa-rasanya malah lebih panjang dari namanya sendiri. Dan dia, dengan penuh semangat memuji-muji sang sahabat sebagai seseorang yang wah lah, bahkan seakan-akan sempurna sebagai seorang manusia. Karena gelarnya. Karena kekayaannya. Mungkin karena sang sahabat telah memberikan sumbangan dana yang sangat besar untuk kegiatan pembangunan rumah ibadat yang sedang dilaksanakannya.Seorang temen pun memandang ku sambil tersenyum saya pun tersenyum juga mendengar penuturan itu.

Gelar & Kekayaan. Tiba-tiba ku merasa betapa dua hal tersebut jarang saling terkait. Atau bahkan tidak seharusnya saling terkait. Tetapi di negeri dimana gelar dapat diperoleh dengan menghapal, atau bahkan mungkin hanya dengan membeli tanpa perlu belajar, apa artinya sebuah gelar? Pendidikan kita lebih mengutamakan penghapalan dari pada pemahaman, lebih mementingkan isi dompet dari pada isi kepala, sehingga walau kita sebenarnya belum atau tidak paham tentang ilmu yang kita dalami, tetap dapat memperoleh secarik kertas yang bernama ijazah karena kita mampu untuk menghapal semuanya. Atau jika tidakpun, kita bisa membelinya.

Maka nampaknya, pada umumnya pujian dan kebanggaan seseorang lebih tertuju pada materi dari pada pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal, bukan sesuatu yang mesti dipahami. Dan selama kita mampu menghapal baris demi baris apa yang ada di buku teks yang dijual kepada kita, selama kita mampu membayar sebesar harga yang ditawarkan kepada kita, dengan mudah kita dapat memperolehnya. Sebab itulah, tidak jarang kita bersua dengan mereka yang punya gelar sangat panjang dan boleh di bilang panjang seperti kereta api, tetapi ternyata hanya memiliki pola pikir yang sederhana dan opini yang hitam putih melulu.

Padahal, pengetahuan haruslah dipahami. Demikian pula kehidupan ini, haruslah dimengerti. Dunia pengetahuan adalah sebuah dunia yang dinamis. Dinamis dari kata dinamika ini muncul kata “dinamis”. Sederhananya Hidup = dinamis, (Pastur. N. Drijakara S.J. - Filsafat Manusia, 2011, 51 dst.), penuh perubahan, dan kita harus menciptakan perubahan itu tanpa terkungkung dalam teori yang mandek, hampa dan bisu. Sungguh, pemahaman jauh lebih penting dari pada penghapalan. Sebuah gelar yang diperoleh hanya dengan menghapal, apalagi cuma dengan sekedar membayar, tidak punya nilai untuk dapat dibanggakan. Sama sekali nihil nilai.

Jangan heran jika sesekali kita merasa takjub mendengar pendapat seseorang yang tanpa gelar dalam percakapan sehari-hari jika dibandingkan dengan pendapat mereka yang punya gelar panjang dan ditulis sebagai berita utama di koran-koran. Kebijaksanaan yang berbeda, kadang sangat jauh antara langit dan bumi, tetapi siapakah dia yang tanpa gelar sama sekali untuk dapat diambil opininya sebagai berita utama? Maka bagiku, gelar tidak punya arti apa-apa. Yang menentukan adalah bagaimana seseorang dapat memahami hidup ini. Bagaimana seseorang mampu mengerti apa yang sedang dihadapinya. Bukan secara teori saja tetapi berdasarkan praktik secara langsung. Secara nyata.

Gelar. Kekayaan. Jika keduanya saling kait mengait, maka yang dapat kita peroleh hanyalah sebuah rangkaian kata di belakang nama tanpa arti sama sekali. Sebab itu, janganlah terkejut bila suatu saat kita mendengar atau membaca atau menonton berita betapa seseorang yang memiliki gelar panjang, sangat panjang, terlibat dalam kegiatan yang tidak halal. Korupsi. Fanatisme, kurang toleransi. Kekerasan. Karena gelar hanyalah sesuatu yang dapat diperoleh dengan menghapal dan membeli. Bukan dengan memahami. Bukan dengan mengerti. Dan gelar sepanjang apapun ternyata gagal menciptakan kemajuan dan perubahan. Nihil nilai.




Yustinus Setyanta

Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar