Kamis, 13 Agustus 2015

PASRAHNYA PAK UNTUNG

Apa yang kurang? Seharusnya tidak ada lagi. Rumah sudah ada. Kendaraan secukupnya sudah ada. Penghasilan dan tabungan jiga ada. Hubungan dengan keluarga besar juga baik. Peran di masyarakat juga harmonis. Keluarga yang dibangun pun semakin hangat dan menyenangkan. Banyak orang yang melihat hidup Pak Untung memang sungguh beruntung, tapi bagi Pak Untung hidupnya bukanlah suatu keberuntungan semua karena berasal dari Sang Pemberi Hidup. Praktis hampir semua yang dibutuhkan untuk kebutuhan sebagai sarana untuk hidup tercukupi. Yang biasanya dicita-citakan juga terpenuhi. Tak heran. Banyak yang memandangnya dengan kagum, tetapi ada juga yang merasa iri. Beberapa orang malah ada yang memandangnya 'rakus', 'kurang bersyukur', 'ambisius'. Bagaimana tidak mereka melihat Pak Untung masih tetap bekerja keras. Pak Untung masih aktif di berbagai kegiatan masyaraka. Pak Untung masih mengembangkan berbagai kegiatan.

Tak mengherankan, banyak orang yang tidak senang dan heran. Ada yang menilai Pak Untung itu sombong. Ada yang menilai Pak Untung itu angkuh. Ada juga yang menilai Pak Untung itu tidak peka pada kehidupan masyarakat. Itu semua terjadi ketika ada sarasehan. Dalam sarasehan itu, Pak Untung, dengan sederhana menekankan bahwa ia menjalankan hidupnya dengan penuh kepasrahan kepada Sang Pemberi Hidup. Pasrah? Kok masih berbuat ini dan itu? Kok masih aktif begini dan begitu? Padahal kan sudah tercukupi semuanya.

Pak Untung memang orang yang saleh, kesalehan tidak cuma kesalehan ritual-ritual kerohanian belaka tetapi kesalehan sosial. Praktis, tidak hanya kegiatan keagamaan yang bersifat ritul saja, terlebih kegiatan sosial masyarakat sedapat mungkin diikutinya. Ia bersyukur bahwa masih dapat mengikuti kegiatan sosial itu membantunya untuk menyadari kehadiran Sang Pemberi Hidup dalam hidupnya. Ia merasa banyak diingatkan pada kasih dari Sang Pemberi Hidup. Dan ia pun sangat percaya dan meyakini, Sang Pemberi Hidup mengasihinya, bahkan menganugerahkan rahmat kasih kepadanya. Ia mau menerima kasih dari Sang Pemberi Hidup. Lalu ia pun mau mengasihi. Ia pun dapat mengasihi. Mau dikasihi dan lalu mengasihi itulah yang dipahaminya sebagai pasrah kepada Sang Pemberi Hidup.

Pak Untung menerima keluarganya, tetengganya, teman-temannya dengan apa adanya sebagai anugerah dari Sang Pemberi Hidup. Anugerah yang terkadang berat dan menyakitkan ini dengan saling menolong, salingmendukung, saling berbagi bukan hanya dengan ucapan kata-kata. Ia pun berusaha terus menerus, belajar terus menerus untuk membangun hidup bersama yang rukun, dan damai, yang semua dapat merasa lebih nyaman bahkan dalam kesesakan hidup bersama. Berbagi watak, sifat dan kebiasaan yangada disekitarnya; cocok atau tidak cocok, mengenakan atau tidak mengenakan dalam berpikir, berkata-kata, bertingkah laku; usaha untuk saling menyesuaikan; semua itu pemberian dari Sang Pemberi Hidup untuk diterima dengan lapang dada.

Hari-hari demi hari. Bulan demi bulan, tahun demi tahun ia menghadapi mereka semua, Ia belajar hidup dengan mereka semua, belajar bersyukur atas mereka semua, belajar menghadapi beraneka macam watak, sifat, dan karakter yang berbeda-beda dengan kasih. senyuman hangat. Itulah kepasrahannya atas anugerah dan kehendak Sang Pemberi Hidup. Dan syukurlah, ia semakin menyadari kasih Sang Pemberi Hidup, ia semakin yakini akan kehadiran dan penyertaan Sang Pemberi Hidup.

Banyak kegiatannya, damai dan cerah wajahnya. Pak Untung bersyukur karena dengan pasrahnya itu ia sudah melakukan kehendak Sang Pemberi Hidup. Dengan melakukan kehendak Sang Pemberi Hidup, ia pun semakin tersedia untuk dikasihi olehNya, dan terus bersemangat, berusaha untuk mengasihi bersama Dia.








(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar