MEMULIAKAN DALAM KEMANUSIAAN
Ketika hidup kuhayati sebagai panggilan, kadang aku dihadapkan pada persimpangan. Di persimpangan terebut aku bebas untuk memilih, apakah aku akan mengikuti keinginanku ataukah aku akan mengikuti kehendak-Nya. Dunia memanggilku untuk menjadi lebih terikat padanya, sementara kasih Allah mengundangku untuk datang dan tinggal di dalamnya Dunia mengajakku untuk hanya peduli pada diriku sendiri, sementara Allah menghendaki agar aku mencurahkan perhatianku pada sesama. Dunia menggandengku untuk sampai pada puncak-puncak keberhasilan dan kebaggan, sementara Allah menghendaki aku untuktulus dalam melayani orang lain dan menjadi rendah hati. Di persimpangan itu aku bebas untuk menentukan pilihan, apakah aku akan memiliakan diriku sendiri, ataukah aku akan memuliakan Allah?
Jika saja aku membiarkan diriku larut dalam pemenuhan keinginan diri dan seluruh daya upaya aku gunakan untuk melaksanakan kehendakku sendiri, maka aku memuliakan diriku sendiri. Sebaliknya jika seluruh pikiranku, seluruh tanagaku aku curahkan untuk melaksanakan kehendak Allah, maka aku memuliakan Dia. Kenapa aku harus harus melihat kedua jalan tersebut sebagai sebuah perlawanan? Tidak bisakah kehendak Allah menyesuaikan dengan keinginanku? Jika sampai pada pemikiran tersebut, timbullah pemakluman-pemakluman. Ah, Tuhan pun menghendaki supaya aku sukses, supaya aku menjadi penguasa dan bisa mensejahterakan orang banyak. Lantas, apa salahnya mengikuti kehendak sendiri? Bukankah pada akhirnya nanti, aku bisa memuliakan Dia dengan lebih baik lagi?
- Demikian mudah aku membungkus keinginan dan kehendakku sebagai hal yang dikehendaki oleh Allah. Aku mengamati diriku sendiri, ketika aku dengan demikian mudah tergoda untuk tidak menyadari kehadiran Allah. Aku tercengang ketika aku memandang Dia yang memanggul salib menuju puncak Kalvari, muncul pertanyaan; mengapa Dia tidak meletakkan salib-Nya dan memilih mengangkat pedang dan menjadi raja? Mengapa Ia tidak melawan dan membuat semua orang tercengang dengan mukjizat -mukjizat yang penuh kuasa? Mengapa Dia harus mengalami semua itu? Kembali aku berpaling pada diriku sendiri, mengapa aku tidak mengikuti Dia dan memanggul salibku?. Tenggelam dalam permenunganku Dia berkata "Mari datanglah kepada-Ku, belajarlah kepada-Ku..........." Oh.....sungguh aku harus belajar banyak. Belajar dari apa yang Dia lakukan, bahwa melaksanakan kehendak Allah adalah hal yang paling utama dalam hidupku. Menjadikan seluruh sikap dan perbuatanku sebagai ungkapan kasih-Nya adalah tujuanku. Maka apapun yang aku lakukan, aku perlu membuka diri, agar Dia hadir dan berbuat, Dia bersama dan melalui kemanusiaanku perduli dan memperhatikan orang lain. Aku berlatih untuk tidak membungkus keinginanku dengan kehendak-Nya tetapi melarutkan kehendak-Nya di dalam hidupku. Aku berlatih memuliakan-Nya dalam kemanusiaanku.
- {Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar