Jika saya ditanya, apa yang paling bisa saya ingat dari seseorang pada pertemuan pertama? Meskipun akan sedikit rumit dan susah untuk menjelaskannya maka saya akan memilih untuk menjawab; mata!. Entah sejak kapan dan sampai kapan, saya selalu kagum pada organ tubuh satu ini. Bagiku, mata bukan hanya sekadar sebuah organ panca indera yang harus disyukuri oleh mereka yang masih dikaruniai nikmat melihat cahaya tapi jauh dari semua itu, mata memiliki ruang cerita tersendiri dari seseorang tentang apa yang telah dilihatnya bahkan oleh seorang tunanetra sekalipun. Mata bukan hanya persoalan keindahannya semata sebagaimana yang dimiliki oleh Aishwarya Rai yang dinobatkan sebagai wanita dengan mata terindah.Maka pada sisi ini, marilah kita sepakat bahwa “mata’ bukan hanya sekadar organ tubuh tapi jauh dari itu, mata adalah ruang tubuh yang penuh cerita.
Entah apa pula yang ada dipikirkan oleh Iwan Fals ketika menciptakan lagu Mata Dewa atau Mata Indah Bola Pingpong yang bercerita tentang mata seorang seorang gadis yang kau puja. Tidak jarang, di setiap pertemuan banyak orang, tatapan menjadi hal yang menarik. Seseorang bisa menerka apa yang dipikirkan oleh lawan bicara dengan menatap matanya, menatap mata teduh dari orang yang kau sukai, menangkap kebosanan dengan mata sayup, atau tentang tatapan haru dan penuh harap tidak terbalaskan pun ada. Cara seseorang menatap ketika sedang bercerita serta bagaimana gerak mata saja sudah cukup untuk menjelasakn sesuatu hal. Ketika masih kecil dulu, saya selalu mendapati diriku ketakutan saat mendapatkan sorotan mata tajam dari Ibuku, bagiku tatapan tajamnya serasa hendak mengatakan bahwa; “Jangan lakukan itu!” dan tatapan itu sudah cukup untuk membuatku mundur langkah.
Merunut pada penjelasan ilmiah, mata adalah salah satu panca indera manusia yang tersusun atas struktur yang mengatur dan memiliki cara kerja otomatis yang sempurna atas cahaya saat mata menangkap objek yang terjemahkan sebagai kemampuan visual. Sederhananya, mata bekerja untuk mengetahui apakah lingkungan sekitarnya terang ataupun gelap untuk menangkap objek yang ada. Pada sisi ini, mata seringkali menjadi bukti kelemahan manusia, semisal ketika terjadi penyimpangan atas kerja mata maka beragam penyakit mata telah siap menghampiri. Pupil atau lensa mata yang berubah bentuk sedikit saja sudah mampu memaksa kita untuk memakai kacamata, maka atas alasan apa seseorang bisa hidup angkuh di dunia ini?.
Di lain sisi, mata sering kali pula berkonotasi menjelaskan tentang cara pandang atau apa yang dilihat ataupun apa yang hendak diceritakan oleh seseorang yang sedang atau telah menjalani sesuatu. Dalam kultur Bugis, makna kata “mata” yang berasosiasi dengan kata “penglihatan” dijumpai pada kata “pakkita” yang literal diterjemahkan sebagi “tatapan” atau sering kali dimanknai sebagai harapan atau bayangan jauh kedepan. Sewaktu kecil, saya seringkali mendengar istilah “pakkita deceng” yang kurang lebih berarti “harapan atau bayangan jauh kedepan atas hal baik”, semua ini adalah doa dan harapan yang dititipkan pada seseorang agar kelak ia menjadi baik sebagaimana yang dimimpikan atau diramalkan oleh orang tua.
Para orang tua ini hendak mengatakan bahwa masa yang akan kau lalui akan berbeda dengan apa yang pernah ia lihat, maka kuatkanlah dirimu dengan harapan yang baik, lihatlah selalu hal baik yang bertebaran. Maka tidak mengherankan ketika kau rindu kampung halaman atau keluarga maka yang akan kau ingat adalah mata mereka yang penuh tangis saat mengatarmu merantau, mata yang menaruh harapan dan berharap segera bertatap kembali.
Serangkaian Cerita tentang Mata
National Geographic edisi Juni 1985 terbit dengan sampul foto seorang gadis Afghan dengan sorot mata hijau yang tajam yang diberi judul “Afghan Girl”. Tidak ada yang membayangkan foto gadis tersebut akan menjadi salah satu foto yang dikenal banyak orang. Sang fotografer, Steven McCurry mengabadikan gambarnya pda tahun 1984, diambil di sebuah sekolah di kamp pengungsi di Pakistan saat terjadi invasi Uni Soviet di Afganistan. Gadis dengan tatapan yang tajam menghantui pikiran Steven McCurry untuk tau siapa gadis itu. Selang 17 tahun, pada tahun 2002, Steven McCurry kembali menelusuri kamp pengungsian tempat mereka dulu bertemu, di Peshawar, Pakistan untuk bertemu dengannya tapi gadis tersebut telah kembali ke Afghanistan. Steven melanjutkan perjalannnya menuju desa gadis tersebut menetap, di sebuah desa pegunungan dekat Tora Bora melewati perbatasan Pakistan-Afganistan. Tatapan mata tajam yang penuh duka telah menuntut Steven untuk bertemu kembali dengannya.
Sharbat Gula adalah nama gadis tersebut, gadis Afghanistan dengan tatapannya telah menyentuh banyak orang kini telah tumbuh menuju tua. Tatapan dan warna mata yang sama masih tampak jelas di matanya, meski perang dan serangkain kisah hidup suram yang ia lihat telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Steven dalam sebuah film documenter yang bercerita tentang pencaraian kembali gadis Afghan yang bertajuk “A Life Revealed” mengatakan “time and hardship have erased her youth. Her skin looks like leather. The geometry of her jaw has softened. The eyes still glare; that has not softened. She’s had a hard life.”
Di kisah lain, di garis geografis yang berbeda. Lepas dari hiruk pikuk tentang cerita mata yang terkenal di seluruh dunia. Di sebuah kampung yang sedang terjadi sengketa tanah antara petani dan perusahaan asing, saya pernah menjumpai dan menatap mata seorang petani yang hidupnya penuh dengan penindasan selama berpuluh-puluh tahun, sorot mata yang tajam serasa hendak menjelaskan bahwa ia telah melalui jalan hidup yang panjang dan hingga hari ini, lapar dan kemiskinan membuatnya semakin lemah.
Saya tidak begitu mengenalnya, hanya saja saya dan beberapa teman biasa memanggilnya Agus, tampakannya sangat kebapakan, tenang tapi juga militan, ia pernah menawariku makan dan minum di rumahnya, ia dan bersama petani yang lain adalah golongan orang yang cukup luas hidupnya untuk berbagai tanpa harus merasa kaya dulu. Agus dan banyak orang memiliki karakter tatapan yang hampir sama, tatapan yang seringkali masih tersenyum tapi mata yang sayu tidak pernah berdusta akan kesedihan dan harapan tentang akhir perlawanan yang baik akan kelak semoga ia ataupun anak cucunya temui.
Selalu ada harapan di mata sayup mereka yang lelah, selalu ada cerita yang tidak pernah usai dari setiap ratapan mata lelah. Ada banyak deretan kisah tentang mata sayu para penjaga rental print di malam hari, tentang tatapan lelah tukang sapu di kampus yang megah, mata dan tubuh kedinginan para pekerja yang melawan hujan untuk pulang ke rumahnya, tentang tatapan menahan tangis seorang kawan yang baru saja ditinggal, saya pernah pula menyaksikan mata seorang kawan yang berusaha berpijar setelah ditolak cintanya, tentang tatapan lurus penjaga warung kecil di pinggir jalan ketika hujan deras turun atau tentang tatapan terakhir dari seseorang yang kau sayangi dalam hidupnya ketika kau menuntut tanganmu menutup sempurna matanya. Semua mata bercerita tentang kisahnya masing-masing.
Lalu apakah tatapan itu semata-mata tentang kesedihan? Tentu tidak. Saya pernah menatap lama mata seseorang yang teduh serta menenangkan lalu membuatmu kecanduan menatapnya, pernah pula membuatku mati langkah dengan mata sinis yang tajam, atau tentang deretan mata yang bercerita oleh tawa kawan-kawan yang baik hati di kedai kopi, semua indah bagiku. Lalu, tidak sedikit diantara kita yang pernah melihat tatapan bahagia seorang anak kecil ketika melihat balon udara berterbangan di langit, tentang tatapan yang akan menenagkanmu ketika lelah lahir batin, atau kelak, tatapan bahagia, sepasang mempelai di altar pelaminan yang akan menjalani hidup yang lebih luas. Semuanya indah, semuanya menyusun skenarionya masing-masing. Karena sekali lagi, semua mata bercerita tentang kisahnya masing-masing, tengtang hal indah ataupun hal rumit.
*****
Mata, tatapan, dan segala hal yang dilihatnya bahkan dalam gelap sekalipun adalah ruang yang penuh cerita. Ada banyak orang dengan mata yang lengkap tapi dengan watak melihat orang lain lebih rendah tidak lebih baik dari seorang tunanetra yang berjalan sendiri di kota yang ramai karena semesta dan keyakinan akan hal baik telah menuntun mereka. Tulisan ini hanya hendak mengatakan bahwa ini bukan persoalan lengkap atau tidak, indah atau tidak mata seseorang, tapi ini persoalan apa yang matamu telah dan hendak ceritakan
kepada hidupmu.
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar