Sebagai anak yang dilahirkan dari orangtua yang kuat tradisi Jawanya, Arif Esem selalu melaksanakan puasa dan matiraga dihari pasaran kelahirannya ('weton'). Matiraganya pun memilih yang yang cukup berat dan memang cukup nampak juga bagaimana dampak matiraga itu bagi kegiatan sehari-harinya. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, apalagi jumpa dengan sesama, dengan Painem atau dengan anak-anaknya. Ketika Painem bertanya, dengan sederhana Arif Esem menjelaskan. "Gusti Sang Pemberi Hidup tersenyum menyaksikan aku bermatiraga dengan penuh syukur. Kalau Gustiku tersenyum, masa aku harus merengut kecut."
Dua orang teman Arif Esem pernah datang ke rumah. Entah apa yang dibicarakan, suasana panas dan tegang. Dari kejauhan Painem melihat dua orang tamu itu begitu marah. Wajah mereka tampak garang. Sepintas kata-kata mereka pun menjadi keras. Ketika melihat wajah suaminya, Painem pun terheran-heran. Suaminya masih menghadapi mereka dengan senyum tipis. Dilain kesempatan, Painem menanyakan hal ini kepada suaminya. Tetap dengan cara sederhana sang suami menjawab: "Saat itu Gusti tersenyum. Ketika aku ikut tersenyum, Gusti menerangi akal budiku untuk melihat duduk masalahnya dengan baik dan benar. Kalau aku ikut marah-marah, jangan-jangan malah semakin tidak menemukan silusi yang ditawarkan oleh Gusti (Tuhan)".
Suatu ketika anak sulung mereka yangsedang mengawali masa remaja melakukan kenakalan. Painem merasa sudah sepantasnya menghajar anaknya itu, biar kapok. Tetapi sang suami mencegahnya dan siap menangani si anak. Sepintas lalu, Painem melihat bagaimana sang suami mengajak anak mereka berbicara dari hati ke hati.
Entah apa yang dibicarakan. Pada awalnya si anak kelihatan tegang. Beberapa kali nampak berbicara ngotot. Saat itu Painem merasa anaknya itu perlu dihajar. Emosinya meledak. Tapi dari kejauhan ia melihat bagaimana sang suami tetap menghadapi anak itu dengan senyum. Kadang senyum tipis, kadang senyum lebar.Dan tak dinyana. Anaknya menangis. Kemudian dipeluk oleh Pak Arif Esem. Dan paling sedikit sudah tiga tahun ini, anak itu tidak lagi melakukan kenakalan yang sama. Ketikap Painem bertanya, Pak Arif Esem menjawab dengan santai: "Bune anakitu butuh senyuman kita, bahwa ia juga sadar bahwa Gusti Penciptanya pun selalu mau tersenyum padanya, dan menghendaki supaya semua tingkahlakunya membuat Gusti Sang Pencipta dapat tersenyum gembira".
Tentu tidakhanya senyum manis. Sesekali Painem pun menjumpai sang suami tersenyum kecut bahkan tersenyum pait. Paitnya pun seperti buah pohon mahoni. Ketika sakit gigi, ketika kehabisan uang, ketika bermasalah dangan tetangga yang memang berwatak pembuat onar, juga.....Ketika Painem marah besar atau ngambek seabrek dan sengaja memancing pertengkaran dengan suaminya.
Tentu tidakhanya senyum manis. Sesekali Painem pun menjumpai sang suami tersenyum kecut bahkan tersenyum pait. Paitnya pun seperti buah pohon mahoni. Ketika sakit gigi, ketika kehabisan uang, ketika bermasalah dangan tetangga yang memang berwatak pembuat onar, juga.....Ketika Painem marah besar atau ngambek seabrek dan sengaja memancing pertengkaran dengan suaminya.
Toh setiap terjaga dinihari, ketika memandangi suami terlelap dalam semyum tipisnya. Painem ikut tersenyum lega. Ketika bangun kembali pada dipagi hari Painem pun merasa kesegaran, dan sambil tersenyum berseru: "Terima kasih, Gusti Sang Maha Kasih".
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar